Masalahnya AS via Asia Foundation memang bukan hanya
mengutak-atik ekonomi Indonesia hingga jadi sistem
neoliberalis/kapitalis yang menguntungkan mereka, tapi
juga merubah2 agama kita lewat liberalisme.

Banyak IAIN/UIN yang mendapat dana dari Asia
Foundation atau "kerjasama" dgn Asia Foundation.
Alumnusnya ditawari beasiswa belajar "Islam" ala
Amerika ke Kanada, AS, dan Australia. 

Begitu balik, mereka membawa faham "Islam" ala Barat
ke sini.

Sudah waktunya ummat Islam meminta agar IAIN/UIN
kembali berkiblat ke dunia Islam dalam belajar Islam.
Bukan ke negara2 kafir.

--- sutomo asngadi <[EMAIL PROTECTED]> wrote:

> “Ketika Dosen Syariah Merusak Syariah”      
> Senin, 09 Juli 2007  
> Dosen IAIN Semarang membolehkan menikah ‘tanpa
> waliÂ’.
> Pikiran ‘wathon suloyo’ atau ada motiv lain? baca
> Catatan Akhir Pekan [CAP] ke-202 Adian Husaini
> 
> Oleh: Adian Husaini
> 
>  
> 
> Pekan lalu, dalam acara workshop di Semarang, saya
> mendapatkan kembali sejumlah nomor jurnal yang
> diterbitkan di Fakultas Syariah IAIN Walisongo
> Semarang. Jurnal ini beralamat di Fakultas Syariah
> IAIN Semarang dan terbit atas ijin Dekan Fakultas
> Syariah. Sudah beberapa kali kita bahas JURNAL ini
> melalui forum CAP. Namun, setiap membaca edisi
> jurnal
> ini, selalu memunculkan ketakjuban dan perasaan
> aneh,
> mengapa dari sebuah Fakultas Syariah justru muncul
> pemikiran-pemikiran yang merusak syariah, bahkan
> merusak aqidah Islam itu sendiri?
> 
> Sebagai orang muslim, kita tentu pantas bertanya,
> untuk apakah Fakultas Syariah didirikan? Bukankah
> tujuannya untuk mengkaji syariah Islam dan berusaha
> mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari? Mengapa
> dunia ini sudah terbalik-balik? Para pejuang Islam
> terdahulu sibuk mengatasi serangan terhadap Islam
> yang
> dilakukan oleh kaum orientalis. Kini, kita dipaksa
> harus berpikir keras, mengapa anak-anak yang kita
> didik ilmu syariah justru menjadi anti-syariah?
> 
> Lebih parah dari itu, justru kini bermunculan
> dosen-dosen syariah yang aktif menghancurkan syariah
> Islam. Jika George W. Bush anti-syariah Islam, kita
> bisa maklum. Kita maklum, kalau Ariel Sharon benci
> kepada Islam. Kita pun maklum jika setan senantiasa
> berusaha menyesatkan manusia. Kita sangat paham,
> jika
> bertahun-tahun para orientalis Kristen, seperti
> Peter
> the Venerable, Arthur Jeffery, dan sebagainya
> senantiasa berusaha dengan sungguh-sungguh untuk
> menyerang kesucian dan keotentikan Al-Quran. Tapi,
> bagaimana jika semua serangan itu datangnya justru
> dari dosen-dosen syariah? Kita perlu
> berteriak-teriak
> terus sekencang-kencangnya untuk menyadarkan umat
> kita, agar jangan lengah dan jangan tidur panjang
> dalam kebodohan dan ketidakpedulian. Kita perlu
> mengetuk hati dan pikiran para ulama dan pemerintah
> agar memahami akar masalah yang sedang kita hadapi,
> dan tidak terjebak ke dalam hal-hal yang
> superfisial.
> 
> Di dalam jurnal dari Fakultas Syariah IAIN Semarang
> edisi 30/2006, misalnya, terdapat sebuah tulisan
> dari
> Prof. Dr. Muhibbin yang berjudul ”Nikah Tanpa Wali”.
> Dia adalah Dekan Fakultas Syariah IAIN Semarang
> periode 2002-2006. Profesor ini menyebarkan pendapat
> bahwa untuk menikah, perempuan tidak memerlukan
> wali.
