Refleksi: Bukan hal  baru, kalau koruptor melakukan perlawanan, karena pada 
umumnya sudah menjadi semacam axioma bahwa tidak ada orang yang mau menyerahkan 
harta hasil korupsi maupun kekuasan dengan sukarela. Teristimewa di NKRI dimana 
koruptor berkelas wahid dilindungi oleh pengikut-pengikutnya, karena mereka  
berhutang budi. Salah satu contoh  jelas ialah perlindungan terhadap mantan 
presiden NKRI, Jenderal Haji Muhammad Soeharto. Tidak diutik-utik harta 
curiannya yang disembunyikan di bank-bank di berbagai pelosok dunia, karena 
dilindungi oleh petinggi-petinggi partai politik dan militer yang memperoleh 
berkat Soeharto selama beliau berkuasa. Bukankah pepatah Melayu kuno  
mengatakan : "Hutang emas dapat dibayar hutang budi dibawah mati".  Konklusi 
sementara ialah selama para pelindung masih berkuasa maka pemberantasan korusi 
tidak dipermudah. Makin lama waktu berjalan, makin lebih sulit pula mengambil 
kembali harta curian atau mendeteksi manipulasi yang mereka lakukan.  

http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/11/13/00460444/koruptor.melakukan.perlawanan

Kamis, 13 November 2008 | 00:46 WIB 

Koruptor Melakukan Perlawanan
Frans H Winarta

Desakan untuk menciptakan good governance di birokrasi merupakan tuntutan 
universal yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Gerakan antikorupsi bermunculan 
hampir di semua negara di dunia.

Sejak United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) dideklarasikan pada 
31 Oktober 2003, banyak negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa mendukungnya, 
khususnya negara-negara berkembang yang paling menderita didera korupsi serta 
merasakan akibatnya dalam bentuk kemiskinan, birokrasi yang tidak efisien, 
tindak pidana pencucian uang (money laundering), defisit anggaran belanja 
negara, daya beli yang lemah, serta beban pajak yang beragam dan mencekam 
kehidupan rakyat.

Tidak salah jika Executive Director United Nations Office on Drugs and Crime 
(UNODC) Antonio Maria Costa dalam Conference of the States Parties to the 
United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) di Nusa Dua, Bali, 28 
Januari 2008, mengusulkan kepada negara anggota UNCAC agar berkonsentrasi dalam 
tiga hal dalam memberantas korupsi.

Langkah pertama adalah hal apa yang telah dilakukan oleh negara anggota (state 
parties) untuk memberantas korupsi dalam melaksanakan UNCAC Convention.

Langkah kedua adalah hal apa yang diperlukan dalam memberantas korupsi, 
termasuk perlunya bantuan teknis (technical assistance).

Langkah ketiga adalah pengembangan atas mekanisme penilaian (review mechanism) 
agar penyebaran korupsi dapat dikontrol dengan meninjau kembali upaya 
pemberantasan korupsi sehingga tidak menyebar lebih luas dan di luar kontrol.

Semua itu dicanangkan dalam rangka mencegah penyebaran korupsi lebih luas. 
Pencegahan korupsi antara lain dilakukan dengan menunjuk badan antikorupsi, 
seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dibentuk sejak lima tahun lalu. 
Upaya pemberantasan korupsi dilakukan dengan menggunakan segala kewenangan yang 
dimiliki sebagaimana diatur dalam UU No 30 Tahun 2002 tentang Komisi 
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Tidak dapat disangkal hadirnya KPK membuat para koruptor kecut hati dan 
berupaya untuk mengecilkan perannya dengan berbagai cara, seperti menyuap, 
kooptasi, penggunaan jasa calo perkara, pemberian gratifikasi terang-terangan 
maupun terselubung, penyediaan aneka fasilitas, memengaruhi lembaga penegak 
hukum agar tidak konsisten memberantas korupsi, dan segala upaya untuk 
menghambat gerakan pemberantasan korupsi.

Upaya memberantas korupsi

Pemberantasan korupsi telah menjadi gerakan global dan universal di seluruh 
dunia. Dunia pun menjadi desa kecil (small village) terlebih setelah revolusi 
informasi. Kabar dari tempat paling terisolasi pun dapat diserbarluaskan ke 
seluruh dunia, termasuk kabar pemberantasan korupsi.

Hal itu merupakan ancaman bagi tindak pidana korupsi untuk bertahan. Para 
koruptor akan melakukan apa pun guna melumpuhkan pemberantasan korupsi. 
Lambannya pemberantasan korupsi di Indonesia antara lain karena belum adanya 
pengadilan yang jujur dan berintegritas. Budaya kleptokrasi terjadi di hampir 
semua birokrasi. Juga belum ada kebiasaan mengumumkan aset yang dimiliki 
sebelum dan sesudah seseorang menjadi pejabat dan sulitnya menunjuk pejabat 
yang konsisten dalam memberantas korupsi.

Kita sudah memiliki UU Antikorupsi, yaitu UU No 20 Tahun 2001 tentang Perubahan 
atas UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Badan 
antikorupsi, yaitu KPK, sudah ada sejak lima tahun lalu. Pengadilan tindak 
pidana korupsi sudah dibentuk beberapa tahun lalu. Namun, kemauan politik untuk 
memberantas korupsi belum memadai karena budaya korupsi begitu lama dibiarkan 
dan telah menyebar ke semua aspek kehidupan.

Salah satu perlawanan terhadap gerakan pemberantasan korupsi adalah ketika ada 
seorang hakim yang ditembak karena menjatuhkan putusan bersalah kepada seorang 
terdakwa korupsi. Selain itu, sikap tidak setuju atas KKN juga ditunjukkan 
Menteri Keuangan Sri Mulyani dengan pernyataan yang tegas mencekal 14 pengusaha 
batu bara dan akhirnya beberapa perusahaan itu membayar royalti.

Belum lama ini, dalam bidang pasar modal, Menteri Keuangan Sri Mulyani 
memberikan putusan terhadap PT Bumi Resources Tbk. tentang penangguhan 
penjualan saham perusahaan itu demi menjaga kredibilitas pasar modal. Namun, 
putusan itu dibatalkan pemerintah. Hal itu menimbulkan kekecewaan sehingga 
Menkeu sempat diberitakan mengancam akan mengundurkan diri. Jika ini terjadi, 
niscaya akan merupakan kerugian besar bagi rakyat Indonesia dan kredibilitas 
pemerintah karena Sri Mulyani berperan besar dalam meningkatkan kredibilitas 
pemerintah melalui gebrakannya mereformasi Departemen Keuangan.

Selain itu, beberapa hari lalu Prof Romli Atmasasmita dijadikan tersangka tanpa 
lebih dulu diperiksa dan bisa dianggap melanggar hak asasi manusia. Dalam hal 
ini, ada perbedaan, yaitu saat KPK yang menjadikan Aulia Pohan sebagai 
tersangka setelah diperoleh bukti-bukti nyata atas dugaan keterlibatannya dalam 
aliran dana YPPI-BI ke beberapa anggota DPR melalui pemeriksaan yang lama dan 
teliti.

Sifat kehati-hatian dalam menetapkan seseorang menjadi tersangka ini berbeda 
dengan tindakan yang dikenakan terhadap Romli Atmasasmita. Romli diduga 
terlibat korupsi biaya akses Sistem Administrasi Badan Hukum (Sisminbakum) pada 
Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum (Ditjen AHU) Departemen Hukum dan 
Hak Asasi Manusia (Dephuk dan HAM).

Semua orang tahu Prof Romli Atmasasmita adalah arsitek pembentukan KPK dan 
penyusunan RUU tentang KPK sebelum menjadi UU No 30 Tahun 2002 tentang Komisi 
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Begitu pula dia bersama beberapa anggota 
DPR dan DPD, seperti Soeripto, Ade Daud Nasution, Priyo Budi Santoso, dan 
Marwan Batubara, serta beberapa LSM, seperti ICW di bawah pimpinan Teten 
Masduki, Masyarakat Profesional Madani (MPM) di bawah pimpinan Ismed Hasan 
Putro, paling gencar menyuarakan pemeriksaan kembali kasus-kasus BLBI dan 
mendesak pengambilalihan pemeriksaan kasus BLBI dari Kejaksaan Agung ke KPK.

Gerakan nasional

Agenda pemberantasan korupsi harus ditingkatkan agar menjadi gerakan nasional. 
Pemerintah harus lebih serius memberantas korupsi dan tak menerapkan standar 
ganda dalam memberantas korupsi. Jangan sampai karena "orang dalam" atau 
"sumber keuangan" dijadikan alasan untuk tidak menerapkan hukum secara tegas 
dan konsisten.

Kebijakan tebang pilih ini akan menyebabkan gerakan pemberantasan korupsi 
mengendur dan muncul perlawanan dari para koruptor, baik melalui oknum penegak 
hukum maupun penguasa. Semua ini dapat mengendurkan semangat pemberantasan 
korupsi.

Frans H Winarta Advokat di Jakarta; Dosen Fakultas Hukum Universitas Pelita 
Harapan


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke