Kalau memang tertarik dengan senjata pemusnah massal (WMD, Weapon of Mass
Destruction), terutama senjata nuklir, serta hubungannya dengan bom Legian,
di bawah ini "kuliah"nya.
(Dari milisnya Dayan, yang mendapatkannya dari milis:
[EMAIL PROTECTED]).

Sorry, agak panjang, tapi anak ITB ya bacanya yang kayak gini lah...

Wasalam.

================================

----- Original Message -----
From: "Muh. Ma'rufin Sudibyo"
Sent: Thursday, October 31, 2002 10:05 PM
Subject: [wanita-muslimah] Re: SADM down to 1 ton TNT

Sistem Persenjataan Nuklir

Deskripsi umum

Sistem persenjataan nuklir pada prinsipnya memanfaatkan fenomena alamiah
(natural) yang terjadi pada unsur-unsur tertentu yang ada di alam semesta.
Dari unsur-unsur tertentu ini kemudian diubah menjadi unsur-unsur lain yang
pada prinsipnya sangat berbeda dengan unsur semula (baik secara fisis maupun
kimiawi). Proses konversi ini menyebabkan sejumlah bagian tertentu dari
massa unsur semula hilang, dan dengan menerapkan prinsip ekivalensi
massa-energi dari teorinya Einstein yang terkenal itu (E : mc^2) sehingga
didapatkan pelepasan energi dalam jumlah yang sangat besar. Kalo pada
reaksi-reaksi kimia biasa yang bersifat eksotermik, pelepasan energi per
atom yang terlibat dalam reaksi tidak lebih dari beberapa eV, namun dalam
reaksi nuklir skala energi yang terlibat jutaan kali lebih besar (dalam orde
MeV).
(Catatan : eV = elektronvolt, sebuah satuan untuk menggambarkan kuantitas
energi yang dikandung sebuah partikel dalam skala atomik/subatomik, disini 1
eV didefinisikans ebagai energi yang dibutuhkan/dilepaskan saat sebuah
elektron (yang muatannya eksak -e) pindah dari satu tempat ke tempat lain
yang beda potensialnya 1 volt. Mev : Mega elektronvolt = 1 juta eV).

Secara teoritik semua unsur yang ada di alam semesta (sampai kini jumlahnya
sudah 109 buah) mampu mengalami reaksi nuklir. Maksudnya, ke dalam inti-inti
atom setiap unsur yang ada mampu ditembuskan sebuah partikel berenergi
tinggi (baik proton, neutron, elektron, partikel alfa ataupun sinar gamma)
hingga menyebabkan terjadinya reaksi nuklir, yang merubah komposisi inti
tersebut menjadi inti unsur lain. Dalam bahasa fisika nuklir proses semacam
ini dikenal sebagai transmutasi.

Tiap-tiap inti atom (termasuk yang ada dalam tubuh kita) memiliki
keistimewaan untuk senantiasa menjaga agar perbandingan antara jumlah proton
dan jumlah neutron yang dikandungnya (atau rasio n/p) senantiasa tak
bergeser lebih jauh dari angka 1. Inti-inti atom (apapun) dengan rasio n/p
semacam ini disebut inti stabil, karena memang tak bertingkah macam-macam.
Tapi untuk inti-inti atom (unsur apapun) dengan n/p << 1, ia sangat tidak
stabil dan secara alamiah berusaha mengubah dirinya supaya rasio n/p nya
mendekati 1. Demikian juga dengan inti-inti atom (apapun) yang rasio n/p >>
1. Nah, tiap-tipa inti atom yang stabil jika kemudian dibuatan grafik n/p
nya, akan terbentuk sebuah "pita" dalam grafik tersebut yang di kalangan
fisikawan nuklir disebut "pita kestabilan". Pita kestabilan berakhir pada
unsur Bismuth (Z=83), yang artinya semua inti atom yang lebih berat dari
Bismuth bersifat tidak stabil (radioaktif).

Reaksi inti jenis apapun (sampai kini ada empat jenis yang dikenal : reaksi
nuklir, radioaktivitas, fusi dan fissi) senantiasa bergantung pada sifat
alamiah yang mendasar dalam bentuk probabilitas. Kalangan fisika nuklir
menyebutkan probabilitas ini dengan skala tersendiri, yang disebut tampang
lintang (cross section), yang diibaratkan mirip dengan sebuah tembok dengan
bola (sebagai partikel inti) terletak tepat di tengah-tengahnya. Jika tembok
ini dibombardir dengan tembakan beruntun, tidak semua tembakan ini mengenai
bola tersebut. Nah, perbandingan luas bidang di sekitar bola dengan luas
tembok ini yang disebut cross section. Besaran cross section bersifat
alamiah, tak bisa diganggu gugat oleh segala macam bentuk rekayasa dan
berkait langsung dengan prinsip dasar fisika modern dan statistik kuantum.
Kalo mau merubah besaran ini secara rekayasa ya artinya dasar-dasar fisika
modern dan statistika kuantum harus ditinggalkan dan hal itu tidak mungkin
(Alm. Prof. Baiquni malah menyebut besaran-besaran dasar ini sebagai sebuah
sunnatullah atau ayat-ayat kauniyah). Dalam lapangan praktisnya di beberapa
inti atom radioaktif, cross section menampakkan diri sebagai waktu paruh
unsur tersebut. Nah data-data tentang cross section setiap unsur di alam
dalam setiap tingkat energi partikel yang digunakan ini sekarang tersimpan
di Atomic Energy Comission di bawah yurisdiksi Pentagon dan merupakan
data-data paling rahasia yang dimiliki Dephan AS ini. Di tahun 1980-an
Pentagon (yang dikuasai golongan konservatif paranoid yang radikal) sempat
membuat sebuah RUU yang melarang penyebarluasan data-data cross section
dalam bentuk apapun dari AEC ini dan siapapun yang melanggarnya akan dihukum
berat, dan resikonya buku-buku ajar tentang fisika modern dan fisika nuklir
pun konon harus ditarik dengan UU ini dan penyebarluasannya berarti akan
dicap sebagai pengkhianat negara. Namun untungnya RUU ini mentok di Senat.

Dalam realitasnya, alasan-alasan praktis dan ekonomis lebih mendasari
pemilihan reaksi nuklir pada dua buah jenis reaksi saja : fissi dan fusi.
Satu alasan yang paling penting, hanya pada dua jenis reaksi ini sajalah
proses reaksi bisa berlangsung secara menerus dalam wujud reaksi berantai
(chain reaction) setelah kondisinya terpenuhi dan dipicu oleh sebuah
inisiator. Reaksi-reaksi nuklir yang lain tidak bisa berlangsung secara
alamiah (kecuali reaksi radioaktivitas dan inipun jangka waktunya lama dan
pelepasan energinya maksimal 1/10 dibanding fissi), harus 'dipaksa' oleh
satu keadaan misalnya di dalam alat-alat pemercepat inti (akselerator)
ataupun oleh partikel-partikel proyektil yang disemburkan dari material
radioaktif (hanya saja dalam kondisi ini energi partikel rendah).

1. pembelahan nuklir (fissi)

Ditemukan oleh Lise Meitner, Otto Hahn dan Fritz Strassmann di Jerman tahun
1939, reaksi tipe ini hanya bisa terjadi pada unsur-unsur yang lebih berat
dibanding  Bismuth dalam sistem periodik unsur. Masalahnya begini,
unsur-unsur berat tersebut seluruhnya tidak stabil hingga jika dibayangkan
mirip dengan satu gelembung sabun yang nyaris bulat sempurna seperti bola,
satu tusukan saja pada gelembung sabun itu akan meletupkannya dan
memecahkannya menjadi berbagai macam pecahan (fragmen). Peristiwa yang sama
terjadi juga pada fissi, dimana penusuk itu berupa tembakan neutron dari
berbagai energi. Tembakan itu membuat inti menjadi buyar, terfragmentasi
dalam dua atau lebih inti atom baru yang lebih ringan (yang umumnya
radioaktif) dan melepaskan energi yang sangat besar, 2 atau 3 neutron baru,
sinar gamma, sinar beta dan neutrino.

Unsur-unsur yang biasa digunakan dalam reaksi ini dan yang tersedia di alam
hanya U-235 dan U-233, yang kadarnya sebenarnya sangat kecil (hanya 0,7 %).
Cross section terbesar pada fissi U-235 terjadi pada neutron berenergi
rendah (dan ini yang digunakan dalam reaktor nuklir). Ada memang U-238 yang
tersedia melimpah di alam (99,3 %) namun unsur ini susah mengalami fissi
(cross sectionnya sangat kecil). Justru yang terjadi U-238 menyerap neutron
tersebut (cross sectionnya sangat besar) dan merubah dirinya menjadi U-239,
yang selanjutnya berubah lagi menjadi Np-239 dan Pu-239 dengan melepaskan
sinar beta. Nah, Pu-239 ini karakternya hampir mirip dengan U-23 dan U-235
tadi. Hanya saja masalahnya karena unsur ini tidak tersedia di alam ya ia
harus dibuat dengan reaksi khusus di dalam reaktor nuklir dan itu membuatnya
jadi mahal. Berapa energi yang dilepaskannya ? Dalam tiap-tiap fissi
rata-rata energi yang dilepaskan sebesar 200 MeV.

Masalahnya kemudian begini. Agar lebih ekonomis dan praktis, orang berfikir
hanya menggunakan sekali tembakan neutron saja pada awal mula reaksi fissi
dan setelah itu reaksi harus dibiarkan berjalan sendiri (reaksi berantai)
dengan neutron-neutron yang diproduksi dari tiap fissi yang dijalaninya. Nah
dari sini kemudian lahir konsep massa kritis itu, yang sangat bergantung
pada besaran cross section dan kapasitas produksi neutron baru tiap unsur
yang bisa mengalami fissi (bahan fisil). Masa kritis juga bergantung pada
kemurnian, dimensi, densitas (massa jenis/kerapatan) dan bentuk (shape) yang
akan dibuat dari bahan fisil, makanya untuk unsur yang sama (ambil contoh
U-235) jika berbeda bentuk selongsongnya (yang satu bola dan yang satu
tabung), massa kritisnya akan sangat berbeda. Demikian juga jika kita
memiliki U-235 dalam bentuk selongsong yang sama namun berbeda kemurniannya
(anggap yang satu 20 % sementara satunya lagi 90 %) ya berbeda juga massa
kritisnya. Jadi besarnya, sama halnya dengan dua buah U-235 yang sama
kemurniannya, sama bentuk selongsongnya namun beda densitasnya. Massa kritis
untuk U-235, U-233 ataupun Pu-239 berbeda-beda. Cross section fissi yang
terbesar itu ada pada Pu-239 (kemurnian 100 %, fase alfa), makanya massa
kritis untuk unsur inilah yang terkecil (10,5 kg dengan dimensi 10,1 cm
dalam bentuk bola).

Massa kritis ini diperlukan supaya rasio antara neutron yang terbentuk
dengan neutron yang masuk ke bahan fisil (disebut faktor
multiplikasi/pelipatan, dengan simbol k) senantiasa lebih besar dari 1. Nah
jika k >> 1 kan artinya reaksi fissi akan terus berlangsung secara kontinyu
(sampai bahan fissil habis) dengan kuantitas yang kian lama kian meningkat
(ini dinamakan kondisi superkritis) sementara jika k << 1 reaksi fissi akan
berlangsung dengan kuantitas yang terus menurun sehingga reaksi akan
berhenti dengan sendirinya (ini disebut kondisi subkritis). Kalo pada
reaktor k = 1 (kondisi kritis) dan senantiasa diusahakan untuk berada di
dekat angka 1. Makanya di dalam reaktor dipasang pengaman seperti moderator
dan batang kendali neutron (untuk menyerap kelebihan neutron) dan waktu
reaksi fissinya lama (beberapa hari/bulan), sehingga separah apapun
kecelakaan sebuah reaktor, ia takkan menghasilkan ledakan seperti ledakan
nuklir. Sangat berbeda dengan bom nuklir yang tanpa semua kelengkapan tadi
dan waktu reaksinya jauh lebih singkat (dalam orde beberapa mikrodetik).

Maka, seandainya kita punya Pu-239, katakanlah seberat 9 kg, ya jangan
bangga dulu..itu 'belum ada apa-apanya'.

2. Penggabungan nuklir (fusi)

Sir Arthur Eddington dan Hans Alberth Bethe di tahun 1940 meramalkan reaksi
fusi ini berlangsung di dalam inti Matahari dan mampu menjawab pertanyaan
besar sejak abad 19 tentang kuantitas energi output yang dipancarkan
Matahari kita dan senantiasa menjadi teka-teki. Fusi itu maksudnya
penggabungan antar inti-inti atom unsur ringan menjadi inti yang lebih berat
(jadi kebalikan dari definisi fissi) dengan pelepasan energi yang sangat
besar. Dalam hitungan sederhana saya, fusi unsur Hidrogen (membentuk Helium)
dengan kuantitas massa yang sama dengan bahan fissil (U-235) menghasilkan
energi yang 20 kali lipat lebih dahysat.

Fusi hanya terjadi pada unsur-unsur yang A (nomor massanya : jumlah proton
dan neutron) < 10. Kalo secara teoritik sih fusi bisa berlangsung hingga
membentuk unsur bernomor massa 56 (besi), namun praktiknya sungguh kompleks
dan rumit sehinga hanya bisa terjadi pada dapur bintang-bintang (itupun yang
sudah mengalami supernova hingga berkali-kali dan hitungannya dalam skala
milyaran tahun untuk mampu membentuk besi dari fusi). Nah, unsur-unsur yang
sekarang tersedia secara ekonomis untuk di-fusi-kan itu cuma Hidrogen
(dengan segala macam variannya seperti Deuterium dan Tritium). Yang
menyenangkan, fusi tidak mengenal apa itu massa kritis, jadi berapapun
Hidrogen yang kita miliki kita bisa meledakkannya. Namun sebaliknya fusi
juga memberikan syarat batas yang teramat berat. Karena inti atom tersusun
oleh proton (yang bermuatan positif) dan neutron (yang netral), pada
dasarnya inti memiliki muatan positif dan jika dua muatan positif didekatkan
hukum Coulomb menegaskan keduanya akan saling tolak menolak. Ada dua cara
untuk melampaui penolakan ini. Yang pertama dengan mempercepat bahan fusi
(misalnya Hidrogen) pada sebuah alat pemercepat partikel (akselerator)
hingga mencapai energi tinggi dan selanjutnya dibenturkan dengan bahan fusi
lain yang diam. Namun cross section reaksi ini sangat kecil dan sama sekali
tidak ekonomis, sebab energi yang dibutuhkan guna mempecepat bahan fusi jauh
lebih besar daripada energi yang didapatkan lewat fusi itu sendiri, sehingga
cara ini tak pernah digunakan. Yang kedua, dengan memanaskan bahan fusi
hingga suhu jutaan derajat C, sehingga inti-inti atom bahan fusi akan
memiliki energi kinetik yang cukup tinggi untuk melampaui penolakan Coulomb
tadi. Pada suhu setinggi itu, bahan fusi memiliki bentuk plasma (campuran
panas antara inti-inti atom dengan elektron yang masing-masing berenergi
sangat tinggi dan tak berpasangan). Dalam suhu yang sangat tinggi fusi akan
terjadi dan menghasilkan energi yang sangat besar, sehingga mampu
mempertahankan kondisi panas tinggi ekstrim ini, reaksi berantai akan
berlangsung dan akibatnya fusi akan berlangsung terus sampai bahan fusinya
habis.

Inilah susahnya, untuk membikin suhu tinggi sebagai pemicu awal agar fusi
terjadi cukup sukar. Makanya hingga sekarang tak ada satupun reaktor fusi
yang mampu berjalan secara komersil. Di tingkat eksperimental pun fusi belum
bisa berjalan secara kontinyu. Sangat berbeda dengan fissi bukan ?

Senjata Nuklir

Senjata nuklir memanfaatkan secara maksimal fissi dan fusi ini untuk
membentuk efek perusak yang luar biasa. Senjata ini mewujudkan dirinya dalam
bentuk bom nuklir (sebenarnya sih lebih tepat bom fissil, atau kadang
dinamakan juga bom Uranium maupun bom Plutonium tergantung pada bahan
fissilnya), bom Hidrogen (tepatnya bom fusi) dan bom neutron. Bom ini bisa
saja berbentuk bom jatuh bebas (freefall atau dumb bomb) seperti yang
dimiliki Pakistan, bom pandu (Guided Bomb Unit/ GBU) yang dimiliki AS, Rusia
dan beberapa negara lain, rudal berkepala nuklir dan peluru howitzer 155 mm
(yang terakhir ini hanya AS dan Rusia yang memiliki). Kongres AS membagi
senjata nuklir ke dalam dua kategori. Pertama senjata strategis, yang
berfungsi untuk menghancurkan wilayah musuh sehingga kekuatannya pun
haruslah sangat besar (dan rata-rata senjata nuklir berada di wilayah ini).
Kedua senjata taktis, yang berfungsi untuk menghancurkan pasukan musuh di
satu wilayah yang sempit sehingga kekuatannya harus kecil. Batas antara
senjata strategis dan taktis terletak pada level kekuatan yang setara dengan
5 ton TNT. Dan senjata taktis yang sekarang ada hanya SADM itu.

1. Bom fissi.

Syarat utama untuk membentuk bom fissi haruslah dipenuhi terlebih dahulu
adanya massa kritis dan umumnya dalam bentuk bola atau elipsoid (bulat
telur). Kemudian ada satu perlengkapan yang dinamakan inisiator, gunanya
untuk memproduksi neutron yang dibutuhkan agar fissi bisa terjadi. Inisiator
yang sering digunakan berupa inisiator Pu-Be (Plutonium-239 dan Berilium,
karena Pu-239 memancarkan radiasi alfa/inti Helium, dimana reaksi antara
partikel alfa dengan logam Berilium akan menghasilkan neutron) yang besarnya
tak lebih dari sebatang rokok. Selanjutnya dibutuhkan satu mekanisme agar
bahan fissi tidak berada dalam kondisi massa kritis saat bom belum digunakan
(saat disimpan), namun bahan fissi bisa secepatnya mencapai kondisi massa
kritis saat  digunakan.

Ada dua cara yang bisa digunakan. Pertama dengan cara gun barrel. Disini
bahan fissi (misalnya Pu-239 murni fase alfa, massa 15 kg dan
bentuknya ellipsoid) dipisahkan menjadi dua bagian dan ditempatkan dalam
sebuah tabung dimana bagian-bagian ini ditepatkan saling berhadapan di
ujung-ujung yang berseberangan dari tabung itu. Pada bagian pertama
ditempatkan inisiator. Agar kedua bagian ini bisa menyatu kembali dalam
tempo yang cepat, di belakang bagian kedua ditempatkan bahan peledak biasa
(TNT) dilengkapi detonator dan sekering sumbu waktu (time fuze). Jika
saatnya tiba, TNT ini akan diledakkan sehingga bagian kedua akan terdorong
menyusuri tabung untuk bergabung dengan bagian pertama, dan tertekan oleh
kekuatan ledakan TNT sehingga membentuk massa kritis. Namun jeleknya, waktu
untuk menjalani penggabungan ini besarnya beberapa milidetik (dan ini
tergolong lama) dan densitas yang bisa dicapainya kecil (hanya beberapa
puluh kali lipat densitas awal, karena tekanan hanya datang dari satu sisi
saja, dari bagian yang didorong kekuatan ledakan TNT tadi) sehingga tidak
efektif. Bayangkan saja, sebuah rudal nuklir dirancang untuk bergerak dengan
kecepatan 10 km/detik atau 10 m/milidetik. Dalam beberapa milidetik (yang
dibutuhkan untuk penggabungan itu) rudal sudah bergerak beberapa puluh meter
sehingga titik ketinggian optimum yang seharusnya bisa dicapai malah
terlampaui. Bayangkan saja jika penyatuan itu membutuhkan waktu 20 milidetik
dan titik optimum peledakan berada pada ketinggian 500 m. Dalam 20 milidetik
itu rudal sudah bergerak sejauh 200 m sehingga ketinggian yang sekarang
dijangkau 'hanya' 300 m. Akibatnya ketika meledak, efek perusakan yang
diharapkan dari rudal ini menjadi tidak optimum, hanya menjangkau area yang
kecil saja dan ini merugikan. Makanya bom model gun barrel ini hanya dibuat
sekali saja dalam sejarah, berupa "Little Boy" yang digunakan di Hiroshima
itu, dengan kekuatan 12 kiloton TNT.

Tipe yang kedua, dengan cara implosion. Sebuah bahan fissil yang memenuhi
massa kritis direnggangkan sehingga membentuk rongga di bagian dalam
bola/ellipsoid. Di satu sudut dipasang inisiator dan di bagian terluar
dipasang sejumlah bagian peledak konvensional (TNT) lengkap dengan detonator
dan sekering sumbu waktunya, yang menyelubungi seluruh bahan fissil tadi.
Saat hendak digunakan, seluruh bahan peledak konvensional ini didetonasikan
bersama-sama, sehingga bahan fissil mendapatkan tekanan yang kuat dari
segala arah (dipress). Akibatnya bahan fissil bergerak menuju rongga tadi
dan ditekan dengan sangat kuat sehingga densitasnya melonjak pesat mencapai
1000 kali lipat dibanding densitas awal. Keadaan pada densitas ini jauh
melampaui massa kritis yang dibutuhkan. Waktu pergerakannya juga jauh lebih
singkat, dalam orde mikrodetik (1000 kali lebih cepat dibanding model gun
barrel). Dalam kasus rudal nuklir tadi, misalnya saja waktu penggabungan ini
20 mikrodetik, maka dalam waktu itu rudal hanya bergerak sejauh 0,2 m saja.
Selain lebih efektif, cara ini juga lebih aman dalam penyimpanan dan
pengangkutan, karena bagian-bagian bahan peledak konvensional itu
terpisah-pisah dan untuk meledakkannya secara serempak dibutuhkan satu
mekanisme sendiri. Saat hanya satu atau sejumlah bagian saja yang meledak,
ia hanya mendorong sejumlah kecil bahan fissil ke rongga sehingga massa
kritis tidak pernah terbentuk. Karena itu dalam model implosion ini,
pengaman bagi bom nuklir ini bisa sampai lima tingkatan hingga bisa
mereduksi kemungkinan penyimpangan. Berbeda dengan bom model gun barrel yang
hanya memiliki pengaman satu tingkatan. Pada tahun 1961 sebuah bomber AS
tanpa sengaja menjatuhkan sebuah bom fissi di wilayah negara AS, hingga
empat tingkatan pengamannya rusak. Namun bom tetap tidak meledak. dengan bom
model implosion ini, penyimpanan pun lebih terjamin, karena pada saat itu
mekanisme peledakan serempak peledak konvensional dilepas, demikian juga
dengan inisiator Pu-Be nya. Jadinya misalkan saja seorang iseng (atau
teroris) mencuri bom ini dari tempat penyimpanannya, ia tak bisa
menggunakannya dengan cara yang benar. Detonator TNT, mekanisme peledakan
serempak TNT dan inisiator ditempatkan terpisah pada jarak yang jauh dari
lokasi penyimpanan bom fissi. Meskipun orang iseng ini misalnya saja punya
detonator TNT, tetap saja ia tak bisa menggunakan bom fissi ini.

Model implosion kini menjadi standar bagi bom fissi di dunia saat ini,
dengan berbagai variasi pengembangannya. Salah satu variannya disebut linear
implosion dan ini yang digunakan pada SADM, baik pada Davy Crockett maupun
peluru howitzer.

