--- On Tue, 9/2/08, IRa <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
From: IRa <[EMAIL PROTECTED]>
Subject: [kisfm] Harap dibaca untuk para mami dan para papi.
To: "wulan" <[EMAIL PROTECTED]>, "widi" <[EMAIL PROTECTED]>, "vivy" <[EMAIL 
PROTECTED]>, "Titin" <[EMAIL PROTECTED]>, "sigit" <[EMAIL PROTECTED]>, "Ryan" 
<[EMAIL PROTECTED]>, "Rusman" <[EMAIL PROTECTED]>, "Robi" <[EMAIL PROTECTED]>, 
"Ridwan" <[EMAIL PROTECTED]>, "nurdin thea" <[EMAIL PROTECTED]>, "Norman" 
<[EMAIL PROTECTED]>, "Marsaf" <[EMAIL PROTECTED]>, "luthfi" <[EMAIL 
PROTECTED]>, "Lubis" <[EMAIL PROTECTED]>, "Kis Fm" <[EMAIL PROTECTED]>, "jovie" 
<[EMAIL PROTECTED]>, "iwang" <[EMAIL PROTECTED]>, "irwan" <[EMAIL PROTECTED]>, 
"Ina" <[EMAIL PROTECTED]>, "firman" <[EMAIL PROTECTED]>, "fajri" <[EMAIL 
PROTECTED]>, "edi" <[EMAIL PROTECTED]>, "dwi" <[EMAIL PROTECTED]>, "Doel" 
<[EMAIL PROTECTED]>, "dewin" <[EMAIL PROTECTED]>, "danang" <[EMAIL PROTECTED]>, 
"Cecep" <[EMAIL PROTECTED]>, "arief"
 <[EMAIL PROTECTED]>, "Agus Rachmat" <[EMAIL PROTECTED]>
Date: Tuesday, September 2, 2008, 8:18 PM










    
            


 
Harap dibaca untuk para mami dan para papi. 



Tahun 2005 yang lalu saya harus mondar-mandir ke SD Budi Mulia 
Bogor.
Anak sulung kami yang bernama Dika, duduk di kelas 4 di SD itu. 
Waktu
itu saya memang harus berurusan dengan wali kelas dan kepala 
sekolah.
Pasalnya menurut observasi wali kelas dan kepala sekolah, Dika 
yang
duduk di kelas unggulan, tempat penggemblengan anak-anak 
berprestasi
itu, waktu itu justru tercatat sebagai anak yang bermasalah. 
Saat
saya tanyakan apa masalah Dika, guru dan kepala sekolah 
justru
menanyakan apa yang terjadi di rumah sehingga anak tersebut selalu 

murung dan menghabiskan sebagian besar waktu belajar di kelas hanya 

untuk melamun.
Prestasinya kian lama kian merosot.

Dengan lemah 
lembut saya tanyakan kepada Dika: "Apa yang kamu 
inginkan ?"
Dika hanya 
menggeleng. "Kamu ingin ibu bersikap seperti apa ?" tanya 

saya.
"Biasa-biasa saja" jawab Dika singkat.
Beberapa kali saya 
berdiskusi dengan wali kelas dan kepala sekolah 
untuk
mencari 
pemecahannya, namun sudah sekian lama tak ada kemajuan.
Akhirnya kamipun 
sepakat untuk meminta bantuan seorang psikolog.
Suatu pagi, atas seijin 
kepala sekolah, Dika meninggalkan sekolah 
untuk
menjalani test IQ. Tanpa 
persiapan apapun, Dika menyelesaikan soal 
demi
soal dalam hitungan menit. 
Beberapa saat kemudian, Psikolog yang 
tampil
bersahaja namun penuh 
keramahan itu segera memberitahukan hasil 
testnya.

