Yth. Pak Sabri dan Pak Donnie,

Sebetulnya ini menyambung isue soal Aceh, namun karena judul 
sebelumnya sudah tidak relevan, maka saya buat judul baru:)

Memang persoalan perumahan di Aceh banyak sekali....dan juga 
menyedihkan:(. Persoalan banyak masyarakat Aceh yang memiliki lebih 
dari 1 rumah bantuan (yang menjadi haknya), juga menjadi persoalan 
yang sangat memprihatinkan. Malah ada orang yang diketahui memiliki 
10 rumah bantuan untuk dirinya sendiri, Astagfirullah. Mereka yang 
dengan "tega" memiliki rumah lebih dari 1 buah ini seolah tidak 
sadar bahwa apa yang mereka lakukan juga akan merugikan orang lain 
yang notabene juga saudara-saudara mereka sendiri. Menurut saya ini 
adalah sebuah korupsi, namun baru bulan lalu pihak pemerintah (dalam 
hal ini Gubernur terpilih yang baru), menyatakan bahwa tindakan 
memiliki lebih dari 1 rumah ini adalah perkara kriminal dan rumahnya 
akan diambil alih oleh pemerintah/disegel. Saya sendiri pernah 
terlibat dalam sebuah proses klarifikasi rumah bantuan dari beberapa 
NGO International, dalam pertemuan tersebut yang dihadiri beberapa 
koordinator barak dan juga Pak Keuchik (kepala desa), diketahui 
bahwa ada beberapa orang yang mendapatkan rumah double. Otomatis 
pihak NGO Internasional ini akhirnya membatalkan penyerahan beberapa 
rumah bantuan tersebut, dan secara umum forum tersebut tampaknya 
tidak menyalahkan si penerima, malah ada yang berbisik :"Mestinya 
tidak apa-apa, kan namanya juga rejeki". Sungguh saya pribadi merasa 
langsung miris. Ternyata buat sebagian besar orang Aceh hal-hal 
seperti ini dianggap bukan "kesalahan", bukan kejahatan, sehingga 
banyak diantara mereka yang kemudian dengan berbagai cara membuat 
pengakuan palsu agar mendapatkan rumah lebih dari 1. Hal lain yang 
akhir-akhir ini cukup menarik adalah fenomena para renters, yang 
hendak mendapatkan rumah bantuan dari NGO, tapi tidak memiliki 
tanah, lalu oleh pihak pemerintah dalam hal ini oleh BRR, akan 
diberikan tanah (gratis) untuk dibangunkan rumahnya oleh NGO 
tersebut, namun lokasi tanahnya memang tidak di tengah kota Banda 
Aceh, dan ternyata banyak renters yang menolak, dengan alasan 
terlalu jauh dari kota, dan meminta dibelikan tanah yang berada di 
kota (yang tentu saja harganya sudah sangat melambung, dan anggaran 
untuk pembelian tanah tersebut tidak ada dari pemerintah). Teman 
yang penduduk Aceh sendiri sempat nyeletuk: "Harusnya bersyukur di 
beri tanah dan rumah gratis, kan dulu juga tidak punya tanah 
sendiri". 

Soal donor dan para partnernya yang bekerja di Aceh, juga memang 
banyak persoalannya. Persoalan terbesar, banyak NGO International 
yang tidak pernah mengerti persoalan perumahan, lalu di Aceh 
disibukkan dengan membangun rumah, terbayang kan, dulunya terbiasa 
mengurusi masalah kesehatan eh sekarang "dipaksa" membangun rumah. 
Dulu berhadapan dengan jarum suntik, sekarang diminta berhadapan 
paku dan palu hehehehehe. Soal dana operasi yang dipotong oleh pihak 
donor, dari data yang saya peroleh, justru rata-rata lebih dari 30-
45%. Malah ada yang 65% menggunakan dana sumbangan tersebut untuk 
biaya operasional (gaji - terutama gaji besar para bule, rumah 
kontrakan/mes, biaya operasional kantor, biaya mondar-mandir dari 
dan keluar Indonesia, dll). Hal ini tidak jauh berbeda dengan apa 
yang sudah pernah dikritik oleh salah seorang peneliti dari UNDP 
yang menulis buku tentang efesiensi bantuan-bantuan (hibah) ke 
berbagai negara berkembang dari para donor internasional. Ini juga 
buat saya pribadi menyedihkan, karena kan masyarakat Aceh hanya tahu 
dipermukaan, dari berbagai laporan media massa bahwa 
lembaga/organisasi "X" menyumbang sekian juta dollar, namun tidak 
pernah di informasikan bahwa yang sekian puluh persen ya dinikmati 
sendiri oleh para donor atau partner pelaksana project tersebut. Dan 
benar seperti pak Donie sampaikan, bendera kemanusiaan yang diusung 
para donor menjadikan persoalan "penyunatan" bantuan ini seolah 
meredam banyak kegelisahan dari berbagai pihak yang mencoba bersikap 
kritis. Dalam sebuah diskusi dengan teman-teman Aceh sendiri, saya 
pernah mengungkapkan bahwa seharusnya isu ini dimunculkan secara 
terbuka di media massa, namun beberapa komentar yang muncul malah 
seperti ini: "Sudahlah, yang penting kita kan masih dapat bantuan, 
daripada tidak",  "Jangan diprotes atau dipertanyakan, nanti kita 
tidak diberi bantuan lagi".......:(

Wassalam

Lestari



--- In wanita-muslimah@yahoogroups.com, sir BATS <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
> Hi All,
> saya sudah tidak terlalu mengikuti perkembangan pembangunan 
perumahan di 
> Aceh ; karena banyak sekali persoalan yg muncul dan sedikit mess-
up.
> 
> Banyak data statistik tidak akurat; secara detil saya pernah 
mengikuti 
> "rembugan" untuk wilayah kec Meuraxa, jumlah rumah yg hilang 
(secara 
> teknis disebut hilang) ada perbedaan mencolok antara BRR dengan 
data 
> lapangan. Selain itu, bila berpathok pada angka-angka; mustinya 
dengan 
> sudah selesainya 64k rumah maka kurang 6k rumah (dengan pathokan 
yg 
> ilang 70k). Banyak pemilik rumah yg sudah habis seluruh anggota 
> keluarganya dan diklaim oleh "kerabat dekat" (definisi kerabat 
dekat di 
> Aceh ternyata juga agak berbeda dengan definisi kerabat dekat di 
kampung 
> saya -pekalongan). Muncul masalah "tepat sasaran" ada seseorang yg 
tiba 
> memiliki 3-4 rumah bantuan dan ada keluarga (Hidup/survive) tidak 
> kebagian rumah.
> 
> Untuk wilayah banda aceh/aceh besar, penyewa/pengontrak agak 
kesulitan 
> mendapatkan rumah karena mayoritas donor tidak menyediakan dana 
untuk 
> pengadaan tanah; mayoritas donor membangun rumah di ex-rumah kena 
> bencana. di wilayah aceh jaya, mungkin saja ex-pengontrak/penyewa 
> mendapatkan rumah+tanah bila lokasi desa dipindahkan; tapi "konon" 
donor 
> hanya "menyewa" tanah (tidak membelinya). Yang ini seperti "rumah 
> transit saja".
> 
> Banyaknya Keluarga yg belum menerima rumah karena "menolak" 
spesifikasi 
> rumah yg sudah dibangun. Yang saya tahu persis rumah buatan UN 
Habitat 
> di aceh jaya banyak yg ditolak warga karena spesifikasi rumah 
memang 
> terbilang "rendah". Rumah cepat Jawa Pos juga lebih mirip "bedeng" 
> proyek. Ketika saya bekerja sebagai "Logistic Manager" sebuah 
lembaga 
> donor; saya jengkel karena "lamanya" diskusi antara donor-warga 
soal 
> spesifikasi rumah. Sejujurnya, banyak warga aceh yg 
menuntut "terlalu 
> tinggi" spek rumah, sebaliknya tidak sedikit lembaga donor yg 
melakukan 
> korupsi dengan mendown-grade spek rumah; persoalan lain, banyak 
lembaga 
> donor bertindak seperti kapitalis, dengan memaksa membangun rumah 
> sebanyak mungkin dengan menafikan kualitas : UNTUK IKLAN !!! 
lembaganya 
> sudah membangun sekian ribu rumah.
> 
> Itu salah satu alasan saya tidak tahan bekerja di lembaga tsb; 
banyak 
> pekerja lembaga donor tidak memiliki jiwa "menolong" tapi mereka 
bekerja 
> mengharapkan "gaji" saja; kebetulan banyak lembaga donor 
menawarkan gaji 
> cukup tinggi di aceh saat ini. Hingga falsafah "humanitarian" 
movement 
> tidak sepenuhnya dipenuhi di Aceh. I can confirm this !!!
> 
> saya sangat berharap saudara2 kita yg bekerja di lembaga 
kemanusiaan, 
> sedikit melupakan imbalan finansial-nya, dengan demikian dana 
bantuan 
> tidak habis untuk "biaya operasi". Menurut aturan Internasional, 
> maksimum persentase dana bantuan yg boleh dipergunakan untuk biaya 
> operasi adalah 7% tapi pada audit th 2006 banyak yg mencapai 14% 
dari 
> dana bantuan habis untuk biaya operasi. IFRC menggunakan 4% saja 
untuk 
> biaya operasi dan paling sip Angkatan Bersenjata New Zealand 
memakan 0% 
> dari dana bantuan untuk biaya operasi. Kalau tidak salah, lembaga 
> pemakan biaya operasi tertinggi "world vision" dan "islamic 
relief" (??)
> 
> coba cek dengan sumber yg lebih akurat, karena saya melihatnya 
dengan 
> sedikir "frustasi".
> 
> 
> -- 
> 
> Registered User :
> Linux # 421968
> Ubuntu # 13604
>


Kirim email ke