Precedence: bulk


CATATAN PERJALANAN KE TIMTIM (Bagian 4)

        Reformasi di Jakarta berjalan setengah hati, begitu juga di Dili. Ada 
banyak sisa "kejayaan" Orde Baru yang bisa disaksikan di mana-mana. Pejabat 
produk KKN yang memiliki kedekatatan dengan mantan Danjen Kopassus Letjen 
(purn) Prabowo Subianto dan keluarga Cendana masih bercokol kuat dengan 
kewalan kelompok "vigilante" semacam satuan Gadapaksi.
        Berkeliling kota Dili kita akan menemukan slogan dan "ideologi" Adipura 
bertebaran di mana-mana. Mengikuti "mainstream" ideologi Adipura, kota Dili 
dinamakan sebagai kota "bertaiss". Tentu saja sebutan ini tak ada 
hubungannya dengan tenunan rakyat yang disebut kain tais. Dili "bertaiss" 
adalah singkatan dari kota Dili yang "bersih, tertib, aman, indah, sehat dan 
sopan" sebuah yang merupakan cerminan ideologi pembangunan a la Orde Baru. 
Yaitu perlombaan "menertibkan" dan "memperindah" wilayah masing-masing, bila 
perlu dengan cara menggusur perkampungan kumuh serta menyingkirkan kaum 
marginal dan sektor informal dari kawasan perkotaan.Pembangunan diidentikkan 
dengan kerapian, keindahan dan ketertiban semata. 
        Di masa lalu, Presiden Soeharto setiap tahun selalu membagikan piala 
Adipura kepada setiap kepala daerah yang berhasil mewujudkan cita-cita 
pembangunan yang "rapi", "indah" dan "tertib" tersebut. Para kepala daerah 
diperlakukan seperti layaknya anak SD yang harus rajin mengunting kuku dan 
cuci tangan, tanpa perlu memperhatikan sejumlah prolematika sosial yang 
sangat kompleks. Untuk itu lah setiap kota, seperti halnya Dili 
berlomba-lomba menamai kotanya masing-masing dengan memadukan sejumlah 
kata-kata "ajaib" yang tampaknya jadi kunci seperti "sehat", "tertib", 
"indah", "bersih", "nyaman", "ramah", "sopan" dan seterusnya. Alhasil 
munculah nama kota-kota baru semacam "Solo Berseri", "Salatiga Hatti 
Beriman", "Jakarta BMW", "Bandung Berhiber", "Boyolali Tersenyum" dan 
sebagainya.
        Tak pelak lagi, melihat  kota Dili kita akan melihat replika kecil 
kebijakan pembangunan a la Orde Baru yang lebih banyak memproduksi jargon 
ketimbang membenahi manusianya. Melihat beberapa kantor kelurahan di Dili, 
kita akan melihat pameran plang papan nama. Orang tak bisa membayangan bahwa 
sebuah kantor kelurahan yang kelihatan tak ada aktivitasnya, punya banyak 
aktivitas. Mulai dari PKK, Dharma Wanita, Pemuda Karang Taruna hingga LKMD. 
Banyak orang asing bertanya-tanya apa yang dikerjakan oleh berbagai 
organisasi itu, kok kemiskinan dan kesulitan hidup di Timor Timur masih 
begitu parah.
        Melihat ideologi pembangunan di kota Dili rasanya tak lengkap bila kita
tak berkunjung ke Patung Kristus Raja di Bukit Fatucama sekitar 7 km di sebelah 
barat laut Dili.  Patung setinggi 17 meter (angka ini diambil karena 
Indonesia diproklamasikan pada 17 Agustus 1945) yang diresmikan Presiden 
Soeharto pada 24 November 1996 ini barangkali adalah puncak dari prestasi 
Orde Baru dalam memproduksi simbol-simbol penaklukan Indonesia atas Timor 
Timur. 
        Patung yang mencoba menyaingi patung terkenal "Christo Redentor" yang 
dibangun di Puncak Gunung Corcovado pada ketinggian 710 m dpl di dekat kota 
Rio de Janeiro, Brasil, ini sungguh tak ada apa-apanya. Meski disebut-sebut 
sebagai patung Kristus tertinggi setelah patung Kristus karya Ir Heitor da 
Silva Costa yang berketinggian 38 m lebar dengan bentangan tangan 28 m serta 
berat 1.145 ton di Brasil itu, kalau orang jeli mengamati patung di Dili ini 
akan menemukan sejumlah kejangggalan.  Dan antara keduanya sama sekali tak 
bisa saling diperbandingan. 
        Patung Kristus di Bukit Fatucama yang gagal didanai Garuda Indonesia 
Airways dan rancangan seorang pematung tak ternama asal Bandung ini 
ternyata cuma merupakan sebuah bola beton dengan lempengan perunggu yang 
tenik sambungannya sangat kasar. Yang paling menimbulkan tanda tanya adalah 
tangannya yang menadah ke atas. Tak biasanya Kristus digambarkan seperti 
ini. Adegan orang "bersembahyang" dalam semua cerita tentang Yesus Kristus 
dalam terminologi Kristen hanya dikenal saat menjelang balada penyaliban. 
Tepatnya saat Yesus berdoa di Taman Getsemani di Bukit Zaitun. Kenapa? 
Karena orang Kristen percaya bahwa Yesus adalah Allah. Ia lebih kerap 
memberkati manusia, umatnya. "Tangan tengadah patung Kristus di Tanjung 
Fatucama lebih mirip dengan cara "orang Jawa" bersembahyang," ujar sebuah 
