Mengamati Tiongkok yang Mengebut dalam Reformasi Strategis (2-Habis)
Oleh Dahlan Iskan

Tebar Jaring Antikorupsi Jelang Kongres Rakyat

WAKIL wali kota Tianjin bunuh diri di kantornya. Peristiwa itu mestinya amat
dramatik. Tapi, sampai tiga minggu kemudian, dua hari lalu, tidak satu pun
koran lokal maupun nasional memberitakannya. Tidak juga TV, yang di kota
Tianjin saja terdapat 8 saluran TV lokal. Padahal, sang pejabat bunuh diri
dengan cara unik. Dia duduk di meja kerja, memplester mulut, lalu menembak
kepalanya. Ini bisa diartikan bahwa dia melakukan bunuh diri karena tidak
sanggup mengungkapkan apa yang sebenarnya terjadi dan siapa saja yang
mestinya terlibat.

Saya coba tes ke seorang sopir taksi, apakah dia mendengar kejadian itu.
Ternyata boleh dikata semua orang mengetahuinya. Dari mana sumber
informasinya? "Internet," kata sopir tersebut. Pemakaian internet memang
luar biasa meluas di Tiongkok. Ini karena sistem perumahan mereka yang
vertikal, sehingga gampang sekali menyediakan infrastruktur komunikasi.
Setiap membangun rumah susun sudah harus ada saluran telepon, internet dan
TV kabel, sebagaimana juga harus ada aliran listrik, air minum, dan saluran
gas. Bahwa penghuninya belum mampu beli komputer atau berlangganan TV kabel,
tapi kapan saja kemampuan itu tiba, mereka tinggal plak: menancapkan colokan
internet atau TV kabel ke instalasi yang sudah disediakan.

Di internet itulah ditulis bahwa sang wakil wali kota sedang diincar
penyidik untuk kasus korupsi. Juga berkaitan dengan wanita simpanannya yang
beberapa hari sebelumnya dilarikan ke Kanada. Tapi, dengan jalan bunuh diri,
kasusnya terkubur. Termasuk siapa saja yang mestinya terkait.

Di Tiongkok belakangan memang banyak sekali pejabat daerah dan pusat yang
terkena jaring pemberantasan korupsi. Ada yang seperti wakil gubernur
Guangdong, yang anaknya mendapat lokasi strategis untuk membangun pusat
bisnis di Shenzhen. Ada wali kota Shanghai yang menggunakan dana pensiun
untuk pembangunan proyek yang tidak ada hubungannya dengan pensiunan.
Perkara itu juga melibatkan beberapa pejabat di sekitarnya.

Ada lagi seperti wakil gubernur Yunnan yang menyalahgunakan dana pembangunan
sektor transportasi. Ada wali kota Puyang, dekat Zhengzhou, yang membangun
kantor wali kota seperti istana. Ini menyalahi kebijaksanaan pemerintah yang
menetapkan untuk pembangunan kantor pemerintah, paling tinggi Rp 5 juta per
m2. Angka itu tentu sudah cukup mewah untuk ukuran biaya pembangunan proyek
gedung di Indonesia. Di Indonesia Rp 2,5 juta per meter persegi sudah bagus.
Kantor wali kota Puyang itu menghabiskan dana Rp 40 miliar.

Jumat lalu, "BPK"-nya Tiongkok mengumumkan, penyalahgunaan dana di seluruh
jajaran pemerintah tahun lalu mencapai 7 miliar renminbi atau sekitar Rp 9
triliun. Ini termasuk penggunaan dana yang salah. Misalnya, mestinya dana
pensiun untuk pembangunan proyek.

Pemerintah memang terus memperbaiki citranya, setelah melihat beban berat
semakin menjadi keluhan masyarakat kelas bawah. Misalnya, harga rumah yang
terus naik, harga bahan makanan yang juga meningkat, biaya kesehatan, dan
sekolah yang terus membubung. Semua itu membuat masyarakat mulai menyuarakan
rasa keadilan. Apalagi, setelah melihat pembangunan di kota-kota besar
seperti gila-gilaan.

Pemenuhan rasa keadilan itu kian penting karena akhir tahun depan, hajatan
besar lima tahunan di bidang politik akan berlangsung di Beijing. Yakni,
Kongres Rakyat (semacam Sidang Umum MPR) yang akan menentukan kepemimpinan
puncak Tiongkok. Saat itu nanti Hu Jintao sudah menjabat presiden lima
tahun. Dia perlu legitimasi Kongres Rakyat untuk menjabat lima tahun
berikutnya. Karena itu, dalam setahun terakhir, calon-calon utusan ke
kongres tersebut mulai ditata. Antara lain mulai diadakan penggantian para
ketua partai komunis tingkat provinsi. Mereka adalah utusan kongres yang
penting. Minggu ini hampir semua partai komunis tingkat provinsi sudah
menyelenggarakan "musda" dan memiliki pengurus baru. Tentu pengurus yang
kira-kira tidak akan menyulitkan jalannya Kongres Rakyat itu nanti.

Di antara ketua-ketua baru itu yang menarik perhatian adalah ketua partai
Shanghai dan Tianjin. Inilah dua di antara lima kota besar yang statusnya
setingkat provinsi. Dan, di mata politik, nilainya luar biasa strategis.
Bagi provinsi lain, sudah biasa ketua partainya bukan orang setempat. Tapi,
bagi Shanghai dan Tianjin, baru sekarang inilah ketua partai dijabat orang
dari "luar". Ketua partai Shanghai adalah orang dari provinsi tetangganya,
Zhejiang. Sedangkan ketua partai Tianjin dipilihkan orang dari Shanxi.

Presiden Hu Jintao rupanya menilai terus-menerusnya orang setempat jadi
penguasa tertinggi di suatu provinsi akan kurang sehat. Di Shanghai,
misalnya, sampai muncul sebutan yang terkenal dengan "gang Shanghai" -yang
konotasinya kurang mendukung kepemimpinan Hu Jintao. "Gang Shanghai" itu
juga dikenal sangat kuat melakukan lobi-lobi politik tingkat pusat.

Di Tianjin, karena begitu lamanya orang setempat bercokol di pusat kekuasaan
lokal, dinilai menjadi penyebab tidak majunya kota tersebut. Kota Tianjin
dinilai sangat ketinggalan dibanding kota-kota pantai lain. Padahal, pusat
sudah menggariskan bahwa Tianjin harus segera jadi "Shanghai untuk wilayah
utara", sehingga diperlukan perubahan sangat besar dan sangat cepat.

Di tingkat daerah, ketua partai (sebutannya: ketuanya para sekretaris),
memang secara tidak langsung menjadi pejabat paling berkuasa di suatu
daerah. Gubernur harus tunduk kepadanya. Demikian juga di tingkat
kabupaten/kota. Bupati/wali kota tunduk kepada ketua partai setempat. Cara
untuk "tunduk" tersebut diatur demikian: gubernur atau wali kota/bupati
adalah wakil sekretaris di partai. Dengan demikian, meski dia gubernur atau
wali kota, di dalam partai dia hanya orang nomor dua. Padahal, DPRD dikuasai
partai. Bisa saja ketua partai meminta DPRD mengganti gubernur atau wali
kota kalau tidak seiring dengan kebijakan ketua partai.

Ini mirip dengan struktur muspida (kalau sudah pada lupa, muspida adalah
singkatan musyawarah pimpinan daerah) di masa Presiden Soeharto. Meski
gubernur adalah kepala daerah dan penguasa tunggal di daerah, dia adalah
anggota muspida. Sedangkan ketua muspidanya selalu saja Pangdam setempat.
Pangdam tunduk kepada Pangab. Pangab tunduk pada panglima tertinggi, yang
tak lain presiden sendiri. Jadi, meski gubernur harus tunduk pada Mendagri
dan Mendagri harus tunduk pada presiden, itu dianggap belum cukup. Perlu
dibuat lagi jalur "ketundukan" lain lewat muspida.

Cara pemilihan kepala daerah di Tiongkok pun mirip dengan zaman Pak Harto.
Atau cara Pak Harto yang mirip di Tiongkok. Kalau masa jabatan wali kota
habis, ketua partai tingkat kota akan berkonsultasi dengan ketua partai
tingkat provinsi. Yakni, mengenai apakah masa jabatan wali kota/bupati
tersebut diperpanjang atau tidak. Kalau diganti, dia minta petunjuk, siapa
yang harus mengganti.

Kalau petunjuk itu sudah jelas, barulah ketua partai tingkat kota/kabupaten
mengadakan pertemuan "setengah kamar" dengan ketua DPRD untuk "menjadikan"
si A sebagai "calon jadi" kepala daerah. Ketua DPRD, yang pasti orang
partai, kemudian meneruskan misi tersebut kepada anggota fraksi yang umumnya
menguasai 90 persen suara. Lalu dipilihlah si A jadi kepala daerah.

Demikian juga untuk tingkat provinsi. Ketua partai akan berkonsultasi kepada
sekretaris jenderal partai tingkat pusat mengenai seorang gubernur akan
dipilih kembali atau diganti. Kalau dipilih kembali, siapa yang harus dibuat
calon jadi. Proses berikutnya sama dengan yang terjadi di tingkat
kota/kabupaten.

Kalau seorang kepala daerah tidak diperpanjang lagi ke masa jabatan
berikutnya, kemungkinannya ada tiga: prestasinya jeblok, pensiun, atau dapat
promosi ke jabatan lebih tinggi. Ini yang membuat para kepala daerah
berlomba bikin prestasi, karena jenjang karir politiknya akan terus terbuka.
Tentu juga harus bijaksana, karena dia bukanlah penguasa tunggal yang bisa
berbuat semau-maunya. Seorang kepala daerah juga harus pandai "melihat
kiri-kanan" dan juga "atas-bawah". Pertemuan-pertemuan "setengah kamar",
sebagaimana menjadi istilah populer di zaman Pak Harto, menjadi sangat
penting dalam sistem politik seperti ini.

Bedanya, di zaman Pak Harto terjadi pembusukan yang luar biasa. Terutama di
sepertiga akhir kepemimpinannya. Seorang "calon jadi" kepala daerah tidak
lagi orang yang terbaik. Militer lebih punya kans amat besar. Kalau
pertama-tama daerah strategis saja yang kepala daerahnya harus militer,
lama-lama tidak lagi begitu. Lama-lama daerah yang tidak strategis pun
dibuat strategis-strategisan. Arti strategis bisa dimainkan dan bisa
diada-adakan. Kalau Irian Jaya (waktu itu) gubernurnya harus militer, karena
daerahnya rawan. Ini memang strategis. Orang bisa mengerti. Aceh harus
dipimpin militer karena ada GAM. Juga bisa dimengerti. Kalbar harus militer,
karena di perbatasan. Juga masih bisa dimengerti. Tapi diam-diam orang
akhirnya bikin lelucon: mengapa gubernur Jateng juga harus militer? "Karena
letaknya di tengah," begitu lelucon yang beredar. Sampai-sampai anak muda
yang bercita-cita jadi bupati atau gubernur dinasihati jangan masuk APDN,
melainkan harus masuk Akabri.

Pembusukan seperti itu yang kelihatannya terus dijaga untuk tidak terjadi di
Tiongkok. Tiga bulan lalu, saya menulis, untuk kali pertama Hu Jintao
menunjuk tokoh bukan anggota partai komunis menjadi menteri. Yakni, menteri
ilmu pengetahuan dan teknologi. Jumat lalu diumumkan lagi ini: satu tokoh
bukan anggota partai komunis, lagi-lagi diangkat jadi menteri. Yakni,
menteri kesehatan. Sungguh satu perkembangan politik yang menarik. Apalagi
dalam rangkaian pengumuman tersebut media resmi menulis bahwa masih akan
banyak lagi pejabat tinggi yang diangkat dari kalangan profesional. Terutama
untuk tingkat dirjen dan di bawahnya.

Bandingkan dengan Pak Harto, yang awal-awalnya mengangkat orang hebat
seperti Pak Widjojo Nitisastro dan rombongannya. Di akhir-akhir kekuasaannya
beliau mengangkat orang seperti Bob Hasan sebagai menteri ekonomi. Kebalikan
yang akhirnya menjadi bahan pembusukan.(*)

--~--~---------~--~----~------------~-------~--~----~
===============================================================
Sukseskan Pulang Basamo se Dunia, bulan Juni 2008.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Website: http://www.rantaunet.org
===============================================================
UNTUK SELALU DIPERHATIKAN:
- Harap memperhatikan urgensi posting email, yang besar dari >300KB.
- Hapus footer dan bagian yang tidak perlu, jika melakukan reply.
- Email attachment, tidak dianjurkan! Tawarkan kepada yang berminat dan kirim 
melalui jalur pribadi.
===============================================================
Berhenti (unsubscribe), kirim email ke: [EMAIL PROTECTED]

Webmail Mailing List dan Konfigurasi keanggotaan lihat di:
http://groups.google.com/group/RantauNet/subscribe
Dengan terlebih dahulu mendaftarkan email anda pada Google Account di:
https://www.google.com/accounts/NewAccount?hl=id&cd=US&service=groups2.
==========================================================
-~----------~----~----~----~------~----~------~--~---

Kirim email ke