PENGANTAR:

Dalam percaturan politik di Kalimantan Tengah, masalah perbedaan agama dan 
etnik dijadikan sebagai kendaraan politik oleh kalangan elite politik untuk 
menguasai daerah. Pada tahun 2002 menyusul konflik berdarah antar etnik-etnik 
di Kalteng dan etnik Madura, oleh kalangan tertentu telah dicoba mencetuskan 
konflik antar agama, terutama antara penganut agama Islam dan pengaut agama 
Kristen di samping antara etnik Banjar yang disebut di Kalimantan sebagai Urang 
Banjar dan etnik Dayak. Untuk memahami apa siapa Urang Banjar itu, guna 
melengkapi tulisan saya "Surat Kepada Orang Sekampung: Proses Desivilisasi", 
saya lampirkan tulisan Marko Mahin, dosen antropologi agama pada Sekolah Tinggi 
Teologi GKE Banjarmasin,  yang saya kutip dari website Lembaga Studi Dayak21. 
Apa yang dilukiskan oleh Marko Mahin di sini hanyalah sorotan dari satu segi 
saja, tapi saya rasakan bisa membantu saya dalam menjelaskan keadaan hubungan 
antar agama dan etnik, terutama antara Urang Banjar dan Dayak serta antara 
Islam dan Kristen di Kalteng sekarang. 

Studi sejarah dan budaya Dayak, sekarang sedang digalakkan oleh kalangan 
akademisi muda Dayak Kalteng dalam rangka memahami diri sendiri serta untuk 
melangkah maju ke hari depan dengan pandangan yang jelas. 

JJK


[Sumber: Lembaga Studi Dayak 21, Monday, 24 January 2005]

URANG BANJAR 
IDENTITAS  DAN ETNISITAS DI KALIMANTAN SELATAN [5]

Oleh Marko Mahin

Of Borneo's total population of 12 million,  only about one fourth  are 
classified as Dayaks-the rest are Malays.  Ninenty percent of the so called 
Malays, all of the Muslim faith, are Islamized Dayaks (Karl Muller, Introducing 
Kalimantan, Penerbit Periplus Edition, 47).


Abstract:
Banjar  or Bandar, in the begining, is  the name of  a small kampong in estuary 
of  the Kuwin River-South Borneo that functioning as a small port. Kampong that 
led by Patih Masih, in growth hereinafter become the identity of  an ethnic 
group and  Islam empire. More than that Banjar become a distinguishing ideology 
that is with the existence of adagium "Islam is Banjar and Banjar is Islam."   
Banjar have come to the religious and culture conception, naming Banjar is to 
show the difference between Islam people anda Dayak people who are not Moslem.  
 This article wish to re-trace  Banjar as distinguishing ideology  by re-read 
the Hikayat Bandjar, and studies  bearing theory that  "Banjar is Islam and 
Islam is Banjar."  





D.  Penutup: Kenapa Asep Menjadi Banjar?

Tulisan ini telah mengajak kita mengembara ke masa awal berdirinya kerajaan 
Banjar yang oleh para ahli diperkirakan pada dekade kedua abad-16, kemudian ke 
sepotong peristiwa pada zaman Pangeran Marhum, dan  melihat sejenak pada 
perjumpaan Banjar-Islam dan Dayak-Katolik  pada akhir abad 17.  Tak dapat 
disanggah tulisan ini belum lengkap, dan hanyalah tulisan awal atau pembuka,  
karena ada banyak bagian-bagian penting yang masih belum dibahas sehubungan 
dengan munculnya kelompok etnik Banjar sebagai satu kekuatan sosial, politik 
dan agama di Kalimantan Selatan, misalnya  peranan pemerintah kolonial Belanda  
dalam menciptakan kelompok suku Dayak Kristen sebagai kelompok antagonis  untuk 
menggembosi kekuatan Banjar Islam (Idwar Saleh 1986: 11), peranan kelompok 
etnis Bakumpai yang menurut Helius Sjamsuddin (1988)   adalah Dayak Islam yang 
gencar melawan Belanda dan menurut Schawaner (1853)  telah menjadi Islam 
sebelum ada Kesultanan Islam Banjar.  Begitu juga dengan peranan Syekh Muhammad 
Arsyad Al Banjari, ulama besar Banjar. Walaupun demikian ada beberapa hal yang 
dapat dikatakan  melalui tulisan ini:

Pertama, bahwa sebelum terbentuk Kesultanan Islam Banjar, menurut Hikajat 
Bandjar  belum ada etnis atau kelompok etnis Bandjar.  Menurut  Hikajat Bandjar 
  yang ada pada waktu adalah orang-orang Jawa, Melayu dan Biaju, serta 
suku-suku lain.   Pengamatan jeli terhadap proses awal  berdirinya kesultanan 
Islam Banjar, bila dikaitkan dengan kelompok etnis yang terlibat pada waktu 
itu,  akan menghasilkan kesimpulan bahwa empat orang Patih Biaju (bukan Islam) 
dan satu orang patih Melayu (Islam)  mengangkat satu orang Jawa-Kaling (bukan 
Islam) untuk menjadi raja. Di sini kelompok Melayu adalah kelompok minoritas, 
karena itu sangatlah tidak mungkin dapat dikatakan sebagai inti nenek moyang 
suku Banjar.   Idward Saleh (1991: 2) menolak pendapat ini, dengan tegas 
dinyatakan:


Ketika Pangeran Samudera mendirikan kerajaan Banjar ia dibantu oleh orang 
Ngaju, dibantu patih-patihnya seperti patih Belandian, Patih Belitung, Patih 
Kuwin dan sebagainya serta orang Bakumpai yang dikalahkan.  Demikian pula 
penduduk Daha yang dikalahkan sebagian besar orang Bukit dan Manyan.  Kelompok 
ini diberi agama baru yaitu Agama Islam, kemudian mengangkat sumpah setia 
kepada raja, dan sebagai tanda setia memakai bahasa ibu baru dan meninggalkan 
bahasa ibu lama.  Jadi orang Banjar itu bukan kesatuan etnis tetapi kesatuan 
Politik, seperti bangsa Indonesia.

Ataukah telah terjadi kesalahan membaca Hikajat Bandjar yang ditulis oleh J.J. 
Ras, yaitu pada kalimat  Tanjung Pura as a name for the oldest Bandjarese 
kraton  ? (Ras 1968: 191), sehingga muncul kesimpulan "masyarakat Banjar telah 
terbentuk bersamaan dengan terbentuknya kerajaan Tanjungpura".  Di sinilah 
imajinasi kolonial kaum indologist   terbentang  bagaikan jaring laba-laba  
halus yang menjerat  dengan tanpa disadari.  Johannes Jacobus Ras, orang 
Belanda kelahiran Rotterdam tahun 1926, tentunya menulis Disertasi doktoralnya 
di Leiden University ini pertama-tama adalah untuk para pembacanya yang adalah 
orang-orang Belanda, minimal untuk sang promotor Prof. Dr. A. Teeuw.    Karena 
itu,  ia mesti memakai bahasa, istilah atau idiom-idiom atau imaji-imaji yang 
dimengerti oleh orang Belanda. Salah satu imajinasi populer kolonial terhadap 
penduduk pulau Kalimantan adalah seperti yang dikatakan oleh Niewenhuis seorang 
guru besar di Universitas Leiden Belanda (orang Belanda lagi) bahwa: "Orang 
Dayak adalah penduduk asli pulau Borneo yang bukan orang Melayu.  Orang Melayu 
ialah penduduk asli pulau Borneo yang  beragama Islam dan bukan orang Dayak" 
(Niewenhuis 1894: 16).  Atau seperti yang dipaparkan oleh Mallinckrodt 
(lagi-lagi orang Belanda dan tamatan Leiden)  bahwa "Suku Banjar adalah suatu 
nama yang diberikan untuk menyebut suku-suku Melayu" (Mallinckrodt 1928: 48).   
Jadi dalam imaji orang-orang Belanda, Banjar adalah salah satu dari suku 
Melayu.  Karena itu orang Melayu diaspora dari Sriwijaya pun digeneralisasi 
sebagai Banjar  atau sebagai the oldest Bandjarese.   

Pendapat bahwa Banjar adalah salah satu suku Melayu juga didasarkan pada bahasa 
yang dipergunakan yang menurut Prof. J.J. Ras, ahli sastra Melayu Fakultas 
Sastra Universitas Leiden, sebagai  the Bandjarese colloquial is a dialect of 
Malay rather than a separate language (Ras 1968: 8).  Namun pendapat ini 
disanggah oleh para ahli Melayu moderen, misalnya  James T. Collins, Profesor 
Alam dan Tamadun Melayu di Universiti Kebangsaan Melayu, karena kenyataannya 
bahasa Melayu tidak harus  dituturkan  oleh orang Melayu tetapi juga oleh 
orang-orang di kampung Kristen di Pulau Ambon (Collins 2003: v).   Jerat halus 
"Leiden Gang" ini juga menggiring ke pemikiran bahwa penutur bahasa Melayu atau 
orang Melayu haruslah beragama Islam. Dalam tulisan-tulisan mengenai Banjar,  
kesimpulan yang sempit dan sederhana ini diderivasi dengan  mengatakan "Banjar 
bukan hanya konsep untuk menunjukkan perbedaan suku, tapi juga agama" atau 
"Banjar menjadi identitas agama sekaligus suku"(contohnya lih. Salim 1996:227). 
 Sehingga muncul kesan yang kuat bahwa  "Banjar adalah Islam dan Islam adalah 
Banjar".  Namun adalah bijak untuk mendengar apa dikatakan oleh Collins:

Konsep Alam Melayu adalah konsep kultural yang berasaskan peranan bahasa Melayu 
dalam batas geografi Asia Tenggara.  Alam Melayu tidak identik dengan dunia 
Islam-Melayu, karena banyak penutur bahasa Melayu tidak beragama Islam.  Alam 
Melayu bukan konsep etnis karena banyak pengguna bahasa Melayu bukan orang 
Melayu.  Sesungguhnya Alam Melayu lebih luas daripada wilayah masyarakat Melayu 
yang hanya sebagian dari Alam Melayu.  Alam Melayu yang yang sangat kompleks 
itu memperlihatkan kadar diversitas yang sangat tinggi dalam hubungan bahasa 
dan masyarakat.  Sayangnya, banyak ahli "Dunia Melayu" dan pakar "Nusantara" 
seakan-akan tidak menyadari diversitas itu.  Biasanya mereka hanya 
mengungkapkan observasi dan mengulangi kesimpulan yang sempit dan sederhana.  
Pernah saya mendengar seorang "ahli" sedemikian berhujah bahwa ciri-ciri asas 
budaya Melayu adalah sarung dan keris!  Rupanya "ahli" itu belum pernah ke 
Pulau Bali. (Collins 2003: vii-viii).

Di sini tampak bahwa ada kesenjangan yang mencolok antara dunia wacana dan 
fakta empirik di lapangan.  Seperti yang terjadi di Kuala Kapuas, Kalimantan 
Tengah, ada banyak  keluarga Dayak Kristen memakai bahasa Banjar sebagai bahasa 
sehari-hari mereka di dalam rumah, tetapi mereka tetap Dayak dan beragama     
Kristen.  Sebaliknya ada banyak keluarga Dayak Islam yang memakai bahasa Ngaju 
sebagai bahasa sehari-sehari mereka, tetapi mereka tetap Dayak dan tetap Islam. 
 Contoh lain juga terdapat di Kalimatan Barat di mana ada kelompok-kelompok 
non-muslim yang  berbicara menggunakan bahasa Melayu yang berasal dari  
Sumatera Selatan asalnya bahasa Melayu (Sandin 1956: 54-81). Atau seperti 
contoh lain yang dipaparkan Collins (2003: xv) bahwa orang Bosnia yang memeluk 
agama Islam 500 tahun yang lalu tetap berbahasa Bosnia dan beretnis Bosnia.  
Masyarakat Kurd di Asia Barat menganut agama Islam tetapi tidak pernah 
meninggalkan bahasa Kurdi mereka.  

Kajian mengenai Banjar  telah mencapai puncak status quo ketika adigium "Banjar 
adalah Islam dan Islam adalah Banjar" dikerek tinggi kepuncak hingga menjadi 
tirai suci yang memberi rasa aman.  Ketika berbicara mengenai  studi Islam 
Banjar, Hairus Salim mengindikasikan status quo  itu sebagai kemandekan serius 
yang muncul karena Islam Banjar hidup sendiri tanpa dialog dengan 
pemikiran-pemikiran Islam di luarnya (Salim 1996:242-43). 

Menurut saya untuk  mengkaji Banjar  pertama-tama kita harus menetralkan 
karakter status quo itu, yaitu dengan meneliti teks-teks yang dibuat oleh orang 
Banjar sendiri, sebelum  mereka bertemu dengan teks-teks Barat yang sarat 
dengan ide-ide kolonial dari para indolog dan orientalist.   Hal ini tentu saja 
sejalan dengan pikiran postkolonial Edward  W. Said dalam bukunya  Orientalisme 
yang memaparkan bagaimana Barat  mendominasi, mendaur-ulang  Timur untuk 
kemudian menguasainya.  Barat, tidak hanya menulis mengenai Timur, tetapi  juga 
mencipta Timur.  Dalam kalimat Edward Said "bahwa budaya Barat mampu mengatur - 
bahkan menciptakan dunia Timur secara politis, sosiologis, militer, ideologis, 
saintifik, dan imajinatif" (Said 2001: 4).   Dengan kata lain, harus ada 
kesadaran bahwa teks-teks Barat yang selama ini sering dipakai menjadi rujukan 
untuk mengatakan inilah Urang Banjar  sesungguhnya  kental dengan nuansa 
kolonial, produk para peneliti Barat yang telah membicarakan, meneliti, 
merepresentasikan Urang Banjar  secara sewenang-sewenang.  

Jadi memang harus ada keberanian untuk menelusuri kembali asal-pangkal dari 
imaji-imaji yang sudah terlanjur tercipta mengenai siapa Urang Banjar  itu.   
Memang  harus ada kesungguhan untuk mempertanyakan, bahkan mencurigai teks-teks 
Barat itu sebab seperti yang dikatakan oleh Benedict Anderson "bahwa 
pertindihan kapitalisme dan teknologi cetak-mencetak dengan keragaman fatal 
bahasa manusia telah menciptakan kemungkinan lahirnya bentuk baru komunitas 
imajiner" (Anderson 1999: 84). Karena itulah maka  "komunitas imajiner" yang 
bernama Urang Banjar , minimal dalam kasus Asep di atas,   memanglah 
berlawanan, paling sedikit beda, dengan dunia empirik.

Kedua, tulisan ini hendak memperlihatkan bagaimana sejarah memang selalu tampil 
berwajah ganda, positif sekaligus negatif.  Demikian juga dengan sejarah Banjar 
ketika terjadi kontrak politik atau tunduk dengan Demak.  Selain menganut Islam 
dan menang perang, ternyata ada sisi lain yang juga terjadi, yaitu  hancur, 
lenyap dan runtuhnya  satu fase berkebudayaan di Kalimantan Selatan.   Tim 
editor Sejarah Banjar memaparkan  sisi lain  dari    "ketertundukkan" itu  
dengan kalimat "Agama Hindu runtuh dan agama Islam menggantikannya.  Candi 
Agung dan Candi Laras dihancurkan, kebudayaan Hindu lenyap sebagai tak pernah 
ada kebudayaan itu di Kalimantan Selatan sebelumnya".(2003: 68, bandingkan 
Usman  1994: 33).  Hal yang senada juga diungkapkan oleh  Idward Saleh dengan 
mengatakan "bahwa pada saat Islam masuk telah terjadi penghancuran  dan 
perusakan atas benda-benda keagamaan (iconclasm) umat Hindu sehingga rakyat 
tidak memiliki sedikit pun pengertian tentang apa  sebenarnya bentuk candi dan 
fungsinya" (1983/1984: 24). Di sini sejarah  memang selalu memperlihatkan 
jejak-jejak penaklukan atau penghancuran tatanan lama oleh tatanan baru yang 
datang dari luar.  

Sisi lain lagi dari kontrak politik Pangeran Samudera adalah   Banjarmasin 
dilibatkan untuk melawan musuh Demak yaitu Portugis.  Karena itu Banjarmasin 
dituntut untuk membangun  komunitas etno-religi yang berdasarkan Islam sebagai 
oposisi dari Portugis yang Katolik.  Di sini borok Perang Salib dipentaskan 
dengan membangun tapal batas agama yang dilumeri  wacana kafir dan tidak kafir, 
insider dan outsider, in group dan outgroup.  Namun sangat tidak disadari bahwa 
ketika kesultanan Banjar mencoba membangun  komunitas etno-religi yang 
berdasarkan Islam maka pada  saat yang sama, secara tidak langsung, ia juga 
sedang  membangun etno-religi yang lain, yaitu Katolik Dayak di daerah 
pedalaman. Di sini bisa dikatakan bahwa pergulatan antara Muslim Banjar dan 
Portugis Katolik mepertegas pola yang sudah ada sebelumnya pada 
kerajaan-kerajaan Melayu yaitu Islam tidak lebih daripada sekadar simbol 
persekutuan politik yang berhadapan dengan simbol persekutuan politik yang lain 
yaitu Katolik.   Dalam pertarungan dua kekuatan besar inilah muncul Banjar dan 
non-Banjar serta Dayak dan non-Dayak Maka tampaklah motif betapa pentingnya 
konsep bahwa Banjar itu Islam dan Islam itu Banjar.    Dengan demikian, 
kelompok etnis Banjar muncul bukanlah sebagai hasil  jalan-jalan para Melayu 
diaspora yang konon datang dari Sriwijaya, tetapi lebih  merupakan produk dari 
sebuah proses sosial-politis beberapa kelompok  masyarakat,  yang kehidupan 
ekonominya didasarkan pada eksploitasi daerah pedalaman dan perdagangan 
internasional, dan kemudian menjadikan  Islam sebagai "spirit" pemersatu 
sekaligus pembeda dengan orang Portugis atau  orang-orang Ngaju  yang seagama 
dengan orang Portugis.  Namun kesimpulan ini bukan barang baru.  Secara 
sayup-sayup kurang lebih 20 tahun yang telah liwat,  Idwar Saleh  menulis:

Untuk proses perkembangan selanjutnya agama Islam berfungsi mempersatukan 
kelompok atau memisahkan dan menjadi kriteria antara beradab dan belum beradab, 
antara orang Banjar dan bukan Banjar.  Jadi waktu masih belum ada agama Islam 
dan Kristen masuk, belum ada yang memisahkan suku-suku ini.  Waktu agama Islam 
masuk mulailah pemisahan itu.  (bold dari penulis-MM) (1983/1984: 11)  


Dengan demikian, maka bisa dikatakan bahwa Urang Banjar bukanlah sebuah 
komunitas kultural tetapi lebih kepada  komunitas politik, di mana di dalamnya 
bisa ada banyak kultur dan etnis.

Ketiga, bahwa diteropong dari kekayaan spiritual suku Dayak Ngaju yang 
menempatkan Marhum Panembahan,  Sultan Islam Banjar ke-4,  sebagai salah satu 
pantheon di Alam Atas, ternyata istilah Islam Banjar  bukanlah satu istilah 
yang  monokultur. Di dalamnya  ada Islam Ngaju (dan juga Islam Bakumpai), 
karena memang ada banyak orang Ngaju memeluk agama Islam.  Kembali 
diperlihatkan satu kenyataan lain, ternyata baik Islam maupun Banjar  tidak  
menjadi melting pot  atau kuali padodolan  yang bertujuan meyeragamkan semua 
pengalaman agama dan budaya seseorang tetapi lebih tepat menjadi salad bowl 
atau piring gado-gado.  Karena sesungguhnya orang tidak betul-betul melebur 
menjadi satu meninggalkan identitas asalnya untuk  kemudian luluh dalam Melayu 
yang katanya adalah kultur dominan pada masyarakat Banjar.  Minimal pada 
periode Marhum Panembahan kita bisa melihat  ada wajah Ngaju atau Biaju 
mendominasi istana kesultanan Banjar.  Hal ini memang menjadi fakta yang  
mendekonstruksi ide oposisi biner warisan kolonial  yang mengatakan bahwa Dayak 
itu non-Muslim dan Banjar itu Muslim.  Ternyata bahwa, sejak abad ke-17  di 
"ring satu"  istana Kesultananan Banjar,  Dayak tidak hanya non Muslim tetapi 
juga Muslim (dan Banjar).  

Sehubungan dengan adanya oposisi binner warisan kolonial itu, sebagai orang 
yang hidup pada era post kolonial, rasanya sulit untuk menerima adigium atau 
jargon "Banjar itu Islam, Islam itu Banjar" yang bukan hanya sulit dimengerti 
secara historis, melainkan juga sukar dipahami secara sosiologis. Sebab, dari 
berbagai catatan sejarah diperlihatkan bahwa jauh-jauh hari sebelum para 
tentara Demak  datang ke Banjarmasin dan memperkaribkan nilai-nilai Islam 
kepada masyarakat dan raja-raja di Banjar, sudah melembaga rupa-rupa keyakinan 
dan bermacam-macam ritus yang bukan Islam. Demikian pula secara sosiologis kita 
dapat merasakan bahwa jargon tersebut seperti memendam kecenderungan untuk 
tidak toleran terhadap keberagaman Banjar. Kita tahu, bagaimanapun, hingga kini 
Banjar itu tidak satu warna, melainkan serupa bianglala. Dan tiap-tiap warna 
ke-Banjaran tentu memiliki hak hidupnya sendiri.

Pada sisi lain, fakta ini juga  memperlihatkan bahwa di antara oposisi binner  
yang bertentangan itu terdapat ambiguitas atau  ruang celah yang menjadi 
wilayah terlarang sehingga tabu diperbincangkan. Di celah yang sempit itu, yang 
adalah penjara kenangan masa lalu, terdapat saudaraku Asep  yang harus menjadi 
Banjar.   Akhirnya dapat dimengerti kenapa Asep bingung ketika ditanya "Kenapa 
menjadi Banjar?".   




Banjarmasin 10 Oktober 2004


Daftar Pustaka
Anon,  1995 Panaturan, Palangkaraya: Majelis Besar Agama Hindu Kaharingan, 
(Cetakan ke-5).
Azra, Azyummardi 5 Jaringan Ulama: Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad 
XVII dan XVIII, Bandung: Mizan  Baier, Martin   2002 "Contribution to Ngaju 
History," dalam Borneo Research Bulletin Vol. 33, Borneo Research Council    
Bagian Dokumentasi dan Penerangan Kantor Wali Gereja Indonesia,  1974 Sejarah 
Gereja Katolik Indonesia, Jilid I, Jakarta:  Kantor Waligereja Indonesia   
Becker,  J.F. 1849b "Het district Poelopetak.  Zuid en Oostkust van Borneo," 
Indische Archife 1 jrg, I   Bistany, Syarif    2004 Hikayat Banjar: Pangeran 
Samudera Sultan Suriansyah (Kanjeng Sunan Batu Habang), Banjarmasin: Badan 
Pengelola dan Pemelihara Makam Sultan Suriansyah (Kanjeng Sunan Batu Habang).
Cense. A. B. 1928 De Kroniek van Bandjarmasin, Amsterdam: Zantpoort.
Collins, James T.   2003 "Alam Melayu dan Masyarakat Embau,"  dalam Yusriadi 
dan dan Hermansyah, Orang Embau: Potret Masyarakat Pedalaman Kalimantan, 
Pontianak: STAIN Pontianak bekerjasama dengan The Ford Foundation dan Yayasan 
Adikarya IKAPI. 
Daud, Alfani.1997 Islam dan Masyarakat Banjar: Deskripsi dan Analisa Kebudayaan 
Banjar, Jakarta: Rajawali Press.
 Eller, Jack dan Coughlan, Reed.  1996  "The Foverty  of Primordialism,"  dalam 
John Hutchinson  dan Anthony D. Smith, Ethnicity, Oxford-New York: Oxford 
University Press 
Garang, Johannes E.   1974 Adat und Gesellschaft.  Eine Sozio-Ethnologische 
Intersuchung zur Darstellung Des Geisters- und Kurturlebens Dajak in 
Kalimantan, Wiesbaden: Frans Steiner verlag.
 Geertz, C. 1996 "Primordial Ties," dalam John Hutchinson  dan Anthony D. 
Smith, Ethnicity, Oxford-New York: Oxford University Press.
Hardeland, August    1858 Dajacksch-Deutsches Wörterbuch, Amsterdam: Muller.
Hawkin, Mary.  2000 "Becoming Banjar: Identity and Ethnicity in South 
Kalimantan, Indonesia," in  The Asia Pacific Journal of Anthropology Vol. 1, 
Number 1,  Canberra: The Australia National University.
Hudson, A.B.1967 Padju Epat: The Ethnography and Social Structure of A Ma'anjan 
Group in Southeastern Borneo, Disertasi Doktoral di Cornell University yang 
diterbitkan oleh University Microfilms.
1972 Padju Epat: The Ma'anyan of Indonesian Borneo,  New York Chicago San Fran 
Atlanta  Dallas Montreal Toronto London Sydey:  Holt, Rinehart and Winston, Inc.
Jones, Russel   1979 "Ten Conversion Myths from Indonesia,"  dalam Nehemia 
Levztion (ed.), Conversion to Islam, New York and London: Holmes & Meier. 
Kartodirjo, Sartono   1992 Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900 Dari 
Emporium Sampai Imperium Jilid 1, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
Knapen, Hans.   2001 Forest of Fortune?: The environmental history of South 
Borneo, 1600-1880, Leiden: KITLV Press 
Lambut,M.P.  1992 "Perlukah Mendayakkan Orang Dayak," dalam Kalimantan Review 
No. 02 Tahun I Juli-Desember 1992, Pontianak: LP3S  Institute of Dayakology 
Research and Development 
Orang Banjar: Jati Diri dan Pandangan Hidupnya, Banjarmasin: Makalah tidak 
diterbitkan 
Mallinckrodt, J.    1928 Het adatrecht van Borneo. dl. 1-2. Leiden: M. 
Dubbeldemand 
Moedjanto, G.   1987 Konsep Kekuasaan Jawa: Penerapannya oleh Raja-raja 
Mataram, Jogyakarta: Penerbit Kanisius.
 Muller, Karl.    t.t.  Introducing Kalimantan, Singapore: Periplus Edition, 47 
Nieuwenhuis, A.W.     1907 Quer durch Borneo, Leiden: Brill, 2 vols. 
Perelaer, M.T.H.,     1870 Ethnographische Beschrijving der Dajaks,  
Zalt-Bommel Uitgave van John. Noman & Zoon.
Pijnappel, J. 1960 "Beschrijving van het westelijk gedeelte van de Zuider-en 
Oosterafdeeling    van Borneo,"  dalam Bijdragen tot de Taal-, Land-,  en 
Volkenkunde van het  Koninklijk Instituut VIII.
Ras, J.J.  1968 Hikajat Bandjar: A Study in Malay Historiography,  The Hague: 
Martinus Nijhoff 
Reid, Anthony. 2004 Sejarah Moderen Awal Asia Tenggara, Jakarta: Pustaka LP3ES.
Riwut, Nila    2003 Manaser Panatau Tatu Hiang (Menyelami Kekayaan Leluhur), 
Palangka Raya: Pusaka Lima
Riwut, Tjilik, 1957 Kalimantan Memanggil, Djakarta: Penerbit Endang 
Roy, Jacob Jansz de.    1706 Hachelijke Reys-Togt van Jacob Jansz de Roy, na 
Borneo en Achin.  In sijn vlugt van Batavia, de waards ondernoomen in het Jaar 
1691, en vervolgens. Leiden.
Saleh, Idwar   1958 Sejarah Bandjarmasin: Selajang Pandang Mengenai Bangkitnja 
Kerajaan Bandjarmasin, Posisi, Funksi dan Artinja Dalam Sedjarah Indonesia 
Dalam Abad Ketudjuhbelas. Bandung:  Balai Pendidikan Guru
1975 Banjarmasih: Sejarah Singkat Mengenai Bangkit dan Berkembangnya Kota 
Banjarmasin Serta Wilayah Sekitarnya Sampai dengan Tahun 1950.  Banjarmasin.
1984 Rumah Tradisional Banjar: Rumah Bubungan Tinggi, Banjarmasin: Departemen 
Pendidikan dan Kebudayaan, Museum Negeri Lambung Mangkurat.
1986    Sekilas Mengenai Daerah Banjar dan Kebudayaan Sungainya Sampai Akhir 
Abad-19,  Banjarmasin: Museum Negeri Lambung Mangkurat Propinsi Kalimantan   
Selatan
1991 Perang Banjar 1859-1865,  Makalah yang dipresentasikan pada hari Jumaat, 
15 Maret 1991 di ruang auditorium Museum Negeri Propinsi Kalimantan Selatan 
Lambung Mangkurat Banjar Baru.
Salim, Hairus.1996  "Islam Banjar, Relasi Antar Etnik, dan Pembangunan," dalam  
Tim Redaksi  DIAN , Kisah Dari Kampung Halaman : Masyarakat Suku, Agama Resmi 
dan Pembangunan, Yogyakarta: DIAN/INTERFIDEI.
Sandin, Benedict 1956 "The westward migration of the Sea Dayaks."  Dalam 
Sarawak Museum Journal   No.   7 
Schrieke, B.     1957 Indonesian Sociological Study, The Hague: Van Hoeve  
Schawanner, C. A. L. M. 1853 Borneo. (2 vols).  Amsterdam: PN van Kampen    
Sjamsuddin, Helius, 
1987 Fighting Dutch in The Nineteenth and Early Twentieth Centuries:  The 
Social, Political, Ethnic and Dynastic Roots of Resistance in South and Central 
Kalimantan 1859-1906, Ph.D. Dissertation at Monash University  Tim Editor 
Sejarah Banjar
2003 Sejarah Banjar, Banjarmasin: Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah 
Propinsi Kalimantan Selatan
Tsing, Anna Lowenhaup,
1998 Di Bawah Bayang-bayang Ratu Intan: Proses Marjinalisasi Pada Masyarakat 
Terasing, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Usman, M. Gazali    1994 Kerajaan Banjar: Sejarah Perkembangan Politik, 
Ekonomi, Perdagangan dan Agama Islam, Banjarmasin: Lambung Mangkurat University 
Press.
Ugang, Hermogenes. 1983 Menelusuri Jalur-jalur Keluhuran, Jakarta: BPK Gunung  
Mulia                      
1987 Belanga-belanga Keramat: Sebuah Penilaian Antropologis - Teologis tentang 
Pandangan Orang Dayak Kalimantan Tengah Mengenai Harta Kekayaan Material,  
Disertasi Doktoral di The South East Asia Graduate School of Theology yang 
diselenggarakan di Sekolah Tinggi Teologi Jakarta, Tahun 1987.
Van Peursen, C.A.    1988 Strategi Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius. 
Van den End, Th.2001 Ragi Carita I, Jakarta: BPK Gunung Mulia
 Vansina, Jan.   1965   Oral Tradition: A study in Historical Methodology. H.M. 
Wright (translated), Australia: Penguin Books. 

Terakhir diperbaharui ( 24-Januari-2005 06:21:26 ) 


                 
                 
                    
           
                 
                   

              
              
               
           
     






[Non-text portions of this message have been removed]



------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Take a look at donorschoose.org, an excellent charitable web site for
anyone who cares about public education!
http://us.click.yahoo.com/O.5XsA/8WnJAA/E2hLAA/BRUplB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.uni.cc
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 
4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



Kirim email ke