> Sebab, sebagaimana laki-laki, perempuan juga
> dianggap
> mampu untuk mengurus dirinya sendiri. Hukum yang
> mewajibkan adanya wali bagi wanita dalam hukum
> perkawinan dianggapnya tidak adil bagi wanita dan
> bernuansa diskriminasi gender. Bahkan, dia katakan,
> ”Maka, secara rasional keberadaan wali nikah sangat
> perlu dipertanyakan dan ditinjau ulang.” Menurut
> sang
> profesor IAIN ini, jika keberadaan wali nikah bagi
> wanita terus dipertahankan dalam hukum Islam, maka
> perlu dipertanyakan kepada para ulama dan
> cendekiawan
> tentang rasa keadilan yang digadaikan demi
> keberadaan
> wali nikah. Untuk melegalisasikan pendapatnya yang
> berbasis pada ide Â’kesetaraan genderÂ’ profesor IAIN
> itu lalu membuat pernyataan yang aneh: ”Sejauh
> penelitian ulama terdahulu maupun penulis sendiri,
> Hadits-hadits tentang wali nikah di atas ternyata
> tidak ada yang shahih.”
> 
> Benarkah hadits-hadits tentang wali nikah bagi
> wanita
> tidak ada yang shahih? Pendapat ini sangat dulit
> diterima secara ilmiah. Para ulama hadits dan ulama
> fiqih telah banyak membahas masalah ini dengan
> sangat
> terperinci. Dalam Fiqih Sunnah, Sayyid Sabiq
> menjelaskan, bahwa hadits ”Tidak sah nikah tanpa
> wali”
> disahkan oleh Hakim dan Ibn Hibban. Banyak hadits
> lain
> yang maknanya sejenis yang diterima oleh para ulama
> sebagai hadits shahih atau hasan.  Qurthubi
> misalnya,
> juga menyatakan sebuah hadits shahih dalam soal wali
> nikah bagi wanita: ”Siapa pun diantara wanita yang
> menikah tanpa seizin walinya, maka nikahnya batal,
> nikahnya batal, nikahnya batal.”
> 
> Imam Tirmidzi menyebutkan bahwa hadits ”Tidak sah
> nikah tanpa wali” diikuti pula oleh golongan ahli
> ilmu
> di kalangan para sahabat, seperti Umar, Ali,
> Abdullah
> bin Abbas, Abu Hurairah, Ibnu Umar, Ibnu MasÂ’ud dan
> Aisyah. Begitu juga para ahli fiqih di kalangan
> tabiÂ’in seperti Said bin Musayab, Hasan al-Bashri,
> Syuraih, Ibrahim bin Nakhai, Umar bin Abdul Aziz,
> dan
> sebagainya.
> 
> Sebenarnya, selama ini, dalam perjalanan hukum Islam
> di Indonesia, soal wali nikah ini juga tidak menjadi
> masalah. Kitab-kitab Fiqih pun sudah membahas
> masalah
> ini dengan terperinci. Barangkali, si professor dari
> IAIN Semarang itu pun dulunya menikah dengan
> istrinya
> juga dengan wali bagi istrinya. Mungkin, dia nanti
> juga mau menjadi wali bagi putrinya yang menikah.
> Atau, jika dia konsisten dengan pendapatnya yang
> keliru itu, jangan-jangan dia pun akan membiarkan
> putri-putrinya menikah tanpa wali? Karena dalam
> pandangannya, kewajiban adanya wali bagi wanita
> dalam
> perkawinan dipandang sebagai penistaan derajat
> wanita.
> 
> Sebenarnya pandangan profesor IAIN itu telah
> meletakkan perspektif gender di atas Al-Quran.
> Perspektif gender dijadikannya cara untuk melihat
> hukum-hukum Islam. Dalam perspektif gender,
> pembedaan
> peran wanita dan laki-laki dalam aspek sosial-budaya
> dipandang sebagai produk sosial-budaya yang bias
> gender. Kaum pengusung gender memang memandang bahwa
> perbedaan jenis kelamin laki-laki dan wanita tidak
> membawa akibat apa-apa terhadap peran sosial budaya.
> Menurut mereka, wanita tidak boleh ditempatkan
> sebagai
> makhluk domestik dan laki-laki makhluk di luar.
> Kepala
> rumah tangga tidak boleh diserahkan kepada kaum
> laki-laki, hanya karena dia laki-laki. Laki-laki
> tidak
> boleh diberi hak-hak dalam rumah tangga atau di luar
> ramah tangga. Bagi kaum ini, laki-laki dan wanita
> harus diberi kesempatan dan hak yang sama, baik di
> dalam maupun di luar rumah.
> 
> Di dalam hukum Islam, memang ada perbedaan antara
> wanita dan laki-laki. Wanita tidak diwajibkan untuk
> mencari nafkah, laki-laki wajib menafkahi istrinya.
> Wanita diizinkan untuk tidak shalat dan puasa karena
> haid. Laki-laki tidak ada cuti shalat dan puasa
> karena
> haid. Faktanya, aurat wanita juga berbeda dengan
> laki-laki. Perbedaan hukum itu terkait dengan
> perbedaan peran laki-laki dan wanita di dunia. Semua
> perbedaan itu bukan menunjukkan tinggi dan rendahnya
> status seseorang di mata Allah SWT. Jika seorang Ibu
> bermakmum di belakang anak laki-lakinya dalam
> shalat,
> bukan berarti di Ibu dilecehkan oleh anaknya. Jika
> wanita diberikan hak cuti hamil dan haid, bukanlah
> itu
> merupakan bentuk pelecehan oleh kaum laki-laki.
> Seorang istri yang menyediakan minuman bagi suaminya
> bukanlah suatu bentuk penindasan laki-laki atas
> wanita.
> 
> Tapi, semua itu tergantung dari perspektif mana dia
> melihat. Syahdan, seorang mahasiswi yang berfaham
> kesetaraan gender pada sebuah perguruan tinggi Islam
> di Jakarta merasa tersinggung ketika diberi
> kesempatan
> menempati tempat duduk di suatu bus umum oleh
> temannya
> yang laki-laki. Baginya, lebih terhormat berdiri
> berdesak-desakan di suatu bus umum ketimbang
> menerima
> belas kasihan kaum laki-laki. Bagi aktivis gender
> yang
> dimotivasi ideologi Â’kiri baruÂ’ (new left), mereka
> bahkan memiliki perasaan dendam kepada kaum
> laki-laki.
> Bagi mereka, laki-laki adalah kaum penindas wanita.
> Ulama-ulama mereka tuduh sebagai kaum penindas yang
> telah menafsirkan Al-Quran untuk kepentingan kaum
> laki-laki. Karena itulah, mereka aktif menentang
> berbagai diskriminasi peran sosial berdasarkan
> gender.
> Hanya saja, hingga kini, kita belum mendengar protes
> kaum penganut kesetaraan gender ini tentang
> pemisahan
> kamar kecil (WC) bagi laki-laki dan wanita. Malah,
> di
> sebuah mal di Lebak Bulus, Jakarta, terlihat sebuah
> tanda tempat parkir khusus bagi pengemudi wanita.
> 
> Cara pandang kaum aktivis gender itu tentu saja
> sangat
> berbeda dengan kaum Muslim yang memahami agamanya
> dengan tenang tanpa perasaan dendam dan memandang
> hidup ini sebagai ujian dari Allah untuk menjalani
> peran masing-masing sesuai ketentuan dari Allah.
> Kaum
> Muslimah selama ini merasa tenang dan bahagia
> hidupnya
> ketika berkutat dalam kehidupan rumah tangga dan
> mendidik anak-anaknya dengan baik. Seorang Muslimah
> akan merasa nyaman dan bahagia ketika membersihkan
> rumah, mencuci baju suami dan anak-anaknya,
> menyediakan makanan bagi keluarganya. Semua itu
> dijalani dengan suka cita, karena yakin, bahwa itu
> adalah suatu ibadah. Konsep pengabdian dan ibadah
> ini
> tentu saja luput dari pikiran kaum aktivis gender.
> 
> Walhasil, pendapat yang disebarkan oleh profesor
> IAIN
> Semarang dalam soal wali nikah bagi wanita juga
> merupakan pendangan yang sangat tidak bijak. Sebagai
> dosen syariah, seyogyanya dia menghormati pendapat
> para ulama yang jauh lebih alim dari dirinya. Untuk
> apa dia menyebarkan pendapat seperti itu; apakah
> sekedar WtS (waton suloyo/asal beda, red)? Atau ada
> motivasi lain? Bagaimana jika para remaja putri
> kemudian menganggapnya sebagai pendapat yang benar,
> lalu mereka beramai-ramai kawin dengan pacarnya,
> tanpa
> perlu meminta perwalian dari orang tua? Bukankah ini
> akan menimbulkan kekacauan di tengah masyarakat?
> Kita
> heran dengan mental dan perilaku dosen-dosen syariah
> semacam ini? Bukankah lebih baik dia mendiskusikan
> terlebih dahulu pendapatnya tersebut dengan para
> ulama
> dan para pakar bidang syariah dan hadits, sebelum
> menyebarkan pendapatnya yang keliru itu ke tengah
> masyarakat? 
> 
> Pendapat yang asal-asalan tentang syariah Islam juga
> ditunjukkan oleh dosen syariah lainnya di IAIN
> Semarang, yaitu Rokhmadi, MAg. Pada Jurnal yang sama
> edisi 28/2005, pada rubrik dialog hukum ada
> pertanyaan
> kepada dosen syariah tersebut, bahwa di seorang
> laki-laki asal Minang menikah dengan wanita Minang
> tanpa harus memberikan mahar. Sebaliknya, justri
> pihak
> wanita yang memberikan mahar, karena adat Minang
> memang begitu. Pertanyaan itu dijawab oleh si dosen,
> dengan mengatakan, bahwa masalah mahar adalah
> berkaitan dengan hukum keluarga (al-ahwal
> al-syakhshiyah) dan bukan ibadah mahdhah, yang harus
> diterima apa adanya. Maka, katanya, nash-nash dalam
> masalah ini terkait dengan kondisi sosio-kultural
> masyarakat pra-Arab dan masyarakat Arab. ”Artinya,
> ketentuan hukum yang diekspresikan Allah dan
> Rasul-Nya
> sangat dipengaruhi situasi dan kondisi setempat,
> dengan menjadikan unsur budaya lokal saat itu
> sebagai
> pertimbangan utama penetapan ajaran Islam. Bahwa
> Al-Quran dan al-Sunnah sarat dan lengket unsur
> historisitas. Maka, tidak tepat mengakui (menerima)
> dan mempertahankan keberadaannya dengan segala
> konsekuensinya.”
> 
> Jadi, menurut di dosen syariah itu, karena
> masyarakat
> Arab menganut budaya patriarchi, maka wajar jika
> kewajiban memberikan mahar diwajibkan kepada
> laki-laki. Karena di daerah Minang yang dominan
> adalah
> wanita (matriachat tribe), maka kata si dosen,
> ”Wajarlah mahar menjadi kewajiban pihak perempuan
> karena posisinya di atas laki-laki dalam bersikap
> dan
> martabat keluarga.”
> 
> Menyimak pendapat dosen-dosen syariah seperti ini,
> kita tentu saja sangat prihatin, sekaligus geli.
> Betapa naifnya pendapat ini. Sepanjang sejarah
> Islam,
> kita melihat, tata cara perkawinan Islam yang satu
> di
> berbagai belahan dunia Islam, tanpa memandang unsur
> budaya. Jika mahar harus diberikan oleh pihak yang
> dominan, sesuai sosial budaya, maka akhirnya soal
> mahar ini tergantung kepada kondisi dan situasi
> setempat. Padahal, untuk Indonesia saja, ada
> berbagai
> budaya yang saling berlainan. Malah, bisa jadi,
> kondisi personal tiap orang berbeda-beda. Jika
> keluarga wanitanya yang kaya, sedangkan laki-lakinya
> miskin, apakah laki-laki tidak harus memberikan
> mahar?
> 
> Si dosen itu telah melakukan kebohongan atau
> kebodohan
> yang luar biasa yang menyatakan bahwa kewajiban
> mahar
> bagi laki-laki adalah terkait dengan budaya pra-Arab
> atau budaya masyarakat Arab. Dalam hadits riwayat
> Bukhari dan Muslim disebutkan, Rasulullah saw tetap
> mewajibkan mahar harus diberikan oleh laki-laki,
> meskipun laki-laki itu sangat miskin, sehingga hanya
> bisa memberikan mahar berupa bacaan ayat-ayat
> tertentu
> dalam Al-Quran. Bahkan, Abu Thalhah pernah menikahi
> Ummu Sulaim dengan mahar ”masuknya dia ke agama
> Islam”. Karena itulah, masalah kewajiban mahar bagi
> laki-laki ini adalah masalah sunnah Rasululullah
> saw,
> dan bukan urusan budaya Arab.
> 
> Pemikiran-pemikiran yang Â’nyelenehÂ’ dan merusak
> syariah Islam memang sudah bukan hal yang asing lagi
> di lingkungan Fakultas Syariah IAIN Semarang.
> Jangankan pemikiran yang menyerang syariah,
> pemikiran
> yang menyerang Al-Quran habis-habisan pun dibiarkan
> saja dengan leluasa diterbitkan dalam Jurnal ini.
> Pada
> edisi 30/2006, Jurnal dari Fakultas Syariah IAIN
> Semarang ini malah menurunkan satu tulisan yang
> mengusulkan agar dilakukan amandemen terhadap
> ayat-ayat Al-Quran yang dianggapnya bermasalah.
> Menurut si penulis, yang juga alumnus Fakultas
> Syariah
> IAIN Semarang, di dalam Al-Quran ada ayat ”yang
> kotor”
> dan ayat ”yang bersih”. Karena itu, dia mengusulkan,
> agar umat Islam berani ”menghapus dalam pengertian
> ”mengamandemen” teks-teks keislaman terutama
> ayat-ayat
> Quran yang ”bermasalah” tadi.” (hal. 112-113).
> 
> Dengan semakin bertambahnya usia kampus-kampus Islam
> di Indonesia, kita sebenarnya berharap, dari
> Fakultas-fakultas syariah akan lahir
> pemikiran-pemikiran bermutu yang benar dan sehat.
> Dari
> kampus ini, kita harapkan lahir ulama atau
> cendekiawan
> yang shalih yang menjadi panutan bagi umatnya. Tentu
> saja merupakan musibah besar bagi umat, jika dari
> institusi pendidikan Islam, lahir cendekiawan atau
> pemikiran yang merusak Islam. Ke depan, kita
> berharap,
> pihak Departemen Agama lebih berhati-hati dalam
> mengangkap dosen-dosen syariah. Jangan sampai yang
> anti Al-Quran justru diangkat menjadi dosen agama.
> 
> Tapi, yang membuat kita terheran-heran adalah sikap
> para pejabat kampus dan para tokoh serta ulama di
> Semarang yang berdiam diri terhadap tindak
> kemunkaran
> yang sudah amat sangat keterlaluan dalam menyerang
> Islam seperti ini. Kampus ini membawa nama Islam dan
> menyandang nama Walisongo, para ulama yang sangat
> berjasa dalam menyebarkan Islam di Tanah Jawa.
> Konon,
> kabarnya, semua itu dilihat sebagai Â’wacanaÂ’ belaka.
> Padahal, siapa pun tentu akan tersinggung, andaikan
> anaknya menyebarkan wacana Â’perlunya membunuh orang
> tua masing-masingÂ’. Meskipun itu sekedar wacana. Di
> dalam Islam ada adab dalam mencari ilmu. Tidak
> setiap
> wacana boleh disebarluaskan seenaknya sendiri. Jika
> masih dalam taraf belajar dan mencari ilmu,
> sebaiknya
> para mahasiswa diajar adab mencari ilmu dalam Islam,
> dan tidak berlaku sombong serta bebas
> sebebas-bebasnya
> dalam menyebarkan pendapat yang keliru. Sekali lagi,
> kita hanya bisa mengingatkan dan berharap, para
> dosen
> dan mahasiswa yang menyerang syariah dan Al-Quran
> agar
> bertobat dan memperbaiki pemikiran serta akhlak
> keilmuannya. Wallahu AÂ’lam. [Depok, 7 Juli
> 2007/www.hidayatullah.com]
> 
>  
> Catatan Akhir Pekan [CAP] Adian adalah hasil
> kerjasama
> Radio Dakta 107 FM dan www.hidayatullah.com
>  
> 
> 
> 
>      
>
____________________________________________________________________________________
> Shape Yahoo! in your own image.  Join our Network
> Research Panel today!  
>
http://surveylink.yahoo.com/gmrs/yahoo_panel_invite.asp?a=7
> 
> 
> 
> 


===
Ingin belajar Islam sesuai Al Qur'an dan Hadits?
Kirim email ke: [EMAIL PROTECTED]


       
____________________________________________________________________________________
Take the Internet to Go: Yahoo!Go puts the Internet in your pocket: mail, news, 
photos & more. 
http://mobile.yahoo.com/go?refer=1GNXIC

Kirim email ke