----- Original Message ----- 
  From: Harry fadil 
  To: [EMAIL PROTECTED] 
  Cc: gusdur mania 
  Sent: Monday, September 01, 2008 11:53 AM
  Subject: [mediacare] Membaca Politik Islam Indonesia Kontemporer ( 
www.nu.or.id )


        Membaca Politik Islam Indonesia Kontemporer 

        01/09/2008 (www.nu.or.id)
        Judul: Pemikiran Politik Islam Indonesia; Pertautan Negara, Khilafah, 
Masyarakat Madani, dan Demokrasi
        Penulis: Syarifuddin Jurdi
        Penerbit: Pustaka Pelajar, Yogyakarta
        Cetakan: I Juli 2008 
        Tebal: xxi + 677 halaman (termasuk indeks)
        Peresensi: Karuni Ayu Sawitri

        Transisi demokrasi Indonesia pascareformasi mengubah wajah perpolitikan 
Indonesia. Kondisi negara yang tidak karuan menuntut berbagai pihak merasa 
perlu untuk mendesakkan demokrasi, kebebasan, transparansi, akutanbilitas 
publik, atas persoalan-persoalan bangsa, berkaitan dengan seluruh tananan 
masyarakat. Tak ayal pertentangan dan konflik sosial terus terjadi. Berbagai 
kepentingan, baik yang mendasari atas nama bangsa dan kelompok tertentu, juga 
ikut mewarnai.

        Terbukanya katub-katub kebebasan dalam berpendapat, berkumpul, dan 
berserikat menjadi salah satu pendorong menguatnya gerakan masyarakat sipil. Di 
satu sisi, gerakan ini menjadi harapan karena mampu mendorong dan menjadi 
stabilisator pemerintahan, namun di saat yang lain semakin mengancam. Kegetiran 
masyarakat atas berbagai persoalan terutama dalam hal ekonomi, politik, dan 
degradasi moral menjadikan masyarakat mencari alternatif baru.

        Salah satunya adalah munculnya berbagai pemikiran politik Islam yang 
kemudian melahirkan banyak gerakan. Konsolidasi di tingkatan negara terus 
dilakukan, namun pada saat yang sama, terdapat konsolidasi internal di kalangan 
umat Islam. Fenomena ini dapat dibaca dari munculnya gerakan politik Islam 
dengan berbagai isu aktual. Penegakan syariat, negara Islam, khilafah 
Islamiyah, masyarakat madani, dan gerakan-gerakan pelegal-formalan Islam dalam 
kehidupan politik.

        Selama Orde Baru (Orba), kekuatan politik Islam mengalami pasang surut. 
Pada masa awal Orba, Islam mengalami peminggiran dari negara. Umat Islam merasa 
kesulitan mengembangan gagasan-gagasan mengenai sosial-politik karena rezim 
Orba yang represif. Islam sedikit memperoleh angin segar saat masuk masa 
pertengahan akhir rezim Orba, namun kepentinganya juga masih banyak dikooptasi 
negara. (halaman 18-20)

        Pada era reformasi, menguat pemikiran politik Islam dan juga muncul 
reaksi balik dari berbagai kelompok yang bersebrangaan. Kondisi ini memunculkan 
tiga kubu dalam masyarakat. Pertama, menginginkan legalitas politik Islam dalam 
sistem negara. Kelompok ini dikenal dengan kelompok simbolis, yakni berpegang 
pada model legalitas simbol-simbol Islam. Kedua, kelompok yang menolak masuknya 
sistem Islam dalam negara, namun merasa perlu memasukan etos atau spirit Islam 
dalam mendasari sistem negara. Kalangan ini dikenal dengan kelompk 
subtansialis. Ketiga, adalah kelompok yang membedakan antara kawasan pribadi 
dan publik dalam kenegaraan. Agama adalah wilayah pribadi yang tidak dapat 
dicampurkan dalam sistem publik, negara. Kelompok ini kemudian dikenal dengan 
kelompok liberal.

        Kelompok pertama menyakini bahwa kegagalan bangsa Indonesia membangun 
negara yang kuat adalah karena sistem yang dianut adalah sistem negara sekuler. 
Islam menjadi solusi atas segala krisis bangsa; kepemimpinan, ekonomi, relasi 
sosial dalam masayarakat dan moralitas. Masyarakat Indonesia perlu mengambil 
pedoman hidup dari inti sari nilai-nilai Islam dan praktik kenegaraan Islam 
masa Rasulullah. Pemahanan ini sendiri melahirkan banyak model gerakan Islam di 
Indonesia saat ini.

        Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Front 
Pembela Islam (FPI), Laskar Jihad (LJ), dan Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim 
Indonesia (KAMMI) merupakan gerakan sosial-politik keagamaan Indonesia 
kontemporer. Gerakan-gerakan ini sebenarnya bukan sesuatu yang baru, karena 
pada masa Orde Lama juga sudah muncul gerakan politik Islam serupa. Model 
pemikiran gerakan Islam Indonesia memiliki kemiripan karekteristik, yakni 
menuntut adanya legalisasi Islam dalam sistem sosial ataupun politik Indonesia.

        Bahkan, HTI sangat getol untuk meng-goal-kan khilafah Islamiyah atau 
pemeritahan Islam di Indonesia. Bagi HTI, pemerintahan Islam merupakan suatu 
keharusan yang wajib ditegakkan. Model negara yang diimpikan HTI adalah 
transnasional yang membatasi wilayah geografis atau melintasi batas-batas 
negara yang sudah ada. Pemikiran negara HTI banyak terinspirasi pemikiran 
tokohnya Taqiyuddin an-Nabanyy dari Palestina. Pemikiran politik HTI banyak 
terispirasi model pemerintahan Rasulullah di Madinah dan kemudian berkembang 
pada sistem khilafah Islamiyah. Sementara, khilafah Islamiyah sendiri runtuh 
pada 1924, masa kepemipinan Turki Usmani dihancurkan kekuatan kapitalisme 
Barat. (halaman 386).

        Berbeda dengan HTI, Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) memandang bahwa 
pentingnya formalisasi agama dalam sistem sosial politik Indonesia. Sepintas, 
MMI tidak memiliki ide pendirian negara agama, namun lebih mengedepankan 
simbolisasi agama dalam negara. Inilah yang membedakan antara HTI dan MMI dalam 
menegakkan Islam.

        Bagi MMI, siapa pun yang menetang penegakan syariat harus ditentang dan 
dilawan, sekalipun dengan kekerasan. Doktrin ini kemudian banyak menjadi pemicu 
ketegangan di antara umat Islam, terutama kalangan moderat dan liberal. Tidak 
jarang, perbedaan pemahanan ini menimbulakan gesekan dan konflik keagamaan di 
Indonesia akhir-akhir ini.

        Laskar Jihad, FPI, dan KAMMI memiliki orietasi yang kurang lebih sama 
dengan MMI. Namun, masing-masing memiliki karakter yang berbeda dalam gerakan 
keagamaannya. Gerakan-gerakan ini pun sering menimbulkan gesekan ketegangan di 
antara umat Islam dewasa ini. Pertikaian antara FPI dengan Aliansi Kebangsaan 
untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Lapangan Monas Jakarta (1/06/08) 
merupakan fakta atas hal ini.

        Syarifuddin Jurdi, penulis buku ini, dengan gamblang menjelaskan 
fenomena menguatnya gerakan politik keagamaan yang tumbuh berkembang dewasa 
ini. Penulis adalah Sosiolog yang mencoba melihat fenomena tersebut tidak 
an-sich dari sudut pandang sosial, namun juga politik dan agama. Di sinilah 
letak kekuatan buku ini, yang tidak sepihak memandang fenomena politik Islam 
dan gerakan formalisasi agama. Pembaca akan merasa puas diajak berselancar 
mengarungi politik Islam di Indonesia dewasa ini dalam buku setebal 677 halaman 
ini. Dengan membaca buku ini, kita akan mampu memahami mengapa konflik 
antarumat beragama hingga saat ini seolah tiada berujung.

        Peresensi adalah Pustakawan Lintang Songo, Yogyakarta 
         
       


------------------------------------------------------------------------------
  Get your preferred Email name! 
  Now you can @ymail.com and @rocketmail.com.  

Kirim email ke