Catatan Dari Meja Nusa Dua DanCafé Bandar [24] KE KATINGAN! KATINGAN : PANGGILAN PULANG DARI SEORANG IBU KEPADA ANAKNYA. 5. "O, Senjakala yang menyala! Singkat tapi menggetarkan hati! Lalu sebentar lagi orang akan mencari bulan dan bintang-bintang" [Rendra,"Sajak Seorang Tua Di bawah Pohon"
Taksiku terus melaju menuju ke Kasongan dengan kecepatan 60 km/jam. Bulan langit kota mengiringku dari langit seperti mengungkapku rindu pada anaknya yang pulang. "Rindu seperti sajak sederhana yang tak ada matinya", ujar Joko Pinurbo. Sedangkan rindu bermuara pada cinta. Malangnya cinta, juga menurut Joko Pinurbo hanya "pandai menorehkan luka". Dan yang luka kena toreh akhirnya bagai "pantai sudah sepi dan tak akan ada yang peduli". Di "pantai sudah sepi itu" kita berada sendiri, dalam pengertian hakiki, bahwa kita sendirilah yang memutuskan dan menentukan apakah akan terus tergeletak atau mencoba bangun kembali dari kejatuhan dan keterpurukan?. Kalteng pun demikian. Kalteng sendirilah yang menentukan jatuh-bangun dirinya, apakah ia akan menjadi padang pasir ataukah jadi tempat hidup manusiawi bagi penduduknya , ataukah hanya menjadi pungguk yang menangisi bulan secara sia-sia? 1] Tapi sebenarnya tangisan pungguk bukanlah hanya melukiskan kesia-siaan. Pada tangisnya terdapat harapan yang tak pernah hilang. Sekalipun ia menangis, pungguk tetap mencintai hidup dan dihidupi oleh harapannya. Ia bangun dan terus terbang sekalipun sambil menangis. Pada tangis pungguk malam, kulihat ada suatu kegagahan tragis, penyesalan, kesetiaan dan keuletan menggapai cinta. Ia bertahan dan tidak melepaskan harapan, memeliharanya dalam situasi apa pun. Ia tahu apa yang ia maui. Apakah Kalteng demikian? Apakah Dayak demikian? Ataukah ia hanya pandai menangis?! Pada bulan yang mengawal taksiku melaju ke Kasongan, seperti kudengar Rendra sahabat baikku sejak aku remaja di Yogya, berkata: "Aku mendengar suara jerit hewan yang terluka. Ada orang memanah rembulan. Ada anak burung terjatuh dari sarangnya. Orang-orang harus dibangunkan. Kesaksian harus diberikan. Agar kehidupan bisa terjaga" Kalau benar apa yang kulihat selama bekerja di Kalteng, maka Kalteng, juga Katinganku adalah "hewan terluka" dilukai oleh keterpurukan karena ada yang "memanahnya" baik dari luar mau pun dari dalam, sedangkan aku adalah "anak burung terjatuh dari sarangnya" tapi belum mati. "Anak burung terjatuh dari sarangnya" terkena "panah" itu kemudian dibuang sehingga ketika Rendra dan Mbak Ken Zuraida -- istri Mas Willy -- datang ke Palangka Raya mengetahui duduk perkaranya, mereka berdua sangat marah. Waktu itu Mas Willy [Rendra] dan Mbak Ken datang bersamaa-sama Dorothea Rosa Herliany atas undangan sastrawan-seniman Palangka Raya. Masih mengiang kata-kata Mbak Ken membelaku: "Kembalikan Kusni ke Kalimatan! Kembalikan hak dasar Kusni!". Kembalikan anak burung ke sarangnya! Suara yang sekalipun lenyap di antara pepohonan di rimba, tapi ia sudah disuarakan dan suara itu menjadi gaung yang terus menggaung di nurani yang masih mempunyai nurani. Adakah anak manusia tanpa nurani?! Mustahil rasanya seorang pencinta yang jujur tak punya nurani. Ketika dalam berbagai seminar, konferensi atau kongres yang diselenggarakan di Kalteng, sementara orang memprotesku karena mengibaratkan orang Dayak sebagai "hewan yang terluka". "Orang Dayak bukan hewan, tapi manusia!" bantah pengkritikku. Menjawabnya kutanyakan: "Apakah Anda tahu arti perbandingan, ciri dan fungsi perbandingan atau lambang. Tidak adakah perbandingan itu dalam sastra Dayak? Apakah manusia itu menurut Anda? Apakah karena ia berujud manusia lalu ia otomatis menjadi manusia dalam arti hakiki? Memang adalah keinginanku agar orang Dayak itu menjadi anak manusia. Anak manusia dengan mutu manusiawi!" Sang profesor dan sering disebut sebagai tokoh masyarakat Kalteng yang mengkritikku itu tidak menjawab pertanyaanku sampai sekarang dan aku tidak bersikeras meminta jawaban. Dari kejadian ini aku kembali melihat bahwa profesor atau doktor bukanlah jaminan kearifan apalagi kebenaran. Malangnya, gelar akademi begini sangat memukau banyak orang sehingga orang-orang tidak segan membeli gelar-gelar itu sekali pun hampa. Kehampaan atau kekosongan ini jugalah yang disindir oleh Joko Pinurbo dalam sanjaknya berjudul "Kosong": "Aku sering bengong dan pusing memikirkan apa yang membuat rumahku terasa kosong dan asing" Tidakkah Kalteng kuranglebih seperti sebuah rumah yang membuat kita merasa "kosong dan asing"? Paling tidak itulah yang kurasakan. Kegilaan akan gelar akademi ini, sampai-sampai gelar Drs saja sudah dipajangkan di depan rumah. Aku sungguh tidak percaya bahwa kegilaan akan gelar akademi, apalagi gelar semu begini bisa mengeluarkan Kalteng dari keterpurukannya. Aku tidak percaya bahwa dengan bertambahnya orang bergelar semu, akan membuat Kalteng, Tanah Dayak makin maju. Pembelian gelar bukanlah tanda kemajuan Kalteng tapi sekali pun dikatakan ujud mencintai Kalteng, sikap demikian mendekat cinta tanpa nurani. Sama semunya dengan gelar belian tersebut. Karenanya kukira, perobahan pola pikir dan mentalitas merupakan masalah yang patut segera dijawab oleh Kalteng, juga Katingan-ku. Gelar akademi bukanlah "kelebihan" seperti yang dibanggakan oleh seorang tokoh penting di propinsi ini. Gelar menunjukkan jenjang pendidikan yang sudah kita perolehi tapi sama sekali bukan kelebihan dalam artian kemampuan. Ia membantu kita jadi mampu. Membantu tidak sama dengan jaminan. Apabila kita berada dalam keadaan terpuruk, maka anjuran Rendra agar: "Orang-orang harus dibangunkan. Kesaksian harus diberikan" menjadi sangat tanggap situasi dan mendesak. "Orang-orang harus dibangunkan" dan diberikan "kesaksian" agar mereka menjadi aktor bagi usaha pemberdayaan diri mereka sendiri sehingga mereka bisa menjadi tuan atas diri mereka, bukan menjadi budak atau orang asing di kampung kelahiran. Untuk menjadi "aktor pemberdayaan diri", untuk menjadi " anak enggang dan naga" maka jalan yang diusulkan oleh Rendra berjalan sejurusan dengan apa yang dikatakan oleh Pastor Brasilia, Paulo Freire, tentang "proses penyadaran", "proses pencerahan" [jika menggunakan istilah umum dewasa ini] atau "conscientization process". Tapi sudah kualami sendiri bahwa memberikan "kesaksian" sering dianggap "kejahatan berbahaya" sehingga dipandang sebagai "kecolongan" jika "kesaksian harus diberikan". Sudah kualami di kampung-halaman bahwa hak bicaraku diberangus sementara orang-orang yang memberangusku berbicara tentang reformasi dan demokrasi. Lebih konyol lagi si pemberangus menyebut diri Dayak yang peduli Dayak sampau-sampai sementara pejabat tinggi asal etnik Jawa mengatakan mereka sebagai : "tidak tahu diuntung". Pola pikir, pola mental dan makna manusiawi, kulihat akhirnya menjadi masalah sentral Kalteng. Tak terasa taksiku yang terus melaju sampai di depan markas batalion yang terletak beberapa ratus meter dari gedung mewah tempat tinggal Uskup Palangka Raya. Tak ada memang peraturan tertulis, tapi sudah merupakan keharusan, apabila melalui markas batalion ini, semua kendaraan bermotor harus mengurangi kecepatan jika tidak ingin mendapat persoalan. Jika ketentuan ini bermula dari hak istimewa, dari mana hak istimewa begini didapatkan? Apa dasar hukumnya? O, barangkali ada pada UUD-45 dan Pancasila yang selalu diucap. Ataukah keharusan untuk mengurangi kecepatan ini ujud dari keangkuhan dan kesewenangg-wenangan bahwa dengan adanya bedil di tangan kita bisa dapatkan apa saja. Bedil menjadi Undang-undang tertinggi. Bedil dan seragam mensahkan segala-galanya. Sinisme masyarakat terhadap hal ini sering kudengar dalam kata-kata canda menohok: "Aku keluarga tentara". "Keluarga tentara" dijadikan sebagai "pas jalan". Saban melalui Markas Batalion ini, saban itu pula aku merasa bahwa republik dan Indonesia dilecehkan sekaligus merasakan nyata keangkuhan dan bahaya militerisme. Republik dan Indonesia juga "peradaban" di depan Markas Batalion ini menjadi suatu "fatamorgana". Serentak aku pun mendengar suara Rendra membacakan potongan sanjaknya untukku: "Aku berdiri di muka kantor polisi. Aku melihat wajah berdarah seorang demonstran. Aku melihat kekerasan tanpa undang-undang. Dan sebatang jalan panjang, penuh debu, penuh kucing-kucing liar, penuh anak-anak berkudis, penuh serdadu-serdadu yang jelek dan menakutkan". Kembali pandang kulayangkan keluar jendela taksi. Bulan dan bintang langit kampungku masih mengiring menyertaiku ke Kasongan. Bulan dan bintang ini jugalah yang sering kujumpai di langit segala musim berbagai negeri, juga di Montmartre. Saban melihat mereka menyambutku , aku melihat pada sikap bulan dan bintang itu cinta besar dan tulus tanpa pamrih seorang perempuan pada kekasihnya, cinta agung seorang ibu kepada anaknya, cinta yang selalu membangkitkan rindu. Tapi cinta mereka pulalah yang paling sering dipanah dan dibakar sehingga warna bulan menjadi warna tembaga. Bulan adalah lambang keagungan cinta seorang perempuan walau pun benar tidak semua cinta mereka agung karena tidak semua cinta itu agung. Kalteng pun, Kasonganku pun mengenal pengingkaran. Demikianlah aku melihat pada pungguk dan bulan lambang keagungan kasihsayang yang makin melangka. Kelangkaannya melahirkan kerinduan sehingga: "... sebentar lagi orang akan mencari bulan dan bintang-bintang". Dari surat-surat listrik, tukar-pikiran yang sejak lama kulakukan dan terus kulakukan sampai sekarang, dari tulisan-tulisan gelisah dan harapan yang diungkapkan, pada geliat jatuh-bangun putera-puteri daerah ini, aku tahu benar bahwa di sini pun orang-orang sedang "mencari bulan dan bintang-bintang" haridepan, tanda anak manusia tidak gampang-gampang dikalahkan. Di sini pun ada kesetiaan dan keuletan cinta burung pungguk itu. Kalimat-kalimatku belum dan masih jauh dari titik. Kalimat-kalimatku seperti hidup , harapan dan kembaraku, baru sampai pada koma. bulan kampung warna tembaga semak dan rimba hijau mengenal mengawal menyambutku ke katingan dan kau kerinduan mataair dan muara pemberi nafas berapi pada kata dan langkahku**** Paris, Oktober 2005. --------------------------- JJ. Kusni Catatan: 1]. Menurut cerita- rakyat Dayak Katingan, bayangan hitam melengkung yang kita lihat di bulan adalah bayangan dari pemburu bersama anjingnya. Pemburu itu pergi ke bulan setelah merasa dilecehkan oleh istrinya. Keduanya saling mencintai, tapi si pemburu merasa dikhianati cintanya dan lari ke bulan. Sang istri menangis dan lama-kelamaan menjelma jadi burung pungguk. Tangis burung pungguk adalah tangis sang istri menyesali kepergian suaminya dan berharap sang suami kembali. Tapi sang suami tetap saja tinggal di bulan bersama anjingnya . --------------------------------- Do you Yahoo!? New and Improved Yahoo! Mail - 1GB free storage! [Non-text portions of this message have been removed] Milis Wanita Muslimah Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat. Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com Berhenti mailto:[EMAIL PROTECTED] Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com This mailing list has a special spell casted to reject any attachment .... Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/