http://202.169.46.231/spnews/News/2009/01/29/index.html

SUARA PEMBARUAN DAILY 
Mega dan Media
 

Tjipta Lesmana 

 

 

Dari perspektif PR - public relations, acara "Andy Kick" di Metro TV tanggal 19 
dan 26 Desember 2008 merupakan sukses besar bagi kampanye Partai Demokrasi 
Indonesia Perjuangan (PDI-P), khususnya Megawati, yang sudah definitif akan 
terjun sebagai calon presiden dalam Pemilihan Presiden 2009. Paling tidak, Mega 
berhasil menepis rumor, selama ini, bahwa ia tidak berani berbicara secara 
terbuka dengan pers. 

Tentu, semua orang tahu bahwa acara Kick Andy, waktu itu, dirancang sedemikian 
rupa, sehingga enak dilihat, apalagi acara itu terus-menerus diselingi oleh 
iklan politik PDI-P. Kita enggak tahu berapa besar dana yang dihabiskan oleh 
PDI-P untuk - bersama Andy Noya - mengemas dan meluncurkan talkshow, yang 
konon, paling bergengsi di Republik ini. 

Publik merasa heran menyaksikan penampilan Mega itu, sebab bukan rahasia lagi, 
Mega paling alergi dengan wartawan ketika menjadi presiden. Nyaris dia menolak 
hampir semua permohonan wawancara oleh pers. Dan Mega pun tidak pernah 
menggelar konferensi pers selama tiga tahun men-jadi presiden. 

Fenomena ini kiranya pantas masuk dalam Museum Rekor Dunia Indonesia (Muri) 
milik Jaya Suprana. Sebab, di seantero dunia, yang namanya presiden, 
sekali-kali memang harus berbicara langsung dengan pers. Syahdan, ketika itu 
seorang duta besar negara sahabat di Jakarta berkomentar: "you have a quiet 
president, but noisy vice president (Hamzah Haz)". Maklum, seusai salat Jumat, 
Hamzah Haz tatkala itu selalu menggelar jumpa pers, sebuah kebiasaan yang kini 
diteruskan oleh Jusuf Kalla. . 

Sebelumnya, tatkala presiden RI adalah Gus Dur dan Megawati menjabat wakil 
presiden, muncullah pernyataan bahwa 'you have a noisy president, but quiet 
vice president...." Mega selalu diam! 

Bukan rahasia lagi, ketika itu hubungan Presiden Megawati dengan pers Indonesia 
kurang harmonis, bahkan nyaris konfrontatif. Setiap kali ditanya wartawan yang 
menjumpainya di Istana, Mega hanya melempar senyum, senyum yang hanya dia 
sendiri yang tahu apa maknanya. Malah, ketika Mega menjadi presiden, pihak 
protokol Istana membuat peraturan yang antara lain, melarang wartawan berada 
dalam jarak dekat dengan presiden. Maksudnya, agar wartawan yang meliput d 
Istana tidak "mengganggu" presiden dengan pertanyaan dadakan. 

Keliru 

Apa sebab Presiden Megawati tidak mau dekat dan berinteraksi dengan pers? 
Banyak teori bermunculan, antara lain, karena Mega khawatir slip of tongue jika 
ngomong dengan wartawan. Atau Mega khawatir sulit menjawab jika wartawan 
mengajukan pertanyaan yang "aneh-aneh". Daripada salah dan pernyataan keliru 
itu dipublikasikan di seantero dunia, ya, sebaiknya diam saja. Tentu, pandangan 
seperti ini amat keliru. 

Megawati memang beda dengan ayahnya, Bung Karno. Presiden pertama kita itu 
adalah orator ulung. Ia bisa berpidato 4-5 jam nonstop, hanya dengan menenggak 
1 atau 2 gelas air putih. Soekarno juga memiliki kemampuan "merangsang" para 
pendengarnya, sehingga mereka bersemangat, marah, sedih, gembira, dan 
memberikan applause gegap-gempita. Ia sungguh menguasai elemen-elemen 
Ethos-Logos-Patos teori Retorika Aristoteles. Hebatnya lagi, Soekarno jarang 
membaca teks ketika berpidato. 

Sebaliknya, kedua tangan Megawati selalu memegang teks erat-erat tatkala 
berpidato. Seakan-akan ia khawatir kedua matanya 







lepas dari teks. Sekali-kali, Mega juga bicara di luar teks. Ketika itu, 
biasanya ia melampiaskan emosinya.... Misalnya, ia pernah berkata bahwa ia 
mewariskan "pemerintahan tong sampah". Di depan masyarakat Indonesia di Ibukota 
Kamboja, Mega pernah mengecam sepak terjang pers dan pengamat politik yang 
dikatakan kerjanya cuma mengkritik. "Cobalah sekali-sekali turun, memerintah. 
Baru tahu betapa susahnya menjalankan pemerintahan!" kata Mega. 

Makin sering Mega mengecam pers, makin buruk hubungannya dengan media. Maklum, 
wartawan sendiri adalah insan yang tidak mau dikritik. Banyak wartawan yang 
balik menyerang jika dirinya diserang politisi. Akbatnya, tulisan atau 
beritanya pun bisa terpengaruh. 


Introspeksi 

Setelah tidak lagi menjadi presiden dan menjelang "pertempuran politik akbar", 
Ibu Mega atau para pembantu dekatnya, tampaknya melakukan introspeksi. Ia 
menyadari bahwa seorang pemimpin bangsa wajib hukumnya untuk memelihara relasi 
yang baik dengan wartawan. Kepala negara mana pun di dunia ini yang menjaga 
jarak, apalagi bersikap konfrontatif dengan wartawan, posisinya akan celaka. 
Kursinya pasti digoyang-goyang oleh pers. You believe it or not! Wartawan, 
sesuai nalurinya, sekali-sekali kepingin sekali berbicara langsung dengan 
presiden untuk meminta keterangan dari orang pertama yang berkuasa di negeri 
ini. Jika saluran itu terblokir, atau diblokir, maka wartawan akan mangkel 
sekali. 

Talk show Megawati dalam program "Andy Kick" menunjukkan bahwa Mega telah 
keluar dari "alienasi pers" dan Mega bukan tidak mampu berbicara dengan pers. 
Berbagai permasalahan serius yang diajukan Andy Noya bisa dijawab Mega dengan 
baik, meski dengan gaya santai. 

Ia cukup menguasai berbagai permasalahan, termasuk perilaku Presiden Amerika 
ketika ia menjelaskan apa sebab ia tidak mau mengadili Soeharto, meski ia 
dizalimi oleh orang kuat Orde Baru itu. Bahkan, dapat dikatakan Mega mampu 
membuat Andy terkesima, sehingga cocok jika dikatakan sang pewancara 
sekali-sekali di-kick oleh Megawati. 

Penampilan Megawati di Metro TV, mudah-mudahan merupakan indikasi bahwa calon 
presiden dari PDI-P itu kini siap berdebat dengan siapa pun, termasuk mengikuti 
acara "debat presiden" di layar televisi. Bagaimanapun rakyat di negara-negara 
demokrasi ingin mengetahui kualitas setiap calon pemimpinnya. Salah satu tolok 
ukur untuk menakar kualitas yang dimaksud ialah penampilan sang calon dalam 
debat terbuka di layar televisi. 

Saran kita yang lain: mulai sekarang sering-seringlah Megawati berkomunikasi 
dengan pers. Jelaskan apa visi-misi dan program kerja Ibu jika terpilih kembali 
sebagai presiden. Jangan takut ngomong dengan wartawan secara terbuka. Jangan 
hanya menggerutu, atau mencoel-coel Pemerintah SBY secara tidak substantif. 
Jika relasinya dengan pers terbina secara baik, tidak mustahil rakyat - melalui 
liputan media massa - akan membanjiri simpati mereka kepada Ibu Megawati! u 


Penulis adalah Guru Besar Komunikasi Politik, penulis buku Dari Soekarno sampai 
SBY: Intrik dan Lobi Politik Para Penguasa 



--------------------------------------------------------------------------------
Last modified: 29/1/09 

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke