http://saniroy.wordpress.com/2007/03/01/bangkrutnya-sebuah-kota/ * BANGKRUTNYA SEBUAH KOTA*
Maret 1st, 2007 Mulai bulan ini, terapi khusus akan mulai diberlakukan pada Kota Yubari di tengah Hokkaido, ujung utara Jepang. Kota dengan penduduk 13 ribu jiwa itu harus menanggung beban utang sebanyak 36 milyar yen lebih (bila 1 yen 70 rupiah, maka uang sebesar itu berkisar lebih dari 2.5 trilyun!). Padahal, kaum manula (65 tahun ke atas) mencapai kurang lebih 40%nya, atau sekitar 5 ribu jiwa lebih. Sesuatu yang mengerikan bagi sebuah kota kecil dengan penduduk terbilang paling tinggi tingkat prosentase manulanya (the most graying city in Japan?), dengan kondisi geografis yang juga dingin mencekam. Sebelunya Kota Yubari juga terkenal dengan melon, festival film, dan kesamaan nama dengan tokoh Gogo Yubari yang diperankan oleh Kuriyama Chiaki dalam film Kill Bill. Lalu apa yang bakal terjadi di sana? Menurut catatan Japan Times Desember lalu dan diperbarui hari ini, untuk membayar utang itu berbagai skenario fiskal bakal diterapkan. Dan ini akan memakan waktu panjang, sekitar 18 tahun program perbaikan. Intinya, pengeluaran belanja kota dipangkas habis-habisan, sedang pemasukannya digenjot. Kurbannya, siapa lagi kalo bukan penduduk kota yang bersangkutan. Tenaga kerja akan dibatasi menjadi setengahnya. Gaji pegawai akan dipangkas 30%. Sekolah2 akan digabung dan murid yang sedikit itu akan mengalami hari2 melelahkan per April nanti. Pajak tiap KK dengan anggota 4 orang dan berpenghasilan 4 juta setahun menjadi sekitar 166 ribu. Pemanfaatan fasilitas publik dikutip biaya 50% lebih tinggi. Rumah Sakit akan dirurunkan derajatnya. Museum dan perpustakaan juga bakal ditutup. Kekayaan2 milik kota dilego. Perawatan infrastruktur kota, seperti pembersihan salju dari jalan juga akan dikurangi frekuensinya. Intinya, menurut Asahi Shimbun adalah "accept one of the heaviest municipal tax burdens in the country, even though the municipal services they will receive in return will be among the lowest levels". Efeknya sudah kelihatan, banyak yang mulai memikirkan untuk hijrah ke kota lain. Pinjaman dari pemerintah pusat sebesar hutang akan diberikan, dan pihak Kota Yubari harus mengatur pengembaliannya selama 18 tahun tersebut. Semua kebijakan keuangan langsung di bawah pengawasan Kementrian Dalam Negeri. Yang ini berarti sebenarnya kota Yubari sudah kehilangan hak untuk mengurus diri sendiri atau lost of decentralizatio right. Sebenarnya Kota Yubari bisa saja merestorasi pailit ini dengan usaha sendiri, tapi langkah ini bukanlah langkah realistik, dan cenderung akan makin membuat sengsara penduduknya. Kesulitan para penduduk Yubari ini mendatangkan solidaritas nasional dari seluruh pelosok negeri. Banyak di antaranya membantu dengan mengirim barang2 bantuan. Menurut Q&A dari the Japan Times tentang kasus Yubari ini, kasus yang tengah menimpa Kota Yubari ini bukanlah kasus pertama di Jepang. Di tahun 1992, di Prefektur Fukuoka, tepatnya Akaike Town juga mengalami pailit. Tak separah Yubari ("hanya"3.1 milyar yen atau 1.3 anggaran belanja tahunannya) dan skema perbaikannya bisa diselesaikan tahun 2001 lalu, atau lebih cepat 2 tahun dari rencana). Kota lainnya yang tengah diamati adalah Kota Atami di Prefektur Shizuoka. Kota2 ini pada umumnya adalah kota2 kecil, dengan komposisi penduduk manula banyak (kehilangan tenaga2 mudanya), dan pada awalnya pendapatan terbesar nya datang daris ektor pertambangan. Jepang, seperti diketahui, termasuk negara maju yang kurang beres pada neraca keuangan publiknya. Dan ini yang sejak periode Pak Koizumi selalu digembar-gemborkan dengan istilah "reformasi fiskal". Meningkatnya hutang dalam negeri dan ketakseimbangan neraca anggaran di dalam pemerintahan (dari pusat hingga daerah/lokal) semakin besar. Kondisi ini adalah kondisi teruruk dibanding negara maju lainnya (negara2 OECD). Dibandingkan dengan prosentase GDPnya, keseimbangan fiskal yang mencapai -1.6% di tahun 1990 membengkak menjadi -7% di tahun 2001, saat Pak Koizumi mengawali karir PMnya. Hal yang sama terjadi pada kondisi hutang dalam negerinya yang mencapai 64.6% di tahun 1990 dari % GDP) menjadi 132% di tahun 2001. Meski masih menjadi agenda khusus, minimal reformasi pembayaran ini menunjukkan arah positif, salah satu indikatornya adalah naiknya GDP Jepang kemarin, atau kecenderungan naiknya pajak. Banyak pelajaran yang bisa dipetik dari kasus bangkrutnya sebuah kota ini, dan bisa saja menimpa wilayah yang lebih luas, sebuah negara misalnya ;-(. Seperti dikutip oleh Asahi Shimbun di sini, perlu sorotan khusus pada kebijakan2 keuangan yang dilakukan penyelenggara kota. Penduduk seharusnyalah juga bertanya pada diri sendiri, apakah jumlah gaji yang diterimanya sebagai pegawai pemerintah (misalnya) melalui usaha yang bisa diterima. Apakah juga perusahaan publik atau joint venture yang sebagian uang rakyat ada di dalamnya meninggalkan jejak yang sehat? (Wah jadi ingat kasus2 BUMN Indoneia). Dan tampaknya, moral para penyelenggara kota/negara (pemerintah maupun parlemen) juga punya peran signifikan untuk membawa sebuah wilayah yang di"kuasai"nya menuju kebangkrutan. Shinjite kudasai! [Non-text portions of this message have been removed]