Ia yang Roboh di Atas
Panggung Oleh SONI FARID MAULANA walau Indonesia menangis mari kita tetap bernyanyi ITULAH dua larik puisi yang dilantunkan oleh penyair Hamid Jabbar, pada Sabtu malam (29/5) sekira pukul 22.58 WIB di panggung terbuka Universitas Islam Negeri (UIN) Syarief Hidayatullah, Jakarta, dalam acara diesnatalis universitas tersebut yang kedua. Larik-larik puisi yang entah apa judulnya itu, dibacanya sebelum rubuh ke lantai pertunjukan, yang disangka sebagian orang sebagai aksi di atas panggung. "Kok begitu lama terkapar di lantai. Saya curiga, jangan-jangan ia roboh beneran. Ketika didekati ternyata ia tak sadarkan diri. Setelah itu, lalu kami membawanya ke ruang BEM Universitas UIN. Tak lama kemudian Bang Hamid Jabbar meninggalkan kita untuk selama-lamanya. Ia dipanggil Yang Maha Kuasa sekira pukul 23.00 WIB. Inna lillahi wa inna ilaihi raaji'un" ujar penyair Jamal D. Rahman, di ujung telefon sana dengan suara tersekat duka, dalam percakapannya dengan "PR", Minggu Pagi (30/05). Saat itu, kata Jamal lebih lanjut, penyair Hamid Jabbar, Putu Wijaya, musikus Franky Sahilatua, Frans Magnis Suseno, dirinya, dan beberapa penampil lainnya diminta pihak panitia untuk mengisi acara tersebut. "Dalam acara sebelumnya Bang Hamid masih sempat orasi. Setelah Putu Wijaya dan saya tampil membacakan puisi, yang harus tampil adalah Bang Franky untuk menyanyikan sejumlah lagu ciptaannya. Tapi di balik panggung Bang Hamid minta waktu pada Franky untuk membacakan sebuah puisinya yang saya yakin puisi baru, entah apa judulnya. Alasan ia minta waktu baca puisi, karena pada penampilan pertama tadi ia hanya berorasi. Jadi ia ingin betul baca puisi pada saat itu. Ia tampak gembira ketika Frangky memberinya izin. Pada penampilan kedua inilah Bang Hamid roboh, yang kata dokter ia meninggal terkena serangan jantung. Itulah penampilan Bang Hamid untuk terakhir kalinya," papar Jamal yang juga dikenal sebagai Redaktur Pelaksana Majalah Sastra Horison. Saya sendiri mendengar kabar duka itu, sekira pukul 11.49 WIB dari penyair Ahda Imran dengan tangis tertahan di dadanya. Setelah itu berturut-turut saya terima sms dari penyair Agus R. Sardjono, Nenden Lili A, dan penyair Ahmad Syubbanuddin Alwy. Ketika mendengar khabar yang tidak pernah saya duga itu, sesaat saya tidak percaya mendengarnya. Saya menduganya ada orang yang tengah gurau. Tapi setelah suara itu lenyap dari pendengaran, saya tersadar kembali, bahwa dalam kondisi apapun, Allah SWT Maha kuasa memanggil hambanya ke hadapan diriNya dalam keadaan apapun. ** KENANGAN demi kenangan berlintasan kembali dalam benak saya. Pertemuan saya terakhir dengan penyair yang paling memukau baca puisinya dalam acara Puisi Internasional Indonesia 2002 di Bandung, adalah pada 21 April 2004 malam di Majalah Sastra Horison, Jln. Galur Sari II No. 54, Utan Kayu Selatan, Jakarta. Kami, saya, penyair Acep Zamzam Noor dan Hamid Jabbar pada malam itu, sama-sama menginap di kantor majalah tersebut, karena pada pagi harinya kami sama-sama menuju Bandara Cengkareng, meski beda tujuan. Saya dan Acep pergi ke Banjarmasin untuk menghadiri acara Sastrawan Bicara Siswa Bertanya (SBSB) yang diselenggarakan oleh Majalah Sastra Horison bekerjasama dengan Ford Foundation, sedangkan Hamid Jabbar pergi ke Bangka, ikut meramaikan kampanye Partai Keadilan Sejahtera (PKS) bersama teaterawan Chairul Umam, yang lebih dikenal sebagai sutradara film kawakan di negeri ini. Baik ketika sebelum tidur, maupun ketika menempuh perjalanan dari kantor majalah sastra Horison menuju Bandara Cengkareng, kami banyak bercakap-cakap tentang berbagai hal di negeri ini, khususnya tentang semakin meningkatnya korupsi di negeri ini, yang anehnya semua itu justru terjadi dalam pemerintahan Orde Reformasi. "Apa yang salah dengan negeri ini? Siapa lagi yang harus kita percaya, yang kita pilih ternyata maling," katanya pada saat itu. Selain itu, ia juga menyinggung pembakaran karya instalasi perupa Tisna Sanjaya oleh Satpol PP Kota Bandung, yang disesalkannya. Sebagai penyair, Hamid memang mempunyai perhatian yang serius terhadap berbagai gejolak sosial-politik yang terjadi di negeri ini. Hal itu bisa kita baca dalam sebuah kumpulan puisinya yang diberi judul Super Hilang, Segerobak Sajak Hamid Jabbar. Buku setebal 397 halaman itu, diterbitkan oleh Balai Pustaka, Jakarta. Inilah sebuah antologi puisi yang diwariskannya pada kita, yang terdiri dari enam kumpulan puisi, yang ditulisnya dari 1972-1998. Salah satu bait dari puisinya yang diberi judul Super Hilang ini, sebagai berikut: Ingat, tekdung tralala, kita ini Bangsa Hilang, hilang penuh/ kesadaran, siap sedia menghilang dari muka bumi yang/ fana ini. Inilah jalan spiritualitas kita, jalan mendaki yang/ terpaling dari segala puncak segala sukses, jalan yang/ tak difahami warga bangsa-bangsa lain, bangsa asing,/ juga yang sengaja dan pura-pura dilupakan para/ pembangkang yang sok asing di negeri sendiri!// Puisi di atas secara esensial mengungkap berbagai persoalan yang yang menimpa bangsa dan negara ini, mulai dari hilangnya moralitas orang-orang pilihan yang justru melakukan pengkhinatan terhadap mereka yang memilihnya; dengan cara melakukan tindak korupsi, maraknya tidak kriminal, dan pembunuhan dengan berbagai motif. Pada sisi yang lain mengungkap pula hilangnya moralitas sebagian masyarakat kita, yang tidak lagi merasa berdosa ketika mempertunjukan auratnya, yang justru dieksploitasinya sebagai tambang uang. Pendek kata puisinya itu berbicara tentang banyak hal, yang juga erat kaitannya dengan ekses negatif dari arus globalisasi nilai-nilai, serta konseps-konsepsi budaya, politik dan ekomoni bangsa asing terhadap bangsa dan negara ini. Untuk itu, tak aneh bila Hamid Jabbar dalam percakapannya itu mengatakan pada saya dan Acep, bahwa kita hidup di negeri yang luka, negeri yang memberi banyak kemudahan kepada para penyamun, sementara kepada orang-orang yang memperjuangkan nilai-nilai keislaman sebagai jalan hidup, justru ditangkap dan difitnah sebagai biang teroris. "Para koruptor itu lebih berbahaya dari teroris. Saya belum melihat satu pun batang hidung koruptor kakap di negeri ini ditembak mati, seperti yang terjadi di Korea atau di Cina. Jika tindakan hukum semacam ini tidak diberlakukan di negeri ini, jangan harap negeri ini akan terbebas dari berbagai tindak kriminal yang justru di lakukan oleh oknum-oknum pejabat, oknum-oknum pegawai negeri, dan oknum-oknum yang terhormat wakil rakyat," tandasnya. ** PENYAIR kelahiran Kota Gadang, Bukittinggi, Sumatra Barat 27 Juli 1949 itu, adalah salah seorang tokoh sastrawan Angkatan '70-an, yang terkenal dengan puisi panjangnya, berjudul Indonesiaku yang ditulisnya pada tahun 1978. Selain itu, ia juga dikenal sebagai penyair yang peka terhadap nilai-nilai religius yang bernafaskan Islam. Ia seangkatan dengan penyair Sutardji Calzoum Bachri dan Abdul Hadi W.M., yang pada awal masa pertumbuhan kepenyairannya, dikembangkannya di Bandung. Ketiganya sering mangkal di Gang Masjid, Cicadas, di rumah pelukis Jeihan Sukmantoro. Sebuah puisinya yang digali dari nilai-nilai religius bernafaskan Islam itu, seperti di bawah ini: Pantai Pantai musafir sampai Laut rindu melambai Bulan perahu Nuh Puncak langit penuh Dalam gemuruh seluruh Salam semesta salam Zarrah nur pasrah Ya Allah Puisi tersebut ditulis pada tahun 1981. Seperti penyair Sutardji Calzoum Bachri dan Ibrahim Sattah, penyair Hamid Jabbar adalah jenis penyair Indonesia yang sangat memperhatikan unsur bunyi dalam penulisan puisi-puisinya. Tema religius yang diangkat generasi Angkatan 70-an ini, memang bukan hanya dikembangkan oleh tiga sastrawan tersebut. Dalam bidang penulisan cerita pendek dan novel pun bisa pula kita dapatkan, seperti apa yang dikembangkan oleh Danarto dan Kuntowijoyo. Lepas dari itu semua, dengan meninggalnya Hamid Jabbar, kita patut berduka. Kita memang kehilangan besar, tapi apa mau dikataka, tak ada seorang pun yang kuasa menolak kehendak Allah SWT. Semoga apa yang ditinggalkan Hamid lewat sejumlah karyanya itu, memberikan manfaat yang cukup berarti bagi hidup kita di muka bumi, dan karena itu menjadi amalan yang baik bagi almarhum yang kini tengah menghadapNya, untuk selama-lamanya. Selamat jalan, Bang Hamid. Semoga Allah SWT melimpahkan segala ampunan dan rahmatNya baik kepada Bang Hamid maupun kepada keluarga Bang Hamid, yang Abang tinggalkan untuk selama-lamanya.*** |
____________________________________________________ Berhenti/mengganti konfigurasi keanggotaan anda, silahkan ke: http://groups.or.id/mailman/options/rantau-net ____________________________________________________