Precedence: bulk


Diterbitkan oleh Komunitas Informasi Terbuka
PO Box 22202 London, SE5 8WU, United Kingdom
E-mail: [EMAIL PROTECTED]
Homepage: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/xp
Xpos, No 03/II/28 Januari-3 Februari 99
------------------------------

OTONOMI ATAU MERDEKA

(POLITIK): Pemerintah Indonesia menolak referendum. Mereka menawarkan
pelepasan Timtim dari RI. Maukah rakyat Timtim merdeka sekarang?

Ada perkembangan baru mengenai sengketa Timor Timur. Pemerintah Republik
Indonesia melontarkan pernyataan yang mengindikasikan kemungkinan melepaskan
Timor Timur  dari wilayah Indonesia. Sebagai alternatif jika otonomi
seluas-luasnya pada Timor Timur ditolak rakyat Timtim dan PBB. "Tapi itu
bukan menjadi usulan pemerintah Indonesia. Hanya merupakan alternatif lain
yang mungkin dilaksanakan," kata Menteri Luar Negeri Ali Alatas seusai
sidang kabinet terbatas bidang Polkam di Bina Graha, Rabu (27/1/1999).

Dalam sidang kabinet yang dipimpin langsung Presiden BJ Habibie itu, memang
membicarakan masalah Timtim secara serius. Mereka bersepakat untuk terus
memperjuangkan usulan penyelesaian dari Indonesia untuk masalah Timor Timur
dalam pertemuan tripartit PBB-Portugal-Indonesia. Namun demikian, dalam
sidang kabinet itu juga membahas tentang alternatif lain jika usulan itu
ditolak dengan menghasilkan usulan alternatif melepaskan wilayah itu dari RI.

Hanya saja, menurut Menlu, hal tersebut keputusan finalnya hanya bisa
diputuskan oleh anggota MPR hasil Pemilu 7 Juni 1999. Yang didahului dengan
usulan pemerintah kepada Badan Pekerja (BP) MPR sebagai bahan bahasan pada
Sidang Umum akhir 1999.

"Kita akan langsung kembali ke rakyat lewat SU MPR dan mengusulkan
perpisahan kita dengan Timor Timur dengan cara baik-baik, dengan cara
terhormat," kata Menlu. 

Langkah Indonesia tersebut memang cukup kontroversial. Sebab, usulan
berbagai pihak selama ini, termasuk sebagian rakyat Timtim tentang jalan
referendum tidak dijadikan salah satu alternatif pilihan pemerintah RI.
Menurut Alatas, keputusan untuk melepaskan Timtim itu diawali dari
disposisi Presiden BJ Habibie saat menanggapi surat PM Australia John Howard
beberapa waktu lalu. Setelah Presiden merenungkan serta mendengar banyak
masukan. Disposisi itu lalu dibahas dalam Rakor Polkam, Senin lalu itu (26/1). 

Lebih lanjut Menlu juga mengatakan bahwa alternatif yang cukup kontroversial
itu terpaksa diambil sebab pemecahan masalah dengan cara referendum seperti
yang diinginkan Portugal dan sebagian warga Timor Timur bukanlah pemecahan
yang baik.

"Referendum cenderung mengobarkan perpecahan dan pertikaian. Bisa-bisa Timor
Timur akan kembali ke titik nol. Bahkan bisa menyulut perang saudara. Kita
tidak bisa menerima cara itu baik secara praktis maupun prinsip politis,"
kata Alatas.

Alatas menuturkan,  setelah 22 tahun mengalami sejarah kebersamaan dengan
rakyat Timtim, ternyata tetap tidak mencukupi bagi rakyat Timtim untuk
menyatu dengan Indonesia. "Maka kiranya adalah wajar dan bijaksana, bahkan
demokratis dan konstitusional, bila kepada wakil-wakil rakyat kita yang
kelak akan terpilih, diusulkan untuk mempertimbangkan, agar dapat kiranya
Timtim secara terhormat, secara baik-baik berpisah dengan Negara Kesatuan
RI," papar Alatas. 

Seperti telah menjadi pengetahuan umum, bahwa sejak dijadikannya Timtim
menjadi propinsi ke 27 pada Sabtu, 17 Juli 1976, melalui UU No 7/1976,
wilayah Timor Timur  terus menerus didera banjir darah. Entah itu serangan
dari ABRI terhadap masyarakat sipil Timtim, maupun pertikaian antara
masyarakat Timtim sendiri.

Sementara itu, pernyataan pemerintah RI tersebut disambut gembira oleh
rakyat Timtim. Namun demikian Uskup Dili Mgr Carlos Ximenes Belo walaupun
menyambut baik tawaran baru itu, ia mengingatkan pentingnya referendum untuk
penentuan nasib sendiri. Maksudnya, supaya bisa diketahui secara
sungguh-sungguh apa keinginan rakyat Timtim. Hal senada juga dikemukakan
oleh Manuel Viegas Carrascalao, ketua Gerakan Rekonsiliasi Persatuan Rakyat
Timor Timur (GRPRTT) dan salah seorang pengurus Concelho Nacional
Resistancia De Timor Leste (CNRT), "Tanyakan kepada rakyat Timtim, apa
keinginan mereka," ujar Belo. 

Alasan pemerintah menolak referendum apalagi gagasan yang akan menerima
tawaran otonomi penuh selama 5-10 tahun kemudian dilakukan referendum,
diduga lebih pada pertimbangan untung-rugi kalkulasi ekonomi. Sebab,
referendum butuh waktu dan biaya yang dikeluarkan Jakarta akan terus
mengalir ke Timtim. "Kalau ternyata setelah lima tahun akhirnya memutuskan
diri dengan RI, maka sia-sialah kerja RI," demikianlah antara lain alasan
yang tersirat dari pernyataan Ali Alatas. Dan secara politis, tentu akan
berkobarnya perpecahan, pertikaian, dan bahkan bisa kembali ke titik nol
atau perang saudara.  

Suara pesimis juga muncul dari sejumlah masyarakat Timtim menanggapi
keputusan pemerintah Indonesia itu. Sebab, menurut mereka, kondisi Timtim
saat ini masih sulit untuk berdiri sendiri. "Maksud Pemerintah Indonesia
selama ini sangat baik tetapi kita masyarakat Timtim sangat bodoh.
Seharusnya, masyarakat Timtim tidak perlu menuntut banyak. Kalau Indonesia
memberikan otonomi luas, tentu suatu waktu akan referendum. Sekarang
Indonesia mau lepas tangan dan memberi kemerdekaan, kita mau makan apa,"
kata Ny Maria Alves, seperti dimuat harian Kompas (28/1).

Itu kata Maria Alves, sementara yang lain akan berbeda pula pendapatnya.
Karena memang pendapat masyarakat Timtim tentang masalah tersebut juga
beragam. Jadi memang lebih baiknya diadakan referendum.

Atau alternatif lainnya, tetap merdeka sekarang dengan Indonesia tetap
bertanggungjawab menuntut Timtim menjadi bangsa yang mandiri. (*)

------------------------------
Berlanganan XPOS secara teratur
Kirimkan nama dan alamat Anda
ke: [EMAIL PROTECTED]


----------
SiaR WEBSITE: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/siarlist/maillist.html

Kirim email ke