Surat dari Monmartre: MEMBACA ULANG "SELASAR KENANGAN" Kumpulan Cerpen Srikandi Apsas Tebal:95 hlm + xx. Penerbit:Akoer, Jakarta, Juni 2006 [Turut Menyambut ulta ke-3 Milis Apresiasi Sastra] Pesan pribadi Prof. Dr.Denys Lombard kepadaku, puluhan tahun lalu ketika aku menjadi mahasiswa bimbingannya, masih terngiang di telinga: "Ambillah jarak dalam melihat masalah. Jangan jadi partisan dalam menganalisa dan menulis. Lihatlah masalah sebagaimana adanya masalah tanpa emosi". Maksudnya katakan putih pada yang putih, dan katakan hitam pada yang hitam. Dalam hal ini motto yang sering digunakan oleh Saut Situmorang yang dipungutnya dari George Orwel, bahwa "kebenaran itu revolusioner", kukira mengandung kebenaran dan memberi bimbingan pikiran dalam bersikap menjawab kenyataan yang pelik. "Ambil jarak", dan jangan campurbaurkan emosi dengan analisa nalar kalau mau memberi makna pada hari ini membangun esok , dan kalau tak mau seperti keledai tersandung beberapa kali di batu yang sama, adalah pesan yang kucoba pegang selalu semaksimal mungkin. Sikap partisan, sering membuat kita emosional , subyektif, membela sesuatu cara membuta jika berhadapan dengan suatu masalah. Dalam kondisi dan ingatan akan nasehat inilah, aku membaca ulang "Selasar Kenangan", semacam kumpulan petilan otobiografi dari sembilan penulis yang disebut sebagai "Srikandi Apsas". Mereka adalah Anjar, Mindo Hutagaol, Rita Úachdris, Feby Indirani, Ita Siregar, Anindita, Widzar Al-Ghifary, Lik Kismawati, dan Riris Yulianti. Dengan bersangukan pesan dan kondisi demikian, aku merasa bisa membebaskan diri dan bisa berdialog bebas dengan diri sendiri secara jujur, tanpa pengaruh oleh subyektivisme, mengurangi faktor suka dan tidak suka . Dialog dengan diri sendiri inilah yang sekarang ingin kucatat seusai membaca ulang "Selasar Kenangan" , lebih sebagai suatu garis bawah dan tidak bisa dipandang sebagai suatu resensi dan sejenis tulisan serius. Sesudah membacanya ulang, mulai dari karya kolektif "Waktu Bukan Milikmu", melalui Kata Pengantar yang ditulis oleh Djodi Budi Sambodo, "Pesona Sastra dan Sihir Tehnologi" sampai kepada sembilan cerpen yang terpilih sebagai cerpen-cerpen terbaik dalam lomba cerpen milis apresiasi-sastra tahun 2006, saya sempat . terpekur merenung rumitnya yang oleh sementara penulis disebut sebagai "kuda jalang" tak terkendalikan yang sering secara tak terduga membanting penunggangnya yaitu masing-masing kita, dari punggungnya. Karya kolektif "Waktu Bukan Milikmu", membawa ingatanku akan tari kolektif dan sastra lisan yang masih hidup di berbagai masyarakat di daerah-daerah terpencil yang terletak di hulu-hulu sungai atau kaki pegunungan. Lahirnya karya kolektif ini, dari segi psikhologis dan jiwa, bagiku seakan memperlihatkan keinginan satu dan yang lain untuk memahami serta menyelaraskan pikiran dan perasaan masing-masing untuk melahirkan suatu karya bersama bernama puisi. Dan puisi itu bisa berarti kehidupan yang majemuk . Toleran. Saling isi, bukan saling meremukkan. Dalam sejarah sastra dunia, ambil misalnya karya klasik Tiongkok "Water Margin" [Di tepi Air] -- sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia -- yang barangkali lerupakan sumber cerita silat di Indonesia, merupakan suatu karya kolektif dari beberapa dinasti. Karya puisi kolektif ini juga mengingatkan debat pada masa tahun-tahun 60an, pada masa pemerintahan Soekarno. Debat itu berkisar pada pendapat bahwa karya seni merupakan karya individual, tidak mungkin dilakukan secara kolektif. Sedangkan pendapat lain mengatakan mungkin. Misalnya pementasan baik yang kekinian atau pun yang "tradisional" seperti ketoprak, ludruk, wayang, dan lain-lain, tidak mungkin dilakukan hanya oleh satu orang. Untuk membuktikan pendapat terakhir ini, para pelukis Lekra, pada waktu itu menciptakan karya-karya lukis dan poster bersama. Ketika berada di Yogyakarta November tahun lalu, di Bintaran aku dengar Djoko Pekik dan pelukis-pelukis Yogya lainnya, dalam rangka memperingati ulta Bentara -- cq. Yacob Utama -- melukis secara kolektif wajah Yacob. Di Yogya pula , sampai larut malam, aku diundang menyaksikan para pelukis kota budaya ini mengerjakan lukisan mural di tiang-tiang tol. Lukisan mural di Yogya, menurut keterangan, merupakan sesuatu hal yang umum dan walikotanya menyokong secara nyata. Semangat kolektivitas begini, semangat maju bersama, toleransi , saling isi dan memahami menjadi penting di tengah individualisme yang digalakkan oleh globalisasi kapitalisme yang oleh kelompok Alter Mondial Porto Alegre, disebut sebagai "Menjual Dunia Dan Manusia". Semangat ini pun, kukira perlu digarisbawahi di tengah iklim kekerasan dan sektarisme seperti fanatisme misalnya. Puisi "Waktu Bukan Milikmu", menurut Akmal Basery Basral selaku penyelia, "ditulis oleh puluhan anggota Apresiasi Sastra. Setiap anggota boleh menyumbangkan lebih dari satu baris puisi asal tidak dalam baris yang berturutan". Lahirnya puisi kolektif "Waktu Bukan Milikmu" dari segi teoritis membuatku bertanya-tanya pada diri, apakah karya ini bukannya merupakan salah satu ujud di bidang puisi apa yang disebut Lekra dulu sebagai pemaduan "kreativitas individu dan massa"? Kalau pun pertanyaan ini keliru bahkan salah [dari segi teoritis dan konsepsional sastra-seni buat sementara orang], tapi puisi kolektif tertulis dalam bahasa Indonesia sudah ada contoh nyatanya, walau pun secara jumlah masih terbatas. Paris, Januari 2008. --------------------------- JJ.Kusni, pekerja biasa pada Koperasi Restoran Indonesia, Paris. [Berlanjut ....]
--------------------------------- Tired of visiting multiple sites for showtimes? Yahoo! Movies is all you need [Non-text portions of this message have been removed]