Temans,
Tulisan di bawah ini tentang pendapat Dian Sastro tentang cantik versi 
Indonesia menarik juga. Betulkah "Kecantikan itu konstruksi politis dari 
ideologi masyarakat yang plural dan berubah-ubah. Siapa pun bisa mendefinisikan 
kecantikan sesuai dengan kriterianya sendiri"? Oleh karenanya "Beauty is still 
in the making"? Betulkah "Kecantikan tak terpaku pada dimensi visual, tapi bisa 
terpancar dari karakter, perilaku, atau pengetahuan"? 

Lalu cantik menurut agama itu bagaimana? Jika cantik menurut agama tidak hanya 
sekedar fisik saja (dimensi visual), apakah laki-laki pelaku poligami itu 
memilih istri-istri selanjutnya berdasarkan hal-hal yang non-fisik atau sekedar 
fisik saja seperti lebih cantik dan lebih muda dari istri-istri sebelumnya? 

Sebenarnya dulu di zaman Rasulullah saat laki-laki tidak dibatasi jumlah 
istrinya dan laki-laki beristri banyak itu sesuatu yang umum terjadi, selain 
keterangan bahwa Siti Aisyah yang dinikahi masih gadis dan yang lainnya sudah 
janda tua beranak banyak dan Rasul monogami puluhan tahun ketika istri pertama 
masih hidup dan sempat menduda beberapa tahun sebelum menikah lagi, apakah ada 
keterangan tentang istri-istri Rasul tentang hal-hal fisik dan non-fisiknya?

salam
Aisha
------------
Kompas, 2 September 2007 
Dian, Cantik Versi Indonesia 
Ilham Khoiri 

Bisa dibilang, Dian Sastrowardoyo (25) sudah menjadi salah satu ikon kecantikan 
dalam industri hiburan di Tanah Air sekarang ini. Tapi, belakangan, gadis ini 
malah mengkritik kriteria cantik yang diproduksi mesin citra yang membesarkan 
dirinya itu. Katanya, "Kecantikan itu hanya konstruksi sosial belaka." 

Kami ngobrol dengan Dian Paramita Sastrowardoyo-begitu nama lengkapnya-di 
pinggir kolam renang di tengah rumah tantenya, Marina Sastrowardoyo-Puteri Duta 
Remaja Indonesia 1975-di kawasan Bangka, Jakarta Selatan, Kamis (30/8) lalu. 
Pakaian bersahaja yang dikenakan dan suasana senja yang hangat membuat 
penampilan dara ini begitu santai, segar, dan nyata. 

Itu berbeda dengan citranya sebagai selebriti yang gemerlap dan seolah tak 
terjangkau, sebagaimana terpampang dalam iklan-iklan kecantikan di layar 
televisi, majalah, atau baliho di jalan. 

Dian seperti baru memperoleh pencerahan tentang hakikat kecantikan. Jika ketemu 
lawan diskusi yang asyik, dia bakal antusias membongkar kompleksitas industri 
kecantikan. Biar lebih meyakinkan, gadis itu tak segan membuka laptop untuk 
membeberkan foto, data, bagan pemikiran, atau sejumlah teori filsafat dan 
budaya yang berbau "akademis". 

"Kecantikan itu konstruksi politis dari ideologi masyarakat yang plural dan 
berubah-ubah. Siapa pun bisa mendefinisikan kecantikan sesuai dengan 
kriterianya sendiri," katanya. Ini kritik serius terhadap anggapan umum, bahwa 
kecantikan merupakan esensi dalam tubuh perempuan yang terbentuk secara 
alamiah. 

Dia fasih membicarakan kecantikan sebagai produk budaya. Ketika menukil 
penggalan teori budaya dan filsafat-seperti pemikiran Immanuel Kant, Michel 
Foucault, Karl Marx, Julia Kristeva, atau Jean Baudrillard-yang kerap 
diungkapkan dalam istilah Inggris-tampangnya sangat serius. 

Maklum saja, tema ini jadi kajian skripsinya yang berjudul Kompleks Industri 
Kecantikan: Sebuah Kritik Sosio Filosofis. Penelitian itu lolos sidang akhir 
dengan penguji dua dosen Universitas Indonesia (UI) Jakarta, Tommy F Awuy dan 
Embun Kenyowati Ekosiwi, di Jurusan Filsafat, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, 
pertengahan Juni lalu. Pembimbing skripsinya adalah Rocky Gerung. Begitulah, 
setelah enam tahun kuliah, gadis itu kini jadi sarjana humaniora. 