Efisiensi fissi pada massa kritis sebenarnya tergolong rendah. Dalam bom-bom
fissi yang pernah diujicobakan, hanya 30 % dari massa kritis yang mengalami
reaksi. Sebabnya begini, dari pusat ellipsoid/bola ke bagian tepi memiliki
fluks neutron dalam kuantitas yang sangat berbeda sebagai fungsi dari jarak.
Sehingga pada bagian tepi atau yang berada di dekatnya, fluks neutronnya
lebih rendah dan akibatnya reaksi fissi yang terjadi disini pun lebih kecil.
Selain itu pada bagian tepi ini neutron yang ada juga memiliki kemungkinan
yang besar untuk terloloskan ke luar dari massa kritis. Karena itu kalangan
ilmuwan mengembangkan reflektor neutron (umumnya dengan logam Berilium) guna
memantulkan kembali neutron-neutron yang punya peluang lolos agar kembali
lagi masuk ke massa kritis. Dengan cara ini efisiensinya bisa lebih
diingkatkan, karena neutron datangnya dari dua arah sekaligus (dari pusat
bola/ellipsoid dan dari reflektor di bagian tepi). Karena itu sering muncul
anggapan logam Berilium juga mampu digunakan sebagai bahan fissil, padahal
sebenarnya tidak.

2. Bom fusi

Bom jenis ini sangat berbeda dengan bom fissi. Tidak dibutuhkan batas
minimal (dalam bentuk massa kritis) untuk bahan fusi, namun sebaliknya ia
membutuhkan sumber panas yang singkat dan serempak untuk memanaskan bahan
fusi agar kondisinya memungkinkan untuk terjadinya reaksi. Selain itu, meski
prinsip dasarnya sama, fusi yang terjadi di bintang-bintang dengan fusi yang
terjadi pada bom (atau reaktor eksperimental) sangat berbeda. Reaksi fusi
pada Matahari dan bintang-bintang sangat kompleks dan melibatkan inti unsur
lain sebagai katalis, dan penggabungan inti-inti Hidrogen membentuk Helium
di inti Matahari serta bintang-bintang berlangsung dalam waktu yang sangat
lama (jutaan tahun) sehingga umur Matahari dan bintang-bintang pun cukup
lama. Sementara bom fusi menggunakan reaksi fusi yang lebih sederhana dan
waktu reaksinya pun sangat cepat. Nah, reaksi fusi itu ada bermacam-macam,
namun yang paling penting ada beberapa :

1. D + T --> He-4 + n + 17,558 MeV
2. D + D --> He-3 + n + 3,268 MeV
3. D + D --> T + H + 4,03 MeV
4. He-3 + D --> He-4 + H + 18,34 MeV

(D notasi untuk Deuterium, varian dari Hidrogen (H) yang memiliki 1 neutron
di inti atomnya dan bersifat stabil, tersedia melimpah di lautan dalam
perbandingan 1 : 8000. T notasi untuk Tritium, varian lain dari Hidrogen
yang memiliki dua neutron di dalam intinya dan bersifat radioaktif dengan
waktu paruh 12,3 tahun. He notasi untuk Helium).
Selain itu masih ada reaksi lain (bukan fusi) namun cukup penting dalam
pembangunan sebuah bom fusi, sebagai berikut :

5. Li-6 + n --> T + He-4 + 4,78 Mev
6. Li-7 + n --> T + He-4 + n - 2,47 MeV

Li itu notasi untuk Lithium.

Nah semua reaksi tersebut (selain reaksi 6) bersifat eksotermik. Pada
dasarnya reaksi tercepat secara umum dimiliki reaksi 2 dan 3. Namun dalam
suhu 50 - 100 juta derajat C, reaksi 1 100 kali lipat lebih cepat dibanding
gabungan reaksi 2 dan 3. Reaksi 2 dan 3 pun 10 kali lebih cepat dari reaksi
4. Kecepatan empat reaksi tersebut meningkat eksponensial seiring dengan
meningkatnya suhu namun tidak dengan proporsi yang sama. Pada suhu tertinggi
yang memungkinkan dijangkau reaksi fusi, reaksi 4 berjalan lebih cepat
dibanding gabungan reaksi 2 dan 3. Seluruh reaksi tersebut (1 - 6) merupakan
reaksi 'bersih', karena tidak menghasilkan materi radioaktif (bandingkan
dengan fissi yang menghasilkan material radioaktif/sampah nuklir).

Nah terus bagaimana membuat bomnya ? Kalau hanya berdasarkan pada reaksi 1
saja jelas tindakan tolol. Secara ekonomis ekstraksi D dari air laut
tergolong mahal, dan T tidak tersedia di alam sehingga perlu dibuat di
reaktor dengan biaya yang sangat mahal. Sehingga tidak lucu dong jika biaya
yang digunakan untuk membangun bom fusi model ini justru lebih besar
daripada (taksiran) biaya pembangunan kota/wilayah yang akan dihancurkan.
Jika digunakan D murni saja (seperti reaksi 2 dan 3), secara teknis ini juga
menyulitkan. D itu sulit disimpan (demikian juga Hidrogen pada umumnya)
karena sifatnya, sehingga ia harus disimpan dalam bentuk cair dan Hidrogen
(beserta semua variannya) baru bisa berada dalam keadaan cair di suhu
beberapa Kelvin (alias minus ratusan derajat C). Untuk itu dibutuhkan
mekanisme kriogenik dengan selubung Nitrogen cair yang tak boleh bocor. Ini
sangat mahal dan menyulitkan. Dalam sejarah hanya sekali saja bom fusi
kriogenik ini dipakai, saat ujicoba bom hidrogen "Mike" dalam Operation of
Ivy di atol Eniwetok, 1 November 1952 dan merupakan tanggal pertama
digunakannya senjata bom hidrogen dalam sejarah. Kalo berdasarkan pada
reaksi 4, ini pun sangat sulit soalnya He-3 di alam jumlahnya sangat
sedikit.

Nah, Edward Teller dan Stanislav Ulam mengembangkan rekayasa tersendiri yang
kini dikenal dengan model Teller-Ulam (secara terpisah juga dikembangkan
oleh Andrei Sakharov di USSR, 'nama resmi' dari bom ini sebenarnya "staged
radiation implosion"). Dalam model Teller-Ulam, Deuterium dan Lithium
digabungkan membentuk senyawa kimiawi Lithium Deuterida. Di alam semesta
komposisi Lithium terdiri dari 7,5 % unsur Li-6 dan sisanya Li-7,
kedua-duanya dipakai dalam membentuk Lithium Deuterida. Dalam suhu kamar
senyawa ini berbentuk padatan dan sangat stabil, sehingga tidak memerlukan
selongsong penyimpanan yang tetek bengek ruwetnya seperti pada Deuterium
murni tadi dan selain itu juga jauh lebih murah. Untuk alasan teknis (agar
tidak mengurangi energi ledakan), senyawa yang dipilih adalah Lithium-6
Deuterida, yang reaksi 5 nya bersifat eksotermik. Bom model Teller-Ulam ini
menggunakan bom fissi model implosion (yang lebih aman) untuk mencapai suhu
50 - 100 juta derajat C dalam waktu singkat sebagai sumber panasnya. Panas
ini menjalankan reaksi 2 dan 3. Bom fissi ini juga akan menghasilkan radiasi
neutron cepat (berenergi antara 1 - 10 MeV) yang bisa digunakan untuk
menjalankan reaksi 6 (cross sectionnya besar jika energi neutronnya minimal
4 MeV). Dari reaksi 3 dan 6 terbentuk T yang dengan cepat digunakan oleh
reaksi 1 secara optimal, menghasilkan energi tinggi dan neutron berenergi
14,06 MeV. Neutron ini kembali digunakan dalam reaksi 6 untuk membentuk T.
Sementara reaksi 3 membentuk He-3 yang digunakan dalam reaksi 4 yang
menghasilkan energi terbesar. Reaksi 2 membentuk neutron berenergi 2,45 MeV
dan akan digunakan oleh reaksi 5 guna membentuk T. Jadi dari reaksi yang
saling sambung menyambung ini, muaranya adalah untuk menghasilkan T yang
akan melakukan reaksi 1 sebagai reaksi fusi dengan kecepatan tertinggi.

Pada praktiknya, bom fusi model Teller-Ulam berbentuk selongsong tabung,
yang di satu ujungnya diisi dengan bom fissi model implosion dilengkapi
reflektor Berilium. Dari bagian tengah hingga ujung tabung yang lain diisi
dengan sebentuk 'kapsul' (bentuknya memang sangat mirip dengan kapsul obat
yang ada di pasaran). Bagian luar kapsul ini dibentuk oleh lapisan U-235
yang dinamakan tamper. Lapisan kedua (yang paling tebal) didalamnya berisi
selubung Lithium-6 Deuterida dan di pusat kapsul terdapat batang U-235
dengan diameter 2 - 3 cm. Bagian kapsul yang berhadapan dengan bom fissi
tadi memiliki bentuk cembung yang diisi U-238 sebagai tameng. Seluruh ruang
dalam selongsong yang masih tersisa diisi oleh senyawa polistirena (karet
alam). Bagian terluar selongsong dibuat dari alumunium, sementara di bagian
dalamnya terdapat selapis tipis timah hitam (timbal) sebagai perisai bagi
lingkungan di luar selongsong terhadap radiasi gamma yang dipancarkan U-235
dan U-238 saat bom fusi dalam proses penyimpanan di gudang senjata. Pada
dasarnya selongsong model begini juga digunakan dalam bom fissi, hanya saja
bentuk selongsong pada bom fissi berupa bola/ellipsoid.

Bom fusi model Teller-Ulam mendasarkan kinerjanya pada fakta bahwa dalam
peledakan sebuah bom fissi, 80 % dari total energi ledakan ditransmisikan ke
lingkungan sekitar dalam bentuk radiasi sinar X 'lunak'. Kecepatan radiasi
ini (sama dengan kecepatan cahaya biasa) tentunya jauh melampaui kecepatan
fragmen-fragmen ledakan (yang ordenya 1000 km/detik), sehingga radiasi lebih
dahulu mempengaruhi lingkungan sekitarnya, sebelum fragmen ledakan
memporak-porandakan lingkungan ini. Saat bom fissi model implosion yang ada
di dalam selongsong tabung diledakkan, radiasi sinar X segera saja memancar
ke segala arah dan mengionisasikan atom-atom C dan H penyusun polistirena
sehingga terbentuk plasma. Kesetimbangan termal terbentuk dengan sangat
cepat sehingga suhu dan rapat energi pada plasma bersifat uniform di segala
tempat. Konversi padatan polistirena menjadi plasma secara otomatis juga
meningkatkan volumenya dan dalam selongsong tabung (yang volumenya terbatas)
akibatnya plasma memberikan tekanan yang kuat ke segala arah. Sementara
tamper pun mengalami pemanasan dalam tempo yang sangat singkat hingga
mengalami pengembangan (membentuk plasma juga) ke segala arah (keluar dan
kedalam kapsul) dalam proses yang dinamakan ablasi. Ablasi ini menyebabkan
bahan fusi terkompress dengan kuat, demikian juga batang U-235 di
tengah-tengahnya. Dalam kondisi ini batang U-235 memiliki densitas 1000 kali
lipat lebih tinggi dibanding semula sehingga jauh melampaui massa kritis
yang dibutuhkan. Namun dalam proses ablasi ini bahan fusi terhindarkan dari
pemanasan awal yang diberikan oleh ledakan bom fissi model implosion tadi,
lewat keberadaan tamper maupun tameng U-238. Justru proses ablasi ini
membuat batang U-235 melampaui massa kritisnya dan oleh banjir neutron dari
ledakan bom fissi model implosion tadi (yang terjebak dan terhilangkan
sebagian besar energinya ketika melewati bahan fusi, sehingga membentuk
fluks neutron berkecepatan rendah) reaksi berantai pun segera terbit. Panas
dan banjir neutron yang ditimbulkan selanjutnya membuat bahan fusi mengalami
aneka macam reaksi yang telah disebutkan di atas sehingga membentuk reaksi
fusi berantai yang menerbitkan suhu jauh lebih tinggi (300 juta derajat C).
Efisiensi reaksi fusi berantai ini cukup tinggi, karena dapat dikatakan
bahan fusi berada dalam kondisi suhu yang homogen dengan keberadaan tamper
(yang menghambat kebocoran panas keluar kapsul). Selanjutnya banjir neutron
dari fusi dan fissi ini menghantam tamper dan menerbitkan reaksi fissi baru
yang tak kalah spektakuler, sehingga disini dapat dipahami mengapa bom fusi
(yang lebih dikenal sebagai bom Hidrogen) memberikan kekuatan yang lebih
dahsyat dibanding bom nuklir biasa. Semua proses ini terjadi dalam orde
nanodetik, beberapa puluh mikrodetik sebelum fragmen-fragmen ledakan fissi
awal membuyarkan semua material yang ada dalam bom ini.

Secara sederhana, dalam lapangan militer bom fusi model Teller-Ulam
sebenarnya memiliki rangkaian reaksi fissi (bom fissi model implosion) -
fissi (batang U-235 di tengah kapsul) - fusi (bahan fusi dalam kapsul) -
fissi (tamper). Kaena rangkaian reaksi ini maka kekuatan ledakannya luar
biasa besar, jauh melampaui bom nuklir biasa yang bobotnya sama. Bom
Hidrogen rata-rata memiliki kekuatan 10 - 100 kali lipat bom nuklir biasa
(bom fissi model implosion), dengan 85 % kekuatannya disumbangkan oleh
proses terakhir. Jadi, kalo kita menggunakan SADM yang batas teoritik
kekuatannya 10 ton TNT, bom fusi SADM memiliki kekuatan 0,11 - 1,01 kiloton
TNT. Di bawah batas ini, dapat dikatakan mustahil.

Jika lapisan tampernya dihilangkan, kekuatannya mengecil namun banjir
neutron yang dihasilkannya jauh lebih besar. Ini yang kemudian secara
militer dikenal dengan bom neutron dan merupakan senjata taktis. Bom neutron
dikembangkan AS dan Eropa dengan melihat dekatnya negeri-negeri Eropa Barat
dengan negeri-negeri Sosialis sehingga penggunaan bom berkekuatan besar
(seperti bom nuklir dan bom Hidrogen) yang bersifat strategis tidak hanya
menghancurkan daerah lawan, namun justru juga akan menghancurkan dan
mengkontaminasi daerah sendiri. Apalagi pihak Sosialis waktu itu telah
mengembangkan tank-tank superberat (70 ton) dengan dinding tebal yang mampu
menahan gelombang tekanan (shockwave) dan sinar panas (thermal rays) serta
radiasi produk ledakan senjata nuklir. Makanya kemudian dikembangkan bom
neutron, yang kekuatannya kecil namun radiasinya (radiasi neutron dan gamma)
sangat melimpah. Sehingga area yang terkontaminasi bom ini cukup kecil,
namun daya bunuhnya luar biasa, karena radiasi hebatnya yang mampu
menjangkau area yang sangat luas. Dalam SADM, bom neutron ini memiliki batas
teoritik kekuatan 11,5 - 160 ton TNT, namun radiasinya itu lho. Apalagi
radiasi neutron berenergi tinggi yang nyaris tak dapat ditahan oleh materi
(karena sifatnya yang netral), kecuali oleh unsur Cadmium dan Boron (yang
cross section reaksinya dengan neutron cukup besar). Sementara kedua bahan
ini langka di lapangan. Dan neutron pun mampu menembus segala macam materi
tanpa kehilangan banyak energi kecuali materi yang bernomor atom rendah
seperti air (Hidrogen), Berilium, Karbon. Jadi, dengan menggunakan bom ini,
kota-kota akan aman, tank-tank dan kendaraan perang lainnya tetap utuh,
namun manusia dan segala makhluk hidup lainnya akan binasa karena radiasi
neutron yang mematikan.

Begitulah. Jadi berdasarkan cross section, bentuk dan densitasnya, massa
kritis yang terkecil bagi bahan fissil ditemui pada Pu-239 murni fase alfa
itu, yang memiliki massa 10,5 kg dengan diameter 10,1 cm pada bentuk bola.
Untuk bom fissi model implosion ia bisa menghasilkan kekuatan ledakan 10 ton
TNT. Varian lainnya, bisa dibuat bom fusi model Teller-Ulam berkekuatan 0,11
- 1,01 kiloton TNT ataupun bom neutron berkekuatan 11,5 - 160 ton TNT.
Apakah memungkinkan membentuk senjata nuklir yang kekuatannya di bawah 10
ton TNT ? Secara teoritik tidak mungkin, karena untuk itu artinya manusia
harus merubah besaran cross section sebuah bahan fissil, sementara besaran
ini merupakan sifat alamiah yang dibawa bahan fissil tersebut dan tak
mungkin diubah-ubah. Sama halnya dengan garam dapur, bukankah tak mungkin
untuk merubah kandungan unsur penyusunnya (Na dan Cl) meski ke dalam garam
dapur itu dicampurkan sakharin ? Walaupun misalnya bahan fissil tersebut
merupakan campuran dengan bahan lain (misalnya saja U-235 dicampur dengan
Pu-239 dan U-233), perhitungan dan eksperimen laboratorium menunjukkan massa
kritis untuk campuran tersebut justru lebih besar dibanding massa kritis
tiap-tiap bahan fissil itu sendiri (yang ada pada keadaan murni).

Teknik dan Efek Peledakan Senjata Nuklir

Dalam sejarah pertempuran dunia sebenarnya senjata nuklir hanya dipakai dua
kali saja, yakni di akhir Perang Dunia II ketika dijatuhkan di Hiroshima (6
Agustus 1945) dan Nagasaki (9 Agustus 1945). Sebelumnya dilakukan ujicoba
detonasi menggunakan bom fissi model implosion berkekuatan 19 kiloton TNT
yang dilangsungkan di padang pasir Alomogordo, New Mexico pada tanggal 16
Juli 1945. Ujicoba ini 'hanya' untuk memastikan apakah bom jenis baru ini
memang mampu meledak sekaligus menetapkan cara terbaik guna memperoleh efek
yang maksimal dari perisitwa peledakannya. Dari eksperimen Alomogordo,
didapatkan bahwa peledakan senjata ini akan sangat baik jika dilaksanakan
pada ketinggian tertentu, yang tidak terlalu tinggi dan tidak pula terlalu
rendah. Batas teoritiknya sekitar 500 m.

Mengapa demikian ? Efek yang paling diharapkan dari senjata nuklir ada tiga
: efek gelombang tekanan (gelombang kejut, yang diiringi dengan hembusan
angin berkecepatan tinggi tergantung tekanan lebih yang dibawa sang
gelombang kejut), efek sinar panas dan efek radiasi. Pada detik-detik
pertama (dalam orde milidetik), ledakan senjata nuklir di angkasa membentuk
bola api ledakan (fireball) yang nyaris bulat sempurna dengan radius yang
kian mengembang seiring berjalannya waktu hingga mencapai maksimum. Radius
maksimum bola api bergantung kepada kekuatan ledakan senjata nuklir
tersebut, makin besar kekuatannya ya makin besar juga bola api yang
dibentuknya. Kecepatan pengembangan ini melebihi kecepatan suara pada suhu
normal, dan dengan produksi energi yang sangat besar dalam waktu yang sangat
singkat, suhu bola api ini juga luar biasa tingginya. Bagian terluar
memiliki suhu yang sama dengan suhu permukaan Matahari kita (5.000 - 6.000
derajat C), namun pada bagian inti bola api suhu yang dicapai setinggi 50 -
100 juta derajat C. Selain itu 80 % energi ledakan diradiasikan dalam bentuk
sinar X lemah, yang sangat mudah mengionisasi atom-atom penyusun atmosfer.
Semua ini menghasilkan produk bola api yang warnanya terang, putih
menyilaukan (dalam eksperimen peledakan di padang Alomogordo, intensitas
cahaya yang dipancarkan dari bola api ledakan tercatat 10 kali lipat lebih
tinggi daripada intensitas cahaya Matahari yang diterima Bumi). Di
perbatasan antara radius maksimal bola api dengan atmosfer muncul warna
merah membara dan kekuningan, yang menandakan terjadinya reaksi endotermik
antara Nitrogen dan Oksigen di atmosfer membentuk senyawa-senyawa oksida
Nitrogen (NOx), yang sangat mudah memecahkan molekul Ozon. Karena itu
ledakan sebuah senjata nuklir memang berpotensi merobek lapisan ozon di
atmosfer tempat terjadinya ledakan. Data-data yang diperoleh dari
serangkaian eksperimen peledakan senjata nuklir AS di gugusan kepulauan
Marshall (Pasifik) menunjukkan ledakan berkekuatan 1 megaton TNT memproduksi
oksida Nitrogen sebanyak 10^32 buah. Jika melihat foto-foto bola api ledakan
di Legian (termasuk yang dipampangkan di Halterturnershow), dengan bola api
yang didominasi warna merah muda, jelas suhu bola api tersebut masih dapat
dikategorikan 'dingin' (dibanding bola api ledakan senjata nuklir) dan jelas
sekali itu ledakan konvensional biasa. Dalam fisika dikenal adanya rumus
radiasi Wien yang menghubungkan antara warna dominan cahaya yang dipancarkan
dari sebuah benda pijar dengan suhu permukaan benda tersebut. Nah dari rumus
itu (ingat-ingat mata kuliah fisika dasar deh, atau pelajaran fisika pas
kelas 3 SMA) didapatkan satu konklusi bahwa warna merah memiliki suhu
terendah (1.500 derajat C) dan suhu makin naik hingga sampai ke warna biru
(50.000 derajat C). Kalo putih ? Menurut para fisikawan, warna ini merupakan
ciri khas yang ditemukan pada plasma-plasma yang ada di alam semesta
(misalnya ekor komet) dan menunjukkan suhu yang sangat tinggi, jauh di atas
warna biru.

Bola api ini mencapai radius maksimal saat kecepatan pengembangannya sama
dengan kecepatan suara pada suhu normal. Untuk ledakan di titik teoritik
tadi, bola api ini masih berada di atas permukaan tanah, menunjukkan bentuk
bulat nyaris sempurna dengan ukuran dan warna yang menggidikkan.
Selanjutnya, saat kecepatan pengembangan berada di bawah kecepatan suara,
dari permukaan bola api ini terbit gelombang kejut. Gelombang ini sangat
mirip dengan gelombang-gelombang lingkaran yang terbentuk di permukaan air
sebuah kolam setelah sebuah batu kita jatuhkan kedalamnya. Gelombang kejut
ini pun dapat dilihat perambatannya seperti halnya gelombang-gelombang di
permukaan air tadi, merambat dengan cepat. Berdasarkan prinsip Bernoulli,
gelobang ini sebenarnya udara yang tertekan oleh kekuatan ledakan sehingga
tekanan udara di gelombang kejut ini lebih tinggi dibanding tekanan udara
sekitar. Perbedaan tekanan udara ini menyebabkan berhembusnya angin dan oleh
perbedaan yang tinggi tentunya angin yang bertiup pun kencang. Dalam jarak
hingga beberapa km dari proyeksi titik ledakan di permukaan tanah, hembusan
angin itu memiliki kecepatan yang bervariasi mulai dari 600 km/jam di dekat
bola api hingga 70 km/jam pada jarak 3 km dari titik ledakan. Nah, hembusan
angin inilah beserta gelombang kejut yang membikin berantakan seluruh
material yang dilewatinya. Dalam ledakan di Hiroshima, gelombang kejut ini
yang menyebabkan 80 % bangunan hancur, rel-rel kereta api dan jembatan
saling melengkung. Pada saat yang bersamaan dari bola api ini terbit sinar
panas yang mematikan. Dalam ilmu fisika, sinar panas ini dinyatakan dalam
besaran kuantitas energi (kalor) yang diterima segala macam benda dalam tiap
satuan luasnya (alias kalor persatuan luas). Tiap-tiap materi memiliki
ambang batas tersendiri dalam kalor persatuan luas ini, ambang batas yang
jika ditembus menyebabkan materi itu terbakar (jika tersusun oleh senyawa
organik/senyawa karbon atau senyawa anorganik sederhana) atau meleleh (jika
tersusun oleh logam atau senyawa monoatomik). Sinar panas produk ledakan
nuklir ini memiliki kuantitas kalor persatuan luas yang sangat tinggi di
dekat bola api (mencapai angka 500, sementara intensitas panas Matahari yang
diterima Bumi kita hanya mencapai angka 2). Ini jauh di atas ambang batas
semua materi sehingga di dekat bola api ini tak ada materi yang bersisa,
semuanya musnah menjadi gas ! Sinar panas ini akan menurun intensitasnya
seiring dengan jauhnya jarak yang ditempuh dari titik pusat ledakan, namun
jelas masih akan menimbulkan efek dalam jarak tertentu. Dalam jarak 10 km
kulit manusia masih terbakar lho ! Sebuah eksperimen peledakan senjata
nuklir di udara, yang dilakukan di atas gurun Nevada, ternyata sanggup
membakar atap sebuah rumah yang ada di pinggiran Las Vegas, pada jarak 70 km
dari titik ledakan (bisa dibayangkan betapa dahsyatnya ?).

Bila ledakan nuklir ini berlangsung di udara pada ketinggian teoritik tadi
(500 meter), maka energi ledakannya sepenuhnya ditransfer untuk membentuk
gelombang kejut dan sinar panas, yang menjalar ke semua arah. Selain itu,
gelombang kejut yang mengarah ke tanah akan dipantulkan kembali ke angkasa
dan memperkuat gelombang kejut dan sinar panas yang telah ada sebelumnya
(ini dinamakan efek Mach). Efek Mach ini menimbulkan 'muka gelombang (wave
front)' baru, yang dua kali lipat lebih kuat dibanding muka gelombang awal
produk ledakan. Akibatnya efek ledakan jadi dua kali lipat lebih tinggi,
karena gelombang kejutnya menjadi dua kali lipat lebih besar dibanding
sebelumnya. Pada ledakan di ketinggian teoritik ini, sinar panas yang
terpancar ke angkasa bisa dipantulkan oleh awan-awan kumulonimbus di
atmosfer untuk kembali lagi ke permukaan Bumi dan ini memperkuat efek bakar.
Jika permukaan tanah diliputi salju, sinar panas ini akan terpantul berulang
kali antara awan-awan di atmosfer dengan salju di permukaan tanah hingga
efeknya menjadi 1,5 kali lipat lebih besar dibanding produk asli ledakan.
Inilah alasannya kenapa senjata nuklir sangat efektif jika ia diledakkan di
atmosfer pada ketinggian yang pas.
Bagaimana jika diledakkan di atas permukaan tanah ? Sejumlah bagian dari
energi ledakan akan digunakan untuk membentuk kawah ledakan, yang berbentuk
mangkuk dengan diameter mencapai beberapa ratus meter. Diameter ini
sepenuhnya tergantung pada kekuatan ledakan. Untuk SADM yang batas
teoritiknya 20 ton TNT, kawah ledakan yang bisa ditimbulkan diameternya
mencapai 20-an meter (tergantung pada tipe tanah dan tinggi titik ledakan
dari tanah). Pada ledakan ini, gelombang kejut hanya berbentuk setengah bola
dan tanpa efek Mach, sementara pancaran sinar panas tidak bisa mencapai ke
segala arah karena terbatasi oleh permukaan tanah. Sehingga disini efek yang
diharapkan menjadi tidak maksimal.

Bagaimana dengan awan cendawan ? Saat bola api mencapai radius maksimumnya,
ia sebenarnya mengalami pendinginan dengan cepat, hingga mencapai suhu
500.000 derajat C. Berdasarkan hukum-hukum dinamika gas, tekanan sebuah gas
sebanding dengan suhunya, sehingga ketika suhu bola api turun tekanan yang
ditimbulkannya pun menurun. Sehingga atmosfer di sekeliling bola api dalam
tempo sekejap (setelah gelombang kejut dan sinar panas lewat) mengalami dua
kondisi yang sangat ekstrim, berupa tekanan yang sangat tinggi di awal mula
dan tekanan yang lebih rendah setelah bola api mencapai maksimal. Karena
atmosfer mengandung cukup banyak uap air (yang dinyatakan dalam besaran
kelembaban), perubahan tekanan yang drastis ini menyebabkan terjadinya
kondensasi, dimana uap air tadi mengembun (dikenal sebagai efek kamar kabut,
karena prinsip sejenis juga terjadi di kamar-kamar kabut yang digunakan
dalam penyelidikan fisika partikel berenergi tinggi dalam disiplin fisika
nuklir). Disini bola api ledakan nampak seperti gumpalan awan raksasa. Oleh
panas yang masih tersisa, berdasarkan hukum konveksi, bola api ini kemudian
bergerak naik, diiringi dengan tiupan angin dari atmosfer disekelilingnya
yang membawa juga material produk ledakan dan material lingkungan yang
hancur. Angin ini bertiup mengikuti gerak naik bola api (disebut afterwinds)
dan material yang dibawanya membentuk semacam 'tiang' sehingga secara
keseluruhan kenampakannya seperti payung atau cendawan. Pergerakan cendawan
ini mencapai finalnya setelah menembus lapisan tropopause pada ketinggian
12-15 km, namun afterwinds masih terus mendesak naik. Sehingga cendawan
akhirnya tumbuh melebar ke arah horizontal, yang diikuti juga dengan
afterwinds. Eksperimen di Pasifik memperlihatkan, rasio radius cendawan
dengan tiangnya mencapai 10 : 1 dan diameter awan cendawan raksasa ini bisa
mencapai 100-an km untuk bom-bom berkekuatan megaton TNT.
Apakah awan cendawan merupakan produk khas bagi ledakan sebuah senjata
nuklir ? Tidak. Karena awan cendawan (dalam skala yang lebih kecil) pun
diproduksi oleh bahan-bahan peledak yang dalam detonasinya menghasilkan suhu
dan energi tinggi di titik ledakannya. Bahan-bahan peledak itu meliputi TNT,
RDX, PETN maupun C-4. Hanya saja, bedanya, selain dimensinya yang lebih
kecil, awan cendawan produk ledakan konvensional ini umumnya berwarna hitam
campur kemerahan. Hitam berasal dari material produk ledakan dan asap yang
terangkut naik sementara warna kemerahan berasal dari suhu yang tersisa dari
bola api ledakan tadi. Sementara pada ledakan senjata nuklir, awan cendawan
ini selalu berwarna putih - seperti uap air atau seperti gumpalan awan biasa
- karena efek kamar kabut yang diciptakannya. Tiang awan cendawan produk
ledakan nuklir bisa saja sama dengan awannya (putih, karena mengandung uap
air), ataupun putih kotor, jika titik ledakan berada di dekat permukaan
tanah. Ini perbedaannya, yang sangat signifikan dan tak bisa ditawar-tawar.

Faktor Deterrent

Dilihat dari sudut pandang militer, efek ledakan senjata nuklir memang
dahsyat, sangat dahsyat dan ini memang menjadi salah satu revolusi sistem
persenjataan. Nuklir menjadi pilihan yang praktis saat sebuah negara
kekurangan angkatan perang dari jumlah yang diidealkan. Misalnya saja dengan
Indonesia. Secara teoritik, seharusnya Indonesia punya 2 juta anggota
tentara (1 % dari jumlah penduduk), namun kenyataannya kita hanya memiliki
seperlimanya. Untuk menambahkan 1,6 juta anggota tentara lagi jelas suatu
hal yang sangat berat, harus dipikirkan soal gaji, tunjangan, perumahan dan
kelengkapan personal lainnya. Belum lagi soal detasemen, divisi, batalyon
dan markas-markas militer baru yang harus dibangun. Nah, daripada
susah-susah dengan semua tetek bengek ini (yang ujung-ujungnya menguras
anggaran negara), akan lebih mudah (dan murah) jika kita memelihara beberapa
senjata nuklir. Dalam perhitungan 10 senjata nuklir telah cukup untuk
menggantikan kebutuhan angkatan perang kita tadi, dan jelas ini lebih
ekonomis. Namun, bagaimana dengan efektivitasnya ?
Selain penggunaannya pada akhir Perang Dunia II, sebenarnya senjata ini
tergolong mubazir, karena sama sekali tak pernah digunakan. Senjata ini
hanya diledakkan pada eksperimen-eksperimen pengembangan dan pengujian
sistem persenjataan beberapa negara saja, dan itupun di daerah yang
terpencil, di angkasa maupun di bawah tanah. Efek-efek yang dihasilkannya
sangat jarang mengenai manusia secara langsung, namun efek yang sangat besar
berupa efek psikologis yang didapatkan dari berita yang disajikan di mass
media dari percobaan peledakan ini. Karena itu pak Teuku Yacob pernah
berkomentar, pada dasarnya senjata nuklir itu hanya membuat ledakan dahsyat
dalam koran, bukan dalam perang.

Mengapa tak pernah digunakan dalam berbagai konflik pasca Perang Dunia II,
termasuk didalamnya Perang Korea, serial Perang Arab Israel, Perang Vietnam
dan Perang Teluk ? Jawabannya sangat sederhana. Negara-negara nuklir
tersebut (AS, USSR, Inggris, Perancis, Cina) sebenarnya bisa saja
menghancurkan musuh-musuhnya dengan sekali atau dua kali serangan nuklir
dalam gelombang yang besar. Namun mereka juga sangat menyadari bahwa aksi
mereka akan dibalas dengan reaksi yang tak kalah dahsyatnya. Misalnya saja
ketika AS menyerang USSR dengan segenap kemampuan nuklirnya, bisa saja USSR
tidak mampu membalas. Namun yang akan memberikan reaksi justru sistem cuaca
yang ada di Bumi. Jika dihitung secara kasar, separo saja dari hululedak
nuklir yang ada di dunia ini diledakkan bersama-sama dalam sebuah perang
nuklir, Bumi menderita kerusakan lingkungan yang bersifat global, dengan
kualitas dan kuantitas yang sama dengan kerusakan global produk tumbukan
asteroid raksasa yang pernah terjadi 65 juta tahun silam di semenanjung
Yucatan dan menyebabkan 80 % bentuk-bentuk kehidupan (termasuk dinosaurus)
musnah total. Kerusakan lingkungan hidup ini ditandai dengan semburan
material debu produk ledakan nuklir ke atmosfer dalam jumlah yang sangat
besar dan melayang pada titik yang cukup tinggi sehingga membutuhkan waktu
lama - puluhan hingga ratusan tahun - untuk kembali ke permukaan Bumi.
Debu-debu yang melayang ini memblokir intensitas sinar Matahari yang jatuh
ke Bumi sehingga menciptakan kondisi musim dingin permanen yang diistilahkan
dengan 'musim dingin nuklir'. Dalam kondisi ini dunia akan suram atau malah
gelap selama jangka waktu yang lama, sehingga tanaman-tanaman tidak bisa
berfotosintesis dan akibatnya jaring-jaring makanan mengalami gangguan
hebat. Hewan-hewan pun mati dan ujungnya manusia pun senasib. Apalagi
ditambah kenyataan bahwa debu-debu yang menyelubungi atmosfer ini mengandung
material sampah nuklir dengan radiasi gamma-nya yang mematikan, akibatnya
penyakit akibat radiasi pun akan bertebaran menimpa manusia di Bumi. Kondisi
semacam ini yang menyebabkan eksistensi kehidupan menjadi musnah secara
massal. Apakah ini sekedar omongan kosong? Oh tidak. Para ilmuwan belajar
dari pengalaman buruk ketika Gunung Tambora (Sumbawa, Indonesia) meletus
dahsyat di tahun 1815, menghasilkan kaldera berdiameter 6 km dan
menyemburkan material letusan sebanyak 150 km kubik ke ketinggian 44 km,
menembus lapisan stratosfer. Akibat letusan ini, 80 km kubik debu menyembur
dan bersikulasi pada lapisan atmosfer di seluruh dunia sehingga pada tahun
1816 belahan bumi utara mengalami penurunan suhu yang cukup signifikan
dengan abnormalitas suhu minimum harian berlangsung sejak akhir musim semi
hingga awal musim gugur berikutnya. Secara singkat, di tahun itu di belahan
bumi utara tidak terjadi musim panas (!). Akibat lebih lanjut, kerusakan
lingkungan yang global dengan matinya tanaman-tanaman hijau menyebabkan
korban tewas letusan Tambora menjadi 92.000 jiwa, 89 % diantaranya
disumbangkan oleh efek kerusakan lingkungan yang terjadi (10.120 korban jiwa
lainnya disebabkan terkena langsung material letusan gunung tersebut). Nah,
inilah keadaan yang dinamakan self annihilation, dimana semua pihak yang ada
di dunia, baik yang terlibat perang nuklir maupun tidak, akan sama-sama
binasa.

Sehingga yang kemudian terjadi, baik kalangan militer maupun politisi
sama-sama mengakui bahwa fungsi utama senjata ini telah bergeser jauh dari
alat penghancur massal menjadi salah satu kekuatan penjaga perdamaian (!).

Ini berlangsung baik pada masa Perang Dingin maupun pada konflik-konflik
regional. AS sebenarnya bisa saja mengirimkan rudal-rudal ICBM nya ke USSR
setiap saat, namun USSR pun memiliki kemampuan yang sama. Apalagi kedua
belah pihak telah mendaftar sasaran utama yang harus 'dihajar' di pihak
lawan, termasuk didalamnya komando-komando militer, pusat persenjataan,
gudang-gudang senjata dan sarang-sarang rudal jarak jauh. AS bisa saja
menyerang dengan ICBM nya, namun balasan USSR diperhitungkan akan merusak 50
% potensi militernya dan merusak total seluruh sarang rudal jarak jauh,
ditambah lagi dengan self annihilation. Ini yang membuat baik AS maupun USSR
tetap bertahan untuk tidak menjadi pihak yang pertama menekan kenop
peluncuran rudal nuklirnya selama Perang Dingin berlangsung. Dilema yang
sama juga dialami dalam konflik Israel -Arab. Secara militer sebenarnya
Israel sudah memiliki bom nuklir, dan pada saat serangan balasan
besar-besaran pasukan Arab pada Perang Yom Kippur 1973, bom-bom nuklir
Israel sudah terpasang di pesawat-pesawat Skyhawk-nya (yang dimodifikasi
sedemikian rupa untuk melakukan toss bombing), demikian pula AS (melalui
Nixon) sudah menyiagakan ICBM-nya. Namun Israel sendiri justru malah
khawatir jika toss bombing dilakukan, mereka sendiri yang akan kena getahnya
mengingat medan pertempuran yang berlangsung di area sempit. Apalagi jika AS
meluncurkan ICBM-nya, yang rata-rata berkekuatan 200 kali ledakan Hiroshima,
tentu Israel akan lebih runyam dengan radiasi dan efek-efek lain yang
timbul. Lebih runyam lagi jika USSR membantu pihak Arab dengan menghujani
Israel, hingga baik Arab maupun Israel akan sama-sama hancur. Karena itu AS
kemudian habis-habisan membantu Israel dengan segala macam persenjataan
konvensional yang dimilikinya, bahkan konon ceritanya Israel langsung
mengambil pesawat-pesawat tempur yang baru saja jadi di pabriknya, meski
akhirnya kalah juga dalam perang 15 hari itu. Doktrin 'kehancuran bersama'
inilah yang kemudian membawa Nixon dan Brezhnev menandatangani perjanjian
Anti Ballistic Missiles (ABM) yang terkenal itu, dengan klausul Nuclear
Mutual Destructions (NMD)-nya yang populer. Dalam klausul ini, kedua pihak
(AS dan USSR) sepakat untuk tidak melakukan serangan nuklir pertama ke pihak
lawan, karena masing-masing pihak tak bisa membayangkan serangan balasan
yang dilakukan pihak lawan. Nah, disini senjata nuklir akhirnya malah
menjadi faktor deterrent, bukan disaster.

Posisi deterrent yang sama juga berlaku pada kasus Pakistan. Meski secara
formal AS menyatakan sanksi ekonomi dan militer pada Pakistan akibat
peristiwa eksperimen detonasi senjata nuklir bawah tanah di tahun 1998,
namun diam-diam AS (dan negara-negara Eropa Barat) membantu militer Pakistan
agar sejajar kekuatannya dengan India sehingga tidak memungkinkan lagi
penggunaan senjata nuklir sebagai andalan utama. Pakistan dan India
masing-masing juga sangat paham dengan doktrin NMD ini, dan sejauh ini
mereka nampak sama-sama saling menahan diri meski berbagai ketegangan memang
nampak di kedua belah pihak yang bermusuhan ini. Kasus Pakistan malah
melahirkan sebuah rumus baru : kalo ingin punya angkatan bersenjata yang
kuat, dengan persenjataan yang lengkap, bikin saja bom nuklir meski hanya
sebutir. Niscaya negara-negara produsen senjata akan berdatangan dan
membujuk rayu untuk menggunakan produknya saja, asal bom nuklir ini jangan
digunakan sebagai alat utama sistem persenjataan

Doktrin NMD ini tetap berlaku meski pada masa kini AS sedang mengembangkan
sistem pertahanannya yang fenomenal : pertahanan rudal nasional (National
Missiles Defense/NMD) dan pertahanan rudal mandala (Theatre Missiles
Defense/TMD), yang konon diarahkan untuk menangkal rudal-rudal milik Rusia,
Cina (dengan teknologi saat ini, Cina mampu memproduksi 1 - 2 ICBM pertahun)
atau Korea Utara (dengan rudal Rodong-nya), atau negara-negara potensial
nuklir lainnya seperti Irak, Iran dan Libya. Secara politis ini memang isu
yang menarik, meski sebelumnya telah digagas Reagan dengan program Perang
Bintang-nya (Strategic Defense Initiative/SDI). Namun secara ekonomis
program ini menyedot banyak biaya (dan konon SDI lah yang membikin AS
bangkrut di masa Reagan, hingga saat Clinton mulai memerintah dan mengambil
tindakan drastis dengan menyetop program mahal ini) dan secara teknis banyak
kalangan ilmuwan yang meragukan kelayakannya. Memang ada Edward Teller -
sang bapak bom Hidrogen - yang menjadi tokoh kuncinya dan ia optimistis
semuanya akan berhasil. Namun bagi kalangan ilmuwan, Teller sudah memiliki
cacat. Di masa Reagan dialah yang memerintahkan bawahannya untuk secara
diam-diam memasang sistem penjejak pada sebuah rudal (berhulu ledak kosong)
yang akan diujicoba. Tentu saja ketika rudal itu diluncurkan dari
Vandenberg, California, sistem penjejak ini dengan mudah  mampu ditangkap
sinyalnya oleh rudal penyergap yang diluncurkan dari Kwajalein (Pasifik).
Akibatnya tentu saja rudal penyergap ini seperti dipandu saja untuk
menghantam rudal kosong tadi, dan semua ini berlangsung di depan anggota
Kongres dan Reagan, sehingga mereka merasa terpukau dan dengan mudah
melolosan anggaran milyaran dollar yang sempat tesangkut di Kongres.
Sementara dua buah ujicoba sejenis sebelumnya - yang tanpa sistem penjejak -
gagal total. Skandal itu baru terbongkar di masa pemerintahan Clinton.
Secara teknis penangkalan ICBM sebenarnya tidak mungkin. Hululedak ICBM
sangat diperkuat dengan material berat (menggunakan logam U-238 dilapis
Berilium) sehingga untuk menembusnya dalam tempo cepat (karena kecepatan
ICBM nyaris mendekati 10 km/detik) harus menggunakan laser sinar-X. Secara
teoritik untuk memproduksi laser sinar X harus digunakan sumber energi
berbentuk pulsa dengan intensitas yang sangat tinggi, dan itu hanya bisa
diberikan oleh ledakan senjata nuklir. Ini tidak main-main, karena memang
telah dibuktikan pada eksperimen LANL di tahun 1984, saat sebuah peledakan
senjata nuklir bawah tanah mampu memicu bahan laser (dalam bentuk gas) untuk
memancarkan laser sinar X , sesuai teori. Namun terkesan sangat lucu bahwa
untuk menghancurkan senjata nuklir (ICBM) ternyata harus menggunakan senjata
nuklir (laser sinar X) juga. Pemerintahan Bush (sekarang) memang mengatakan
akan menggunakan laser UV yang dipasang pada ABL (Air Borne Laser) Boeing -
707. Masalahnya satu ekserimen di LANL memperlihatkan dengan laser UV yang
terkuat (bobotnya 30 ton) dibutuhkan 7 detik untuk melubangi hululedak
sebuah ICBM dan celakanya pada saat itu ICBM sudah bergerak sejauh 70
km.Permasalahan lain yang cukup pelik, teknologi sekarang belum mampu
membedakan apakah hululedak yang sedang meluncur di angkasa itu berisi
senjata nuklir atau tidak., karena sama sekali tidak bisa dibedakan dengan
segala instrumen yang ada pada saat ini. Demikian juga, ketika puluhan
bahkan ratusan hululedak bergerak bersama-sama menuju sasaran-sasaran yang
berbeda, sangat menyulitkan bagi ABL untuk melaksanakan tugasnya. Jangankan
penangkalan ICBM, sistem rudal Patriot yang dikembangkan untuk menangkal
rudal-rudal konvensional saja (yang memiliki kecepatan lebih rendah)
memiliki angka kegagalan hingga 10 % dalam perang Teluk.

Jadinya, program TMD dan NMD Bush itu sebenarnya secara teknis masih sangat
prematur dan tidak ada nilai praktisnya. Diam-diam pemerintahan Bush sendiri
masih mengakui doktrin Nuclear Mutual Destructions, ditandai dengan
tindakannya memberi bantuan militer diam-diam pada Pakistan serta Korea
Utara. Langkah yang sama juga dilakukan pihak Rusia dan negara nuklir
lainnya seperti Inggris dan Perancis. Nah, disinilah nampak sekali peranan
senjata nuklir yang justru bertindak sebagai faktor deterrent. Makanya ada
joke yang berkembang di kalangan fisikawan : kalo ingin damai, siapkan bom
nuklir...(vis pacem, para atomos).

Karena faktor deterrent ini, yang nampak senjata nuklir malah terkesan
'lebih manusiawi' dibanding sistem persenjataan konvensional lainnya.
Sebutlah pada masa Perang Dunia II, saat senjata ini juga digunakan.
Pemboman Hiroshima dan Nagasaki 'hanya' menewaskan 110.000 jiwa, sementara
pengeboman besar-besaran AU AS ke wilayah Eropa Barat yang diduduki Nazi
selama periode Maret 1942 - Mei 1945 menelan korban jiwa 305.000 orang.
Total korban jiwa di Perang Dunia II mencapai kurang lebih 14 juta manusia,
dan senjata nuklir 'hanya' memberi kontribusi 0,7 %.

Depleted Uranium

Kalo merujuk pada definisi yang diberikan US Nuclear Regulatory Commission
(NRC), yang dinamakan Depleted Uranium (DU) itu sebenarnya Uranium sisa
hasil pengayaan yang digunakan pada senjata nuklir. Jadinya begini, pada
Uranium yang ditemukan di alam komposisinya terdiri dari 99,28 % U-238, 0,72
% U-235 dan 0,0057 % U-234 dengan aktivitas jenis 25,4 Bq/mg (1 Bq : 1
peluruhan atom radioaktif/detik). Industri nuklir dalam bentuk bahan bakar
reaktor dan persenjataan membutuhkan kadar U-235 yang lebih banyak (antara
2 - 94 % massa), sehingga berlangsung proses 'pengayaan' (enrichment)
terhadap Uranium alam. Dalam proses pengayaan ini, U-235 disaring dan
dipekatkan secara terus menerus. Uranium sisa saringan ini yang kemudian
dikenal sebagai DU, dengan komposisi 99,8 % U-238, 0,2 % U-235 dan 0,001 %
U-234.
Aktivitas jenis bagi DU cukup rendah, hanya 14,8 Bq/mg (58 % saja dari
aktivitas Uranium alam).

Secara kimiawi Uranium merupakan logam berat berwarna keperakan yang sangat
padat. Sebuah kubus Uranium bersisi 10 cm memiliki massa mendekati 20 kg dan
secara umum 70 % lebih padat dibanding timbal (timah hitam). Pada suhu 600 -
700 derajat C dalam tekanan yang sangat tinggi logam DU akan menyala dengan
sendirinya, membentuk kabut aerosol DU yang bersifat cair dan sangat panas.
Sifat-sifat kimiawi dan fisis semacam ini yang menyebabkan kalangan militer
menyukai DU untuk digunakan dalam sistem persenjataan konvensional yang
bersifat taktis. Apakah sebagai peledak nuklir ? Bukan. DU digunakan sebagai
senjata penembus berenergi kinetis dan biasa digunakan dalam bentuk senjata
antitank (atau anti kendaraan lapis baja lainnya). Jadi senjata ini
betul-betul konvensional, sama sekali tak melibatkan reaksi berantai
didalamnya (baik fissi maupun fusi). Senjata ini sebagian besar menggunakan
prinsip yang dikenal dengan efek Munro.
Prinsipnya begini, bayangkanlah ada sebuah tabung. Didalamnya ada rongga
yang berbentuk kerucut dengan dasar kerucut tepat beririsan dengan dasar
tabung. Dinding kerucut ini terbuat dari lapisan DU, sementara ruang antara
kerucut dan tabung diisi dengan bahan peledak konvensional (anggaplah TNT).
Di dasar kerucut terdapat sebentuk 'pipa' kecil (lebih kecil dari tabung)
yang sumbunya tepat berada pada sumbu tabung + kerucut, mengarah keluar.
Pipa ini tertutup, diujungnya terdapat detonator dan sekering sumbu waktu.
Karena tertutup, maka rongga tadi dibikin hampa udara.
Jika TNT yang mengelilingi rongga kerucut tadi diledakkan, tekanan dan panas
yang dihasilkannya akan membuat DU yang menyusun ujung dan bagian tengah
dinding kerucut mencair dalam derajat yang berbeda. Di ujung kerucut DU
mencair sempurna dan oleh tekanan ledakan ia akan bergerak mengalir keluar
(menyusuri pipa) dengan kecepatan 10 km/detik (ini diistilahkan dengan jet).
Sementara DU yang menyusun bagian tengah dinding kerucut hanya mengalami
pencairan sebagian sehingga membentuk gumpalan-gumpalan kecil logam (pasir
logam) yang larut dalam cairan DU (dinamakan slug), dan melesat dengan
kecepatan 1000 m/detik melalui pipa. Jet dan slug inilah yang dengan mudah
mampu menembus dinding lapis baja (setebal apapun) akibat kecepatan dan
sifat cairnya. Penembusan ini menyebabkan bagian dalam kendaraan lapis baja
itu terpanaskan dengan hebat, dan membuat tanki bahan bakar solarnya meledak
sehingga kendaraan lapis baja ini akan terbakar dan personal yang ada
didalamnya terpanggang. Jet dan slug inilah yang merupakan bagian dari efek
Munro, dan belum ada material baja yang mampu menangkalnya (meski material
baja tersebut sanggup menahan gelombang tekanan produk ledakan senjata
nuklir sekalipun).

Senjata-senjata yang mengandung DU itu seluruhnya merupakan senjata anti
tank dan anti kendaraan lapis baja, seperti rudal TOW (jarak jangkau 2 km),
rudal Hellfire (yang dipasang di helikopter serang Apache AH-64), rudal LAW
(milik Inggris, mirip dengan TOW), rudal matra (milik Perancis, mirip dengan
TOW) atau peluru bazooka model RPG-7 (buatan USSR, sangat populer di
kalangan gerilyawan Lebanon). Dari senjata-senjata ini yang dapat ditemui di
pasaran bebas memang RPG-7 dan menjadi senjata yang favorit di kalangan
kelompok-kelompok radikal.

Penggunaan DU memang menjadi kontroversi berkait dengan bahan radioaktif
Uranium yang digunakannya. DU sendiri telah digunakan secara luas dalam
kasus Perang Teluk (1991) dan medan pertempuran Balkan (1999). Beberapa
personel memang terekspos partikel DU ini, dan di kawasan teluk diduga
terdapat 300 kg DU yang telah digunakan. Namun penyelidikan IAEA menunjukkan
angka kematian yang sangat kecil (sehingga tidak signifikan secara
statistik) pada ekspose DU ini. Secara kimiawi Uranium merupakan logam
penekan kerja ginjal. Sementara secara fisis, sebagai unsur radioaktif
Uranium akan terkonsentrasi dalam paru-paru, ginjal dan sistem peredaran
darah serta beberapa jaringan lunak lainnya untuk sementara waktu. Dalam
beberapa negara, konsentrasi Uranium di dalam tubuh dibatasi pada angka 3
mikrogram pergram jaringan tubuh. IAEA sendiri memberikan batas maksimal
dosis serapan tahunan 1 mSv bagi penduduk yang berada di daerah peperangan
dengan penggunaan senjata DU. Ini dilakukan untuk menghindari efek buruk
Uranium pada tubuh manusia, diantaranya gangguan ginjal (secara kimiawi)
ataupun kanker (akibat aktivitas radioaktifnya).

Dirty Bombs

Senjata nuklir memiliki batas minimal kekuatan sebesar 10 ton TNT (seperti
yang sudah kita bahas di atas dengan SADM). Ini merupakan wilayah senjata
taktis, yang ditujukan untuk menahan gerak serbu pasukan lawan atau sebagai
senjata antipersonal dan bukan untuk penghancuran wilayah. Namun bagi
kalangan militer ukuran kekuatan 10 ton TNT ini masih tergolong besar. jika
dibandingkan, 1 SADM sama potensinya dengan 10 buah bom besi Mk-84 yang
menjadi standar pada F-16 dan pesawat tempur ringan lainnya (F-18 Hornet,
F-14 Tomcat dan A-4 Skyhawk). Pada pesawat-pesawat ini bom Mk-84 yang bisa
diangkut hanya 3 atau 4 buah saja. Sementara sebagai senjata strategis,
senjata nuklir sama sekali tak tertandingi. Senjata nuklir terkuat yang
pernah diujicobakan (dalam bentuk bom hidrogen) diledakan militer USSR di
tahun 60-an di laut Artik dengan kekuatan 58 megaton TNT. Ini menghasilkan
kerusakan total pada area seluas 6.000 km persegi dan mampu menghanguskan
sayap pesawat pembawanya meski ia telah mengambil jarak 200-an km dari titik
peledakan. Selain kekuatan dahsyatnya, senjata nuklir juga memiliki satu
efek penting : radiasi.

Nah, efek radiasi ini yang kemudian dicoba untuk digunakan juga dalam
senjata konvensional berkekuatan rendah dan melahirkan konsep senjata kotor
(dirty bombs/DB). Senjata ini hanya berkekuatan beberapa puluh hingga
beberapa ratus TNT saja (yang artinya tak mungkin dicapai dengan senjata
nuklir biasa), namun tetap mampu menyebarkan efek radiasi. Caranya, ke dalam
peledak konvensional ini (baik TNT, RDX, PETN maupun C-4) dimasukkan bahan
radioaktif yang bukan bahan fissil, misalnya Sr-90 atau Cs-137. Kedua bahan
ini merupakan produk utama dari reaktor-reaktor nuklir komersial di dunia
dan seharusnya menjalani proses pengolahan dalam bentuk limbah nuklir,
karena keduanya memiliki waktu paro yang lama (Sr-90 : 30 tahun, Cs-137 : 20
tahun). Nah, menginjeksikan bahan radioaktif ini dalam peledak konvensional
dan kemudian digunakan dalam sebuah wilayah jelas cukup berbahaya.
Ledakannya sendiri barangkali tak banyak memberikan pengaruh, namun bahan
radioaktifnya itu akan tersembur ke atmosfer dan terbawa oleh sirkulasi
angin dan ini mirip dengan aksi senjata kimia dan biologi. Bahan radioaktif
ini akan tersebar dalam areal yang sangat luas dan jelas membikin susah
banyak orang yang bertempat tinggal didalamnya. Apalagi Sr-90 dan Cs-137
dikenal sebagai bahan radioaktif yang akan terdepositkan di tulang makhluk
hidup, artinya ancaman kanker tulang dan efek ikutannya (leukemia, kanker
sumsum tulang dll) sudah membayang di depan mata. Lagipula secara teknis
kedua bahan ini cukup sulit untuk dibersihkan karena sifat kimiawinya yang
aktif (Sr logam golongan II A dan CS logam golongan I A, secara kimiawi
kedua golongan ini sangat aktif). Teknologi pembersihan yang ada sekarang
baru diujicoba, dengan teknik fitoremediasi. sementara pada manusia, dicoba
digunakan pil-pil yang mengandung EDTA dan DTPA untuk mengeluarkan dua jenis
logam radioaktif ini.

Di antara berbagai macam senjata yang ada dalam tulisan ini, DB merupakan
wilayah yang paling mudah dikuasai oleh siapapun, termasuk oleh kelompok
radikal. Ini yang menimbulkan kecemasan tersendiri, sebabnya pada
negara-negara tertentu (Eropa Timur) kontrol akan material limbah nuklir
lemah, hingga kasus-kasus kehilangan limbah nuklir ini sering terjadi. Namun
sejauh ini memang belum terdeteksi kelompok teroris yang menggunakan DB
sebagai senjata utamanya.

Deep Penetrator

Sejumlah pihak dalam peperangan modern menggunakan bunker-bunker berkekuatan
tinggi untuk menjaga diri dan perbekalan militernya selama perang
berlangsung. Bukan hanya di Irak, karena AS dan Rusia pun mengembangkan
bunker yang sama, demikian juga Inggris dan beberapa negara Eropa lainnya.
Untuk menghancurkan bunker ini ckup sulit, sebab biasanya terletak pada
kedalaman tertentu (misalnya 30 meter dari permukaan tanah), atap bunker
yang cukup tebal (campuran lapisan baja dan beton bertulang) dan adanya
timbunan pasir di atas bunker yang berfungsi melembutkan efek bahan peledak
yang jatuh diatasnya. AS memang memiliki peledak khusus berupa bom BLU-82
(alias si pemotong bunga aster) yang beratnya beberapa ton (hingga hanya
bisa diangkut pesawat Hercules C-130). Juga ada ALCM Tomahawk yang beberapa
diantaranya dirancang untuk meremukkan bunker. Namun permasalahannya
keduanya hanya bekerja pada kedalam rendah (3 - 4 meter saja).

Karena itu AS kini sedang merancang senjata terbaru yang dinamakan deep
penetrator (DP). Ini mirip dengan bom BLU-82, yang secara umum terdiri dari
dua bagian. Bagian utama terdiri dari peledak konvensional yang besar.
Sementara bagian penetrasi memiliki peledak khusus untuk 'menggali'
permukaan tanah di atas bunker dan menembus lapisan atas bunker. kedua jenis
peledak ini dihubungkan dengan semacam pipa yang berisi detonator dan sistem
pandu. Jika dilihat bom ini mirip botol raksasa dengan 'ujung' botol
ditempati penetrator dan badan botol ditempati peledak konvensional. Pada
DP, penetrator ini menggunakan bom fissi model implosion berkekuatan rendah,
beberapa puluh hingga beberapa ratus ton TNT. Peledakan sebuah senjata
nuklir tepat di atas tanah akan membentuk kawah produk ledakan yang diameter
dan kedalamannya bergantung kepada kekuatan ledakannya. Sehingga kedalaman
kawah produk ledakan ini akan sanggup menjangkau atap bunker dan getaran
ledakan tadi pun akan sanggup menjebol atap bunker. Selanjutnya tinggal
tugas peledak konvensional untuk menghancurkan bagian dalam bunker.

Namun ini masih sangat kontroversial. Pertama, kekuatan ledakan penetrator
jauh lebih besar dibanding kekuatan peledak biasa (yang digunakan untuk
menghancurkan isi bunker). Selanjutnya efek radiasi dan sampah radioaktifnya
itu yang susah dikendalikan. Karena itu sampai kini ia masih menjadi wacana
dan polemik tersendiri di kalangan militer

Senjata Nuklir dan Kelompok Teroris

Kalo berdasarkan definisi, ada dua macam terorisme yang dikembangkan di
dunia. Pertama state terrorism alias terorisme negara, seperti yang
dipraktikkan Israel terhadap Palestina maupun AS terhadap Irak. Yang kedua
group terrorism atau terorisme kelompok. Tipe yang kedua ini cukup banyak
dan variatif, meski secara umum bisa dipetakan berdasarkan ideologi yang
dianutnya. Semua kelompok ideologi (termasuk didalamnya smeua agama yang ada
senantiasa melahirkan bibit-bibit baru yang menerjemahkan ideologinya dengan
cara yang sangat ekstrim dan inilah yang membentuk kelompok tersendiri dan
menggunakan terorisme alias kekerasan sebagai jalan utama eksistensinya.
Sebutlah misalnya kelompok Brigade Merah dan Tentara Merah di kalangan
sosialis, Ku Klux Klan di kalangan kapitalis, Sin Fein dari Protestan dan
lain-lain (silahkan cek sendiri).

Bagaimana hubungan antara kelompkk-kelompok ini dengan persenjataan nuklir ?
Dapat dikatakan, belum ada satu kelompok pun yang memiliki pengetahuan
mendalam dan penguasaan rinci akan seluk beluk sistem persenjataan nuklir.
Mungkin ada yang memiliki pengetahuan tentang ini, misalnya saja Brigade
Merah atau Sin Fein yang tergolong cerdas (mereka memiliki think tank
tersendiri). Namun masalahnya, bahan untuk membentuk senjata nuklir susah
didapat. Penjualan, distribusi dan penggunaan material nuklir (Uranium,
Plutonium dan produk-produk ikutannya) senantiasa diawasi dengan cermat oleh
IAEA, bahkan hingga ketelitian beberapa gram sekalipun. Demikian juga produk
sampah nuklirnya, senantiasa diawasi IAEA dengan mata melotot.
Peluang lain, dengan membeli di pasar gelap, terutama dari Rusia yang sistem
pengamanannya lemah. Namun ini pun tidak berarti semuanya lantas jadi
gampang. Yang umum dijual mafia Rusia itu bahan nuklir yang bukan bahan
fissil dan bukan pula bahan fusi, dan dikategorikan sebagai sampah nuklir.
Memang pernah ada laporan di 1997 dari Jenderal Alexander Lebed (Rusia) -
yang kemarin tewas dalam kecelakaan helikopter - tentang kasus pencurian
beberapa SADM milik Rusia yang dikemas dalam bentuk suitcase bomb. Ini belum
sempat diklarifikasi, namun kalaupun memang begitu faktanya, tetap susah
bagi kelompok manapun yang memiliki SADM curian ini untuk menggunakannya.
Permasalahannya, karena detonator TNT, inisiator dan mekanisme peledakan
serempak pada bom-bom nuklir senantiasa disimpan terpisah dan baru bisa
disatukan jika sudah ada perintah dari Presiden. Kalopun sudah disatukan,
untuk mengatur mekanisme peledakan serempak membutuhkan software tersendiri,
yang celakanya lagi, kode pembuka dan kode aksesnya pun hanya dipegang oleh
sang presiden seorang. Jadi dapat dikatakan mustahil untuk mengoperasikan
senjata nuklir.

Bagaimana dengan DU ? Sejauh ini, kelompok yang sangat menggemari sistem
senjata antitank adalah kelompk-kelompok yang dulu bertikai di Libanon dan
gerilyawan antipemerintah di Amerika selatan (misalnya Contra).
Kelompk-kelompok ini biasanya menggunakan peluru bazooka RPG-7 model lama
yang belum menggunakan DU. Jadinya mereka sama sekali belum bersentuhan
dengan teknologi ini. Bagaimana jika membuat sendiri ? Cuikup sukar.
Masalahnya perhitungan untuk mendapatkan efek Munro ini cukup kompleks dan
cukup rumit, melibatkan matematika tingkat lanjut. Memang ada beberapa
kelompok riset yang menjual pengetahuan tentang efek Munro ini, namun
harganya demikian maal, sehingga negara-negara di dunia pun hanya ada
beberapa yang berminat membelinya. Kebanyakan memang langsung memilih
membeli senjatanya saja.

Yang memang memungkinkan untuk dikuasai kelompok ini adalah DB. Selain
pengoperasiannya mudah, teknik pembuatannya pun tak perlu canggih. Bahkan,
misalnya saja anda membuat mercon yang cukup besar dan kedalamnya didipkan
100 gram Sr-90, ini pun sudah dianggap DB. Ini yang mengkhawatirkan, karena
sampah-sampah nuklir mudah dicuri terutama dari negara-negara Eropa Timur.

Bagaimana dengan state terrorism ? Israel memang memiliki bom-bom nuklir,
termasuk beberapa buah bom Hidrogen yang mereka simpan di Gurun Negev dan
gua-gua pada dataran tinggi Golan (inilah salah satu alasan kenapa negara
Yahudi ini bersikeras mempertahankan Golan). Untuk eksperimennya, Israel
bekerja sama dengan Afrika Selatan dengan meledakkannya pada eksperimen
bawah tanah di tempat-tempat terpencil di lingkungan padang Karoo,
Sutherland. Namun masalahnya, buat apa sih pake senjata model begini di
kawasan Palestina ? Daerah ini sempit, kecil dan padat penduduk, serta
berbatasan langsung dengan negeri Yahudi itu sendiri. Misalnya saja Ariel
Sharon iseng meledakkan jalur gaza atau tepi barat dengan bom hidrogen, atau
bom nuklir taktis lah semacam SADM, efek radiasinya pun akan diterimanya
sendiri. Seganas-ganasnya Ariel Sharon, ia tentu akan berfikir 1000 kali
untuk menggunakan DB dalam menghadapi intifadhah. Bukan masalah nggak
manusiawinya, namun efeknya itu lho, yang cepat atau lambat juga akan
mengenai warga Israel sendiri. Jauh lebih mudah dan lebih murah bagi Sharon
(baik secara teknis maupun politis) untuk mengepung saja kompleks kediaman
Arafat.
Demikian juga dengan AS dalam menghadapi Irak. Meski sebagian besar kawasan
Irak merupakan padang pasir yang tak berpenghuni, mengoperasikan senjata
nuklir di daerah ini sama juga konyolnya. Irak hanya berjarak beberapa ratus
km dari Israel dan negara-negara sekutu AS lainnya, sehingga ledakan-ledakan
berkekuatan megaton maupun kiloton TNT di kawasan ini akan menerbitkan
debu-debu radioaktif, yang oleh iklim gurun akan terbawa ke jarak yang
sangat jauh. Nggak percaya ? Citra-citra satelit yang berulang kali
dipublikasikan NASA menunjukkan, debu-debu padang pasir Sahara ternyata
mampu menyeberangi Atlantik dan mendarat di benua Amerika setelah
diterbangkan oleh angin. Akibat transpor ini, berulang kali benua Amerika
mendapatkan serangan penyakit kiriman dari sahara, termasuk yang baru-baru
ini berlangsung yang dikenal sebagai nil fever dan rift fever. Coba saja
sekarang bayangkan jika debu-debu itu berupa debu-debu radioaktif produk
ledakan senjata nuklir. Ledakan SADM pun tetap akan berpengaruh kepada
sekutu AS sendiri seperti Israel, karena proses transpor debu akibat
pengaruh iklim gurun ini.

Konklusi Untuk Bali

Dari berbagai penjelasan di atas, sangat sulit untuk memasukkan bom Legian
ke dalam satu kriteria di atas. Bola api ledakan Legian didominasi warna
merah (lihat Halterturnershow) dan ini bukan tipikal bola api produk ledakan
nuklir, sekelas SADM sekalipun. Selanjutnya awan cendawan Legian pun berupa
gumpalan asap berwarna merah kekuningan dan ini juga bukan tipikal awan
cendawan produk ledakan nuklir yang selalu berwarna putih oleh adanya efek
kamar kabut. Dari segi kawahnya, sangat jauh untuk mengatakan bahwa ini
merupakan produk ledakan nuklir. Kawah ledakan SADM akan memiliki diameter
lebih dari 20 meter dengan kedalaman beberapa meter. Di sekeliling kawah
akan ditemui bekuan material yang dinamakan trinitite. Semua ini tidak
dijumpai di Legian.

Bagaimana dengan penggunaan DU ? Jelas tidak mungkin. Kekuatan DU itu hanya
beberapa kg TNT saja dan ia difokuskan untuk menghancurkan kendaraan lapis
baja, bukan penghancuran wilayah. DP pun juga tidak mungkin, karena ia masih
sekedar wacana dan bahan polemik. Bagaimana dengan DB ? Ini juga tidak
mungkin, sebab hingga kini tak ada laporan epidemi massal yang masuk sebagai
akibat dari paparan radiasi yang menerpa areal yang sangat luas.
Gejala-gejala yang meliputi pusing-pusing, pandangan mata kabut, anemia,
luka borok, turunnya kadar sel darah putih yang semuanya merupakan tipikal
penyakit akibat radiasi ternyata pun tak ditemukan di Legian dan sekitarnya.
Jadi, kasus Legian tidak masuk semua kriteria yang ada di atas dan dalam
sudut pandang saya, ini sekedar ledakan konvensional semata.

Kekuatan ledakannya memang kecil. Saya pribadi berasumsi bahan peledak itu
ditaruh dalam mobil, sehingga ada jarak 0,5 meter antara bahan peledak dan
permukaan tanah. Karena posisinya yang ada di dekat pantai, tanah Legian
didominasi oleh pasir. Dengan asumsi ini, dan dengan fakta diameter kawah
ledakan 4 - 4,5 meter dengan kedalaman 0,8 meter, perhitungan saya
menunjukkan kekuatan ledakan yang 'hanya' 48 kilogram TNT. Tidak berbeda
jauh dengan perhitungan Polri (yang dikemukakan Jend. Da'i Bachtiar, dengan
asumsi dan perhitungan yang sedikit berbeda) yang menemukan range 50 - 100
kg bahan peledak jenis RDX. memang kekuatan RDX tidak jauh beda dengan TNT
(berbeda dengan C-4 yang beberapa kali lipat lebih kuat) dan perbedaan ini
(antara 48 kg TNT dengan 50 - 100 kg RDX) dalam dunia teknik merupakan
perbedaan yang masih bisa ditolerir. Yang jelas hasilnya mendekati sama.
Mengapa efeknya menjadi demikian besar ? Pertama karena efek ledakan
termobarik akibat keberadaan aerosol di Sari Club. Kedua, efek psikologis.
Dengan 'bantuan' media, ledakan itu justru memberikan efek psikologis yang
luar biasa besarnya bagi Indonesia dan dunia, sehingga seolah-olah lebih
besar dari efek pskologis ledakan nuklir. Persis seperti apa yang dikatakan
pak Teuku Yacob tadi. Ya mungkin sumbernya karena kita ini bangsa yang suka
sensasi sih...jadinya semua hal (yang awalnya kecil dan biasa-biasa saja)
lantas dibesar-besarkan sedemikian rupa. Apalagi ditambah dengan berbagai
analisis serampangan, dari pihak yang justru tak tahu sama sekali apa itu
bahan peledak. Jadinya gossip kian membesar laksana bola salju.

Saya pribadi bertemu langsung dengan ZA Maulani dua kali, tanggal 23 Oktober
(di Masjid Kampus UGM) dan 30 Oktober (di Fisipol UGM), kedua-duanya pada
suatu dialog. Saat dialog setelah rehat dan saya ajukan beberapa pertanyaan
yang berkait dengan senjata nuklir, kesan yang bisa saya ambil, ZA Maulani
sangat sedikit mengetahui fakta dan info sebenarnya dibalik senjata yang
satu ini. Ini sangat jelas waktu saya 'tekan' dengan pertanyaan tentang efek
ledakan nuklir (fireball, awan cendawan, gelombang kejut, kawah dan
trinitite) dan perbandingannya dengan ledakan Legian. Hampir semua
jawabannya tak pernah mengarah ke jawaban untuk pertanyaan saya, dan saya
malah mendapatkan kesan beliau 'jengkel' dengan rentetan pertanyaan saya..

Demikian, semoga menjadi lebih jelas..dan semoga tidak mengesankan "kuliah
fisika nuklir"..:-)




--[YONSATU - ITB]----------------------------------------------------------
Online archive : <http://yonsatu.mahawarman.net>
Moderators     : <mailto:yonsatu-moderators@;mahawarman.net>
Unsubscribe    : <mailto:yonsatu-unsubscribe@;mahawarman.net>
Vacation       : <mailto:listar@;mahawarman.net?BODY=vacation%20yonsatu>
1 Mail/day     : <mailto:listar@;mahawarman.net?BODY=set%20yonsatu%20digest>

Kirim email ke