MEDIA INDONESIA Rabu, 03 Agustus 2005
Fatwa MUI dan Konservatisme Agama Ulil Abshar-Abdalla, Direktiur Freedom Institute dan Koordinator Jaringan Islam Liberal (JIL), Jakarta. MUNAS ke-7 MUI telah berakhir, dan menghasilkan, antara lain, 11 fatwa yang cukup menyentakkan masyarakat. Ini bukan kali pertama MUI mengeluarkan fatwa yang mengundang banyak perhatian dan menyisakan polemik di masyarakat. Sebelumnya, MUI telah membuat fatwa yang melarang umat Islam mengucapkan selamat Natal kepada umat Kristen. Lembaga itu juga pernah berfatwa bahwa tenaga kerja perempuan Indonesia tidak boleh bepergian ke luar negeri tanpa disertai oleh seorang laki-laki yang masih merupakan kerabat dekatnya, dikenal sebagai muhrim. Fatwa kontroversial lain dari lembaga ini adalah soal haramnya bunga bank. Bunga bank dianggap sebagai riba yang memang diharamkan dalam Quran. Sudah sejak lama ulama berbeda pendapat, apakah bunga sebagaimana dipraktikkan dalam bank-bank modern adalah riba sebagaimana dimaksud oleh Quran atau tidak. Minggu lalu, MUI mengeluarkan fatwa yang buat saya paling aneh dari seluruh fatwa yang pernah dibuat oleh lembaga ini. Ada tiga soal di antara 11 fatwa yang dihasilkan oleh Munas MUI ke-7 itu yang menurut saya perlu dipersoalkan. Pertama adalah soal haramnya sekularisme, liberalisme, dan pluralisme bagi umat Islam. Mengharamkan gagasan, buat saya, agak aneh bagi orang yang pernah belajar hukum fikih. Dalam ushul fikih (teori hukum Islam), yang disebut sebagai hukum adalah, khithabullahi al muta'alliq bi af'al al mukallafin firman Allah (dan RasulNya) yang berkaitan dengan tindakan orang-orang yang sudah mempunyai tanggung jawab moral. Hukum, dalam tradisi fikih, selalu dikaitkan dengan tindakan. Dengan demikian, tindakan mencuri dan berbohong adalah haram. Tetapi, sangat aneh jika kita mengharamkan suatu pikiran. Sebab, pikiran bukanlah tindakan. Sekularisme, liberalisme, dan pluralisme adalah gagasan. Bagaimana mungkin MUI mengharamkan suatu gagasan? Ini sama anehnya dengan Orde Baru dulu yang mengharamkan marxisme dan komunisme. Kedua, soal larangan bagi umat Islam untuk melakukan doa bersama. Larangan ini jelas menyisakan pro dan kontra. Larangan ini didasarkan pada pertimbangan bahwa jika seorang Muslim ikut doa yang dipimpin oleh orang dari agama lain, maka hal itu berarti mencampuradukkan ibadah dari satu agama dengan agama yang lain. Sebab, doa adalah suatu ibadah. Dalam keyakinan umat Islam, pencampuradukan antara pelbagai praktik ritual agama tidak diperbolehkan, sebab hal itu tidak dicontohkan oleh Nabi. Tindakan semacam ini dianggap sebaga bid'ah. Tindakan semacam itu dilihat sebagai praktik sinkretisme yang dilarang dalam agama Islam. Pertimbangan semacam ini, buat saya sama sekali kurang bisa dimengerti, karena tidak masuk di akal saya. Berdoa intinya adalah sama, entah dilakukan oleh seorang Muslim atau Kristen atau yang lain, yaitu memohon sesuatu yang baik dari Tuhan. Seorang muslim yang mengamini doa yang dipimpin oleh orang yang beragama lain adalah mengamini suatu permohonan kebaikan dari Tuhan. Dalam praktik semacam itu, sama sekali tidak pencampuradukan ibadah, tidak ada sinkretisme. Jika tindakan semacam itu dianggap bid'ah atau inovasi, maka hal itu adalah inovasi yang baik, bid'ah hasanah. Bukankah dulu orang-orang NU dituduh melakukan bid'ah saat melakukan salat tarawih 20 raka'at, dan orang-orang NU menjawab bahwa itu adalah bid'ah yang baik. Fatwa ketiga adalah yang paling keras, yaitu larangan atas kelompok Ahmadiyah untuk beroperasi di Indonesia. Dalam fatwa sebelumnya, MUI hanya menyatakan bahwa kelompok Ahmadiyah adalah sesat. Dalam fatwa yang baru, MUI beringsut lebih tegas lagi, yaitu bukan saja menyesatkan tetapi juga melarang kelompok itu untuk berada di bumi Indonesia. Hanya ada satu pilihan buat kelompok Ahmadiyah, yaitu kembali ke Islam 'lurus'. Jika tidak, harus hengkang dari Indonesia. Harap diketahui, ada sekitar 500 ribu anggota Jamaah Ahmadiyah di Indonesia. Mereka tersebar di hampir seluruh provinsi Indonesia. Jika anggota Ahmadiyah menolak untuk mengikuti Islam veri MUI, maka mereka akan kehilangan hak untuk tinggal di Indonesia. Jika mereka tetap ngotot tinggal di sini, mereka akan rentan terhadap serangan dan sikap bermusuhan dari kelompok-kelompok Islam lain yang menganggap diri mereka sebagai 'lurus' (ortodoks). Fatwa ini, buat saya, mengingatkan kita pada inkuisisi akidah yang pernah dipraktikkan di Spanyol oleh Raja Ferdinand setelah berhasil merebut kembali (reconquista) tanah di semenanjung Iberia itu dari kekuasaan Islam. Dia memberikan tiga pilihan kepada umat Islam dan Yahudi saat itu: masuk Kristen, hengkang dari Spanyol, atau dibunuh. Tindakan Raja Ferdinand ini kontras dengan toleransi yang dipraktikkan oleh raja-raja Islam di Spanyol selama berabad-abad. Nasib yang dialami oleh orang-orang Ahmadiyah di Indonesia mirip dengan nasib umat Islam dan Yahudi di Spanyol zaman itu: kembali ke jalan 'lurus', yaitu Islam, hengkang dari Indonesia, atau tinggal tetapi dengan sejumlah risiko. Secara keseluruhan, fatwa MUI itu penuh persoalan dilihat dari sudut kehidupan berbangsa. Fatwa ini adalah setback ditinjau dari upaya membangun kehidupan kebangsaan yang plural. Bahkan, fatwa yang berkaitan dengan Ahmadiyah jelas-jelas berlawanan dengan konstitusi yang menjamin kebebasan melaksanakan agama sesuai dengan keyakinan dan kepercayaan masing-masing orang. Yang menyedihkan adalah sikap sejumlah pejabat pemerintah, bahkan pihak kejaksaaan sendiri, yang ikut mengamini fatwa yang jelas-jelas berlawanan dengan konstitusi dan hak asasi ini. Saya ingin mengutip kembali pendapat yang dilontarkan oleh KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dalam kesempatan konferensi pers yang berlangsung di PBNU minggu lalu, bahwa Indonesia bukanlah negara Islam, tetapi negara nasional yang plural. Yang berlaku dalam tataran kehidupan nasional bukanlah aturan Islam. Umat Islam boleh beranggapan bahwa kelompok tertentu adalah sesat, tetapi sama sekali tak mempunyai hak untuk meminta negara mengusir orang-orang yang sesat itu dari bumi Indonesia atau merusak hak milik dan tempat ibadah mereka. Jika dalam semua lapangan kehidupan kita sekarang berlangsung usaha-usaha reformasi, apakah MUI tak perlu direformasi? Apakah tidak layak kita makin was-was jika sikap-sikap MUI makin konservatif dan anti kehidupan demokrasi?*** Milis Wanita Muslimah Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat. Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com Berhenti mailto:[EMAIL PROTECTED] Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com This mailing list has a special spell casted to reject any attachment .... Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/