Dian menjelaskan, konsep kecantikan selalu berubah-ubah, seperti terlacak dalam 
pergeseran budaya di Eropa-Amerika. Pada zaman kerajaan, cantik identik dengan 
wanita berpinggul besar sebagai simbol kesuburan dan berkulit pucat yang 
menggambarkan kelas atas yang tak pernah ditimpa terik matahari. Citra tubuh 
montok bertahan hingga zaman Marilyn Monroe di Amerika. Tapi, lewat penampilan 
model Twiggy yang kurus-seksi, konsep cantik kemudian lekat dengan tubuh yang 
kerempeng dengan pinggang kecil. 

Belakangan, kecantikan mengacu pada pemikiran kaum postfeminis, yang dengan 
sadar mempermainkan citra cantik dan seksualitas demi memperkuat kekuasaan 
perempuan. Di situ, perempuan jadi obyek sekaligus subyek, seperti Madonna yang 
mempermainkan citra dirinya yang menggoda. "Beauty is still in the making, 
kecantikan masih terus dalam proses menjadi," simpul Dian. 

Dalam zaman kapitalisme terkini, citra cantik itu menjadi permainan rumit 
dengan melibatkan kepentingan dari industri kecantikan, obat-obatan, kesehatan, 
dan industri iklan. Masyarakat bisa jadi korban mode yang dikembangkan produsen 
untuk keuntungan pasar. 

Lantas, dalam situasi semacam itu, bagaimana dengan Dian sendiri yang terlibat 
dalam proyek industri kecantikan? "Saya jadi korban, pelaku, sekaligus saksi," 
katanya. 

Korban 
Dian merasa jadi korban industri kecantikan sejak mengawali debutnya sebagai 
Gadis Sampul tahun 1996, lalu jadi model untuk banyak iklan. Saat itu, dia 
merasa hanya sebagai obyek yang harus merawat tubuh demi memenuhi parameter 
cantik yang ditentukan industri. Itu masih menghinggapinya sampai dia terpilih 
jadi salah satu bintang iklan sabun Lux tahun 2002. 

Dalam acara-acara show di beberapa kota, Dian merasa aneh ketika dijajarkan di 
antara bintang-bintang lain yang punya campuran darah asing (indo), seperti 
Tamara Bleszynki, Luna Maya, dan Mariana Renata. Para perempuan indo itu 
telanjur sudah dicap cantik karena berkulit putih, hidung mancung, dan bertubuh 
tinggi, sedangkan Dian berkulit sawo matang dan tingginya hanya 160-an cm. 

"Saya sempat minder, merasa tidak cantik. Saya seperti orang yang salah tempat. 
Posisi saya semestinya digantikan orang lain yang lebih tinggi dan berkulit 
putih. Itu berlangsung sampai sekitar 1,5 tahun kemudian," katanya. 

Baru empat tahun belakangan, Dian benar-benar menemukan kepercayaan diri: ada 
kecantikan yang berbeda dari citra perempuan indo. "Bukankah saya sama dengan 
kebanyakan perempuan Indonesia? Saya tak terlalu tinggi, tapi manis. Kulit sawo 
matang, tapi bersih. Kalau mengenakan dandanan yang cocok, saya juga menarik. 
Saya cantik!" katanya. 

Bermodal kepercayaan pada kecantikan versi Indonesia itulah, Dian berusaha jadi 
pelaku, subyek, dan bukan lagi korban. Perempuan lain diharapkan juga 
menghargai kecantikan yang muncul dari keunikan pribadi masing-masing. 
Kecantikan tak terpaku pada dimensi visual, tapi bisa terpancar dari karakter, 
perilaku, atau pengetahuan. 

"Akhirnya saya juga bisa bermain dengan kecantikan, play with your beauty. 
Keterlibatan saya dalam industri kecantikan saya manfaatkan untuk jadi saksi 
sekaligus detektif. Kalau ada kejahatan yang dilakukan industri terhadap 
perempuan Indonesia, saya akan berbuat sesuatu," katanya bersemangat. 

Punya sikap 
Dian termasuk artis yang punya sikap dan kesadaran berpikir. Kritiknya pada 
citra cantik yang diproduksi mesin industri hiburan yang membesarkan namanya 
itu membuat dia menyempal dari arus umum artis sekarang yang manut-manut saja 
dikendalikan pasar. Pilihan untuk kuliah filsafat cukup menjelaskan, bagaimana 
gadis ini suka mengasah gagasan dan berpikir kritis. Di sela kesibukan, dia 
masih meneruskan kebiasaan membaca novel atau buku pemikiran. 

"Keluarga saya itu keluarga akademis yang suka seni dan sastra. Dulu, saya mau 
jadi model biar dapat uang untuk biaya kuliah di luar negeri. Ternyata, saya 
keterusan nyebur. Tapi, saya tetap menjalani ini dengan kesadaran kritis," kata 
Dian, yang biasa menyebut sastrawan Subagio Sastrowardoyo dengan panggilan 
"Eyang Bag".(Jimmy S Harianto)

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke