Jurnal Toddopuli:
 
 
EMAN-EMAN ENDASE
[SAYANG-SAYANG KEPALANYA]
 
  
 
Aku kira waktu itu musim panas ketika beberapa surat listrik [sulis] masuk ke 
kotak surat laptopku.  Sulis-sulis itu berasal dari Rosa Prabowo, seorang 
mantan anggota DPR Pusat dari NU dan sedang menyelesaikan program S3-nya di 
salah satu universitas di Australia. "Negeri dan bangsa ini memerlukan 
anak-anaknya yang terdidik baik dan berwawasan", jelas Rosa kepadaku mengapa ia 
melepaskan sementara kedudukannya sebagai anggota DPR Pusat. 
 
Aku mengenal Rosa dan juga Choirotun Chisaan,  adiknya yang penulis buku 
"Testimoni H. Misbach Yusa Biran. Lesbuli. Strategi Politik Kebudayaan" [LKiS, 
Yogyakarta, 2008, 247 hlm],  sudah cukup lama dan ketika tahun 2007  lalu 
aku ke Yogyakarta, kami berkesempatan jumpa di kantor Syarikat Indonesia yang 
menerbitkan bukuku "Aku Telah Dikutuk Menjadi Laut" [ Yogyakarta, April 2007].
 
Dalam sulis-sulisnya, Rosa mengatakan bahwa setelah dari Jerman, ia bermaksud 
untuk datang ke Paris. "Apakah Babé [demikian anak-anak muda NU memanggilku 
selalu] ada di Paris musim panas ini?   
 
Setelah tukar-menukar sulis, pada hari kedatangannya aku datang ke  Stasiun 
Utara [Gare du Nord], sebuah stasiun kereta-api terbesar di Paris, dari mana 
kereta-kereta yang berangkat dan tiba ke dan dari negeri-negeri Eropa Utara 
berpangkal. Gare du Nord biasa juga disebut Paris Utara. Kedatangan kali ini 
adalah kedatangan Rosa pertama kali ke Paris. Paris tidak ia 
kenal,utara-selatan, barat--timurnya. 
 
Karena tahu ia belum makan , maka Rosa langsung kuajak ke Koperasi Restoran 
kami yang terletak di pusat kota Paris. Sambil menyeret kopernya yang penuh 
buku, kami berjalan sambil kujelaskan keadaan tempat-tempat yang kami lalui. Di 
Koperasi, Rosa berkenalan dengan awak koperasi kami. Saling tukar cerita sambil 
makan bersama masakan sederhana yang khusus dibuat menyambutnya. Sebagaimana 
biasa, ketika ada tamu-tamu khusus datang ke Paris, Koperas memanfaatkan 
kehadiran mereka untuk tukar-pikiran dan informasi. Demikian juga untuk Rosa 
sebelum ia kembali ke Jerman dalam perjalanan kembali ke tanahair, sudah 
dijadwalkan kegiatan demikian.
 
Yang ingin kucatat dalam Jurnal Toddopuli kali ini adalah beberapa pendapat 
Rosa yang tengah menyelesaikan program S3nya di bidang antropologi, yang juga 
merupakan aktivis NU semenjak muda. Sehingga mendengar kisahnya , aku sekaligus 
mendengar lika-liku perjalanan NU dan organisasi-organisai pemudanya, terutama 
pada masa dan pasca Orde Baru. Hadiah paling berharga dari Rosa adalah 
tesisnya. Sebuah kopie tesisnya ia tinggalkan untukku: "Agar Babé makin kenal 
Islam dan NU", ujarnya sambil menyerahkan kopie tesis tersebut. Tentu saja di 
sini aku tidak membahas isi tesisnya tapi mencatat beberapa pendapat-pendapat 
atau pernyataan-pernyataannya di depan teman-teman Koperasi yang mengesankan.
 
Salah satu  yang paling berkesan adalah pernyataannya dalam bahasa Jawa khas 
Yogya yang kocak  bahwa cendekiawan dan pemimpin negeri kita dinilainya sangat 
"éman-éman karo nadsé" [sangat sayang-sayang pada kepalanya]. Dengan kata lain, 
Rosa melihat bahwa cendekiawan dan para pemimpin kita kurang suka menggunakan 
kepalanya.  Malas berpikir. Tapi lebih suka menggunakan jalan pintas. Keadaan 
yang sering aku namakan pola pikir danmentalitas "mie instant". Korupsi 
material, pikiran dan data termasuk beberapa ujud dari pola pikir dan 
mentalitas "mie instant" atau yang "éman-éman karo ndasé". Sayang-sayang dengan 
kepalanya Sehingga kepala itu dipelihara demikian rupa. Tidak digunakan sesuai 
fungsinya Sampai berlumut. Bulukan.  
 
Mendengar pernyataan kocak serius, mengena dan komunikatif  ini, para anggota 
Koperasi tidak bisa menahan gelak. Pilihan ungkapan begini, jika pengamatanku 
benar, adalah ungkapan-ungkapa yang  khas terdapat di kalangan para penggiat di 
akar rumput, baik di kalangan buruh atau tani atau pun lapisan-lapisan 
masyarakat lapisan bawah.  
 
Adanya jual-beli skripsi di dunia akademi, barangkali ujud dari gejala yang 
disebut oleh Rosa dengan sikap "éman-éman ndasé" juga adanya. Bentuk dari 
kultus akademi yang umum di negeri-negeri yang baru mencapai kemerdekaan 
nasional, negeri yang oleh Alfred Sauvy dinamakan "negeri-negeri dunia ketiga" 
sekalipun gelar akademi dan isi kepala tidak rasuk [uncompatible]. Varian dari 
pola pikir dan mentalitas "éman-éman endasé" atau "mie instant" ini boleh jadi 
yang sering kita lihat dalam sikap "menindas ke bawah menjilat ke atas", 
"sanuwun dawuh", "minta restu bapak". Yang "éman-éman endasé" sering menjadi 
alat jinak [docile tool] dengan segala dampaknya dari tuan-tuan paternalistik 
Sementara kebebasan dan keberanian berpikir serta mencari kebenaran dari 
kenyataan yang memerlukan kerja keras dan ketekunan merupakan kutub lain dari 
"éman-éman endasé".
 
Gejala lain yang diangkat oleh Rosa Praboowo adalah masalah "latah". Rosa 
melihat bahwa masyarakat kita sekarang, masih dihinggapi oleh penyakit "latah". 
Isu syariat Islam yang dipandang sebagai jalan keluar bagi krisis majemuk 
masyarakat kita,  oleh Rosa sebagai antropolog Islam,  dipandangnya sebagai 
gejala "latah". Apabila suatu daerah nampak ada hasil sementara dengan 
pentrapan syariat,  maka daerah-daerah lain tanpa berpikir panjang "latah" 
mengikutinya. Apabila daerah yang mentrapkan syariat itu kemudian 
gagal, penerap daerah itu sendiri akan diam tanpa keberanian melakukan koreksi 
terbuka. Demikian juga daerah-daerah lain yang mengekorinya. 
 
Dari keterangan ini, aku pun melihat bahwa "latah" sebenarnya tidak lain varian 
dari sikap "éman-éman endasé" juga. 
 
Pola pikir dan mentalitas adalah masalah yang berhubungan dengan hati dan otak 
atau kepala.Orang Perancis mengatakan bahwa "ikan itu busuk mulai dari 
kepalanya". Adakah keadaan pembusukan "kepala ikan" ini pada kita sebagai 
bangsa, sebagai perorangan, sebagai cendekiawan? Adakah hubungan  langsung atau 
tidak langsung,  "pembusukan kepala ikan" ini dengan krisis majemuk tak kunjung 
usai menerpa bangsa dan negeri? 
 
Aku melihat ibu kalian mengecup kepala kalian satu persatu sambil berpikir. 
Dengan tatap menerawang jauh seakan mencari jawab dari tanya yang menggemuruh 
di kepala dan hati. Aku ingin kalian senantiasa jadi penanya yang jujur. Tanya 
yang kalian jabarkan dari kenyataan menantang sedangkan jawaban tidak pernah 
sesuatu yang siap pakai. Senantiasa saja bagai sebuah kalimat berakhir pada 
koma karena segala berkembang. Pantha Rei, ujar Heraclitus, ujar filosof Yunani 
Kuno. Jika demikian, mengapa  kalian bersikap "éman-éman endasé'?
 
Setelah kembali ke tanahair,  kepada kami, Rosa Prabowo meninggalkan kami 
pertanyaan-pertanyaan renungan dan sekarang pertanyaan-pertanyaan itu 
kusampaikan kepada kalian,  mengusik hati ibu kalian yang ingin jadi "penakluk 
dunia dan hidup" .Kubiarkan ia sendiri  merenung seleluasanya sedangkan aku 
turun ke halaman menyiram tanaman. Siapa yang mau serta? ***
 
Perjalanan Pulang,  Musim Dingin 2008
------------------------------------------------------- 
JJ.Kusni


      New Email names for you! 
Get the Email name you've always wanted on the new @ymail and @rocketmail. 
Hurry before someone else does!
http://mail.promotions.yahoo.com/newdomains/sg/

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke