http://www.ambonekspres.com/index.php?act=news&newsid=25456

      Jumat, 30 Jan 2009, | 2 

      Weldemina Tiwery
      Perempuan dan Ruang Yang Berkeadilan  
     
      Saya menyambut baik kegiatan Kongres Perempuan 1 Maluku, meskipun saya 
tidak termasuk peserta, tetapi saya berharap peserta kongres yang katanya 
mewakili setiap Kabupaten kota di Maluku dapat menyelesaikan kegiatan ini 
dengan agenda perubahan yang jelas sesuai Tema kongres" Perempuan, Kepemimpinan 
dan Transformasi Sasial di Maluku".

      Saya ingin memulai tulisan ini dengan pertanyaan, Adakah ruang yang 
berkeadilan bagi perempuan di Malukiu?, bila segenap ruang yang ada 
didekonstruksi, sedemikian rupa, sehingga tidak membebaskan, bahkan malah 
mendukung? Hal ini muncul sebagai respons atas orasi Ina Ros Far-far pada malam 
pembukaan kongres. Orasi Ina Ros Far-far sangat inspiratif, mengingat hukum di 
Negara ini dan juga hukum adat di wilayah Maluku masih banyak yang belum peka 
gender. Ruang (dan waktu) yang berkeadilan bagi perempuan itu dapat ditelusuri 
dari ruang domestik, publik hingga republik. Kesemua itu, ternyata memiliki 
watak dan kecenderungan yang hampir sama; menghambat gerak perempuan dari dulu 
hingga sekarang. Hal ini membuat perempuan Maluku terbungkam, kehilangan 
hak-haknya menyangkut kesetaraan, ekspresi diri, cita-cita dan kesempatan

      Ada baiknya saya menguraikan apa yang dimaksud " ruang yang 
berkeadilan"itu , ialah suatu pemaknaan simbolik atas tatanan 
(sosial-kultural-politik) yang dalam kenyataannya memiliki garis hirarkisnya 
sendiri yang menempatkan perempuan di pinggiran. Ada tiga contoh ruang atau 
wilayah simbolik yang cukup sahih mewakili situasi itu yakni ruang domestik 
yang berbasis pada keluarga, tempat perempuan tak jarang terkungkung 
nilai-nilai yang ditawarkan; ruang lingkup yang berbasiskan pada kehidupan 
masyarakat yang cenderung phobi menghadapi peran serta perempuan; dan wilayah 
republik yang berbasis pada kehidupan berbangsa dan bernegara, di mana 
perempuan belum ditempatkan secara adil secara politik, setara secara sosial 
dan bebas secara budaya. Keberadaan ketiga ruang tersebut- dengan segala tata 
nilainya sebenarnya tidak hanya memperlihatkan pergulatan-pergulatan intern 
yang khas dan spesifik, seperti pergulatan ibu dengan tugas "keibuannya". Akan 
tetapi lebih dari itu adalah lebih membuktikan betapa berlapisnya ruang sosial 
yang mesti ditembus seorang perempuan untuk mendapatkan hak-haknya secara luas 
dan universal, seperti berpartisipasi dalam kehidupan di luar rumah (publik) 
atau bangsanya (republik)

      Saya tak ingin menyinggung soal kiprah perempuan di kancah terdepan 
Negara ini. Saya ingin merujuk pada "perempuan papalele" yang menghidupkan 
aktivitas pasar tradisional di tanah air, peran dan aktivitas "perempuan 
papalele" ini tidak bisa diabaikan yang justru menunjukkan betapa perempuan 
punya cukup alasan untuk berurusan dengan ruang publik seperti pasar. Kita bisa 
mendapatkan kenyataan ini dipasar-pasar seperti pasar Batumeja yang sudah 
tergusur atas nama keindahan kota, pasar Batugantung, Pasar Mardika, Pasar 
Passo atau pasar Gemba (Kairatu), tempat aktivitas perempuan terlihat sangat 
signifikan. 

      Mereka tidak hanya terlibat dalam proses tawar menawar (jual-beli), namun 
sekaligus membangun jembatan komunikasi dalam kehidupan sosial, menopang 
ekonomi keluarga, bahkan mendenyutkan urat nadi bangsa. mereka 
"perempuan-perempuan perkasa", yakni mereka yang keku jualan di pagi buta, dari 
bukit-bukit desa sebelum para sopir angkotan umum terjaga dan hari bermula 
dalam pesta kerja. Mereka adalah ibu-ibu berhati baja; cinta kasih yang 
menghidupi desa demi desa, kampong-demi kampong dan bahkan kota!

      Sekarang, dalam era pasar-mall ingat, di kota kecil Ambon saja sudah ada 
beberapa mall meskipun belum sebesar di Jawa atau provinsi lain namun 
setidaknya telah menimbulkan banyak pergeseran. Pasar dalam artian luas telah 
menempatkan perempuan sebagai sosok "yang belum selesai diciptakan". Dalam 
persaingan pasar tenaga kerja misalnya, perempuan yang menerjuni sektor 
pasar-mall modern, harus siap menjadi pajangan dan objek pencitraan- yang 
otomatis menyingkirkan keberadaan dan eksistensi mama-mama papalele. 

      Di sini penjual bukan pihak yang independen karena berada di bawah 
kekuasaan pemiliki modal; sebagaimana juga pembeli yang pada akhirnya juga 
tidak independen karena kehilangan ruang tawar menawar. Wacana kapitalisme 
memjadi acuan di sini, di mana konsumen (konon kebanyakan adalah perempaun) 
merayakannya tanpa daya kritis. 

      Pemerintah merasa klop, betapa dengan proyek 'pasar modern" semacam itu 
investasi tumbuh subur,kalau perlu menggusur pasar tradisional, tempat 
sekrup-sekrup kecil bernama "perempuan papalele dilenyapkan".

      Sementara itu, dalam melihat keberadaan, perempuan dari ruang publik ke 
republik, bisa dipinjam kisah dari India. Salonari Narang, seorang perempuan 
pengarang Uttar Pradesh, menulis sebuah cerita yang berjudul "Uma" dalam buku 
gelang warna warni (YOI.1990) diceritakan, Tokoh Uma merupakan seorang sosok 
Ibu Rumah Tangga biasa yang bahkan cacat, namun berkat dorongan suaminya 
Ranjit, Uma berhasil masuk ke ruang publik, yakni sebagai pekerja sosial yang 
menangani anak-anak terlantar. Keberhasilannya di ruang publik ini membuat nama 
Uma dikenal luas di India sehingga oleh suaminya ataupun pendukungnya, Uma 
didaulat untuk maju mencalonkan diri menjadi anggota dewan dalam pemilihan. Uma 
telah bergerak memasuki wilayah publik yang lebih luas, yaitu republik. Tidak 
gampang bagi Uma untuk masuk kesana. Pertama ia lebih dipaksa ambisi suaminya. 
Kedua, ia sendiri sebenarnya lebih senang mengabdikan diri pada suami dan 
anak-anaknya. Rajiv yang kelak lantaran kesibukan Uma jadi membenci ibunya. 
Ketiga sistim politik dan pemilu di India cenderung curang apalagi terhadap 
perempuan. Apa Urgensinya dengan Maluku? Di sinipun perempuan menghadapi 
persoalan yang pelik. Pertama, penghargaan terhadap sosok dan peran perempuan 
masih rendah. Sehingga sejarah kepahlawanan Maluku, misalnya didominasi 
Pattimura yang notabenenya laki-laki. Simak perayaan Hari Pattimura dan Hari 
Martha Christina Tihahau? Perbedaannya sangat mencolok. Hari Pattimura 
luarbiasa meriah, belum lagi soal penamaan mereka terkait dengan icon-icon 
daerah yang handal. Ambil missal: Kodam Maluku dinamakan Kodam Pattimura, 
Universitas terbesar di Maluku bernama 

      Universitas Pattimura, Jalan utama di kota Ambon bernama Jalan Raya 
Pattimura, sementara Martha Christhina Tihahau hanya menjadi actor silent. 
Kedua, sistim politik di Maluku masih kurang terbuka terhadap keberadaan 
perempuan, lihat saja kondisi parlemen yang perempuannya bisa dihitung dengan 
jari. Meskipun Menurut Sambutan Gubernur Maluku bahwa Wakil Bupati SBT dan 
Wakil Walikota Ambon telah menginterupsi ranah yang umum disebut sebagai ranah 
laki-laki. Jangan lupa naiknya kedua wakil walikota dan wakil Bupati ini tidak 
lain setelah menempuh jalan terjal berliku. Ketiga. Rumah Tangga sehingga tugas 
dan kesempatan lain baru disisihkan. Keempat kaum perempuan Maluku juga kerap 
menjadi ujung tombak obsesi kaum bapak sebagaimana dapat diperiksa kembali 
dalam kasus " Dharma Wanita" Orde baru. Kelima, Perempuan Maluku pada saat 
konflik sebenarnya adalah aktor-aktor rekonsiliasi. 

      *) Pemerhati Masalah Perempuan 


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke