http://www.radarbanjarmasin.com/berita/index.asp?Berita=Opini&id=72529


 Sabtu, 13 Desember 2008

Aruh Sastra 2008 Tutup Mulut
Oleh: HE. Benyamine*



Kalimantan Selatan, tepatnya di Balangan, pada 12 sampai 14 Desember ini akan 
berlangsung suatu perhelatan besar tentang sastra dan kesusastraan. Aruh Sastra 
V namanya. Bagi kalangan sastrawan dan penggiat sastra dan kesusastraan tentu 
sudah tidak asing lagi. Masyarakat umum pada saat ini hanya mendengar 
sayup-sayup, bahkan hampir tak terdengar, padahal acara tersebut merupakan 
moment yang sangat besar bagi perkembangan sastra dan kesusastraan di Kalsel, 
atau lebih kerennya merupakan ajang untuk menunjukkan adanya suatu gerak 
kemajuan dalam dunia sastra, khususnya di Kalsel. 

Halaman Radar Banjarmasin Minggu, Cakrawala Sastra & Budaya, dalam beberapa 
minggu ini terakhir memang memuat hasil Lomba Cerpen dan Puisi Aruh Sastra 
2008, namun masih saja terasa sepi dan senyap perjalanan menuju aruh sastra 
tersebut. Seakan, tiada hiruk pikuk dan berbagai kesibukan yang menandakan akan 
adanya suatu pertemuan (hajatan) besar dalam dunia sastra Kalsel di Balangan. 

Memang ada perdebatan, atau lebih tepatnya gugatan, atas terbitnya Ensiklopedia 
Sastra Kalimantan Selatan (ESKS) dari Balai Bahasa Banjarmasin (BBB), yang juga 
menghiasi lembaran Carkrawala dalam beberapa bulan terakhir. Kehadiran ESKS 
yang sebenarnya sudah cukup untuk dimaklumi sebagai suatu kelahiran tidak 
normal dan membawa cacat bawaan, lebih cenderung mendominasi berbagai 
pembicaraan kalangan yang konsen terhadap sastra dan kesusastraan, dan terlalu 
banyak menyita kesempatan dalam ruang media yang terbatas hanya setiap Minggu, 
sehingga pra Aruh Sastra berlalu begitu saja tanpa ada pergulatan, pergumulan, 
perdebatan, lontaran ide dan gagasan, pandangan terhadap perkembangan dan 
pertumbuhan sastra dan kesusastraan sejak aruh sebelumnya, dan bagaimana 
harapan ke depan. 

Perdebatan tentang kehadiran ESKS, berdasarkan tulisan di halaman Cakrawala, 
memberikan kesan terlalu membesarkan sesuatu yang sebenarnya hanya bagian 
sempit dan kecil dari dunia sastra Kalsel. Para peneliti sastra, tidak terlalu 
naif untuk hanya mempercayai satu ensiklopedia sebagai rujukan dalam 
penelitiannya, sehingga ESKS tidakalah mampu mewakili luasnya sastra dan 
kesusastraan Kalsel. Juga, cenderung memposisikan para sastrawan Kalsel sangat 
tergantung dengan pemerintah dalam melaksanakan aktivitas dan kegiatan sastra. 
Apalagi, perdebatan ini dapat dikatakan tidak terlalu relevan dengan hajatan 
besar masyarakat sastra Kalsel di Balangan. 

Masyarakat sastra Kalsel sudah sepatutnya mengarahkan segenap hati dan 
pikirannya dalam menyongsong Aruh Sastra V di Balangan. Membongkar kemapanan 
sastra Kalsel dalam setahun terakhir, agar tercipta keadaan "berantakan" yang 
kemudian digulirkan dalam berbagai kesempatan dan media oleh para sastrawan, 
seniman, dan pekerja sastra untuk dipilah, dipisahkan, dikelompokkan, dan 
disusun kembali. Bagaimanapun, pembicaraan ESKS merupakan contoh yang cenderung 
kepada kemapanan sastra, sedangkan bentuk bukunya yang lahir cacat seakan telah 
mengganggu kemapanan tersebut. 

Aruh Sastra V terlalu besar jika hanya sekadar hajatan "kumpul-kumpul" yang 
cenderung kangen-kangenan dan nostalgia dengan berbagai acara hiburan 
"ngesastra". Hajatan besar ini harus mampu memunculkan "prahara budaya" yang 
terjadi di Kalsel, dan dimana posisi para sastrawan dan seniman di dalamnya. 
Para sastrawan, yang memilih posisi tertentu dengan konsekuensi peran yang 
harus dimainkan, harus mulai terlibat dengan berbagai persoalan yang dihadapi 
oleh masyarakat Kalsel. Pembicaraan pertumbuhan, pembinaan, dan perkembangan 
sastra di Kalsel biarlah menjadi lahannya komunitas kecil sastra dan berskala 
lokal atau daerah. 

Sastrawan dan seniman Kalsel sudah saatnya menunjukkan keberpihakan kepada 
berbagai masalah kehidupan masyarakat, sekaligus sebagai cara "menginjakkan 
kaki" di bumi, terutama dalam ide dan gagasan yang dilanjutkan dengan sikap 
terhadap setiap persoalan yang "menghujam dan menikam" masyarakat. Hal ini 
memang mempunyai konsekuensi terjadinya hubungan yang kurang "harmonis" dengan 
pemangku kekuasaan, tetapi pilihan cara dan kecenderungan keterbukaan 
memberikan peluang untuk mengurangi ketidakharmonisan tersebut. Kemandirian 
sastrawan dan seniman menjadi penting artinya untuk diperjuangkan. Walaupun 
selama ini para sastrawan dan seniman berusaha menjalin hubungan baik dengan 
elit kekusaan, kepedulian pemerintah terhadap sastra tetap saja masih kalah 
sangat jauh bila dibandingkan dengan kegiatan olahraga. 

Hajatan besar dari Aruh Sastra Kalsel I di Kandangan, HSS (2004), Aruh Sastra 
Kalsel II di Pagatan, Tanah Bumbu (2005), dan Aruh Sastra Kalsel III di 
Kotabaru, Kotabaru (2006), hingga Aruh Sastra Kalsel IV di Amuntai, Hulu Sungai 
Utara masih belum mampu memperlihatkan suatu pilihan peran dan sikap dari para 
sastrawan dan seniman sebagai bagian dari masyarakat untuk bersama-sama 
memperjuangkan kesejahteraan bersama yang lebih baik. Sebagai bagian masyarakat 
dan sebagai entitas bebas yang sadar, para sastrawan dan seniman, haruslah 
terlibat dalam memperjuangkan kebaikan bersama, karena bila masyarakat menjadi 
sejahtera secara otomatis sastrawan dan seniman termasuk di dalamnya. 

Aruh Sastra V jelas bukan hajatan besar untuk tutup mulut. Bersuaralah, 
bersuaralah dengan lantang, karena banyak yang tidak mampu bersuara sebagaimana 
sastrawan dan seniman. Para sastrawan dan seniman serta pencinta sastra dan 
seni, berkumpul untuk suatu hal yang besar sebagai ajang tahunan, yang tentunya 
digagas untuk "memercikkan cahaya" dalam berbagai kesadaran tentang situasi dan 
kondisi daerah. Jelas, harapan besar dibebankan kepada Aruh Sastra V, agar 
hajatan besar ini menunjukkan keberpihakan kepada masyarakat, memberikan cahaya 
penyadaran kepada masyarakat, dan mampu menggerakkan masyarakat untuk meraih 
kesejahteraan yang semestinya. Selamat, sukses Aruh Sastra!*** 
*) Alumni SMA Negeri I Rantau 

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke