Membangun (kembali) tradisi ilmiah kita ”Reading makes a full man, conference makes a ready man, and writing makes an exact man.” (Francois Bacon; 1561-1626)
Saat ini kita berada pada dunia yang nyaris tak bersekat. Jarak menjadi tak berarti, sebab ilmu pengetahuan (baca: sains -pen) dan teknologi yang telah dicapai manusia hari ini telah memampukan kita untuk berinteraksi dalam dunia yang kian borderless ini. Ada satu pertanyaaan besar yang mesti kita jawab dengan jujur, dimana posisi dan peran kaum muslimin –yang merupakan salah satu komunitas mayor di bumi ini, dalam pengembangan sains dan teknologi dalam rangka mewujudkan kesejahteraaan umat manusia? Bukankah Allah SWT telah mewariskan bumi dan pengelolaannya kepada kita? Tidak berlebihan rasanya jika kita menyimpulkan bahwa kaum muslimin, secara umum, masih tetap menjadi pasar dari perkembangan sains dan teknologi yang dikibarkan oleh dunia Barat dan sebagian kecil wilayah Asia. Kita (baca: kaum muslimin -pen) begitu bangga menggunakan produk-produk mutakhir, seperti handphone buatan negara lain (yang mayoritas penduduknya adalah kaum non-muslim -pen), tanpa merasa perlu dan terusik untuk berfikir kapan kiranya kita mampu memproduksi barang semisal dengan kualitas yang jauh lebih baik? Dan lebih jauh, kita mampu menjadi produsen barang-barang tersebut? Dunia pendidikan kita pun tak kalah menyedihkan. Realitas menunjukkan bahwa kualitas pendidikan kaum muslimin, mulai tingkat pendidikan dasar hingga perguruan tinggi masih jauh tertinggal. Pertanyaan yang patut kita ajukan adalah; ada apa dengan tradisi ilmiah kita hari ini? Membaca; budaya yang kerap ditinggalkan Sungguh beruntung kaum muslimin yang dibekali oleh Allah SWT dengan Al-Qur’an. Kitab suci ini tidak hanya mampu menambah keimanan bagi para pembacanya, namun juga memberikan sebuah pencerahan intelektualitas. Bahkan, ayat pertama yang termaktub di dalamnya telah memberikan landasan dan motivasi yang besar bagi kaum muslimin untuk menjadi pandu kemajuan sains dan teknologi, melalui perintah membaca. Membaca adalah langkah awal dalam memelihara dan mengembangkan tradisi ilmiah dalam diri seseorang maupun sebuah komunitas. Ia menjadi gerbang antara ketidaktahuan (ignorence –pen) dan kejelasan (clarity -pen) mengenai berbagai hal. Cermatilah tentang budaya membaca kaum muslimin hari ini! Beberapa pertanyaan sederhana layak kita ajukan, seperti; dalam 24 jam waktu yang Allah karuniakan pada kita setiap hari, berapa lama kita luangkan waktu untuk membaca? Berapa jumlah koleksi buku yang kita miliki di ruang baca kita? Berapa anggaran yang kita alokasikan setiap bulan untuk membeli buku? Pertanyaan-pertanyaan sederhana ini membawa kita pada suatu kenyataan menyedihkan, bahwa minat baca kita masih teramat rendah. Pun koleksi buku-buku kita minim. Sebagian kita mungkin beralasan bahwa hal tersebut lebih disebabkan karena harga-harga buku yang relatif mahal. Namun sadarkah kita, banyak diantara kita yang mampu mengisi pulsa handphonenya secara reguler setiap bulan dengan nominal Rp 100.000, namun sedikit sekali anggaran yang benar-benar dialokasikan untuk membeli buku, yang harganya mungkin hanya beberapa puluh ribu rupiah saja. Mungkin karena kita belum memandang membaca dan membeli buku sebagai sebuah investasi. Kita masih menganggapnya sebagai beban anggaran, bukan investasi pendidikan. Ini tentu saja sangat bertolak-belakang dengan adigium yang kita fahami bersama; siapa yang menguasai informasi, maka dia akan mengusai dunia”. Bagaimana mungkin kita bisa menguasai dunia, memperbaiki tatanannya dengan sentuhan nilai-nilai islam, jika langkah awalnya saja, membaca, enggan kita tempuh? Menulis; langkah kedua yang amat menentukan Garis tegas yang membedakan antara masa prasejarah dengan sejarah adalah masa penggunaan tulisan. Melalui tulisan, manusia mengenal dan mengkaji kejadian, sejarah serta mendokumentasikan perkembangan peradaban suatu entitas maupun komunitas tertentu, dengan presisi yang lebih dapat dipertanggung-jawabkan secara ilmiah. Hal ini tentu berbeda dengan budaya lisan (verbal –pen) yang relatif lebih banyak dikembangkan oleh sebagian besar kita (baca: kaum muslimin –pen). Mayoritas kita lebih gemar menggunakan komunikasi verbal dalam mengungkapkan ide, pemikiran ataupun gagasan. Konsekuensinya jelas, kita cenderung gagap ketika menuangkan ide dalam bentuk tulisan. Padahal, kita ketahui bahwa komunikasi verbal memiliki banyak kelemahan dalam aspek ilmiah, antara lain ia tidak dapat menjadi rujukan ilmiah, karena komunikasi verbal amat bergantung pada ingatan manusia yang amat terbatas. Akurasi dari suatu pernyataan verbal tidak dapat dipergunakan sebagai pijakan ilmiah. Menulis adalah langkah kedua yang amat menentukan dalam pewarisan tradisi ilmiah. Budaya menulis sesungguhnya adalah suatu kebiasaan baik (good habit –pen) yang bisa dikondisikan dan ditumbuhkan. Bayangkan jika para tenaga pengajar (baca: guru-pen) atau dosen membiasakan murid atau mahasiswanya menulis, dengan memberikan rangsangan yang mendidik, misalnya dengan memberikan tambahan nilai dalam suatu mata pelajaran bagi mereka yang mampu menulis artikel ilmiah di media massa mengenai topik tertentu. Tentu hal semacam ini akan menumbuh-suburkan budaya menulis. Pembentukan komunitas-komunitas penulis juga akan mempercepat pengembangan budaya menulis ini. Melalui komunitas ini, arus informasi dan pertukaran pengalaman menulis diantara anggotanya bisa berlangsung dengan baik. Sehingga peningkatan kemampuan dan produktifitas diantara mereka akan berjalan secara konsisten. Di Indonesia memang masih banyak kendala yang menghambat pengembangan budaya menulis. Antara lain masih relatif mahal dan sulitnya mendapat sumber-sumber referensi. Namun, hal ini sesungguhnya dapat diatasi dengan memperbanyak dan mengoptimalkan penggunaan perpustakaan umum. Selain itu, kurangnya rangsangan dari luar juga menghambat tumbuhnya budaya menulis, antara lain kurangnya apresiasi secara materil bagi para penulis di Indonesia. Para penulis mendapatkan insentif yang relatif kurang memadai ketika karya-karya mereka diterbitkan dalam suatu media massa. Selain itu pembajakan juga masih menjadi potret buram perlindungan karya cipta dan hak atas kekayaan intelektual di negeri ini. Pemerintah semestinya mampu mengambil peran lebih besar dalam meminimalkan pembajakan karya ilmiah. Sesungguhnya kita patut berterima kasih kepada para penulis yang tetap mempertahankan idealisme dan konsistensinya dalam menulis ditengah berbagai keterbatasan yang mereka hadapi. Semoga Allah memuliakan mereka yang tulus menebarkan ilmu pengetahuan melalui tulisan-tulisannya. Genis Ginanjar Wahyu, S.Ked Editor majalah Asy-Syifaa’ Fakultas Kedokteran Unpad/RS. Hasan Sadikin d.a Taman Wisma Asri Blok M 70 no. 55 Bekasi Utara 17121 HP. 0817825212 __________________________________________________ Do You Yahoo!? Tired of spam? Yahoo! Mail has the best spam protection around http://mail.yahoo.com ------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> DonorsChoose. A simple way to provide underprivileged children resources often lacking in public schools. Fund a student project in NYC/NC today! http://us.click.yahoo.com/KZzaMD/.WnJAA/HwKMAA/4tWolB/TM --------------------------------------------------------------------~-> -------------------------------------------------- Ikatan Alumni SMA Negeri 1 Bekasi, forum untuk menambah teman, saudara, sahabat, dan [.....]. Jika ingin berhenti menerima email dari sma1bks, kirim email ke [EMAIL PROTECTED] Ingin menerima email dari sma1bks, kirim email ke [EMAIL PROTECTED] Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/sma1bks/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/