Angka kecerdasan 
rata-rata anak saya mencapai 147 (Sangat Cerdas) 
dimana
skor untuk 
aspek-aspek kemampuan pemahaman ruang, abstraksi, bahasa, 
ilmu
pasti, 
penalaran, ketelitian dan kecepatan berkisar pada angka 140 - 
160.
Namun 
ada satu kejanggalan, yaitu skor untuk kemampuan verbalnya 
tidak
lebih 
dari 115 (Rata-Rata Cerdas).
Perbedaan yang mencolok pada 2 tingkat 
kecerdasan yang berbeda itulah
yang menurut psikolog, perlu dilakukan 
pendalaman lebih lanjut. Oleh
sebab itu psikolog itu dengan santun 
menyarankan saya untuk mengantar
Dika kembali ke tempat itu seminggu lagi. 
Menurutnya Dika perlu 
menjalani
test kepribadian.

Suatu sore, saya 
menyempatkan diri mengantar Dika kembali mengikuti
serangkaian test 
kepribadian. Melalui interview dan test tertulis 
yang
dilakukan, 
setidaknya Psikolog itu telah menarik benang merah yang
menurutnya menjadi 
salah satu atau beberapa faktor penghambat 
kemampuan
verbal Dika. 
Setidaknya saya bisa membaca jeritan hati kecil Dika. 
Jawaban
yang jujur 
dari hati Dika yang paling dalam itu membuat saya berkaca 
diri,
melihat 
wajah seorang ibu yang masih jauh dari ideal.

Ketika Psikolog itu 
menuliskan pertanyaan "Aku ingin ibuku :...."
Dika pun menjawab : "membiarkan aku bermain 
sesuka hatiku, sebentar 
saja"
Dengan beberapa 
pertanyaan pendalaman, terungkap bahwa selama ini 
saya
kurang memberi 
kesempatan kepada Dika untuk bermain bebas.

Waktu itu saya berpikir bahwa 
banyak ragam permainan-permainan 
edukatif
sehingga saya merasa perlu 
menjadwalkan kapan waktunya menggambar, 
kapan
waktunya bermain puzzle, 
kapan waktunya bermain basket, kapan 
waktunya
membaca buku cerita, kapan 
waktunya main game di komputer dan 
sebagainya.
Waktu itu saya berpikir 
bahwa demi kebaikan dan demi masa depannya, 
Dika
perlu menikmati 
permainan-permainan secara merata di sela-sela waktu
luangnya yang memang 
tinggal sedikit karena sebagian besar telah
dihabiskan untuk sekolah dan 
mengikuti berbagai kursus di luar 
sekolah.
Saya selalu pusing memikirkan 
jadwal kegiatan Dika yang begitu rumit.
Tetapi ternyata permintaan Dika hanya 
sederhana : diberi kebebasan 
bermain
sesuka hatinya, menikmati masa 
kanak-kanaknya.

Ketika
Psikolog menyodorkan kertas bertuliskan 
"Aku ingin Ayahku ...."
Dika pun 
menjawab dengan kalimat yang berantakan namun kira-kira 

artinya
"Aku ingin ayahku melakukan apa saja seperti 
dia menuntutku melakukan
sesuatu".

Melalui 
beberapa pertanyaan pendalaman, terungkap bahwa Dika tidak 
mau
diajari 
atau disuruh, apalagi diperintah untuk melakukan ini dan 
itu. Ia
hanya 
ingin melihat ayahnya melakukan apa saja setiap hari, seperti 
apa
yang 
diperintahkan kepada Dika. Dika ingin ayahnya bangun pagi-pagi
kemudian 
membereskan tempat tidurnya sendiri, makan dan minum tanpa 
harus
dilayani 
orang lain, menonton TV secukupnya, merapikan sendiri koran 
yang
habis 
dibacanya dan tidur tepat waktu.
Sederhana memang, tetapi hal-hal seperti itu 
justru sulit dilakukan 
oleh
kebanyakan orang tua.

Ketika Psikolog 
mengajukan pertanyaan "Aku ingin ibuku tidak 
..."
Maka Dika menjawab "Menganggapku 
seperti dirinya" Dalam banyak hal 
saya
merasa bahwa 
pengalaman hidup saya yang suka bekerja keras, disiplin,
hemat, gigih untuk 
mencapai sesuatu yang saya inginkan itu merupakan
sikap yang paling baik dan 
bijaksana. Hampir-hampir saya ingin 
menjadikan
Dika persis seperti diri 
saya. Saya dan banyak orang tua lainnya
seringkali ingin menjadikan anak 
sebagai foto copy diri kita atau 
bahkan
beranggapan bahwa anak adalah 
orang dewasa dalam bentuk sachet kecil.

Ketika Psikolog memberikan 
pertanyaan "Aku ingin ayahku tidak : .."

Dika pun menjawab "Tidak menyalahkan aku di 
depan orang lain. Tidak
mengatakan bahwa kesalahan-kesalahan kecil yang aku 
buat adalah dosa"

Tanpa disadari, orang tua sering 
menuntut anak untuk selalu bersikap 
dan
bertindak benar, hingga 
hampir-hampir tak memberi tempat kepadanya 
untuk
berbuat kesalahan. Bila 
orang tua menganggap bahwa setiap kesalahan 
adalah
dosa yang harus 
diganjar dengan hukuman, maka anakpun akan memilih 
untuk
berbohong dan 
tidak mau mengakui kesalahan yang telah dibuatnya 
dengan
jujur. Kesulitan 
baru akan muncul karena orang tua tidak tahu 
kesalahan
apa yang telah 
dibuat anak, sehingga tidak tahu tindakan apa yang 
harus
kami lakukan 
untuk mencegah atau menghentikannya.

Saya menjadi sadar bahwa ada kalanya 
anak-anak perlu diberi 
kesempatan
untuk berbuat salah, kemudian iapun 
bisa belajar dari kesalahannya.
Konsekuensi dari sikap dan tindakannya yang 
salah adakalanya bisa 
menjadi
pelajaran berharga supaya di waktu-waktu 
mendatang tidak membuat 
kesalahan
yang serupa.

Ketika Psikolog itu 
menuliskan "Aku ingin ibuku berbicara 
tentang 
....."
Dika pun menjawab "Berbicara 
tentang hal-hal yang penting saja". Saya
cukup kaget 
karena waktu itu saya justru menggunakan kesempatan yang
sangat sempit, 
sekembalinya dari kantor untuk membahas hal-hal yang
menurut saya penting, 
seperti menanyakan pelajaran dan PR yang 
diberikan
gurunya. Namun 
ternyata hal-hal yang
menurut saya penting, bukanlah sesuatu yang penting 
untuk anak saya.
Dengan jawaban Dika yang polos dan jujur itu saya diingatkan 
bahwa
kecerdasan tidak lebih penting dari pada hikmat dan pengenalan 
akan
Tuhan. Pengajaran tentang kasih tidak kalah pentingnya dengan 
ilmu
pengetahuan.

Atas pertanyaan "Aku ingin 
ayahku berbicara tentang .....", Dika pun
menuliskan 
"Aku ingin ayahku berbicara tentang kesalahan-kesalahan 

nya.
Aku ingin ayahku tidak selalu merasa benar, 
paling hebat dan tidak 
pernah
berbuat salah. Aku ingin ayahku mengakui 
kesalahannya dan meminta 
maaf
kepadaku".

Memang dalam banyak hal, 
orang tua berbuat benar tetapi sebagai 
manusia,
orang tua tak luput dari 
kesalahan. Keinginan Dika sebenarnya 
sederhana,
yaitu ingin orang tuanya 
sportif, mau mengakui kesalahnya dan kalau 
perlu
meminta maaf atas 
kesalahannya, seperti apa yang diajarkan orang tua
kepadanya.

Ketika 
Psikolog menyodorkan tulisan "Aku ingin ibuku setiap 

hari ....."
Dika berpikir sejenak, kemudian 
mencoretkan penanya dengan 
lancar "Aku
ingin ibuku 
mencium dan memelukku erat-erat seperti ia mencium dan 

memeluk
adikku". Memang adakalanya saya berpikir 
bahwa Dika yang hampir 
setinggi
saya sudah tidak pantas lagi 
dipeluk-peluk, apalagi dicium-cium. 
Ternyata
saya salah, pelukan hangat 
dan ciuman sayang seorang ibu tetap 
dibutuhkan
supaya hari-harinya terasa 
lebih indah. Waktu itu saya tidak 
menyadari
bahwa perlakukan orang tua 
yang tidak sama kepada anak-anaknya 
seringkali
oleh anak-anak 
diterjemahkan sebagai tindakan yang tidak adil atau 

pilih
kasih.

Secarik kertas yang berisi pertanyaan "Aku ingin ayahku setiap 
hari ...."
Dika 
menuliskan sebuah kata tepat di atas titik-titik dengan satu 

kata
"tersenyum".

Sederhana memang, tetapi seringkali seorang ayah merasa perlu 
menahan
senyumannya demi mempertahankan wibawanya. Padahal kenyataannya 

senyuman
tulus seorang ayah sedikitpun tidak akan melunturkan wibawanya, 

tetapi
justru bisa menambah simpati dan energi bagi anak-anak dalam 

melakukan
segala sesuatu seperti yang ia lihat dari ayahnya setiap 
hari.

Ketika Psikolog memberikan kertas yang bertuliskan "Aku ingin ibuku
memanggilku. ..." Dika pun 
menuliskan "Aku ingin ibuku memanggilku 
dengan
nama 
yang bagus" Saya tersentak sekali! Memang sebelum ia lahir 
kami 
telah
memilih nama yang paling bagus dan penuh arti, yaitu Judika 
Ekaristi
Kurniawan. Namun sayang, tanpa sadar, saya selalu memanggilnya 
dengan
sebutan Nang. Nang dalam Bahasa Jawa diambil dari kata "Lanang" 
yang
berarti laki-laki.

Ketika Psikolog menyodorkan tulisan yang 
berbunyi "Aku ingin ayahku
memanggilku ..." Dika hanya menuliskan 2 kata saja, yaitu "Nama 

Asli".
Selama ini suami saya memang memanggil Dika 
dengan sebutan "Paijo" 
karena
sehari-hari Dika berbicara dalam Bahasa 
Indonesia atau Bahasa Sunda
dengan logat Jawa medok. "Persis Paijo, tukang 
sayur keliling" kata 
suami
saya.

Atas jawaban-jawaban Dika yang 
polos dan jujur itu, saya menjadi malu
karena selama ini saya bekerja di 
sebuah lembaga yang membela dan
memperjuangkan hak-hak anak. Kepada banyak 
orang saya kampanyekan
pentingnya penghormatan hak-hak anak sesuai dengan 
Konvensi Hak-Hak 
Anak
Sedunia. Kepada khalayak ramai saya bagikan poster 
bertuliskan "To 
Respect
Child Rights is an Obligation, not a Choice" 
sebuah seruan yang
mengingatkan bahwa "Menghormati Hak Anak 
adalah
Kewajiban, bukan Pilihan".

Tanpa saya sadari, saya telah 
melanggar hak anak saya karena telah
memanggilnya dengan panggilan yang tidak 
hormat dan bermartabat.
Dalam diamnya anak, dalam senyum anak yang polos dan 
dalam tingkah 
polah
anak yang membuat orang tua kadang-kadang bangga dan 
juga kadang-
kadang
jengkel, ternyata ada banyak Pesan Yang Tak 
Terucapkan.
Seandainya semua ayah mengasihi anak-anaknya, maka tidak ada 
satupun 
anak
yang kecewa atau marah kepada ayahnya. Anak-anak memang 
harus 
diajarkan
untuk menghormati ayah dan ibunya, tetapi para orang tua 
tidak boleh
membangkitkan amarah di dalam hati anak-anaknya. Para orang tua 
harus
mendidik anaknya di dalam ajaran dan nasehat yang 
baik..





 



      

    
    
        
         
        
        








        


        
        


      

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke