Surat Sutera Putih: KEMBALI KE RUMAH KESENIMANAN Penulis tekun dan bersemangat serta konsisten yang menggunakan nama pena Holy Uncle dalam milis [EMAIL PROTECTED] [28 Mei 2007] menyebarluaskan selebaran Humas The Habibie Center Jakarta, berikut: Senin, 28-May 2007
Pameran Bersama Pelukis Angkatan Revolusi Mantan Presiden B.J. Habibie akan membuka pameran lukisan bertema Terima kasih pada para pejuang yang menampilkan lukisan karya pelukis angkatan revolusi, yakni Amrus Natalsya, Djoko Pekik, Prijono Maruto, Lian Sahar, Handogo, Sutopo, Sri Warso, Wahono, Arby Sama, Abas Alibasyah, Misbach Tamrin, dan Soenarto Pr. Acara pameran diawali dengan diskusi tentang Perjalanan seni lukis Indonesia yang digelar pada 29 Mei 2007 di lantai 1 Gedung The Habibie Center, Jakarta. Kegiatan pameran sendiri akan berlangsung sampai 6 Juni 2007. Dalam pandangan Soenarto Pr., buku-buku sejarah yang ada saat ini kurang mampu menggambarkan greget semangat yang berkobar pada saat perjuangan kemerdekaan. Justru goresan-goresan kanvas pelukis pada masa itu yang lebih mampu merekam emosi dan semangat perjuangan yang sebenarnya untuk menggugah generasi muda di era reformasi ini agar menghargai, meneladani, dan memaknai perjuangan kemerdekaan dan detik-detik proklamasi. Perjalanan seni lukis Indonesia sendiri identik dengan perjalanan sejarah bangsa. Raden Saleh yang melukis Penangkapan Pangeran Diponegoro, Sudjojono dan Affandi menggunakan aspirasi seni lukis mereka untuk mengobarkan semangat perjuangan rakyat melawan penjajah. Mereka itulah pada hakikatnya sebagai penjuang seni-budaya, melengkapi perjuangan bersenjata. Pada pertengahan 1950-an, perseteruan ideologi mulai menginkubasi para seniman pelukis. Bahkan, di Yogyakarta, komunitas seniman sempat terpolarisasi menjadi dua kubu, yakni Sanggar Bambu dan Sanggar Bumi Tarung. Saat ini, pelukis kedua kubu itu kembali bersahabat tanpa mempertentangkan lagi ideologi politik dalam kesenian dan lebih berlomba dalam pencapaian citarasa seni. Melalui gelaran pameran dan diskusi kali ini diharapkan dapat mempererat silaturahim antarpelukis yang awalnya berada dalam dua sanggar tersebut. Dalam diskusi seri Tokoh lintas sejarah berbicara, para pelukis diharapkan menceritakan kesaksiannya atas pasang-surut seni lukis Indonesia dan kaitannya dengan perjalanan sejarah perjuangan bangsa. Humas The Habibie Center Jakarta Membaca sirkulasi Humas The Habibie Center ini, yang ingin saya garis bawahi adalah titik-titik bahwa pameran lukisan bersama, pamaeran dan diskusi sejenus ini, sebenarnya dengan penyelenggaraan yang sekarang, merupakan yang kedua kalinya, bertujuan: "Melalui gelaran pameran dan diskusi kali ini diharapkan dapat mempererat silaturahim antarpelukis yang awalnya berada dalam dua sanggar tersebut. Dalam diskusi seri Tokoh lintas sejarah berbicara, para pelukis diharapkan menceritakan kesaksiannya atas pasang-surut seni lukis Indonesia dan kaitannya dengan perjalanan sejarah perjuangan bangsa". Dasar pertimbangan The Habibie Center menetapkan tujuan pameran dan diskusi bersama ini katakan karena "Pada pertengahan 1950-an, perseteruan ideologi mulai menginkubasi para seniman pelukis. Bahkan, di Yogyakarta, komunitas seniman sempat terpolarisasi menjadi dua kubu, yakni Sanggar Bambu dan Sanggar Bumi Tarung. Saat ini, pelukis kedua kubu itu kembali bersahabat tanpa mempertentangkan lagi ideologi politik dalam kesenian dan lebih berlomba dalam pencapaian citarasa seni". Ringkasnya, melalui penyelenggaraan pameran dan diskusi bersama para pelukis yang pada tahun 50an, dan terutama sekitar tahun 60an, yang tadiknya "berseteru", The Habibie Center berharap bisa memberikan sumbangan dalam usaha melakukan rekonsiliasi nasional di kalangan para seniman, cq. para pelukis, disimbolkan oleh mantan anggota-anggota sanggar Bumi Tarung dan Sanggar Bambu yang kedua-dua berbasis di Yogyakarta. Saya katakan bahwa penyebutan kedua sanggar ini hanya sebagai suatu lambang, sebab inti masalah yang dikatakan sebagai "perseteruan ideologi" lingkupnya jauh melampaui wilayah kedua sanggar tersebut. Ia pun tidak hanya terjadi di Yogyakarta tapi boleh dikatakan seluas wilayah negeri. Bahkan yang turut serta dalam pameran bersama kali ini pun tidak seluruhnya anggota kedua sanggar tersebut . Arby Sama, Abas Alibasyah, misalnya, jika pengetahuan saya benar, bukanlah anggota Sanggar Bambu yang terletak di tikungan jalan Sukun Yoyga, dan Liar Sahar bukan pula anggota sanggar Bumi Tarung yang terletak di Gampingan dekat gedung Akademi Seni Rupa Indonesia [ASRI]. Tapi benar bahwa antara mereka yang menyertai pameran bersama kali ini, pada periode di atas memang berada dalam kubu aliran kesenian yang berbeda bahkan boleh dipandang "berseteru" sebagai dampak dari keadaan politik nasional pada saat itu. Setelah waktu sudah sekian dasarwarsa, kedua pihak agaknya merenung ulang pengalaman berdarah penuh kegetiran selama empat dasawarsa lebih dan barangkali merasakan pertikaian demikian sebagai suatu pertikaian semu yang lepas dari ciri dunia kesenimanan sebagai republik berdaulat. Karena itu pameran bersama yang kedua kalinya ini -- dan lagi-lagi diselenggarakan oleh The Habibie Center -- kubaca sebagai proses pematangan masing-masing serta kembalinya para seniman [dalam hal ini para pelukis] ke rumah kesenimanan mereka. Usaha The Habibie Center mewujudkan rekonsiliasi nasional ini pun nampak dari nomor khusus "Majalah HAM Dan Demokrasi" yang ia tebitkan beberapa dua tahun silam. Mengapa tidak kita mengangkat topi pada usaha begini, betapa pun kecilnya, jika dianggap kecil, betapa pun hasilnya masih tidak seberapa misalnya? Yang besar, kiranya selalu mulai dari yang kecil bahkan terkadang berangkat dari nol. Usaha The Habibie Center dan kesepakatan para pelukis yang tadinya berbeda tempat berdiri untuk menyelenggarakan pameran bersama dan duduk di satu ruang bersama memperbincangkan masalah bersama, mengingkatkan saya akan kata-kata sastrawan Amerika Gertrude Stein: "Seorang kreator bukanlah seorang yang berdiri di depan generasinya tapi dialah di antara angkatannya yang pertama sadar akan apa yang sedang menimpa angkatannya" [lihat: Kenneth Tynan, in: Lenny Bruce, "How To Talk Dirty And Influence People. An Autobiography", A Play Boy Press Book, Chicago 1966, hlm. ix]. Jika Mas Satyagraha Hoerip masih hidup, pasti ia akan bergirang hati, karena dia pun dalam simposium Horison pernah menyerukan hal begini. Dengan mensponsori pameran dan diskusi beersama yang kedua kalinya ini, secara tersirat saya membaca adanya anjuran dari The Habibie Center untuk melepaskan segala wasangka tinggalan sejarah yang lebih banyak menghalang langkah bersama ke depan. Seruan untuk belajar dari sejarah, memaknai kekalahan dan kegagalan untuk memilih jadi anak manusia, putera-puteri negeri dan bangsa yang dewasa sehingga dengan demikian negeri dan bangsa ini bisa memaksimalkan semua potensi yang ia miliki. Bukan mencecerkannya, membuangnya atau membinasakannya. Pameran dan diskusi bersama para pelukis angkatan 50-60an ini, bukan Angkatan Revolusi seperti Affandi, Basuki Resobowo, Soedjojono --menggarisbawahi apa yang dicanangkan oleh Gertrude Stein di atas. Akan lebih menarik lagi jika pameran dan diskusi bersama kedua ini didengar oleh kalangan lain sebagai suatu himbauan mendesak di tengah keadaan negeri yang galau. Lepas dari didengar atau tidak suara himbaun lirih ini, tapi ia seperti angin bertiup dan terus mengelanai penjuru. Apa yang diucapkan oleh Mas Narto , panggilan sehari-hari untuk Soenarto Pr bahwa "buku-buku sejarah yang ada saat ini kurang mampu menggambarkan greget semangat yang berkobar pada saat perjuangan kemerdekaan. Justru goresan-goresan kanvas pelukis pada masa itu yang lebih mampu merekam emosi dan semangat perjuangan yang sebenarnya untuk menggugah generasi muda di era reformasi ini agar menghargai, meneladani, dan memaknai perjuangan kemerdekaan dan detik-detik proklamasi" melukis ulang tempat seniman dalam masyarakat dan kehidupan. Negeri kita tidak kelebihan akan seniman yang dilukiskan oleh Mas Narto. Hari ini pun tidak berkelebihan. Pameran bersama ini kulihat juga sebagai jalan seniman pulang ke rumah kesenimanan mereka. Rumah yang lama agak lengang dan bahkan diduduki penghuni lain. Pada kesempatan ini saya ingin mengangkat jempol atas keberanian berprakarsa Andi Makmur Makka dari The Habibie Center, sebagai "orang di belakang layar" pameran diskusi bersama ini. Paris, Mei 2007. -------------------- JJ. Kusni --------------------------------- Yahoo! Movies - Search movie info and celeb profiles and photos. [Non-text portions of this message have been removed]