Precedence: bulk hersri setiawan: Surat Awal Tahun untuk R. William Liddle Tentang Desa Brosot 3 Saudara Bil, Aku ini orang Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat). Ya, benar! Memang bukan "bekas orang Lekra". Karena Lekra tidak atau belum pernah bubar atau membubarkan diri. Ia hanya pernah dibubarkan oleh satu rezim yang naik ke panggung sejarah secara tidak sah. Para pimpinannya dan semua anggotanya dikejar-kejar, dibunuh, dipenjara dan diasingkan. Oleh rezim yang tidak sah itu juga berikut kaki-tangannya. Sebagai orang Lekra, bahkan seandainya tidak pun, aku tetap menjunjung kebenaran asas "memelihara dan mengembangkan tradisi positif". Karena itu, mengawali surat ketiga aku ingin mengucapkan pada Saudara, dan para Pembaca: SELAMAT HARI RAYA LEBARAN Mari kita saling memaafkan, untuk melanjutkan langkah ke depan bersama-sama! Tapi Saudara, agar tradisi positif itu tetap positif adanya, hendaklah kita mengucapkannya tidak dengan semangat membaca rumus doa tahunan berkemak-kemik secara ritual, seperti perempuan perempuan muda Belanda mengunyah ngunyah permen karet. Tak jemu-jemu mereka kunyah kunyah (permen) karet itu, sambil terkadang diseling dengan mempermainkan gelembung udara di sela-sela bibir mereka yang tipis. Mari kita ucapkan kata-kata kata-kata "minalaidin walfaizin" itu dengan semangat Sang Budha. Sang Sadar. Agar Makna kembali pada Kata, dan Isi pada Lambang. Mari kata-kata peringatan pepatah "hilang bisa karena biasa" kita renung dan resapi bersama dengan baik-baik. * Saudara, "Revenons ŕ nos moutons", mari kita kembali ke pokok bicara. Brosot atau Brossot? "Brossot", dengan dua "s"! Begitulah nama resmi desa ini di jaman Belanda dulu. Itu tertulis di papan papan nama asistenan, stasion kereta api NIS (di depan asistenan), kantor pos, dan bangunan bangunan resmi lainnya, seperti: rumah gadai, tempat penjualan garam dan candu (ketika itu garam monopoli negara). Tentu saja tidak hanya tercantum di atas papan nama saja, tapi juga di atas kertas surat-surat resmi dan stempel atau cap. Arti kata "brosot", dengan satu "s", baru kuketahui dalam tahun 1948-49, sesudah Brosot dan sekitarnya dibanjiri banyak pengungsi dan anggota kelasykaran dari berbagai penjuru Jawa. Juga dari Jawa Barat dan Jawa Timur. "mBrosot", dialek Jawa Timur, sama artinya dengan "merucut" atau "merojol" - terlepas dari pegangan atau gendongan(1). Bagaimana duduk perkaranya desa di tepi muara Kali Progo Jawa Tengah mendapat sepatah nama kata jawatimuran, biarlah kelak penelitian toponimi yang memberi jawaban. Benar, nama-nama desa Brosot, Galur dan Sewugalur, sudah tersebut dalam buku "Pranacitra - Rara Mendut" (anonim, Balé Pustaka 1954), dan "Babad Demak Jarwa" (Atmodarminto, Penerbit "Pesat" 1953). Tapi kedua-dua buku ini tidak menyebut sumber rujukan barang satu pun. Sehingga dengan adanya penyebutan oleh kedua buku itu belum terjamin kepastian, bahwa desa-desa tersebut memang sudah ada di "Jaman Pranacitra" (awal abad ke- 17) atau "Jaman Demak" (akhir abad ke-15). Keanehan Brosot yang muncul di tepi Kali Progo Yogyakarta itu menjadi lebih membingungkan lagi sesudah diubah menjadi "Brossot". Pengubahan yang tak lain demi keenakan lidah