Posted by: "endhiq anang pamungkas" [EMAIL PROTECTED]   Wed Sep 26, 2007 6:51 
pm (PST)   Kisah Sebuah Kebiadaban yang Tertutupi

Judul : Dracula, Pembantai Umat Islam dalam Perang Salib
Penulis : Hyphatia Cneajna 
Penerbit : Navila Idea, Yogyakarta
Tebal : xii + 192 halaman
Tahun Terbit : Agustus 2007
Harga : Rp. 29.500,-

Membaca buku setebal 192 halaman ini sangat menarik. Sampul bukunya berwarna 
coklat yang memudar menandakan aroma gothic yang begitu kental. Judul besarnya 
dengan embos warna merah menyala memang menarik mata untuk mengambilnya. 
Apalagi setelah membaca judulnya, Dracula. Memang awalnya akan mengira bahwa 
buku ini buku misteri seperti halnya buku tentang Dracula lainnya. Akan tetapi, 
judul kecil yang berbunyi "Pembantai Umat Islam dalam Perang Salib", tentu 
segera membuat yang memegang buku ini ingin segara untuk membaca keterangan di 
sampul belakang. Setelah membaca kata demi kata di sampul belakang maka akan 
segera mengetahui bahwa buku ini berbeda dengan buku sejenis lainnya, semisal 
buku Dracula karya Bram Stoker.

Buku karya Hyphatia Cneajna ini—nama yang tentunya agak asing bagi telinga 
orang Indonesia ini—yang lengkapnya berjudul Dracula, Pembantai Umat Islam 
dalam Perang Salib, bukan karya fiksi, tapi buku sejarah. Mungkin saja karena 
selama ini kisah tentang Dracula sudah lekat dengan vampir yang haus darah, 
maka penerbit buku ini perlu menambahkan kalimat "Kisah Kebiadaban Count 
Dracula yang Disembunyikan Selama 500 Tahun". Memang buku ini buku sejarah yang 
membabar riwayat Vlad Tepes atau kemudian dikenal dengan nama Dracula secara 
mendetail.

Bab I, yang merupakan pendahuluan, memaparkan tentang latar belakang Perang 
Salib. Perang yang terjadi hampir selama 5 abad ini telah banyak memakan 
korban, baik dari pihak Kristen maupun Islam. Dalam babakan terakhir perang 
tersebut, kekuatan yang terlibat dalam pertempuran semakin mengerucut, yaitu 
Kerajaan Honggaria—sebagai wakil Kristen—melawan Kerajaan Turki 
Ottoman/Usmaniah— sebagai wakil Islam. Dalam situasi inilah Dracula dilahirkan.

Riwayat hidup Dracula dibahas secara mendalam dalam Bab II. Nenek moyong 
Dracula, Randu Negru, merupakan pendiri kerajaan Wallachia, sebuah kerajaan 
yang dibatasi oleh Sungai Danube dan Pegunungan Carphatia. Kalau dilihat dalam 
peta dunia saat ini, Wallachia menjadi bagian dari negara Rumania. Randu Negru 
kemudian beranak pinak di wilayah tersebut. Salah satu keturunannya adalah 
Basarab/Vlad Dracul—"Dracul" berarti "naga"— yang merupakan ayah Dracula. 
Dracula merupakan anak kedua dari Vlad Dracul. Dracula mempunyai nama asli Vlad 
Tepes. Nama Dracula sendiri berasal dari bahasa Rumania, Draculea. Akhiran "ea" 
dalam bahasa Rumania berarti "anak dari", jadi Draculea berarti anak dari 
Dracul. 

Sebagai anak yang sering ditinggal ayahnya dalam keberbagai peperangan membuat 
Dracula tumbuh menjadi pribadi yang tidak bahagia. Ketidakbahagiaan ini semakin 
bertambah ketika pada umur 11/12 tahun ia harus menjadi tawanan Kerajaan Turki 
Ottoman. Walaupun di Turki ia diperlakukan dengan baik namun Dracula merasa 
bahwa dirinya telah dicampakkan dari masa kecil, kampung halaman, ibu serta 
keluarganya. Dari sinilah rasa dendam Dracula terhadap Kerajaan Turki Ottoman 
bermula. 
Hampir selama 5 tahun Dracula berada di Turki. Ketika usinya beranjak 17 tahun 
ia dikirim oleh Kerajaan Turki Ottoman untuk mengisi kekosongan tahta Wallachia 
setelah kematian kakaknya. Tahta Wallachia pun akhirnya bisa ia duduki. Dan, 
sejak berkuasa inilah kekejaman Dracula mulai tampak. Selama masa 
pemerintahannya yang berlangsung hanya 6 tahun ia telah membantai kurang lebih 
500.000 penduduk Wallachia. Tentu saja jumlah korban tersebut tidak bisa 
dikatakan kecil dalam konteks abad pertengahan.

Sebagian besar korban pembantaian Dracula dibunuh dengan cara yang keji. 
Sebelum dibunuh mereka disiksa terlebih dahulu. Macam-macam penyiksaan Dracula 
tersebut dibahas dalam Bab III buku ini. Metode penyiksaan yang digunakan 
Dracula untuk menyiksa korban-korbannya antara lain penyulaan, merebus korban 
hidup-hidup, memaku kepala korban, menjerat leher korban, merusak organ vital 
perempuan, dan beberapa metode penyiksaan lain yang tak kalah kejam. Di antara 
metode penyiksaan tersebut penyulaan merupakan yang paling terkenal. Penyulaan 
merupakan penyiksaan dengan cara memasukkan kayu—sebesar lengan tangan orang 
dewasa yang telah dilancipkan ujungnya—ke dalam anus. Setelah sula masuk 
kemudian tubuh korban dipancangkan sehingga kayu sula terus masuk menembus 
tubuh korban hingga tembus ke bagian leher, punggung, atau kepala. Biasanya 
penyiksaan semacam ini dilakukan oleh Dracula secara massal, sehingga sekali 
melakukan "upacara" penyulaan jumlah korbannya bisa mencapai 2.000
orang.

Di antara korban-korban Dracula sebagian besar adalah umat Islam. Siapa saja 
umat Islam yang menjadi korban Dracula dijelaskan dalam Bab IV. Hyphatia 
memperkirakan jumlah korbannya mencapai 300.000 orang. Mereka ini sebagian 
besar merupakan pendukung Kerajaan Turki Ottoman yang berada di wilayah 
Wallachia. Sebagian besar korban tersebut dibunuh dengan cara disula, sebagian 
yang lain dibunuh dengan cara dibakar hidup-hidup, diracuni dan disiksa dengan 
cara yang lain. Masa inilah dikenal di Wallachia sebagai masa teror yang paling 
mengerikan.

Masa teror terhadap umat Islam dan penduduk Wallachia baru berakhir ketika 
Dracula terbunuh. Tentang di mana Dracula terbunuh dan kuburannya dipaparkan di 
Bab V. Dalam bab ini didedah segala mitos yang melingkupi Dracula, termasuk 
kuburan Dracula yang setelah digali ternyata tak ada jasadnya lagi. Pun, 
dibahas tentang kematian-kematian misterius yang menimpa penduduk Wallachia dan 
sekitarnya setelah kematian Dracula, yang konon kabarnya kematian tersebut ada 
hubungannya dengan Dracula.

Segala bentuk kekejaman Dracula yang dipaparkan dalam bab demi bab buku ini 
masih tertutupi hingga kini. Sampai saat ini Dracula lebih dikenal sebagai 
vampir yang haus darah daripada pembunuh berdarah dingin. Hal ini terjadi 
karena Barat memang berusaha mengaburkan kisah hidup Dracula yang sesungguhnya. 
Mengapa Barat berusaha keras menyembunyikan jadi diri Dracula? Apa hubungan 
Dracula dengan bawang putih dan salib dalam konteks penjajahan sejarah? Mengapa 
pembunuh Dracula yang sebenarnya tidak banyak ditampilkan? Semua jawaban dari 
pertanyaan-pertanya an tersebut diuraikan dengan tuntas oleh Hyphatia di Bab VI 
karyanya.

Buku karya Hyphatia Cneajna ini menarik karena dua hal. Pertama, buku ini 
menampilkan fakta-fakta yang belum banyak diketahui oleh masyarakat secara 
luas. Pada saat membacanya segala fakta-fakta yang ada dalam buku ini ibarat 
tamparan yang membuat kita sadar bahwa selama ini sosok Dracula merupakan sosok 
nyata yang kemudian lebih dikenal sebagai sosok fiski. Kedua, buku ini mengajak 
kita untuk selalu kritis terhadap sejarah. Sebuah sejarah yang seakan-akan 
sudah menjadi kebenaran ternyata seringkali berisi kebohongan-kebohong an. 
Dengan dua kelebihan ini—dan tentunya dengan kekurangan yang ada di 
dalamnya—buku ini layak dibaca oleh seluruh lapisan masyarakat. [*]

===========

Dracula:
Fakta yang Menjadi Fiksi

(Makalah ini disampaikan dalam bedah buku "Dracula, Pembantai Umat Islam dalam 
Perang" di auditorium Fakultas Ilmu Budaya UGM)

Oleh: Ragil Nugroho


Sejarah semestinya menjadi cermin paling jernih bagi umat manusia untuk menatap 
masa depan. Tetapi bagaimana kalau sejarah telah dibelokan oleh kelompok 
pemenang?

Sejarah Superhero
Filsuf dan sekaligus aktivis gerakan kiri Italia, Antonia Gramsci, dalam 
teorinya tentang hegemoni (peracunan kesadaran), mengungkapkan bahwa seringkali 
sejarah ditentukan oleh kekuasaan yang menang. Sejarah semacam ini akan memuja 
kelas yang berkuasa dan sekaligus mencemooh kelas yang kalah; ia hanya akan 
berbicara tentang para raja bukan tentang para kawula. Akibatnya, kelas yang 
subaltern (dikalahkan) harus berada di luar gelanggang sejarah, yang artinya 
tidak mempunyai peran apa-apa dalam sejarah. Sehingga tepat kalau sejarah jenis 
ini disebut sejarah "Superhero".

Lebih lanjut Gramsci dalam bukunya yang cukup fenomenal, Notes on Italian 
History (1934), menuturkan bahwa sebetulnya kelas subaltern—mereka ini terdiri 
dari petani, buruh, kaum miskin perkotaan, gelandangan dan kelompok-kelompok 
lain yang termarjinalkan— mempunyai sejarah sendiri yang tidak kalah 
kompleksnya dengan sejarah kelas yang berkuasa. Akan tetapi, akibat posisi yang 
tertindas membuat mereka tak bisa menuliskan sejarah mereka sendiri dan harus 
menerima "sejarah resmi" yang dibuat oleh kelas yang berkuasa. 
T
eori yang dikemukan Gramsci di muka sangat tepat untuk melihat penulisan 
sejarah yang dominan dewasa ini. Apa yang dikatakan oleh Gramci itu tampak 
demikian kasat mata. Di antara sekian banyak negara, Amerika Serikat merupakan 
salah satu negara yang gemar memproduksi sejarah superhero. Agar gampang 
melihat fakta-faktanya tengok saja film-film produksi mereka seperti Supermen, 
Batman, Rombo dan lain sebagainya. Dalam kasus film Rambo misalnya, terlihat 
dengan jelas bagaimana Amerika Serikat ingin selalu menjadi bangsa pemenang 
walaupun mereka mengalami kekalahan telak di Vietnam. Mereka ingin tetap 
menjadi superhero walaupun sebetulnya telah terpuruk. Selaian yang dilakukan 
oleh Amerika Serikat, sejarah superhero bisa dilihat dari sejarah para 
diktator—semisal Stalin, Hilter, Mao. Para diktator tersebut berusaha 
mengagung-agungkan sejarahnya sendiri agar diri mereka layak disebut superhero. 
Apabila ada sejarah yang berlawan dengan yang mereka mauni maka akan dibungkam
untuk selama-lamanya.

Dalam khazanah penulisan sejarah di Indonesia sejarah superhero juga akan 
banyak kita dapatkan. Para penguasa berusaha agar nama mereka digoreskan dengan 
tintas emas, sebagai pahlawan, sementara musuh-musuh mereka harus dikutuk 
menjadi manusia jahat atau menjadi hewan. Hal ini terlihat jelas dalam sejarah 
para raja pada masa feodal. Erlangga misalnya, menjadikan Calon Arong—musuh 
politiknya—sebagai tukang sihir yang suka mandi darah. Senopati juga melakukan 
hal serupa, dengan tipu daya khas seorang Machialevis, menuduh Ki Ageng Mangir 
sebagai pemberontak yang layak dibunuh. Atau, bagaimana Sangkuriang dikisahkan 
dalam wujud manusia yang berubah menjadi seekor anjing akibat penentangannya 
terhadap kekuasaan yang dominan saat itu. Melangkah pada zaman yang lebih 
modern, sejarah superhero ini terus berlanjut. Hal ini sangat kesat mata ketika 
Soeharta berkuasa. Ia buat sejarahnya sendiri sebagai pahlawan dalam Serangan 
Umum 1 Maret dan sebagai penumpas gerombolan liar PKI
yang katanya akan merongrong Pancasila. Sebagaimana para leluhurnya yang gila 
akan nama kebesaran—raja- raja Mataram selalu bergelar Hamengkubuwona (pemangku 
dunia) dan Pakubuona (paku dunia)—Soeharto pun mengangkat dirinya sebagai Bapak 
Pembangunan. Sejarah-sejarah seperti inilah yang menjadi "sejarah resmi" di 
Indonesia hingga saat ini. Bisa dikatakan bahwa manusia Indonesia sejak dalam 
kandungan sampai akan menjemput ajal dicecoki oleh sejarah superhero.

Dalam bandul sejarah yang condong pada sejarah superhero itulah bayang-bayang 
mitos begitu kuatnya sehingga menelan fakta. Ia telah menelusup pada pola pikir 
masyarakat. Mitos-mitos baru pun terus-menerus direproduksi. Tak sadar bahwa 
mitos-mitos tersebut telah melenakan dan semakin melapukkan sejarah itu sendiri.

Penjajahan Sejarah
Dalam bukunya yang sudah menjadi klasik, Orientalisme, Erdwad W Said, 
memaparkan tentang dominasi Barat dalam menciptakan pandangan tunggal. Ia 
memaparkan bahwa Barat membuat penilian tentang Timur. Dalam pandangan Barat, 
Timur merupakan sekumpulan bangsa irasional, lemah-lembut dan eksotis. 
Sedangkan dalam memberikan penilaian terhadap dirinya sendiri mereka menyebut 
sebagai bangsa yang rasional, penuh perhitungan dan dinamis. Dengan penilian 
seperti itu bangsa Barat ingin memberikan citra bahwa mereka berbeda dengan 
bangsa lain yang ada di Timur. 

Tak terasa, penilian yang dilakukan oleh Barat tersebut termakan oleh 
bangsa-bangsa Timur. Mereka menjadi alpa menilai diri mereka sendiri dan 
menyerahkan semuanya terhadap Barat. Mereka memandang diri mereka lebih rendah 
dari Barat. Mereka merasa tak layak hidup sejajar dengan Barat. Dari proses 
seperti inilah penjajahan sejarah bermula, dan kemudian berujung pada 
penjajahan sebuah bangsa. 

Memang masih jarang yang mengupas penjajahan sejarah ini. Para aktivis maupun 
intelektual selama ini gaduh berdebat tentang penjajahan ekonomi dan politik, 
masih jarang memperdebatkan penjajahan sejarah ini. Padahal penjajahan sejarah 
tak kalah berbahaya dari bentuk-bentuk penjajahan yang lainnya. Apabila hal ini 
tak dilawan maka apa yang pernah dikatakan Milan Kundera, "maka tak lama 
setelah itu bangsa tersebut akan mulai melupakan apa yang terjadi sekarang dan 
pada masa lampau, akan benar-benar mewujud. 

Sebuah bangsa yang telah terjajah sejarahnya akan tumbuh menjadi bangsa yang 
rapuh. Mereka akan kehilangan kebanggaan terhadap dirinya sendiri. Mereka akan 
lupa tentang jati dirinya. Maka ketika suatu bangsa sudah kehilangan 
kepercayaan diri dan buta akan dirinya sendiri, ia akan mudah terombang-ambing. 
Akibatnya, sebagai pegangan mereka akan berpegangan pada bangsa yang menurut 
mereka lebih "kuat" dan "maju". Dan, secara tak sadar mereka telah jatuh pada 
cengkraman negara lain.

Penjajahan sejarah ini sangat efektif untuk melakukan penjajahan terhadap 
sebuah bangsa secara keseluruhan. Sebagai contoh adalah yang akhir-akhir ini 
digembor-gemborkan oleh AS dan sekutunya tentang terorisme. Mereka menciptakan 
sejarah baru bahwa Afganistan dan Irak merupakan sarang teroris. Dengan sejarah 
rekaan tersebut telah melapangkan jalan bagi mereka untuk melakukan 
invasi/penjajahan. Alasan mereka yang sebenarnya—menguasi sumber minyak di 
Timur Tengah—bisa mereka tutup-tutupi dengan dalih mengejar gembong teroris. 

Arnold Toynbee dalam karyanya Mankind and Mother Earth A Narrative History of 
Word (1975), memberikan pemaparan bahwa penjajahan sejarah telah membuat 
sejarah hanya berisikan masa lalu yang mengarah pada kuasa pengaruh Barat. 
Akibatnya, peristiwa-peristiwa masa lalu lainnya dianggap tidak relevan dan 
karena oleh itu bisa diabaikan. Lebih lanjut Toynbee memberikan uraian bahwa 
akibat westernisasi sejarah tersebut, negara-negara yang terbaratkan menjadi 
subordinat dan terpinggirkan. 


Membongkar Sebuah Kebohongan 
Kisah hidup Dracula merupakan salah satu contoh bentuk penjajahan sejarah yang 
begitu nyata yang dilakukan Barat. Kalau film Rambo merupakan suatu fiksi yang 
kemudian direproduksi agar seolah-olah menjadi nyata oleh Barat, maka Dracula 
merupakan kebalikannya, tokoh nyata yang direproduksi menjadi fiksi. Bermula 
dari novel buah karya Bram Stoker yang berjudul Dracula, sosok nyatanya 
kemudian semakin dikaburkan lewat film-film seperti Dracula’s Daughter (1936), 
Son of Dracula (1943), Hoorof of Dracula (1958), Nosferatu (1922)—yang dibuat 
ulang pada tahun 1979—dan film-film sejenis yang terus-menerus diproduksi.

Lantas, siapa sebenarnya Dracula itu?

Dalam buku berjudul "Dracula, Pembantai Umat Islam Dalam Perang Salib" karya 
Hyphatia Cneajna ini, sosok Dracula dikupas secara tuntas. Dalam buku ini 
dipaparkan bahwa Dracula merupakan pangeran Wallachia, keturunan Vlad Dracul. 
Dalam uraian Hyphatia tersebut sosok Dracula tidak bisa dilepaskan dari 
menjelang periode akhir Perang Salib. Dracula dilahirkan ketika peperangan 
antara Kerajaan Turki Ottoman—sebagai wakil Islam—dan Kerajaan 
Honggaria—sebagai wakil Kristen—semakin memanas. Kedua kerajaan tersebut 
berusaha saling mengalahkan untuk merebutkan wilayah-wilayah yang bisa 
dikuasai, baik yang berada di Eropa maupun Asia. Puncak dari peperangan ini 
adalah jatuhnya Konstantinopel— benteng Kristen—ke dalam penguasaan Kerajaan 
Turki Ottoman.

Dalam babakan Perang Salib di atas Dracula merupakan salah satu panglima 
pasukan Salib. Dalam peran inilah Dracula banyak melakukan pembantain terhadap 
umat Islam. Hyphatia memperkirakan jumlah korban kekejaman Dracula mencapai 
300.000 ribu umat Islam. Korban-korban tersebut dibunuh dengan berbagai 
cara—yang cara-cara tersebut bisa dikatakan sangat biadab—yaitu dibakar 
hidup-hidup, dipaku kepalanya, dan yang paling kejam adalah disula. Penyulaan 
merupakan cara penyiksaan yang amat kejam, yaitu seseorang ditusuk mulai dari 
anus dengan kayu sebesar lengan tangan orang dewasa yang ujungnya dilancipkan. 
Korban yang telah ditusuk kemudian dipancangkan sehingga kayu sula menembus 
hingga perut, kerongkongan, atau kepala. Sebagai gambaran bagaimana situasi 
ketika penyulaan berlangsung penulis mengutip pemaparan Hyphatia:
"Ketika matahari mulai meninggi Dracula memerintahkan penyulaan segera dimulai. 
Para prajurit melakukan perintah tersebut dengan cekatakan seolah robot yang 
telah dipogram. Begitu penyulaan dimulai lolong kesakitan dan jerit penderitaan 
segera memenuhi segala penjuru tempat itu. Mereka, umat Islam yang malang ini 
sedang menjemput ajal dengan cara yang begitu mengerikan. Mereka tak sempat 
lagi mengingat kenangan indah dan manis yang pernah mereka alami."

Tidak hanya orang dewasa saja yang menjadi korban penyulaan, tapi juga bayi. 
Hyphatia memberikan pemaparan tetang penyulaan terhadap bayi sebagai berikut:

"Bayi-bayi yang disula tak sempat menangis lagi karena mereka langsung sekarat 
begitu ujung sula menembus perut mungilnya. Tubuh-tubuh para korban itu 
meregang di kayu sula untuk menjemput ajal." 

Kekejaman seperti yang telah dipaparkan di atas itulah yang selama ini 
disembunyikan oleh Barat. Menurut Hyphatia hal ini terjadi karena dua sebab. 
Pertama, pembantaian yang dilakukan Dracula terhadap umat Islam tidak bisa 
dilepaskan dari Perang Salib. Negara-negara Barat yang pada masa Perang Salib 
menjadi pendukung utama pasukan Salib tak mau tercoreng wajahnya. Mereka yang 
getol mengorek-ngorek pembantaian Hilter dan Pol Pot akan enggan membuka borok 
mereka sendiri. Hal ini sudah menjadi tabiat Barat yang selalu ingin menang 
sendiri. Kedua, Dracula merupakan pahlawan bagi pasukan Salib. Betapapun 
kejamnya Dracula maka dia akan selalu dilindungi nama baiknya. Dan, sampai saat 
ini di Rumania, Dracula masih menjadi pahlawan. Sebagaimana sebagian besar 
sejarah pahlawan-pahlawan pasti akan diambil sosok superheronya dan dibuang 
segala kejelekan, kejahatan dan kelemahannya.

Guna menutup kedok kekejaman mereka, Barat terus-menerus menyembunyikan siapa 
sebenarnya Dracula. Seperti yang telah dipaparkan di atas, baik lewat karya 
fiksi maupun film, mereka berusaha agar jati diri dari sosok Dracula yang 
sebenarnya tidak terkuak. Dan, harus diakui usaha Barat untuk mengubah sosok 
Dracula dari fakta menjadi fiksi ini cukup berhasil. Ukuran keberhasilan ini 
dapat dilihat dari seberapa banyak masyarakat—khususnya umat Islam sendiri—yang 
mengetahui tentang siapa sebenarnya Dracula. Bila jumlah mereka dihitung bisa 
dipastikan amatlah sedikit, dan kalaupun mereka mengetahui tentang Dracula bisa 
dipastikan bahwa penjelasan yang diberikan tidak akan jauh dari penjelasan yang 
sudah umum selama ini bahwa Dracula merupakan vampir yang haus darah.

Selain membongkar kebohongan yang dilakukan oleh Barat, dalam bukunya Hyphatia 
juga mengupas makna salib dalam kisah Dracula. Seperti yang telah umum 
diketahui bahwa penggambaran Dracula yang telah menjadi fiksi tidak bisa 
dilepaskan dari dua benda, bawang putih dan salib. Konon kabarnya hanya dengan 
kedua benda tersebut Dracula akan takut dan bisa dikalahkan. Menurut Hyphatia 
pengunaan simbol salib merupakan cara Barat untuk menghapus pahlawan dari musuh 
mereka—pahlawan dari pihak Islam—dan sekaligus untuk menunjukkan superioritas 
mereka. 
S
iapa pahlawan yang berusaha dihapuskan oleh Barat tersebut? Tidak lain Sultan 
Mahmud II (di Barat dikenal sebagai Sultan Mehmed II). Sang Sultan merupakan 
penakluk Konstantinopel yang sekaligus penakluk Dracula. Ialah yang telah 
mengalahkan dan memenggal kepala Dracula di tepi Danua Snagov. Namun kenyataan 
ini berusaha dimungkiri oleh Barat. Mereka berusaha agar merekalah yang bisa 
mengalahkan Dracula. Maka diciptakanlah sebuah fiksi bahwa Dracula hanya bisa 
dikalahkan oleh salib. Tujuan dari semua ini selain hendak mengaburkan peranan 
Sultan Mahmud II juga sekaligus untuk menunjukkan bahwa merekalah yang paling 
superior, yang bisa mengalahkan Dracula si Haus Darah. Dan, sekali lagi usaha 
Barat ini bisa dikatakan berhasil.

Selain yang telah dipaparkan di atas, buku "Dracula, Pembantai Umat Islam Dalam 
Perang Salib" karya Hyphatia Cneajna ini, juga memuat hal-hal yang selama 
tersembunyi sehingga belum banyak diketahui oleh masyarakat secara luas. 
Misalnya tentang kuburan Dracula yang sampai saat ini belum terungkap dengan 
jelas, keturunan Dracula, macam-macam penyiksaan Dracula dan sepak terjang 
Dracula yang lainnya.

Sebagai penutup tulisan ini penulis ingin menarik suatu kesimpulan bahwa suatu 
penjajahan sejarah tidak kalah berbahayanya dengan bentuk penjajahan yang 
lain—politik, ekonomi, budaya, dll. Penjajahan sejarah ini dilakukan secara 
halus dan sistematis, yang apabila tidak jeli maka kita akan terperangkap di 
dalamnya. Oleh karena itu, sikap kritis terhadap sejarah merupakan hal yang 
amat dibutuhkan agar kita tidak terjerat dalam penjajahan sejarah. Sekiranya 
buku karya Hyphatia ini—walaupun masih merupakan langkah awal—bisa dijadikan 
pengingat agar kita selalu kritis terhadap sejarah karena ternyata penjajahan 
sejarah itu begitu nyata ada di depan kita. [*]




e-mail: [EMAIL PROTECTED]  
  blog: http://mediacare.blogspot.com  
   

       
---------------------------------
Looking for a deal? Find great prices on flights and hotels with Yahoo! 
FareChase.

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke