Baraya, Ieu aya artikel kenging mulung tina millis sabeulah, nu nganalisis perkawis Pasantren / Islam di lembur urang, di Jawa Barat. Cenah mah sumberna ti Majalah Gatra No 14 nu medal kaping 13/02/06. Artikelna nyanggakeun :
Pesantren, wajah Puritan Pondok Ajengan BERMODAL komitmen menampung aspirasi penerapan syariat Islam, Wasidi Swastomo terpilih jadi Bupati Cianjur, Jawa Barat, lima tahun silam. Janji itu ia buktikan dengan membuat Gerakan Pembangunan Masyarakat Berakhlaqul Karimah. Disingkat Gerbang Marhamah. Setelah menjabat lima tahun, Wasidi mencalonkan kembali, lewat pilkada langsung, 30 Januari silam. Tapi, malang, ia kalah. Rabu pekan lalu, KPUD Cianjur mengumumkan, Wasidi hanya jadi runner-up, dengan 309.000 suara. Kalah tipis oleh jagoan PKS-Demokrat, Tjetjep Muhtar, dengan 311.000 suara. Apakah penduduk Cianjur tidak berselera lagi dengan syariat Islam? ''Bukan!'' kata Zeni Akhmad, Ketua PKB Cianjur, pendukung Wasidi. ''Berbagai survei membuktikan, 80% masyarakat Cianjur mendukung Gerbang Marhamah.'' Kekalahan Wasidi, menurut Zeni, justru karena dikembangkan opini bahwa Wasidi tidak setia lagi pada perjuangan Islam. Sekitar enam bulan lalu, berkembang tudingan: Bupati Wasidi mengizinkan pendirian bangunan baru di kawasan Gereja Lembah Karmel, Cianjur. ''Isu itu sangat sensitif bagi warga Cianjur,'' kata Zeni. Koordinator Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat Cianjur, Dedy Suherly, mengungkapkan analisis serupa. Sentimen keislaman masih penting untuk memikat hati masyarakat Cianjur. Selain Cianjur, Tasikmalaya dan Garut juga dikenal kental religiusitas warganya. Ketiganya sama-sama jadi garda depan formalisasi syariat Islam di Jawa Barat. Ini tampak pada konstelasi politik lokal. Dua partai berbasis massa Islam menjadi fraksi terbesar. PPP meraup 12 kursi di Tasikmalaya. PKS meraih 14 kursi di Garut. Peta politik tiga daerah di Jawa Barat, yang mencerminkan kentalnya visi keagamaan warga, itu pararel dengan penelitian International Center for Islam and Pluralism (ICIP), Jakarta. Riset kualitatif ini dilakukan pada 20 pesantren di 10 kabupaten/kota se-Jawa Barat, September-Oktober 2005. Mulai Ciamis, Tasikmalaya, Garut, Bandung, Cianjur, Sukabumi, Bogor, Majalengka, Kuningan, sampai Cirebon. Targetnya, menggali persepsi mereka terhadap pluralisme dan multikulturalisme. Kaukus pesantren yang diteliti ini tergabung dalam Badan Kerja Sama Pondok Pesantren Indonesia (BKSPPI). ''Ini organisasi pesantren yang tidak di bawah NU,'' kata KH Amien Noer, Ketua BKSPPI (berdiri sejak 1972). Anggotanya memiliki ikatan emosional sebagai sesama bekas basis Masyumi. ''Secara umum, pesantren di Jawa Barat lebih puritan dibandingkan dengan pesantren-pesantren di Jawa Timur,'' kata Jajang Jahroni, peneliti ICIP. Hasil riset ini dilansir dalam lokakarya di Depok, selatan Jakarta, 17 Januari silam. Soal penerapan syariat Islam, semua responden sepakat sebagai keharusan. Hanya berbeda dalam cara. Ada yang mengharuskan wadah negara Islam, ada yang tidak. Hasrat kuat penerapan syariat, seperti tampak di Cianjur, Tasikmalaya, dan Garut tadi, bermuara secara formal dalam peraturan daerah (perda). Ini berbeda dengan kantong-kantong santri di Jawa Timur. Seperti Jombang, Kediri, Tuban, dan kawasan ''tapal kuda''. Ekspresi keberagamaan di sana, betapapun kental, tidak mengemuka dalam perda. Begitu juga di Mataram dan Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat. Meskipun didominasi peran para tuan guru, formalitas syariat bukan prioritas. Fenomena Jawa Barat lebih mirip wajah Sulawesi Selatan dan Nanggroe Aceh Darussalam. ''Kebetulan kawasan itu pernah menjadi basis Darul Islam,'' kata Jajang. Responden menandaskan, toleransi agama hanya terbatas pada masalah sosial-politik. Tak ada toleransi dalam akidah. Karena itu, haram mengucapkan selamat Natal. Haram juga menghadiri ritual hari besar agama lain. ''Masing-masing saja memperingati hari besar agama, yang penting tidak saling mengganggu,'' kata KH Amien Noer. ''Kita jangan sampai mengorbankan akidah.'' Bagi KH Rais Ahmad, Wakil Ketua BKSPPI, haramnya ucapan selamat Natal tak penting dipersoalkan. ''Itu terlalu kecil dibandingkan dengan toleransi yang telah diberikan mayoritas pada minoritas berupa keamanan,'' katanya. Mereka setuju fatwa MUI bahwa Ahmadiyah sesat. Satu paket dengan pandangan ihwal toleransi, kalangan pesantren yang diteliti juga menolak pluralisme, liberalisme, dan sekularisme. Jaringan Islam Liberal (JIL) dan berbagai agenda wacananya mereka tentang. Sikap anti-JIL makin menguat setelah keluarnya fatwa MUI. ''Pesantren yang paling moderat sekalipun cenderung resisten pada JIL, apalagi kalau artikulasinya agak provokatif,'' ujar Jajang Jahroni. Namun Jajang menemukan pandangan lebih terbuka di kalangan ustad-ustad muda di pesantren. Mereka lebih mudah diajak berdialog dan bisa mengerti tema-tema Islam liberal, seperti pluralisme agama dan perkawinan antaragama. ''Tapi mereka bilang, itu bukan untuk konsumsi publik,'' papar dosen UIN Jakarta itu. ''Dari penelitian ini, saya makin yakin, pesantren itu tidak seragam, amat beragam,'' kata Bambang Pranowo, guru besar sosiologi agama UIN Jakarta. ''Pesantren di Jawa Barat, meski berkultur NU, orientasi politiknya cenderung seperti Masyumi.'' Berbeda dengan Jawa Timur yang tradisionalis ala NU. Bambang menilai, tantangan lokal masing-masing kawasan berpengaruh pada tampilan pesantren. Pesantren di Jawa Barat lebih dekat dengan agenda Masyumi, khususnya dalam menentang komunisme. Pesantren Jawa Timur lebih menekankan pendalaman agama karena berdekatan dengan sisa-sisa Hindu-Buddha. Sementara sebagian pesantren Jawa Tengah, terutama Muhammadiyah, menekankan dakwah mengimbangi Kristenisasi dan menentang bid'ah. Dalam hal wacana keagamaan, menurut Jajang Jahroni, pesantren di Jawa Timur lebih terbuka. ''Mereka sudah biasa membaca karya-karya Syatibi dan Nasr Hamid yang cenderung progresif,'' ujar Jajang. BKSPPI sendiri sempat mengalami pergeseran. Semula, oleh pendirinya, KH Sholeh Iskandar (Bogor), organisasi ini berorientasi menjadi basis pengembangan masyarakat. Mereka terbuka bekerja sama dengan mitra asing, termasuk Barat, untuk mengembangkan pesantren. Sepeninggal KH Sholeh, BKSPPI di bawah kepemimpinan KH Kholil Ridwan (1994-2002) dinilai makin konservatif. ''Juga makin politis, amat dekat dengan ICMI dan para jenderal hijau di TNI,'' papar Jajang, Mereka menutup kerja sama dengan mitra Barat. Maunya hanya dengan mitra Timur Tengah. KH Amien Noer menjelaskan, kesan pergeseran itu akibat cara menyikapi tantangan. ''Waktu belum banyak partai politik Islam, pada masa Orde Baru, BKSPPI lebih banyak masuk arena politik,'' katanya. ''Setelah reformasi, aspirasi politik umat Islam makin terbuka. Sekarang kami kembali membenahi pesantren.'' Meski anggota BKSPPI beragam, ada unsur NU, Persis, dan Masyumi, kerja samanya tetap terbangun. ''Yang penting, kita sesama Islam,'' kata KH Amien. Ia sedih ada sejumlah alumnus pesantren yang terseret ikut aksi bom bunuh diri. Dari tujuh pemuda yang pernah beraksi, tiga orang dari Jawa Barat (Heri Golun/Sukabumi, Salik Firdaus/Majalengka, dan Ayib Hidayat/Ciamis). ''Itu karena ketimpangan pendidikan dan frustrasi menghadapi persaingan hidup,'' ujar KH Amien. ''Maka, kami konsentrasi membekali santri dengan skill agar punya daya saing.'' ''Lewat penelitian ini,'' kata Syafi'i Anwar, Direktur ICIP, ''Kami ingin mendapatkan data objektif untuk membantu BKSPPI, agar umat Islam lebih maju.'' Peneliti berkesimpulan, banyak pandangan yang kurang sejalan dengan agenda toleransi dan demokratisasi. Tapi tidak berarti kaum konservatif menang dan muslim moderat kalah. ''Karena dialog dua pandangan itu masih terus belangsung,'' kata Jajang. Asrori S. Karni [Nasional, Gatra Nomor 14 Beredar Senin, 13 Februari 2006] Komunitas Urang Sunda --> http://www.Urang-Sunda.or.id Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/urangsunda/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/