Bung Andiko, cantik sekali dialog imajiner ini, mengingatkan saya pd dialog 
imajiner Christianto Wibisono dengan Bung Karno. 
Hukum di tangan para penganut legalisme memang bisa bersifat mekanistik, 
menyeramkan, dan sangat tidak adil. Dengan mengutip 'Les Miserables'-nya Victor 
Hugo (?), Prof Soetandyo Wignjosoebroto telah menyadarkan kita tentang sisi  
hukum yg menyeramkan itu, dan - sedihnya -  kelihatannya justru telah menjadi 
'kitab suci'-nya para mafioso hukum di Indonesia sekarang ini.
Syukur, tidak semua ahli hukum dengan hati sekeras batu itu. Salah seorang 
begawan hukum, Prof Dr Satjipto Rahardjo, S.H telah memperkenalkan kita dengan 
hukum yg berwajah manusiawi, yg dinamakan beliau sebagai 'hukum progresif'. 
Lanjutkanlah dialog imanijer ini dengan Prof Satjipto, di kala hujan 
rintik-rintik di Fakultas Hukum, kampus Universitas Diponegoro, Semarang.
Wassalam,
-------Original Email-------
Subject :[R@ntau-Net] Pada secangkir kopi : Dialog Imaginer dengan Roscoe Pound
>From  :mailto:andi.ko...@gmail.com
Date  :Wed Apr 13 03:27:26 Asia/Bangkok 2011


Pada secangkir kopi : Dialog Imaginer dengan Roscoe Pound. 
Andiko Sutan Mancayo 
Pada dasarnya kondisi awal struktur suatu masyarakat selalu berada dalam 
kondisi yang kurang imbang. Ada yang terlalu dominan, dan ada pula yang 
terpinggirkan. Untuk menciptkan “dunia yang beradap”, ketimpangan-ketimpangan 
structural itu perlu di tata ulang dengan pola keseimbangan yang proporsional. 
Dalam konteks itu, hokum yang bersifat logis-analitis dan serba abstrak (hokum 
murni) ataupun yang menggambarkan realitas apa adanya (sosiologis), tidak 
mungkin diandalkan. Hukum dengan tipe itu paling-paling hanya akan mengukuhkan 
apa yang ada. Ia tidak merubah keadaan. Karena itu perlu langkah progresif 
yaitu memfungsikan hokum untuk menata perubahan, karena itulah hokum itu, “law 
as a toll of social engineering”. 
(Teori Roscoe Pound tentang Hukum, dalam Bernard L. Tanya, 2010: 154-155) 
  
Pound, duduklah sejenak, tariklah kursi mendekat pada sisi jendela ketika 
temaram cahaya membaluri tonggak-tonggak tua Harvard, biasnya jatuh dan sedikit 
hangat tertolak dingin musim gugur, sebentar lagi tentunya salju akan turun. 
Diseberang kaca itu, adalah aku, seperti cerita tentang gadis kecil penjual 
korek api, begitulah ketika mata hendak menembus, secarik hangat pada 
ruang-ruang yang bergengsi, ketika mungkin telah beribu sarjana lepas dan 
melambai ketika memintas di kusen pintu dengan lambing bermerek diatas tiga 
ikatan tangkai biji-bijian, mungkin gandum dan tentunya bukan padi. Di bawah 
tameng Harvard itu, termasuk presidenmu telah memintas. 
Nah mari kita rentang tali, agar ada kata terjembatani. Seperti yang aku 
katakan, pada tiga ikat tangkai biji-bijian yang penuh itu, tentunya bukan padi 
dan tentunya kau tak tahu apa itu padi. Ketidaktahuan itu kemudian 
menghantuiku, ketika lahan-lahan pertanian disulap, seperti magic, teknologi 
telah menyihir kesadaran, hingga lahan-lahan permai akan berubah dan tumbuhan 
itu lambat atau cepat, tak lagi menguning emas seiring waktu, di tanahku. Pada 
suatu masa, anak-anakku tahu tumbuhan itu pernah ada di sebuah buku di rak, 
toko-toko megah di kota…ah sudahlah…. 
Marilah kita bercerita tentang rekayasa. Kalaulah rekayasa adalah penerapan 
kaidah-kaidah ilmu dalam pelaksanaan dengan meletakkan pakem mekanik pada 
setiap perancangan, pembuatan konstruksi, serta pengoperasian kerangka, 
peralatan, dan sistem yang ekonomis dan efisien dan tentunya selalu 
berlandaskan pada pencapaian kesejahteraan manusia, tetapi disisi yang berbeda 
rekayasa dapat pula membawa kutukan makna sebuah rencana jahat atau 
persekongkolan untuk merugikan orang lain. 
Jikalah kau setuju kedua beban makna itu, maka akn aku tunjukkan ketika dua 
arus berbenturan. Ditengahnya korban tersimpul. Percayakah kau ketika 
perekayasa tak pernah menyadari beban makna sebaliknya, maka apa yang kita 
rekayasa akan kehilangan makna. Dimana ketika kita memandang, yang berlarian 
dihadapan hanyalah benda-benda dalam derajat deretan decimal ekonomi paling 
naïf, symbol kemewahan mekanik yang tak berjiwa. Cobalah lekatkan pada mahluk, 
apalagi mahluk yang terlahir seperti telah kutukan pelangkap dan penderita, 
mereka hanya berarti sampai pada angka-angka statistic. 
Pound, mungkin obrolan malam menjelang mendaki ini, teramat liar, maka 
tambahlah secangkir kopimu lagi. Kuharap pahitnya akan menggetir, sepahit 
ketika abad demi abad kopi tumbuh diladang-ladang perbudakan. Mungkin disitu 
gelisahmu tentang sebuah rekayasa social mendapat tempat untuk kita cacah. 
Marilah bicara hokum kawan. Jikalah memang hokum merekayasa social, mungkin ia 
tegak pada posisi mekanik itu. Sebagai alat, maka hokum seperti apa yang 
Bentham katakan sebagai perintah penguasa, maka ia tak berjiwa. Maka tak guna 
kuceritakan keyakinan yang kadang mengsingkretik di tengah kami tentang sebuah 
keadilan yang tak terceritakan, tetapi teramat dekat pada rasa. Kadang ia jauh 
sehingga ia ada di batas horizon yang selalu bergerak menjauh ketika kami 
berlari mengejar dan bahkan teramat jauh sejauh masa lalu dan mimpi kawan. 
Marilah kita mengayuh biduk-biduk kecil menyusuri sungai Siak dan batang 
masang, marilah memintas di sepanjang Kapuas, sambas dan Kahayan. Dan seperti 
katamu, marilah kita lihat bangunan keadilan yang dilahirkan oleh sebuah 
rekayasa social yang menjadikan hokum sebagai algojonya, seperti yang kau 
katakan. Kampung-kampung telah berguguran kawan. 
Agar kau tahu kemana pendulum peradaban bergerak, marilah kita tanyakan pada 
orang-orang yang kehilangan tanahnya atas nama hokum, ia telah ditinggal pergi 
ibunya dan ia hanya termangu. Sampai suatu ketika, demikian banyaknya 
hasil-hasil rekayasa yang termangu ditinggal ibunya, pada titik itu maka aku 
minta kau memaknai lagi tentang itu. 
  
Sobat, apakah etika dan nilai akan kita lekatkan pada rekayasa atau pada 
hukumnya, hingga tak akan ada yang terjarah untuk menghadirkan apa itu 
sejahtera. Pada kebingungan itu, akankah kan kita gali kubur Aristoteles, Plato 
dan Sokrates hanya untuk bertanya kemana etika, sehingga keadilan terus 
berlari, bahkan sampai hari ini. 
Jakarta, 14 April 2011 
 -- 
 
Saafroedin Bahar  Taqdir di tangan Allah, nasib di tangan kita.

-- 
.
* Posting yg berasal dari Palanta RantauNet, dipublikasikan di tempat lain 
wajib mencantumkan sumber: ~dari Palanta R@ntauNet 
http://groups.google.com/group/RantauNet/~
* Isi email, menjadi tanggung jawab pengirim email.
===========================================================
UNTUK DIPERHATIKAN, melanggar akan dimoderasi:
- DILARANG:
  1. E-mail besar dari 200KB;
  2. E-mail attachment, tawarkan di sini & kirim melalui jalur pribadi; 
  3. One Liner.
- Anggota WAJIB mematuhi peraturan serta mengirim biodata! Lihat di: 
http://forum.rantaunet.org/showthread.php?tid=1
- Tulis Nama, Umur & Lokasi disetiap posting
- Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dlm melakukan reply
- Untuk topik/subjek baru buat email baru, tdk mereply email lama & mengganti 
subjeknya.
===========================================================
Berhenti, bergabung kembali, mengubah konfigurasi/setting keanggotaan di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/

Kirim email ke