Sekali lagi terbukti bahwa ini merupakan konfirmasi bahwa kesetaraan
gender dalam artian moderen masa kini memang tidak dikenal dalam
Islam, oleh karena itu terasa bahwa ada yg enggak klop antara
pemahaman Islam dan realita tuntutan masyarakat kini.

Apa pilihannya? Yg paling mudah sih gaya pak HMNA dkk: sudah, ikuti
saja pemahaman Islam yg ada.  Biar sekarang neraka bagi perempuan toh
nanti masuk surga.

Atau pilihan yg lebih sukar tetapi lebih adil: koreksi pemahaman yg
salah dan terapkan konsep yg benar dimana perempuan dianggap sebagai
manusia setara dan berhak atas perlakuan dan kesempatan yg sama dalam
kehidupan.


--- In wanita-muslimah@yahoogroups.com, "ritajkt" <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
>
> Membaca Ulang Teks 
> 
> Oleh : Ninuk Mardiana Pambudy
> Sumber Kompas, Swara, Senin 19 Feb 2007
> 
> Kecenderungan konservatisme secara global memunculkan kelompok-
> kelompok konservatif yang cenderung membatasi gerak perempuan. 
> Meskipun situasi perempuan di Indonesia secara umum jauh lebih baik 
> dibandingkan dengan situasi di Timur Tengah, kecenderungan tersebut 
> dapat berdampak terhadap pelanggaran hak-hak manusia, perempuan 
> terutama. 
> 
> Latar belakang itulah yang mendorong Pusat Studi Islam dan 
> Kenegaraan Universitas Paramadina mengangkat tema "Gerakan 
> Pembaharuan Islam dan Isu-isu Gender" dalam diskusi yang 
> diselenggarakan di Universitas Paramadina, Jakarta, Rabu dan Kamis 
> (14 dan 15 Februari). 
> 
> Kekhawatiran tersebut tidak berlebihan melihat apa yang terjadi 
> setelah tahun 1998. Waktu yang dianggap sebagai titik balik 
> perubahan sehingga disebut reformasi itu sejauh ini hasilnya belum 
> memuaskan walaupun perubahan ke arah masyarakat yang lebih adil dan 
> demokratis juga terjadi. 
> 
> Salah satu tolok ukurnya adalah munculnya berbagai peraturan daerah 
> yang mendiskriminasi perempuan dengan alasan moralitas. Komisi 
> Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan, misalnya, menemukan 29 
> kebijakan daerah yang mendiskriminasi perempuan. Diskriminasi itu 
> mulai dari larangan bagi perempuan pergi sendiri ke luar rumah, 
> perempuan sebagai pelaku pelacuran, hingga mewajibkan cara berbusana 
> tertentu. 
> 
> Mengapa perempuan selalu menjadi sasaran untuk diatur sering 
> diungkap di dalam berbagai analisis, antara lain karena perempuan 
> dianggap sebagai simbol kelompoknya. 
> 
> Profesor sosiologi Maroko, Fatima Mernissi, mengatakan dalam bukunya 
> Beyond The Veil (2003), di dalam tradisi Muslim, berbeda 
> dibandingkan dengan Barat, perempuan dianggap sebagai makhluk yang 
> secara seksual aktif karena seksualitas pada laki-laki dan perempuan 
> tidak dibedakan, dianggap sebagai energi yang netral. Bagaimana 
> menggunakan energi itulah yang akan menentukan baik dan buruknya. 
> 
> Dengan menyimak pandangan pemikir terkemuka dalam dunia Islam, Imam 
> Ghazali, Mernissi berpendapat, justru karena perempuan dianggap 
> secara seksual aktif itulah, maka perempuan harus ditutup, dilakukan 
> segregasi antara laki-laki dan perempuan, dan perempuan harus 
> dikontrol karena dianggap sebagai ancaman terhadap masyarakat 
> beradab. 
> 
> Komisioner Komnas Perempuan KH Husein Muhammad dalam diskusi bagian 
> pertama pada hari pertama di Paramadina menyebutkan, di dalam 
> konteks masyarakat Muslim kendala untuk memperoleh keadilan atas hak 
> kemanusiaan adalah tafsir keagamaan Islam, yaitu kuatnya nalar 
> keagamaan yang konservatif. 
> 
> Membaca kembali teks 
> 
> Menurut KH Husein, cara untuk mengatasi kendala di atas adalah 
> dengan melihat teks keagamaan secara kontekstual, bukan hanya secara 
> tekstual sebab kemaslahatan menjadi tujuan agama. 
> 
> Dalam upaya menafsir ulang teks keagamaan, Al Quran dan hadis selain 
> memuat teks universal juga memuat teks partikular. Jika teks 
> universal berlaku tetap, tidak berubah, maka teks partikular tidak 
> selalu bisa dimaknai tunggal dan berlaku tetap. 
> 
> Teks universal kandungan hukumnya merupakan prinsip agama, seperti 
> rukun iman, dan juga merupakan dasar moral yang diakui akal sehat 
> dan aturan yang tidak berubah sepanjang masa, seperti keadilan, 
> kejujuran, dan persaudaraan antarumat. Sedangkan teks partikular 
> kandungan maknanya mengatur masalah, kasus, atau isu tertentu. 
> Masalahnya, bagaimana memahami teks-teks partikular ini. 
> 
> Memaknai Surat An Nisa Ayat 34 dan Al Baqarah Ayat 282 yang isinya 
> secara tekstual menunjukkan laki-laki memiliki keunggulan atas 
> perempuan dan karena itu memiliki hak penuh dan menentukan segala 
> hal, misalnya, menurut KH Husein harus dianalisis secara 
> kontekstual. Pembacaan hanya berdasarkan teks akan menghasilkan 
> kesimpulan ayat-ayat Al Quran saling bertentangan. Pada satu sisi 
> memastikan adanya kesetaraan dan keadilan, tetapi pada sisi lain 
> seperti tidak mengakui hal itu. 
> 
> Metode tekstual menurut KH Husein selalu mempertimbangkan bahkan 
> memungkinkan realitas sosial menjadi dasar untuk kemungkinan 
> perubahan hukum tanpa menghilangkan semangatnya. Perubahan hukum 
> karena mempertimbangkan realitas baru tidak bisa diartikan menentang 
> Tuhan atau hadis Nabi. Karena lebih mempertimbangkan logika, tidak 
> berarti merusak teks, justru metode itu sejalan dengan menegakkan 
> maksud teks agama, yaitu kebaikan sosial atau kemaslahatan. 
> 
> Gerakan kebudayaan 
> 
> Menghadapi konservatisme yang cenderung kembali mendomestikasi dan 
> menyubordinasi perempuan, gerakan kebudayaan seperti yang selama ini 
> dilakukan umat Islam Indonesia dapat terus dilakukan. 
> 
> Gerakan kebudayaan untuk memajukan cara berpikir, pendidikan, dan 
> sosial berhasil memberi legitimasi untuk nilai-nilai pluralisme dan 
> toleransi. 
> 
> Dalam kaitannya dengan perempuan, Forum Kajian Kitab Kuning yang 
> dipimpin Ny Sinta Nuriyah Wahid, misalnya, menafsir ulang isi kitab 
> kuning karangan Syeh Nawawi Al Bantani, Uqud Al Lujjayn. 
> 
> Meskipun sempat mendapat tentangan seperti juga diakui KH Husein, 
> penafsiran yang dilakukan dengan metodologi yang sama seperti dalam 
> pembuatan kitab itu, yaitu melihat perawi dan asal-usul hadis serta 
> memaknai secara kontekstual, penafsiran ulang tersebut telah membuka 
> mata tentang cara lain dalam menafsir teks keagamaan. 
> 
> Menurut KH Husein, secara internasional kini ada upaya mencari 
> kesepakatan di antara para ulama yang bukan hanya melihat dari teks 
> keagamaan, tetapi juga dengan menggabungkannya dengan ilmu lain 
> untuk menjawab persoalan sesuai konteks sosial. 
> 
> Di situ pula berbagai penelitian sosial dengan memakai kacamata 
> perempuan seperti dipaparkan Adriana Venny dari Jurnal Perempuan dan 
> Edriana Noerdin dari Women Research Institute di Paramadina yang 
> membahas mengenai metodologi penelitian feminis menjadi alat penting 
> untuk memahami pengalaman dan persoalan perempuan.
>


Kirim email ke