----- Original Message -----
. Waktu dirumah Baridjambek bundo mengharapkan kedatangan nanda Evi karena
keterpurukan Minangkabau seperti yang disebut-sebut itu diakibatkan oleh
ibu-ibu yang sudah meninggalkan peranannya sebagai ibu Minang yang mengajarkan
anaknya tidak terlepas dari agama, adat, dan tata tertib moral. Dengan ikutnya
Evi kedalam RN Discussion tersebu t akan menambah warna dan sumbangan untuk RN
Discussion dan bundo ingin kita ketemu.
----
Ass.wr.wb.
Bun, maaf yah telat membalasnya habis PR yang Bunda kasih susah
jadi Nanda perlu bolak-balik "kebetan" dulu. Tapi untung juga ada yang
kasih amunisi dari belakang ( thanks to you :-) ) dan semoga hasil
pemikiran nanda yang singkat ini tidak malu2in Bunda amat lah.
So sekarang sepertinya kita harus membahas wacana yang agak berbau tuduhan
bahwa ibu-ibu Minang sekarang sudah meninggalkan peranannya sebagai ibu
Minang yang mengajarkan anaknya yang tidak terlepas dari agama, adat, dan tata
tertib moral, ya Bun? Dan itu lah sebabnya mengapa Minangkabau terus
terjun bebas ke bawah jurang tak bertepi. Weleh! Saya jadi terbahak dalam
hati, jika pendidikan merupakan suatu lembaga dalam adat Minang, sejak
kapan sih ibu-ibu Minang itu berperan dalam satu lembaga? Jawabnya nol besar
kan, Bun?
Coba Bunda lihat pada lembaga sistem kekerabatan, lembaga nagari,
lembaga suku, lembaga penghulu atau lembaga lango-langgi adat atau dalam skop
yang paling kecil dalam keluarga, bilakah Bundo Kanduang tampil ke muka
sebagai pengambil keputusan? Dalam sistem kekerabatan seperti perkawinan
misalnya sejak kapan Bundo Kanduang yang menentukan sebuah perkawinan bisa di
lakukan atau tidak? Atau dalam sistem kepenghuluan, apa pernah Bundo Kanduang
menyandang gelar terhormat tersebut? Yang ada adalah lembaga-lembaga ini
diisi oleh kekuasaan patriakhi (yang sangat berbau kolonialisme),
kekuasaan yang sangat kelaki-lakian, macho dan tidak pernah bersingungan
dengan feminimitas Bunda-Kanduang yang dengan cerdik telah di kristalkan dalam
pameo domestik; Limpapeh Rumah Gadang.
Walaupun kebanyakan orang minang bangga mengatakan bahwa adat mereka yang
matrilineal ini sangat demokratis dan egaliter, nasib kaum perempuan Minang
tidak lah lebih baik dari nasib perempuan negara2 miskin manapun di belahan
bumi ini. Konsep liberte, equalite dan fraternite yang di percayai orang
sebagai landasan nilai-nilai universal kemanusian tidak mendapat tempat dalam
adat Minangkabau. Bahkan dalam posisinya sebagai pewaris harta pusaka
sekalipun, perempuan Minang tetap tersubordinasi dalam bidang ekonomi,
bisu dalam bidang politik Nagari, membeku dalam stigmatisasi perlindungan semu
sebagai limpapeh rumah gadang.
Dan sekarang di katakan makhluk yang termarjinalkan oleh kekuasaan ninik
mamak (dalam skop yang lebih luas tentu pemerintah) atau kalau mau
lebih keras sedikit sebagai secondary creation tsb bertanggung jawab atas
keterpurukan ranah Minang? Alah...alah...Antah sia nan mengecek tapi nan jaleh
di ambo alah bapeteh-peteh kaji ko du.
Yang lebih patut di salahkan menurut "kebetan" saya adalah sistem
pendidikan ciptaan Orde Baru yang selama 32 tahun tampaknya sudah berhasil
menuai dengan munculnya generasi2 patuh. Berotak penuh dengan P4 dan
rajin mengikuti pemilu setiap lima tahun sekali. Ketika duduk di
birokrasi menjadi seorang birokrat yang otoriter, gagap pada wacana
keadilan, dan konsep persamaan gender di hantam sebagai benda asing yang
datang dari Barat. Dari barat berarti belum tentu cocok sebagai milik
bangsa Indonesia.
Bun, kalau mau menjadikan Minang sebagai the center of exelence maka
fokuskanlah perhatian pada perbaikan mutu pendidikan atau jika mau lebih
mengerucut lagi fokuskan perhartian pada perbaikan mutu pendidikan
perempuan.Dari beberapa literature yang pernah saya baca mengatakan bahwa ibu
yang cerdas jarang sekali menghasilkan anak2 yang dungu, tidak bisa bersaing,
dan gagap pada perubahan seperti yang di alami oleh kebanyakan generasi
muda Minangkabau saat ini. Dalam maknanya yang ideal, sistem adat istiadat
kita mengandung nilai-nilai yang sangat demokratis. Mengapa tidak kita coba
gali lagi nilai2 tersebut dan mengaplikasikannya sesuai dengan tuntutan
perubahan? Kalau selama ini yang memegang tampuk kekuasaan tertinggi adat
adalah seorang lelaki, dengan terangkatnya mutu pendidikan perempuan bukan
tidak mungkin bahwa 25 tahun kemuka datuk kita adalah seorang Bundo Kanduang.
Jangan lihat pada kukuasaannya tapi lihat lah pada harapan mutu manusia yang
akan membawa biduk Minangkabau pada beratus-ratus tahun ke depan.
Itu saja ya, Bun. Dan maaf kalau ada salah2 kata. Dan soal pertemuan kita,
saya dengar akan ada ulang tahun RN secara besar2an. Mungkin disana kita bisa
ketemu. Mungkin saya sudah tidak bisa menari piring atau payung tapi Poco2
atau Salsa kan tidak di larang ya, Bun?
Wassalam,
Evi