kebudayaan penguasa yang Belanda belaka, yaitu agar bunyi "o" pertama yang tertutup tidak dilafalkan sebagai "o" terbuka seperti pada "overste", misalnya. Itu satu contoh gamblang tentang bentuk ulah permainan politik, di dalam mengintervensi dan bahkan menindas bidang kebahasaan. Hal seperti ini, penindasan politik atas kebahasaan itu, sungguh sangat melimpah ruah terjadi sepanjang kekuasaan rezim militer Orde Baru $uharto. Nasib yang sama pasti juga menimpa banyak desa yang lain. Tapi yang aku tahu benar ialah Desa Prambanan, desa tempat candi Lara Junggrang berdiri. Di jaman Belanda dulu nama "resmi" desa ini ditulis sebagai "Brambanan". Sepatah kata yang sama sekali tak punya makna. Padahal arti kata (pe)ramban(an) sangat jelas. Yaitu tempat orang meramban. Artinya mencari daun-daunan untuk umpan ternak atau, terkadang juga, untuk makanan manusia. Prambanan ialah tempat orang meramban. Jadi, apakah dulu di situ merupakan kebun sayur atau ladang palawija Kerajaan Baka? Atau tempat ternak meramban? Jawaban tentang pertanyaan ini biarlah kelak diberikan oleh penelitian sejarah bersama toponimi. Candinya sendiri, "Candi Prambanan", telah digali dan dipugar dalam abad ke-19. Tapi latar belakang sejarah yang melahirkannya, boleh dibilang belum sama sekali tersusun sampai sekarang. * Pada suatu siang berita besar tiba tiba menyeruak masyarakat Brosot dan sekitar. Beberapa orang memikul bangkai kuda nDoro Seten, melalui jalan raya depan sekolahan dari arah barat. Siang itu juga kuda itu akan dikubur, di halaman depan asistenan. Dikafani kain putih, dihadiri banyak orang, dan terutama anak-anak. Konon kuda teji penarik bendi nDoro Seten itu, ketika melalui tikungan Desa Keboan yang terkenal angker, tiba-tiba roboh dan mati. Kata orang "kesambet". Disambar setan. Banyak suara anak anak kecil yang menyesalinya: "Wah kuda teji dari ngustrali kok sampai mati!" Ada orang orang yang mengasihani kusir bendinya yang terkena caci maki dan tamparan tangan Ndoro Seten. Ada pula yang diam diam malah "menyokurkan": "Sokur! Kapokmu kapan? Sekarang kudanya, lain hari ...?" Suara gerundelan itu tidak melanjut. Walaupun suara-suara itu tidak sekedar seperti desau pucuk pucuk nyiur yang diguncang-guncang angin belaka, namun kepala bocahku tidak mampu menduga ke arah mana yang mereka tuju. Suatu petang aku ikut ayah dan dua kakakku menonton tonil di halaman depan kapel. Banyak orang yang menonton. Ada yang duduk atau jongkok di rerumputan, dan yang di samping-samping, berdiri di sepanjang pagar halaman. Dua baris penonton di depan duduk di kursi. nDoro Seten dan para priyayi. Ayahku, yang guru bantu, termasuk dalam jajaran priyayi ini. Aku, kakakku, dan anak anak priyayi lainnya, duduk di depan kursi orang tua masing masing. Di bagian halaman kapel yang berbatu kerikil. Hangat oleh sisa panas matahari sepanjang siang. Tonil ini barangkali dikarang dan dipimpin oleh Menir Hardi, guru voorklas HIS itu. Sebenarnya aku tidak tahu, apa lakon yang mereka mainkan. Melihat kegelisahanku, kakakku berbisik: "Angger-angger sepuluh dhawuhing Allah"(2), katanya. Juga, walaupun dimainkan dalam bahasa Jawa bercampur Melayu (atau sebaliknya?), aku tidak menangkap bagaimana jalan ceritanya. Selain soal bahasa, tentu ini juga karena pengalamanku melihat tontonan sampai saat itu. Kebiasaanku jika melihat wayang orang, kata-kata - baik dari pemain apalagi dalang - hampir-hampir tidak kudengarkan. Kecuali kata- kata para panakawan pada waktu adegan gara-gara. Bagiku melihat wayang orang yang benar-benar kunikmati ialah gerak gerik joged yang mengalir bersama irama gamelan. Sedangkan tonil di depan kapel ini hanya bicara bersahut-sahutan. Ada suara musik, memang. Tapi itu hanya gesekan satu biola dari Menir Hardi, yang lagunya tidak kukenal, dan kapan saja terdengar tidak bisa kuduga. Seperti tidak peduli dengan irama, melainkan hanya hendak mengisi suasana. Sesuatu yang minta tempat. Bukan bagian dari tempat yang hidup. Tonil berjalan terus. Orang terkadang tertawa tertahan, terkadang terlepas, dan bahkan bertepuk tangan. Aku tetap tak berminat. Tapi mendadak suasana berubah, dan mencekam perhatianku. Di panggung tampil lah seorang pemain bendara, menilik pakaiannya yang berjas tutup berkain batik dan berselop, dan melihat gayanya di panggung yang malang-kerik dan terkadang menuding-nuding. Di hadapannya seorang abdi, menilik bajunya yang surjan kain sarung dan telanjang kaki, duduk sila di lantai dengan tangan ngapurancang. Suasana seketika memuncak bersamaan dengan sepatah kata "ngijon!", yang diucapkan pemain Bendara dengan suara keras. nDoro Seten menggebrak meja kecil di depannya dan berdiri. "Stop!" Ia berteriak marah. Disusul dengan perintahnya: "Bubar!" Lampu lampu petromaks seketika padam. Di bawah cahaya nyala lilin remang remang Menir Hardi tampil. Membubarkan pertunjukan, meminta maaf pada nDoro Asisten Wedana dan para penonton ... Semua orang pulang dengan mulut terkunci. Barangkali ada perasaan takut, seperti juga yang kurasai. Sesudah agak jauh dari tempat kejadian, di depan pasar, suara bisik orang-orang gerundelan terdengar. Menurut ayah nDoro Seten marah besar. Karena merasa disindir, dituduh sebagai tukang ngijon. Sejak itu aku tak lagi bisa meneruskan belajar bahasa Belanda. HIS voorklas Brosot ditutup tanpa keterangan. Dan Menir Hardi tak pernah lagi kami jumpai, pada setiap waktu tertentu di sore hari, ketika aku ikut Ibu belanja sesuatu di toko. Bukan saja adegan percakapan pendek di tengah jalan Ibu dengannya masih terbayang padaku, bahkan nada suara kata-kata mereka pun masih belum hilang sampai sekarang. "Kondur, nak?" Sapa Ibu. (Pulang, nak?) "Inggih, bu. Saking ndherek mis ..." Jawab Menir Hardi dengan sopan. (Ya bu, dari mengikuti misa). Mulai petang hari itu aku menjadi mengerti. Mengapa ketika kuda teji asistenan mati kesambet, gerundelan orang lebih menyayangi kuda dan kusir. Tapi sebaliknya menyokurkan nDoro Seten.*** (bersambung) Keterangan: (1) Kamus Pigeaud yang menerjemahkannya sebagai "(stilletjes) weggliepen", agaknya dibaca salah, "wegliepen", oleh kamus- kamus W.J.S. Purwadarminta (1939) dan S. Prawiroatmodjo (1985). Sehingga, kedua-dua kamus ini, mengajukan kata-kata padanannya yang salah: "lunga tanpa pamit" (WJS.P) dan "pergi tiada ijin" (S.P). (2) Dasa Sila Perintah Tuhan. ---------- SiaR WEBSITE: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/siarlist/maillist.html