sumber yang  memprotes keanehan patung tersebut. 
        Selain itu patung juga menghadap ke arah barat, di mana laut lepas 
membentang. Teman saya berkata, "Jangan-jangan Yesus sengaja diletakkan 
seperti ini dengan maksud untuk mengundang ikan-ikan di laut berdatangan ke 
daratan."
        Banyak orang yang saya temui, menyatakan kecurigaan mereka atas ide 
pembangunan patung tersebut. "Jangan-jangan itu merupakan cara rejim 
Soeharto untuk menaklukkan hati orang Timor Timur yang begitu tinggi sikap 
religiusitasnya," ujar sumber tersebut.
        Pemda sepertinya ingin menjadikan patung tersebut sebagai obyek wisata. 
Apalagi setiap hari selalu saja ada orang yang mendakinya hanya untuk 
keperluan bersembayang dan menyalakan lilin di kaki Yesus. Pemda membangun 
tempat parkir yang sangat luas, sejumlah kios dan warung juga didirikan. 
Tapi jangan heran bila semuanya kosong melompong. Beberapa bagian dari jalan 
menuju ke puncak bukit yang tadinya dibangun dengan cara mendinamit batu 
padas perbukitan Fatucama itu kini mulai longsor. Selama sekitar 1 jam 
menyelusuri jalan beton menuju puncak bukit yang dibangun Pemda Timor Timur 
kita juga akan menemukan bahwa beberapa bagian pagar pengaman hilang diambil 
orang. Tentu saja ini sangat berbahaya.
        Lampu di 14 titik gua peristiwa penyaliban, juga pada dicopot. Saya 
menduganya ada tangan jahil yang mencurinya. Kabel lampu sorot patung juga 
terputus. Sinyalemen saya tentang pencurianm patah, ketika ada seorang 
mengatakan pada saya bahwa lampu-lampu sengaja dicopoti dan kabel diputusi 
oleh pihak militer untuk menghindari orang berkumpul di malam hari. Keadaan 
betul-betul menyedihkan. Di beberapa bagian batu konblok yang harusnya jadi 
jalan air di puncak bukit mengalami pergeseran dan terancam longsor. Pemda 
tampaknya tidak peduli dengan keadaan ini. Saya sulit membayangkan bahwa 
situs tempat ritual yang baru berusia 2 tahun ini sudah berantakan seperti 
itu. 
        Di jaman Orde Baru, kata "pembangunan" memang kerap berarti sebagai 
"penyeragaman", "pembabatan" atau "pembuldozeran". Itu yang juga tampak di 
Timor Timur. Pulau yang tadinya kaya dengan pohon cendana ini kini tak 
memiliki sisa secuil pun pohon cendana. Semua bibit cendana, pohon yang 
membuat pedagang Portugal datang ke Timor Timur berabad-abad lalu, telah  
diambil oleh perusahan tentara, PT Denok, yang bukan hanya menebangi tapi 
melakukan penjarahan total terhadap semua pohon cendana di Timor Timur. 
        Aksi penjarahan kayu cendana kian masif setelah Robby Sumampouw yang 
mendirikan PT Scent Indonesia dan PT Kerta Timorindo yang memegang lisensi 
atas ekspor cendana. Ribuan ton kayu cendana dan minyak wangi dijual  dari 
Timor Timur oleh perusahanan yang berdiri dengan dukungan militer ini. 
Sungguh sebuah skandal lingkungan yang menggemparkan.  Apalagi mengingat 
pemerintah Portugal telah melarang penebangan pohon cendana di Timor Timur 
sejak 1926 dengan maksud untuk melindunginya dari ancaman kepunahan. 
        Menyaksikan sisa kejayaan cendana Timor Timur saat ini hanya bisa kita 
lakukan dengan mengunjungi sejumlah toko cenderamata di Dili, seperti  Toko 
Dili di Jl Bispo de Madeiros dan  Toko Karya Seni Timor di Jl Jacinto 
Candido. Atau berkunjung ke kios-kios pedagang pinggir jalan di  dekat Jl 
Albuquerque. Namun ada perbedaan yang mencolok, bila di toko suvenir kita 
masih menjumpai sejumlah cenderamata cendana dalam ukuran besar, maka di 
kios pinggir jalan kita hanya menjumpai potongan cendana kecil-kecil yang 
telah dikemas jadi rosario atau tasbih. Namun hati-hati, kalau kurang awas 
pembeli bisa tertipu sebab ada banyak "cendana muda" yang sebelum ditawarkan 
digosok terlebih dulu dengan minyak cendana hingga seolah-olah barang 
tersebut adalah cendana asli.
        Di bawah politik pembangunan Orde Baru, wajah Dili dan Timor Timur
ternyata tersembunyi  di balik sejumlah slogan dan jargon. Keadaan 
sosial-ekonomi rakyat jauh dari baik. Barangkali itu lah kenyataan Timor Timur,
apalagi di jaman krisis moneter, meski sejumlah penduduk seperti menghibur diri
dengan mengatakan, "Kami di sini sama sekali tak terpengaruh krisis ekonomi
seperti halnya mereka yang di Jakarta. Dari dulu kehidupan di sini sudah
sulit." 

(BERSAMBUNG)

----------
SiaR WEBSITE: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/siarlist/maillist.html

Kirim email ke