Marhaban Ya Ramadan, bulan penuh hikmah dan keutamaan.  Para
Pengkhutbah sering menekankan keutamaan bulan Ramadan sebagai wahana
bagi peningkatan solidaritas sosial. Bahkan Para sufi menuliskan bahwa
bulan ini sangat baik untuk tanwirul qulub
(penyinaran qalbu). Di dalamnya banyak sekali terjadi mukassyafaat
(pemandangan-pemandangan kasyaf).

Solidaritas sosial, artinya mereka yang biasa tidur dengan perut
kenyang dapat merasakan derita dan berempati kepada mereka yang hidup
serba kekurangan. Tetapi anehnya, demi "kesucian Ramadan", belakangan
ini yang sering terjadi justru terjadi tindakan-tindakan asosial.
Mereka yang seba kekurangan, justru sering dibuat lintang pulang oleh
sweeping aparat keamanan yang resmi maupun yang mengangkat diri mereka
sendiri sebagai aparat,  karena dianggap sebagai bagian dari "pekat"
atau merusak pemandangan. Non-muslim dan orang-orang yang tidak
berpuasa, selain istirahat dan tidur malam mereka sering terganggu
oleh hingar bingar di seputar waktu sahur, juga  semakin sulit untuk
makan di siang hari.  Di beberapa Kabupaten/Kota, hal-hal semacam ini
malahan dilegalkan dengan Perda. 

Di sini kita dapat belajar kepada Erna Libby.

Tetapi siapa Erna Libby?

Erna Libby dan Randy Pausch sama-sama meninggal karena kanker,
sama-sama kuat dan tabah, Perbedaannya kehidupan Randy dan bukunya The
Last Lecture, sangat fenomenal, mengglobal dan "inspiring". Sedangkan
Erna menjalani kehidupannya dalam sunyi, tetapi juga "inspiring",
terutama berkaitan dengan kegiatan sederhana almarhumah dalam
mensucikan Ramadan.

Cukup sukses sebagai model, penyanyi dan pesinetron, Erna Libby
kemudian aktif di gerakan anti narkoba Granat yang diketuai pengacara
flamboyan Henry Yasodininggrat, yang kemudian menikahinya setelah
meninggalkan isteri keduanya. Erna kemudian sibuk dengan kegiatan
barunya, antara lain melanjutkan pendidikan ke jenjang S2 di di FH-UI.
Setelah hidup berumah tangga sekitar 5 tahun mereka bercerai Maret
2008 lalu, karena  mantan presenter Angin Malam itu tidak bersedia
diduakan.  

Sejak tahun 2005 Erna  divonis dokter terkena kanker otak. Erna
menyembunyikan penyakitnya pada khalayak. Dia ingin berjuang melawan
penyakit mematikan itu. Namun hari demi hari dia tak mampu bertahan
menghadapi kanker ganas yang menggerogoti tubuhnya. Ia pun kemudian
konsisten mengenakan penutup kepala sebagai panggilan iman.

Menjelang akhir hayatnya, almarhumah sudah pasrah pada penyakit yang
dideritanya. seperti dikisahkan Uje, ia bahkan tak lagi meminta
kesembuhan dalam doa-doanya. Keinginan terakhirnya bukan ingin sembuh,
tapi ingin dicintai Allah. Almarhumah sadar bahwa usianya sudah tak
lama lagi"

Fisiknya kian lemah. akhirnya Erna pun menyerah. Pukul 12 siang,
Selasa (19/8 ) usai menunaikan salat zuhur,  dengan  sang ibunda
berada di sisinya, Erna menghembuskan nafas terakhirnya di Rumah Sakit
Halim Perdana Kusumah.

Para sahabat dan karibnya pun meratap. Salah seorang di antaranya,
artis Cici Tegal dengan terisak mengungkapkan rasa kehilangan dan
kegamangan dalam menghadapi Ramadan. Adalah bersama karibnya itu, Cici
menyusuri malam-malam Ramadan mengunjungi kawasan kumuh dan
tempat-tempat para gelandangan tidur berselimutkan embun malam. Mereka
dibangunkan dan disediakan santapan untuk Sahur bagi yang ingin berpuasa.

Kegiatan yang sederhana yang dilakukan Erna dan karibnya itu memang
belum sefenomenal yang dilakukan Bunda Theresa terhadap kaum papa di
Kalkuta, India,   namun tidak diragukan merupakan salah satu contoh
yang cukup substansial dalam mewujudkan solidaritas sosial dan menjaga
kesucian Ramadan.

Selamat Jalan Erna

Innalillahi Wa Innailaihi Rajiun.

Wassalam,
Darwin Bahar 
Dari berbagai sumber untuk Apakabar 


Kirim email ke