PENGANTAR: Dalam percaturan politik di Kalimantan Tengah, masalah perbedaan agama dan etnik dijadikan sebagai kendaraan politik oleh kalangan elite politik untuk menguasai daerah. Pada tahun 2002 menyusul konflik berdarah antar etnik-etnik di Kalteng dan etnik Madura, oleh kalangan tertentu telah dicoba mencetuskan konflik antar agama, terutama antara penganut agama Islam dan pengaut agama Kristen di samping antara etnik Banjar yang disebut di Kalimantan sebagai Urang Banjar dan etnik Dayak. Untuk memahami apa siapa Urang Banjar itu, guna melengkapi tulisan saya "Surat Kepada Orang Sekampung: Proses Desivilisasi", saya lampirkan tulisan Marko Mahin, dosen antropologi agama pada Sekolah Tinggi Teologi GKE Banjarmasin, yang saya kutip dari website Lembaga Studi Dayak21. Apa yang dilukiskan oleh Marko Mahin di sini hanyalah sorotan dari satu segi saja, tapi saya rasakan bisa membantu saya dalam menjelaskan keadaan hubungan antar agama dan etnik, terutama antara Urang Banjar dan Dayak serta antara Islam dan Kristen di Kalteng sekarang.
Studi sejarah dan budaya Dayak, sekarang sedang digalakkan oleh kalangan akademisi muda Dayak Kalteng dalam rangka memahami diri sendiri serta untuk melangkah maju ke hari depan dengan pandangan yang jelas. JJK [Sumber: Lembaga Studi Dayak 21, Monday, 24 January 2005] URANG BANJAR IDENTITAS DAN ETNISITAS DI KALIMANTAN SELATAN [5] Oleh Marko Mahin Of Borneo's total population of 12 million, only about one fourth are classified as Dayaks-the rest are Malays. Ninenty percent of the so called Malays, all of the Muslim faith, are Islamized Dayaks (Karl Muller, Introducing Kalimantan, Penerbit Periplus Edition, 47). Abstract: Banjar or Bandar, in the begining, is the name of a small kampong in estuary of the Kuwin River-South Borneo that functioning as a small port. Kampong that led by Patih Masih, in growth hereinafter become the identity of an ethnic group and Islam empire. More than that Banjar become a distinguishing ideology that is with the existence of adagium "Islam is Banjar and Banjar is Islam." Banjar have come to the religious and culture conception, naming Banjar is to show the difference between Islam people anda Dayak people who are not Moslem. This article wish to re-trace Banjar as distinguishing ideology by re-read the Hikayat Bandjar, and studies bearing theory that "Banjar is Islam and Islam is Banjar." D. Penutup: Kenapa Asep Menjadi Banjar? Tulisan ini telah mengajak kita mengembara ke masa awal berdirinya kerajaan Banjar yang oleh para ahli diperkirakan pada dekade kedua abad-16, kemudian ke sepotong peristiwa pada zaman Pangeran Marhum, dan melihat sejenak pada perjumpaan Banjar-Islam dan Dayak-Katolik pada akhir abad 17. Tak dapat disanggah tulisan ini belum lengkap, dan hanyalah tulisan awal atau pembuka, karena ada banyak bagian-bagian penting yang masih belum dibahas sehubungan dengan munculnya kelompok etnik Banjar sebagai satu kekuatan sosial, politik dan agama di Kalimantan Selatan, misalnya peranan pemerintah kolonial Belanda dalam menciptakan kelompok suku Dayak Kristen sebagai kelompok antagonis untuk menggembosi kekuatan Banjar Islam (Idwar Saleh 1986: 11), peranan kelompok etnis Bakumpai yang menurut Helius Sjamsuddin (1988) adalah Dayak Islam yang gencar melawan Belanda dan menurut Schawaner (1853) telah menjadi Islam sebelum ada Kesultanan Islam Banjar. Begitu juga dengan peranan Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari, ulama besar Banjar. Walaupun demikian ada beberapa hal yang dapat dikatakan melalui tulisan ini: Pertama, bahwa sebelum terbentuk Kesultanan Islam Banjar, menurut Hikajat Bandjar belum ada etnis atau kelompok etnis Bandjar. Menurut Hikajat Bandjar yang ada pada waktu adalah orang-orang Jawa, Melayu dan Biaju, serta suku-suku lain. Pengamatan jeli terhadap proses awal berdirinya kesultanan Islam Banjar, bila dikaitkan dengan kelompok etnis yang terlibat pada waktu itu, akan menghasilkan kesimpulan bahwa empat orang Patih Biaju (bukan Islam) dan satu orang patih Melayu (Islam) mengangkat satu orang Jawa-Kaling (bukan Islam) untuk menjadi raja. Di sini kelompok Melayu adalah kelompok minoritas, karena itu sangatlah tidak mungkin dapat dikatakan sebagai inti nenek moyang suku Banjar. Idward Saleh (1991: 2) menolak pendapat ini, dengan tegas dinyatakan: Ketika Pangeran Samudera mendirikan kerajaan Banjar ia dibantu oleh orang Ngaju, dibantu patih-patihnya seperti patih Belandian, Patih Belitung, Patih Kuwin dan sebagainya serta orang Bakumpai yang dikalahkan. Demikian pula penduduk Daha yang dikalahkan sebagian besar orang Bukit dan Manyan. Kelompok ini diberi agama baru yaitu Agama Islam, kemudian mengangkat sumpah setia kepada raja, dan sebagai tanda setia memakai bahasa ibu baru dan meninggalkan bahasa ibu lama. Jadi orang Banjar itu bukan kesatuan etnis tetapi kesatuan Politik, seperti bangsa Indonesia. Ataukah telah terjadi kesalahan membaca Hikajat Bandjar yang ditulis oleh J.J. Ras, yaitu pada kalimat Tanjung Pura as a name for the oldest Bandjarese kraton ? (Ras 1968: 191), sehingga muncul kesimpulan "masyarakat Banjar telah terbentuk bersamaan dengan terbentuknya kerajaan Tanjungpura". Di sinilah imajinasi kolonial kaum indologist terbentang bagaikan jaring laba-laba halus yang menjerat dengan tanpa disadari. Johannes Jacobus Ras, orang Belanda kelahiran Rotterdam tahun 1926, tentunya menulis Disertasi doktoralnya di Leiden University ini pertama-tama adalah untuk para pembacanya yang adalah orang-orang Belanda, minimal untuk sang promotor Prof. Dr. A. Teeuw. Karena itu, ia mesti memakai bahasa, istilah atau idiom-idiom atau imaji-imaji yang dimengerti oleh orang Belanda. Salah satu imajinasi populer kolonial terhadap penduduk pulau Kalimantan adalah seperti yang dikatakan oleh Niewenhuis seorang guru besar di Universitas Leiden Belanda (orang Belanda lagi) bahwa: "Orang Dayak adalah penduduk asli pulau Borneo yang bukan orang Melayu. Orang Melayu ialah penduduk asli pulau Borneo yang beragama Islam dan bukan orang Dayak" (Niewenhuis 1894: 16). Atau seperti yang dipaparkan oleh Mallinckrodt (lagi-lagi orang Belanda dan tamatan Leiden) bahwa "Suku Banjar adalah suatu nama yang diberikan untuk menyebut suku-suku Melayu" (Mallinckrodt 1928: 48). Jadi dalam imaji orang-orang Belanda, Banjar adalah salah satu dari suku Melayu. Karena itu orang Melayu diaspora dari Sriwijaya pun digeneralisasi sebagai Banjar atau sebagai the oldest Bandjarese. Pendapat bahwa Banjar adalah salah satu suku Melayu juga didasarkan pada bahasa yang dipergunakan yang menurut Prof. J.J. Ras, ahli sastra Melayu Fakultas Sastra Universitas Leiden, sebagai the Bandjarese colloquial is a dialect of Malay rather than a separate language (Ras 1968: 8). Namun pendapat ini disanggah oleh para ahli Melayu moderen, misalnya James T. Collins, Profesor Alam dan Tamadun Melayu di Universiti Kebangsaan Melayu, karena kenyataannya bahasa Melayu tidak harus dituturkan oleh orang Melayu tetapi juga oleh orang-orang di kampung Kristen di Pulau Ambon (Collins 2003: v). Jerat halus "Leiden Gang" ini juga menggiring ke pemikiran bahwa penutur bahasa Melayu atau orang Melayu haruslah beragama Islam. Dalam tulisan-tulisan mengenai Banjar, kesimpulan yang sempit dan sederhana ini diderivasi dengan mengatakan "Banjar bukan hanya konsep untuk menunjukkan perbedaan suku, tapi juga agama" atau "Banjar menjadi identitas agama sekaligus suku"(contohnya lih. Salim 1996:227). Sehingga muncul kesan yang kuat bahwa "Banjar adalah Islam dan Islam adalah Banjar". Namun adalah bijak untuk mendengar apa dikatakan oleh Collins: Konsep Alam Melayu adalah konsep kultural yang berasaskan peranan bahasa Melayu dalam batas geografi Asia Tenggara. Alam Melayu tidak identik dengan dunia Islam-Melayu, karena banyak penutur bahasa Melayu tidak beragama Islam. Alam Melayu bukan konsep etnis karena banyak pengguna bahasa Melayu bukan orang Melayu. Sesungguhnya Alam Melayu lebih luas daripada wilayah masyarakat Melayu yang hanya sebagian dari Alam Melayu. Alam Melayu yang yang sangat kompleks itu memperlihatkan kadar diversitas yang sangat tinggi dalam hubungan bahasa dan masyarakat. Sayangnya, banyak ahli "Dunia Melayu" dan pakar "Nusantara" seakan-akan tidak menyadari diversitas itu. Biasanya mereka hanya mengungkapkan observasi dan mengulangi kesimpulan yang sempit dan sederhana. Pernah saya mendengar seorang "ahli" sedemikian berhujah bahwa ciri-ciri asas budaya Melayu adalah sarung dan keris! Rupanya "ahli" itu belum pernah ke Pulau Bali. (Collins 2003: vii-viii). Di sini tampak bahwa ada kesenjangan yang mencolok antara dunia wacana dan fakta empirik di lapangan. Seperti yang terjadi di Kuala Kapuas, Kalimantan Tengah, ada banyak keluarga Dayak Kristen memakai bahasa Banjar sebagai bahasa sehari-hari mereka di dalam rumah, tetapi mereka tetap Dayak dan beragama Kristen. Sebaliknya ada banyak keluarga Dayak Islam yang memakai bahasa Ngaju sebagai bahasa sehari-sehari mereka, tetapi mereka tetap Dayak dan tetap Islam. Contoh lain juga terdapat di Kalimatan Barat di mana ada kelompok-kelompok non-muslim yang berbicara menggunakan bahasa Melayu yang berasal dari Sumatera Selatan asalnya bahasa Melayu (Sandin 1956: 54-81). Atau seperti contoh lain yang dipaparkan Collins (2003: xv) bahwa orang Bosnia yang memeluk agama Islam 500 tahun yang lalu tetap berbahasa Bosnia dan beretnis Bosnia. Masyarakat Kurd di Asia Barat menganut agama Islam tetapi tidak pernah meninggalkan bahasa Kurdi mereka. Kajian mengenai Banjar telah mencapai puncak status quo ketika adigium "Banjar adalah Islam dan Islam adalah Banjar" dikerek tinggi kepuncak hingga menjadi tirai suci yang memberi rasa aman. Ketika berbicara mengenai studi Islam Banjar, Hairus Salim mengindikasikan status quo itu sebagai kemandekan serius yang muncul karena Islam Banjar hidup sendiri tanpa dialog dengan pemikiran-pemikiran Islam di luarnya (Salim 1996:242-43). Menurut saya untuk mengkaji Banjar pertama-tama kita harus menetralkan karakter status quo itu, yaitu dengan meneliti teks-teks yang dibuat oleh orang Banjar sendiri, sebelum mereka bertemu dengan teks-teks Barat yang sarat dengan ide-ide kolonial dari para indolog dan orientalist. Hal ini tentu saja sejalan dengan pikiran postkolonial Edward W. Said dalam bukunya Orientalisme yang memaparkan bagaimana Barat mendominasi, mendaur-ulang Timur untuk kemudian menguasainya. Barat, tidak hanya menulis mengenai Timur, tetapi juga mencipta Timur. Dalam kalimat Edward Said "bahwa budaya Barat mampu mengatur - bahkan menciptakan dunia Timur secara politis, sosiologis, militer, ideologis, saintifik, dan imajinatif" (Said 2001: 4). Dengan kata lain, harus ada kesadaran bahwa teks-teks Barat yang selama ini sering dipakai menjadi rujukan untuk mengatakan inilah Urang Banjar sesungguhnya kental dengan nuansa kolonial, produk para peneliti Barat yang telah membicarakan, meneliti, merepresentasikan Urang Banjar secara sewenang-sewenang. Jadi memang harus ada keberanian untuk menelusuri kembali asal-pangkal dari imaji-imaji yang sudah terlanjur tercipta mengenai siapa Urang Banjar itu. Memang harus ada kesungguhan untuk mempertanyakan, bahkan mencurigai teks-teks Barat itu sebab seperti yang dikatakan oleh Benedict Anderson "bahwa pertindihan kapitalisme dan teknologi cetak-mencetak dengan keragaman fatal bahasa manusia telah menciptakan kemungkinan lahirnya bentuk baru komunitas imajiner" (Anderson 1999: 84). Karena itulah maka "komunitas imajiner" yang bernama Urang Banjar , minimal dalam kasus Asep di atas, memanglah berlawanan, paling sedikit beda, dengan dunia empirik. Kedua, tulisan ini hendak memperlihatkan bagaimana sejarah memang selalu tampil berwajah ganda, positif sekaligus negatif. Demikian juga dengan sejarah Banjar ketika terjadi kontrak politik atau tunduk dengan Demak. Selain menganut Islam dan menang perang, ternyata ada sisi lain yang juga terjadi, yaitu hancur, lenyap dan runtuhnya satu fase berkebudayaan di Kalimantan Selatan. Tim editor Sejarah Banjar memaparkan sisi lain dari "ketertundukkan" itu dengan kalimat "Agama Hindu runtuh dan agama Islam menggantikannya. Candi Agung dan Candi Laras dihancurkan, kebudayaan Hindu lenyap sebagai tak pernah ada kebudayaan itu di Kalimantan Selatan sebelumnya".(2003: 68, bandingkan Usman 1994: 33). Hal yang senada juga diungkapkan oleh Idward Saleh dengan mengatakan "bahwa pada saat Islam masuk telah terjadi penghancuran dan perusakan atas benda-benda keagamaan (iconclasm) umat Hindu sehingga rakyat tidak memiliki sedikit pun pengertian tentang apa sebenarnya bentuk candi dan fungsinya" (1983/1984: 24). Di sini sejarah memang selalu memperlihatkan jejak-jejak penaklukan atau penghancuran tatanan lama oleh tatanan baru yang datang dari luar. Sisi lain lagi dari kontrak politik Pangeran Samudera adalah Banjarmasin dilibatkan untuk melawan musuh Demak yaitu Portugis. Karena itu Banjarmasin dituntut untuk membangun komunitas etno-religi yang berdasarkan Islam sebagai oposisi dari Portugis yang Katolik. Di sini borok Perang Salib dipentaskan dengan membangun tapal batas agama yang dilumeri wacana kafir dan tidak kafir, insider dan outsider, in group dan outgroup. Namun sangat tidak disadari bahwa ketika kesultanan Banjar mencoba membangun komunitas etno-religi yang berdasarkan Islam maka pada saat yang sama, secara tidak langsung, ia juga sedang membangun etno-religi yang lain, yaitu Katolik Dayak di daerah pedalaman. Di sini bisa dikatakan bahwa pergulatan antara Muslim Banjar dan Portugis Katolik mepertegas pola yang sudah ada sebelumnya pada kerajaan-kerajaan Melayu yaitu Islam tidak lebih daripada sekadar simbol persekutuan politik yang berhadapan dengan simbol persekutuan politik yang lain yaitu Katolik. Dalam pertarungan dua kekuatan besar inilah muncul Banjar dan non-Banjar serta Dayak dan non-Dayak Maka tampaklah motif betapa pentingnya konsep bahwa Banjar itu Islam dan Islam itu Banjar. Dengan demikian, kelompok etnis Banjar muncul bukanlah sebagai hasil jalan-jalan para Melayu diaspora yang konon datang dari Sriwijaya, tetapi lebih merupakan produk dari sebuah proses sosial-politis beberapa kelompok masyarakat, yang kehidupan ekonominya didasarkan pada eksploitasi daerah pedalaman dan perdagangan internasional, dan kemudian menjadikan Islam sebagai "spirit" pemersatu sekaligus pembeda dengan orang Portugis atau orang-orang Ngaju yang seagama dengan orang Portugis. Namun kesimpulan ini bukan barang baru. Secara sayup-sayup kurang lebih 20 tahun yang telah liwat, Idwar Saleh menulis: Untuk proses perkembangan selanjutnya agama Islam berfungsi mempersatukan kelompok atau memisahkan dan menjadi kriteria antara beradab dan belum beradab, antara orang Banjar dan bukan Banjar. Jadi waktu masih belum ada agama Islam dan Kristen masuk, belum ada yang memisahkan suku-suku ini. Waktu agama Islam masuk mulailah pemisahan itu. (bold dari penulis-MM) (1983/1984: 11) Dengan demikian, maka bisa dikatakan bahwa Urang Banjar bukanlah sebuah komunitas kultural tetapi lebih kepada komunitas politik, di mana di dalamnya bisa ada banyak kultur dan etnis. Ketiga, bahwa diteropong dari kekayaan spiritual suku Dayak Ngaju yang menempatkan Marhum Panembahan, Sultan Islam Banjar ke-4, sebagai salah satu pantheon di Alam Atas, ternyata istilah Islam Banjar bukanlah satu istilah yang monokultur. Di dalamnya ada Islam Ngaju (dan juga Islam Bakumpai), karena memang ada banyak orang Ngaju memeluk agama Islam. Kembali diperlihatkan satu kenyataan lain, ternyata baik Islam maupun Banjar tidak menjadi melting pot atau kuali padodolan yang bertujuan meyeragamkan semua pengalaman agama dan budaya seseorang tetapi lebih tepat menjadi salad bowl atau piring gado-gado. Karena sesungguhnya orang tidak betul-betul melebur menjadi satu meninggalkan identitas asalnya untuk kemudian luluh dalam Melayu yang katanya adalah kultur dominan pada masyarakat Banjar. Minimal pada periode Marhum Panembahan kita bisa melihat ada wajah Ngaju atau Biaju mendominasi istana kesultanan Banjar. Hal ini memang menjadi fakta yang mendekonstruksi ide oposisi biner warisan kolonial yang mengatakan bahwa Dayak itu non-Muslim dan Banjar itu Muslim. Ternyata bahwa, sejak abad ke-17 di "ring satu" istana Kesultananan Banjar, Dayak tidak hanya non Muslim tetapi juga Muslim (dan Banjar). Sehubungan dengan adanya oposisi binner warisan kolonial itu, sebagai orang yang hidup pada era post kolonial, rasanya sulit untuk menerima adigium atau jargon "Banjar itu Islam, Islam itu Banjar" yang bukan hanya sulit dimengerti secara historis, melainkan juga sukar dipahami secara sosiologis. Sebab, dari berbagai catatan sejarah diperlihatkan bahwa jauh-jauh hari sebelum para tentara Demak datang ke Banjarmasin dan memperkaribkan nilai-nilai Islam kepada masyarakat dan raja-raja di Banjar, sudah melembaga rupa-rupa keyakinan dan bermacam-macam ritus yang bukan Islam. Demikian pula secara sosiologis kita dapat merasakan bahwa jargon tersebut seperti memendam kecenderungan untuk tidak toleran terhadap keberagaman Banjar. Kita tahu, bagaimanapun, hingga kini Banjar itu tidak satu warna, melainkan serupa bianglala. Dan tiap-tiap warna ke-Banjaran tentu memiliki hak hidupnya sendiri. Pada sisi lain, fakta ini juga memperlihatkan bahwa di antara oposisi binner yang bertentangan itu terdapat ambiguitas atau ruang celah yang menjadi wilayah terlarang sehingga tabu diperbincangkan. Di celah yang sempit itu, yang adalah penjara kenangan masa lalu, terdapat saudaraku Asep yang harus menjadi Banjar. Akhirnya dapat dimengerti kenapa Asep bingung ketika ditanya "Kenapa menjadi Banjar?". Banjarmasin 10 Oktober 2004 Daftar Pustaka Anon, 1995 Panaturan, Palangkaraya: Majelis Besar Agama Hindu Kaharingan, (Cetakan ke-5). Azra, Azyummardi 5 Jaringan Ulama: Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, Bandung: Mizan Baier, Martin 2002 "Contribution to Ngaju History," dalam Borneo Research Bulletin Vol. 33, Borneo Research Council Bagian Dokumentasi dan Penerangan Kantor Wali Gereja Indonesia, 1974 Sejarah Gereja Katolik Indonesia, Jilid I, Jakarta: Kantor Waligereja Indonesia Becker, J.F. 1849b "Het district Poelopetak. Zuid en Oostkust van Borneo," Indische Archife 1 jrg, I Bistany, Syarif 2004 Hikayat Banjar: Pangeran Samudera Sultan Suriansyah (Kanjeng Sunan Batu Habang), Banjarmasin: Badan Pengelola dan Pemelihara Makam Sultan Suriansyah (Kanjeng Sunan Batu Habang). Cense. A. B. 1928 De Kroniek van Bandjarmasin, Amsterdam: Zantpoort. Collins, James T. 2003 "Alam Melayu dan Masyarakat Embau," dalam Yusriadi dan dan Hermansyah, Orang Embau: Potret Masyarakat Pedalaman Kalimantan, Pontianak: STAIN Pontianak bekerjasama dengan The Ford Foundation dan Yayasan Adikarya IKAPI. Daud, Alfani.1997 Islam dan Masyarakat Banjar: Deskripsi dan Analisa Kebudayaan Banjar, Jakarta: Rajawali Press. Eller, Jack dan Coughlan, Reed. 1996 "The Foverty of Primordialism," dalam John Hutchinson dan Anthony D. Smith, Ethnicity, Oxford-New York: Oxford University Press Garang, Johannes E. 1974 Adat und Gesellschaft. Eine Sozio-Ethnologische Intersuchung zur Darstellung Des Geisters- und Kurturlebens Dajak in Kalimantan, Wiesbaden: Frans Steiner verlag. Geertz, C. 1996 "Primordial Ties," dalam John Hutchinson dan Anthony D. Smith, Ethnicity, Oxford-New York: Oxford University Press. Hardeland, August 1858 Dajacksch-Deutsches Wörterbuch, Amsterdam: Muller. Hawkin, Mary. 2000 "Becoming Banjar: Identity and Ethnicity in South Kalimantan, Indonesia," in The Asia Pacific Journal of Anthropology Vol. 1, Number 1, Canberra: The Australia National University. Hudson, A.B.1967 Padju Epat: The Ethnography and Social Structure of A Ma'anjan Group in Southeastern Borneo, Disertasi Doktoral di Cornell University yang diterbitkan oleh University Microfilms. 1972 Padju Epat: The Ma'anyan of Indonesian Borneo, New York Chicago San Fran Atlanta Dallas Montreal Toronto London Sydey: Holt, Rinehart and Winston, Inc. Jones, Russel 1979 "Ten Conversion Myths from Indonesia," dalam Nehemia Levztion (ed.), Conversion to Islam, New York and London: Holmes & Meier. Kartodirjo, Sartono 1992 Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900 Dari Emporium Sampai Imperium Jilid 1, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama Knapen, Hans. 2001 Forest of Fortune?: The environmental history of South Borneo, 1600-1880, Leiden: KITLV Press Lambut,M.P. 1992 "Perlukah Mendayakkan Orang Dayak," dalam Kalimantan Review No. 02 Tahun I Juli-Desember 1992, Pontianak: LP3S Institute of Dayakology Research and Development Orang Banjar: Jati Diri dan Pandangan Hidupnya, Banjarmasin: Makalah tidak diterbitkan Mallinckrodt, J. 1928 Het adatrecht van Borneo. dl. 1-2. Leiden: M. Dubbeldemand Moedjanto, G. 1987 Konsep Kekuasaan Jawa: Penerapannya oleh Raja-raja Mataram, Jogyakarta: Penerbit Kanisius. Muller, Karl. t.t. Introducing Kalimantan, Singapore: Periplus Edition, 47 Nieuwenhuis, A.W. 1907 Quer durch Borneo, Leiden: Brill, 2 vols. Perelaer, M.T.H., 1870 Ethnographische Beschrijving der Dajaks, Zalt-Bommel Uitgave van John. Noman & Zoon. Pijnappel, J. 1960 "Beschrijving van het westelijk gedeelte van de Zuider-en Oosterafdeeling van Borneo," dalam Bijdragen tot de Taal-, Land-, en Volkenkunde van het Koninklijk Instituut VIII. Ras, J.J. 1968 Hikajat Bandjar: A Study in Malay Historiography, The Hague: Martinus Nijhoff Reid, Anthony. 2004 Sejarah Moderen Awal Asia Tenggara, Jakarta: Pustaka LP3ES. Riwut, Nila 2003 Manaser Panatau Tatu Hiang (Menyelami Kekayaan Leluhur), Palangka Raya: Pusaka Lima Riwut, Tjilik, 1957 Kalimantan Memanggil, Djakarta: Penerbit Endang Roy, Jacob Jansz de. 1706 Hachelijke Reys-Togt van Jacob Jansz de Roy, na Borneo en Achin. In sijn vlugt van Batavia, de waards ondernoomen in het Jaar 1691, en vervolgens. Leiden. Saleh, Idwar 1958 Sejarah Bandjarmasin: Selajang Pandang Mengenai Bangkitnja Kerajaan Bandjarmasin, Posisi, Funksi dan Artinja Dalam Sedjarah Indonesia Dalam Abad Ketudjuhbelas. Bandung: Balai Pendidikan Guru 1975 Banjarmasih: Sejarah Singkat Mengenai Bangkit dan Berkembangnya Kota Banjarmasin Serta Wilayah Sekitarnya Sampai dengan Tahun 1950. Banjarmasin. 1984 Rumah Tradisional Banjar: Rumah Bubungan Tinggi, Banjarmasin: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Museum Negeri Lambung Mangkurat. 1986 Sekilas Mengenai Daerah Banjar dan Kebudayaan Sungainya Sampai Akhir Abad-19, Banjarmasin: Museum Negeri Lambung Mangkurat Propinsi Kalimantan Selatan 1991 Perang Banjar 1859-1865, Makalah yang dipresentasikan pada hari Jumaat, 15 Maret 1991 di ruang auditorium Museum Negeri Propinsi Kalimantan Selatan Lambung Mangkurat Banjar Baru. Salim, Hairus.1996 "Islam Banjar, Relasi Antar Etnik, dan Pembangunan," dalam Tim Redaksi DIAN , Kisah Dari Kampung Halaman : Masyarakat Suku, Agama Resmi dan Pembangunan, Yogyakarta: DIAN/INTERFIDEI. Sandin, Benedict 1956 "The westward migration of the Sea Dayaks." Dalam Sarawak Museum Journal No. 7 Schrieke, B. 1957 Indonesian Sociological Study, The Hague: Van Hoeve Schawanner, C. A. L. M. 1853 Borneo. (2 vols). Amsterdam: PN van Kampen Sjamsuddin, Helius, 1987 Fighting Dutch in The Nineteenth and Early Twentieth Centuries: The Social, Political, Ethnic and Dynastic Roots of Resistance in South and Central Kalimantan 1859-1906, Ph.D. Dissertation at Monash University Tim Editor Sejarah Banjar 2003 Sejarah Banjar, Banjarmasin: Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah Propinsi Kalimantan Selatan Tsing, Anna Lowenhaup, 1998 Di Bawah Bayang-bayang Ratu Intan: Proses Marjinalisasi Pada Masyarakat Terasing, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Usman, M. Gazali 1994 Kerajaan Banjar: Sejarah Perkembangan Politik, Ekonomi, Perdagangan dan Agama Islam, Banjarmasin: Lambung Mangkurat University Press. Ugang, Hermogenes. 1983 Menelusuri Jalur-jalur Keluhuran, Jakarta: BPK Gunung Mulia 1987 Belanga-belanga Keramat: Sebuah Penilaian Antropologis - Teologis tentang Pandangan Orang Dayak Kalimantan Tengah Mengenai Harta Kekayaan Material, Disertasi Doktoral di The South East Asia Graduate School of Theology yang diselenggarakan di Sekolah Tinggi Teologi Jakarta, Tahun 1987. Van Peursen, C.A. 1988 Strategi Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius. Van den End, Th.2001 Ragi Carita I, Jakarta: BPK Gunung Mulia Vansina, Jan. 1965 Oral Tradition: A study in Historical Methodology. H.M. Wright (translated), Australia: Penguin Books. Terakhir diperbaharui ( 24-Januari-2005 06:21:26 ) [Non-text portions of this message have been removed] ------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> Take a look at donorschoose.org, an excellent charitable web site for anyone who cares about public education! http://us.click.yahoo.com/O.5XsA/8WnJAA/E2hLAA/BRUplB/TM --------------------------------------------------------------------~-> *************************************************************************** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.uni.cc *************************************************************************** __________________________________________________________________________ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED] 5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED] 6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED] Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/