Timana asal kecap Indonesia, jeung naon hartina keur urang ayeuna? Nyanggakeun 
artikel Gunawan Mohammad dina Caping Tempo minggu ieu:

Nama Itu

Tempo, Senin, 21 September 2009

PADA pertengahan abad ke 18, seorang yang menjelajah kepulauan ini—dan melihat 
penghu­ni­nya yang berkulit sawo matang seperti orang Polinesia—bertanya kepada 
diri sendiri: Apa nama manusia ini? Apa nama kepulauan yang mereka diami?

Kemudian pengelana Inggris itu, George Samuel Windsor Earl, memutuskan: "Indu 
nesia". Tapi segera ia berubah pikiran. "Malayanusia" lebih baik, katanya. 
Ternyata sebutan ini pun tak lama. Seorang rekannya, James Logan, memilih nama 
"Indonesia".

"Indonesia" sejak itu memasuki sejarah. Dalam The Idea of Indonesia: A History 
dari R.E. Elson (sebuah buku yang terbit pada 2008 dan membentuk dokumen paling 
lengkap tentang gagasan kebangsaan kita), dikisahkanlah bagaimana nama itu 
hidup dengan saga sendiri.

Nama ternyata tak hanya jadi penanda. Nama bukan hanya dibuat dan dikonstruksi. 
Ia juga mengkonstruksi. Nama mengukuhkan sebuah identitas. Tapi nama tak 
seluruhnya lahir dari niat membuat konsep. Orang tak cuma menyebut "Indonesia" 
dengan sebuah definisi. Nama bukan indeks yang abstrak. Robot dalam film Star 
Wars diberi label "R2D2", tapi akhirnya kita mengingatnya sebagai si 
"Artuditu". Label itu jadi nama, ketika yang menyandangnya hidup, bergerak, 
menampakkan emosi, berperilaku manusia. Nama menyarankan adanya personifikasi, 
seperti gamelan disebut "Kyai Tunggul". Ia menghadirkan sebuah imaji di kepala 
kita, menimbulkan semangat atau rasa gentar, gugup atau harap harap cemas

Nama "Indonesia" juga seakan akan sesosok person. Ia tak hanya menandai sebuah 
tempat. Ketika Bung Karno menyebut pidato pembelaannya di depan mahkamah 
kolonial "Indonesia menggugat", nama itu mengacu ke sesuatu yang menderita 
sakit karena ketidakadilan, tapi juga mengidamkan sebuah hari esok yang bebas. 
Tak begitu jelas batas "sesuatu" itu, tapi ia mengandung energi yang dahsyat 
yang membuat Bung Karno berani masuk sel penjara dan banyak pemuda tak gentar 
mengorbankan diri.

"Indonesia" telah jadi sebuah "penanda kosong" ala Laclau. Tak ada yang dengan 
sendirinya mampu secara tuntas dan penuh mengisikan sebuah makna ke dalamnya. 
Yang terjadi hanya: masing masing orang atau pihak memaknainya, dengan bersaing 
atau bersengketa. Buku Elson adalah riwayat pengisian "penanda kosong" yang 
berbunyi "Indonesia" itu.

Bagi para peneliti antropologi pada abad ke 19, dari Prancis, Inggris, Jerman, 
dan Belanda, "Indonesia" adalah sebuah konsep praktis buat kerja. Tapi orang 
Belanda umumnya tak memahami ini. Salah seorang dari mereka di sidang Volksraad 
berpendapat, nama "Indonesia" lebih cocok untuk merek cerutu.

Sebaliknya bagi para pemuda yang datang dari tanah jajahan ke Nederland. Di 
tanah asing itu tumbuh rasa kebersamaan tersendiri, baik di kalangan yang 
datang dari Aceh maupun Ambon, yang keturunan Cina atau Jawa. Dari kebersamaan 
itu, nama "Indonesia" jadi sederet bunyi yang mempersatukan, dan dengan 
persatuan itu mereka menuntut kemerdekaan. Mula mula mereka tak menyetujui 
membentuk cabang Budi Utomo (karena terbatas "orang Jawa"). Mereka membentuk 
"Indische Vereniging" (IV). Kemudian jadilah "Indonesisch Verbond van 
Studeerende" (IVS).

Para politikus kolonial yang konservatif seperti H. Colijn mencoba menunjukkan 
bahwa persatuan Indonesia mustahil, karena perbedaan suku dan ras yang ada. 
"Indonesia" bagi orang orang ini hanya ilusi. Tapi pandangan ini tak berjejak. 
Dalam sebuah pertemuan IV, pemuda dari Minahasa, G.S.S.J. Ratu Langie, 
menegaskan perlunya "persaudaraan" pelbagai suku dan ras di "Indonesia". Buku 
Elson juga mencatat, dalam sebuah pertemuan IVS pada 1920, putra mahkota 
Kesultanan Yogyakarta menyebut diri sebagai "seseorang yang dalam batas 
tertentu mewakili orang Jawa, dan dengan demikian juga bagian dari Indonesia". 
Lalu ia pun menutup pidatonya dengan seruan, "Hidup Indonesia!"

Dari sejarah itu tampak, saya kira, yang paling berhasil mengisi makna 
"Indonesia" adalah dua tokoh sebuah partai radikal, Indische Partij.

Yang pertama Suwardi Suryaningrat, yang kelak jadi Ki Hajar Dewantara. Dalam 
majalah Hindia Poetra yang diterbitkan kembali pada 1919, aktivis itu 
menyatakan: "… orang Indonesia adalah siapa saja yang menganggap Indonesia 
tanah airnya, tak peduli apakah ia Indonesia murni ataukah ia punya darah Cina, 
Belanda, dan bangsa Eropa lain dalam jasadnya."

Yang kedua adalah E. Douwes Dekker, yang kemudian dikenal sebagai Setiabudi. 
Aktivis berdarah Eropa ini menulis surat terbuka ke Ratu Wilhelmina pada April 
1913: "Bukan, Paduka Yang Mulia. Ini bukan tanah air Paduka. Ini tanah air 
kami…."

Dan ketika dua teman seperjuangannya, Cipto Mangun­kusumo dan Suwardi, 
ditangkap dan dibuang oleh pemerintah kolonial, ia menulis, dengan rasa sedih, 
tapi dengan sikap teguh: "Kami berdiri, bukan hanya… berdampingan satu sama 
lain, tapi juga di dalam satu sama lain."

Kata kata Suwardi dan Dekker terbukti jadi kenyataan 100 tahun kemudian, pada 
hari ini. Indonesia bukan sekadar multi kultural, tapi juga inter kultural: 
tiap orang jadi Indonesia karena memasukkan kebudayaan yang lain ke dalam 
dirinya. Sebab Indonesia bukanlah ke bhineka an yang bersekat sekat seperti 
dalam rezim apartheid. Indonesia adalah sebuah proses yang eklektik, bercampur, 
berbaur dengan bebas.

Dengan itu, Indonesia, si "penanda kosong" ini, mengimbau siapa saja tak putus 
putusnya, menggerakkan "kami" jadi "kita". Ia tak pernah sempit. Ia hidup dalam 
ruang dan waktu, tapi ia terasa tak berhingga.

Goenawan Mohamad


Kirim email ke