60 Tahun SMA Kolese De Britto

Kantin Pluralitas dan Kebebasan Ekspresi


Proses pembelajaran di sekolah tak hanya tertanam saat siswa duduk di
antara tembok penyekat ruang kelas. Wujud penanaman nilai-nilai justru
tampak nyata saat siswa berkegiatan di luar ruang seperti di kantin
sekolah.

Kantin bagi siswa Sekolah Menengah Atas (SMA) Kolese De Britto,
Yogyakarta, tidak sekadar berfungsi sebagai tempat makan bersama,
tetapi juga mewadahi pluralitas serta kebebasan berekspresi yang
menjadi nilai utama, yang dijunjung sejak sekolah berdiri 60 tahun silam.

Tiap siswa terbiasa melepas lelah dan bercanda di kantin tanpa dinding
itu. Seperti ruangan yang tak bersekat, mereka pun leluasa berbaur
dengan rekan, guru, dan karyawan sekolah.

Sebuah kotak segi empat menggantikan posisi kasir sebagai penarik uang
pembayaran. Siswa dilatih untuk jujur saat makan di kantin. Tak
jarang, mereka pun saling berbagi segelas es atau sepiring nasi ketika
uang kiriman dari orangtua semakin menipis.

Di kantin itu pula, sebanyak 14 grup kesenian dadakan bertanding dalam
perlombaan musikalisasi puisi pada Minggu (3/8), sebagai bagian dari
rangkaian perayaan hari ulang tahun ke-60 SMA Kolese De Britto. Mereka
tak hanya terdiri dari siswa SMA Kolese De Britto, tetapi bercampur
dengan siswa sekolah lain di Yogyakarta. Tiap kelompok pun sangat
beragam dalam jumlah anggota maupun gaya penampilan di panggung. Grup
yang tampil terdiri atas lima orang hingga 62 orang.

Tengoklah penampilan enam siswa yang menamakan dirinya grup "Five
Thousand". Mereka membacakan puisi wajib karya Subagyo Sastrowardoyo
bertajuk "Dewa Telah Mati" dengan sangat serius. Dua orang di antara
mereka berperan sebagai dewa yang telah mati dengan posisi tengkurap
di lantai, sedangkan rekan-rekannya membaca puisi sembari bermain
gitar. Meski diiringi dawai gitar yang sumbang, mereka terus berteriak
dengan lantang.

Menentang arus dan kritis

SMA Kolese De Britto terus mengutamakan pendidikan pluralitas serta
kebebasan berekspresi bagi siswa. Rangkaian kegiatan lustrum serta
reuni kali ini pun mengambil tema "Menebar Kebebasan, Menuai Kesadaran
Akan Pluralitas dan Kasih". "Pluralitas masih menguncup di tempat
tertentu saja, belum menyentuh masyarakat secara utuh," kata Kepala
SMA Kolese De Britto Theodorus Sukristiyono.

Kesadaran tentang pentingnya pluralitas di Indonesia semakin merosot.
Selanjutnya sekolah harus berperan aktif sebagai mediator pembentukan
cara pandang bagi generasi muda.

Penanaman penghormatan terhadap pluralitas menjadi penting agar
masyarakat tidak terkotak-kotak karena perbedaan suku, agama, maupun
status sosial. Pluralitas akan lebih dipahami jika ditanamkan melalui
pendidikan di sekolah.

Pendidikan pluralitas yang diperoleh di sekolah, menurut Ketua
Perayaan Hari Jadi SMA Kolese De Britto Supriyatmo, terbukti mampu
terus tertanam ketika para siswa melanjutkan ke jenjang pendidikan
yang lebih tinggi, bahkan setelah memasuki dunia kerja. Lulusan SMA
Kolese De Britto cenderung berani menentang arus dan kritis terhadap
keadaan sekitar. Dengan semboyan "Man for and with Others", tiap siswa
juga diajar berempati terhadap kehidupan sesamanya.

Meskipun dikenal sebagai sekolah Katolik, kata Sukristiyono, pelajaran
agama justru memfasilitasi adanya kesempatan saling berbagi dalam
keberagaman. Nilai religiusitas yang ditanamkan lebih pada bagaimana
membangun hubungan antarmanusia. Setiap aktivitas pendidikan di SMA
Kolese De Britto juga selalu diakhiri dengan refleksi atau renungan
tentang kehidupan.

Sekolah yang berdiri sejak 19 Agustus 1948 ini memiliki jaringan
alumni yang cukup kuat. Karena semua muridnya pria, sekolah pun
menyelenggarakan temu alumni setiap satu tahun sekali bertajuk "Manuk
Pulang Kandang".

Tahun ini, komunitas manuk atau burung itu pun punya kesempatan
berkumpul sekali lagi dalam acara reuni akbar yang akan digelar bagi
seluruh angkatan pada 23 Agustus 2008.(Mawar Kusuma)

http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/08/07/01262046/kantin.pluralitas.dan.kebebasan.ekspresi

Kirim email ke