Precedence: bulk


Diterbitkan oleh Komunitas Informasi Terbuka
PO Box 22202 London, SE5 8WU, United Kingdom
E-mail: [EMAIL PROTECTED]
Homepage: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/xp
Xpos, No 02/II/14-20 Januari 99
------------------------------

KESALAHAN KOLEKTIF
Oleh: Lukas Luwarso

(OPINI): Proses pemeriksaan terhadap mantan Presiden Soeharto telah dimulai.
Belum jelas benar apakah pemeriksaan itu akan mengarah ke pengadilan
terhadap bekas penguasa kuat Indonesia itu. Jika pengadilan dilaksanakan,
menurut seorang pembicara dalam diskusi yang saya ikuti baru-baru ini, maka
pengadilan itu tidak fair. Ada sekitar 20.000 daftar orang yang juga harus
diadili karena keterlibatan dan kesalahannya selama pemerintahan Orde Baru.
Si pembicara mengatakan, dosa-dosa Soeharto sebenarnya adalah kesalahan
kolektif.

Perbincangan soal kesalahan kolektif mengemuka sebelumnya dalam Rapat
Pimpinan (Rapim) Golkar, Oktober tahun lalu. Pada acara itu muncul keinginan
dari para pengurus cabang Golkar agar pimpinan pusat organisasi itu meminta
maaf kepada rakyat. Sebagai mesin politik Orde Baru, peran Golkar dianggap
sangat dominan dalam memperkuat kekuasaan Soeharto serta ikut menyuburkan
praktek-praktek kolusi, korupsi dan nepotisme, yang berakibat pada krisis
ekonomi saat ini. 

Namun Ketua Umum DPP Golkar, Akbar Tanjung, menganggap kurang proporsional
bila Golkar meminta maaf  atas krisis yang terjadi. Ia mengatakan, krisis
yang ada merupakan "kesalahan semua pihak yang tidak berdaya menghadapi
kekuasaan terpusat di bawah kepemimpinan perorangan yang kuat" (Kompas,
21/11/98). Perorangan yang kuat, yang dimaksud Akbar Tanjung, ialah
Soeharto, yang jadi Ketua Dewan Pembina Golkar.

Pada 9 Desember 1998, "sosok perorangan yang kuat yang membuat banyak pihak
tak berdaya", diperiksa. Tampaknya kekuatan Soeharto memang masih nyata.
Pemeriksaan mantan presiden ini lebih mirip wawancara, karena tidak jelas
status hukumnya, sebagai saksi atau tersangka. Lebih dari itu, persiapan
untuk pemeriksaan mengingatkan kita pada persiapan kunjungan kepala negara
ke sebuah kantor instansi. Perlu ada "operasi pengecohan" amat rahasia,
tempat pemeriksaan dipindah dari Gedung Kejaksaan Agung ke Kantor Kejaksaan
Tinggi, dan malam sebelumnya ribuan aparat keamanan diterjunkan untuk
"membersihkan" jalanan sekitar (Tempo, 21/12/98).

Belum hapus dari ingatan kita, polemik soal calon presiden menjelang SU MPR,
Maret  1998. Waktu itu sejumlah kalangan sudah mengingatkan agar Soeharto
tidak dipilih lagi. Amien Rais mengemukakan, sangat mustahil jika dari 200
juta manusia Indonesia, hanya muncul seorang yang memenuhi persyaratan. Ia
yakin masih berlusin-lusin pemimpin yang bila diberi kesempatan akan mampu
mengemban tugas kepemimpinan nasional.

Namun Ketua Golkar sekaligus Ketua DPR/MPR, Harmoko, saat itu menegaskan,
Golkar sudah menetapkan bahwa tidak ada nama lain, selain Presiden Soeharto,
untuk dicalonkan sebagai presiden periode 1998-2003. Penetapan Golkar itu
sudah final dan tidak bisa ditawar-tawar lagi. "Setelah di-check and
recheck, ternyata aspirasi masyarakat luas secara bulat mencalonkan kembali
Pak Harto sebagai Presiden RI periode 1998-2003," kata Harmoko. Dia
mengatakan, ketetapan Golkar mencalonkan kembali Pak Harto bukan berdasarkan
atas kultus individu, melainkan benar-benar murni atas kepercayaan
masyarakat (Kompas, 14/1/98). 

Dan, dengan mulus, Soeharto terpilih lagi menjadi presiden untuk masa
jabatan ketujuh. Dalam pidato seusai disumpah sebagai presiden, Soeharto
mengatakan, "Insya Allah, lima tahun nanti saya akan berdiri di mimbar ini
untuk menyampaikan pertanggungjawaban kepemimpinan saya dihadapan
wakil-wakil rakyat." Ternyata Soeharto hanya bisa bertahan sekitar dua
bulan. Pada 21 Mei 1998 ia mengundurkan diri akibat desakan rakyat yang
dimotori mahasiswa. Namun, sebenarnya  pukulan paling telak yang menyebabkan
mundurnya Soeharto justru datang dari para pembantu dekatnya. Harmoko,
selaku Ketua DPR/MPR meminta Soeharto turun (pada 18 Mei), kemudian disusul
penolakan 14 menteri untuk bergabung dalam kabinet baru yang akan disusun
Soeharto. 

Terhadap permintaan Harmoko agar Soeharto mundur, saat itu ABRI menganggap
sebagai pernyataan inkonstitusional dan individual. ABRI, melalui Pangab
Jendral Wiranto, masih berpendapat bahwa tugas dan kewajiban presiden adalah
melakukan reshuflle kabinet, melaksanakan reformasi dan mengatasi krisis. 

Namun dalam surat bersama kepada Presiden Soeharto, tertanggal 20 Mei 1998,
empatbelas menteri Kabinet Pembangunan VII menyatakan situasi ekonomi tidak
akan mampu bertahan lebih dari satu minggu apabila tidak diambil
langkah-langkah politik yang cepat dan tepat. "Dalam hubungan itu kami
bersepakat bahwa langkah pembentukan kabinet baru sebagaimana yang bapak
rencanakan tidak akan menyelesaikan masalah. Oleh karena itu dengan segala
kerendahan hati kami secara pribadi-pribadi menyatakan tidak bersedia
diikutsertakan dalam kabinet baru tersebut," demikian yang tertulis dalam
surat bersama itu. Kabarnya, penolakan bergabung dari para pembantu "setia"
ini lah yang menjadi Palu Godam bagi Soeharto.

Dalam politik yang berlaku adalah pepatah klise: tak ada kawan dan lawan,
yang ada hanya kepentingan. Ketika seseorang berkuasa, dan kekuasaannya itu
hampir absolut, tentu ia sulit memahami nilai-nilai sebagaimana yang
dirasakan orang biasa. Persahabatan atau penjilatan, loyalis atau oportunis
mungkin tak tercerna dengan baik dalam benak Si Penguasa. Dan sejarah
mengajarkan, para penguasa tidak pernah belajar dari sejarah. 

Kekuasaan memang punya pesona aneh. Ada sejenis candu dalam kekuasaan yang
membuat ketagihan dan keterlenaan. Candu kekuasaan menyebarkan berbagai
penyakit bahkan menyihir akal sehat kolektif. Selain mampu menciptakan
kepatuhan dan ketundukan, kekuasaan juga menyebarkan ketakutan kolektif.

Dalam bukunya The Anatomy of Power, John Kenneth Galbraith menyebut, salah
satu sumber kekuasaan adalah organisasi. Khususnya ketika kekuasaan tak lagi
bersandar pada kekayaan atau kharisma seorang tokoh. Soeharto naik ke
kekuasaan dengan dukungan Angkatan Darat dan kemudian membentuk mesin
kekuasaan sipil: Golkar (sebagai perbandingan kini, boleh dibilang, Presiden
Habibie disokong oleh ICMI).

Sudah lazim, semakin besar kekuasaan semakin lambat geraknya. Kekuasaan yang
berada di tangan satu kelompok (cronyism) memunculkan hirarki dan previlese
bagi kalangannya. Kemudian, kekuasaan yang memberikan berbagai kemudahan dan
kenikmatan itu takut kehilangan segala previlese. Akibat lebih jauh,
orientasi menjadi defensif: ingin mempertahankan kekuasaan. Kekuasaan
menebar kecurigaan pada kelompok lain yang dianggap berupaya mengambil alih
kekuasaan -secara inkonstitusional. Istilah makar gampang disebarkan. Itu
lah, lebih kurang, corak kekuasaan Orde Baru.

Sering dikemukakan dalam berbagai analisis, selama Orde Baru dikembangkan
sistem masyarakat neo feodalisme yang cenderung membiarkan Soeharto
melakukan oligarki politik dan ekonomi. Lembaga yudikatif, legislatif, hanya
sekedar ornamen bagi kekuasaan eksekutif. Soalnya adalah, mengapa masyarakat
membiarkan adanya neofeodalisme, oligarki, dan lembaga-lembaga tinggi negara
yang hanya berfungsi ornamental. Lebih-lebih masyarakat membiarkan
langgengnya kekuasaan seperti itu sampai 32 tahun. Bukankah ini berarti
kesalahan masyarakat juga? Kesalahan kolektif? Memang kesalahan berbagai
pihak. Mereka yang dekat dengan kekuasaan bersalah, begitu juga masyarakat
yang membiarkannya. 

Secara teori kesalahan kolektif mengandung kebenaran. Membiarkan kekuasaan
oligarkis merajalela menunjukkan adanya kesalahan masyarakat. Tapi,
masyarakat yang mana? Secara praksis politik, logika itu sulit diterima,
karena pasti ada aktor-aktor politik yang melakukan tindakan secara
terencana dan sistematis, yang harus mempertanggungjawabkan perbuatan atau
sikap politiknya.  

Membiarkan ada satu figur begitu berkuasa memang sebuah kesalahan kolektif.
Agaknya sulit untuk mencari terdakwa dalam kasus kesalahan kolektif. Sama
sulitnya mencari tersangka dalam kasus kerusuhan atau huru-hara massal.
Dalam hal ini, seperti kebiasaan aparat di Indonesia, memang harus dicari
kambing hitam -atau ditemukan dalangnya. 

Dalangnya memang sudah ketemu, dan kini tengah diperiksa. Namun memang tidak
adil jika cuma Sang Dalang yang nantinya diadili. Dalam dunia hukum,
biasanya dijerat pula mereka yang turut berbuat, membantu dan memberi
peluang terjadinya pelanggaran hukum. Selain Soeharto sendiri, tentu para
pelaku kesalahan kolektif itu seharusnya mulai bisa dirunut dan
diidentifikasi. Namun, terkesan, upaya merunut secara sistematis itu belum
dilakukan. Kita tahu mengapa, pemerintahan Habibie tak melakukannya. 

Lebih dari itu, moral ceritanya adalah: Menyandarkan kepemimpinan pada satu
figur maupun satu kelompok tertentu untuk mengatur dan mengurus negara,
dengan mengabaikan suara dari kelompok yang berbeda pastilah tidak memadai.
Dalam hidup bernegara, sepatutnya segala keputusan, pelaksanaan,
tanggungjawab, kewajiban, kemakmuran dan kesengsaraan masyarakat harus
dibagi-bagi. Begitu pula, kekhilafan, kesalahan dan dosa-dosa musti
ditanggung bersama secara luas. Sehingga ada kolektivitas dalam
kepemimpinan, pengambilan keputusan, tanggungjawab, termasuk menanggung
kesalahan. 

Seharusnya krisis politik dan ekonomi saat ini tidak dibebankan semata-mata
kepada seorang (mantan presiden) Soeharto. Soalnya adalah: siapa yang tak
mau berbagi akan menanggung sendiri.

(*) Penulis adalah Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI)

------------------------------
Berlanganan XPOS secara teratur
Kirimkan nama dan alamat Anda
ke: [EMAIL PROTECTED]


----------
SiaR WEBSITE: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/siarlist/maillist.html

Kirim email ke