Precedence: bulk


Semarang, Indonesia
30 November 1998

LELANG HO MENEKAN UANG KE KAS NEGARA

Oleh Diah Irawati
Reporter Crash Program

SEMARANG --- Ada dua macam lelang tender. Yang satu, lelang resmi
sebagaimana selama ini banyak diketahui; yang kedua, lelang ho. Lelang jenis
kedua ini, walaupun bukan lelang resmi, toh mempunyai kekuatan yang sama
besarnya dibandingkan yang resmi -- terutama untuk lelang bagi para pedagang
dan pengusaha kayu.

Ho adalah istilah populer di kalangan peserta lelang untuk menyebut lelang
kedua setelah lelang pertama selesai. Secara legal, praktek semacam ini
memang tidak ada aturannya. Begitu yang resmi selesai, arena lelang pindah
ke lokasi lain, entah di bawah pohon atau di tempat lainnya. Lelang kedua
ini bisa juga dilaksanakan dalam ruangan dengan menggunakan tempat dan
fasilitas sama seperti lelang resmi.

Menurut cerita, asal mula ungkapan ho berawal dari kejengkelan para pedagang
yang merasa kesulitan mendapatkan kayu secara langsung dari Perusahaan Hutan
Negara Indonesia (Perhutani) – dan ho adalah penulisan bagi histeria "huuu!"
gara-gara ada yang menawar dengan angka fantastik yang tak mungkin disaingi.
Lelang ho ini muncul sebagai akibat dari anggapan bahwa selama ini Perhutani
sudah terlalu banyak mendapat keuntungan dari penjualan kayu yang harganya
mahal itu. Maka, niat untuk ''menekan'' keuntungan yang masuk ke kas negara
atau Perhutani pun diwujudkan melalui lelang ho. Dengan ho, keuntungan yang
lebih besar akan beralih ke kas ''panitia lelang kedua'' dan semua peserta
yang hadir.

Salah seorang peserta lelang, Agus, menuturkan, dalam sebulan ada enam
lelang besar yang dilaksanakan masing-masing dua kali di Semarang, Solo, dan
Yogya. Dari enam kali lelang resmi ini, biasanya empat di antaranya di-ho.
Menurut kebiasaan, lelang ho hanya diadakan jika pesertanya banyak. Namun,
itu pun tidak menjamin selalu ada ho.

Jika lelang akan di-ho, sebelumnya sudah ada tanda-tanda ''khusus'' di
antara sesama peserta. Ada kasak-kusuk untuk mengatur siapa saja yang nanti
diberi ''jatah'' mengangkat tangan dalam arena lelang pertama.

Kesempatan mengangkat tangan ini hanya diberikan kepada orang-orang dalam
lingkungan kelompoknya saja. Sehingga pedagang dan pengusaha lain yang
semula ingin menawar, tidak punya kesempatan lain kecuali menunggu dan
membeli melalui lelang kedua.

Melalui siasat ini harga yang ditawarkan juru lelang bisa dikendalikan
peserta. Ini bisa terjadi karena hanya orang-orang tertentu yang bisa
mengangkat tangan, sehingga otomatis penawaran tidak bisa mencapai harga
tertinggi. Pada lelang pertama, paling banter kenaikannya hanya 70 sampai 80
persen di atas harga limit.

Maka, ''permainan'' pun ditentukan oleh mereka yang punya kelompok besar.
Lelang ini selalu dimotori dan dipimpin oleh kelompok Jepara. Peserta lelang
ho biasa menyebut pimpinan lelang kedua ini dengan nama Icok. Sementara yang
lain hanya jadi peserta, seperti kelompok Solo, Yogya, dan Semarang. Sampai
kini, kelompok Jepara masih merupakan kelompok terbesar, terkompak, dan
paling disegani di antara peserta lain.Di samping punya modal besar,
permintaan dari Jepara juga selalu besar. ''Sebetulnya di-ho itu tujuannya
baik, karena membagi keuntungan kepada semua peserta yang hadir di arena
lelang. Ini solidaritas namanya. Kalau tidak, mana mungkin orang-orang yang
tidak ikut lelang bisa dapat bagian,'' kilah Agus.

Tapi, lanjutnya, banyak juga peserta yang mengeluhkan cara ini, karena
harganya terus membubung tinggi. Toh banyak pula yang akhirnya terpaksa
membeli agar tidak mengalami kesulitan memperoleh kayu, nantinya.

Jadi, ''pemenang semu'' dalam lelang pertama harus merelakan barangnya
dilelang kembali dalam lelang kedua. Artinya, mereka juga harus bersaing
kembali dengan peserta lain untuk memperoleh kayu yang sama. Bedanya, kalau
dalam lelang pertama permainan diatur supaya dapat mencapai harga serendah
mungkin dengan menunjuk orang-orang tertentu saja yang membeli, pada lelang
kedua -- dengan harga yang sudah berlipat ganda -- peserta benar-benar
bersaing untuk mendapatkan kayu.

Contohnya, kayu jati jenis AIII yang dibeli dari lelang resmi dengan harga
Rp1,5 juta per kapling, pada lelang kedua bisa bertambah Rp4 juta, sehingga
harga pada lelang ho menjadi Rp5,5 juta per kapling.

Perhutani Tak Berkutik

Terhadap peserta lelang yang sudah "mendapatkan kapling" pada lelang
pertama, karena barangnya harus dilelang lagi, mereka biasanya mendapat
lelang subsidi, yakni berupa keringanan yang besarnya sudah ditetapkan
pemimpin lelang ho.

Pemilik kapling pada lelang pertama ini tidak perlu membayar penuh untuk
kapling baru yang didapatnya melalui lelang kedua. Misalnya kapling pada
lelang pertama diperoleh dengan harga Rp1,5 juta, pada lelang kedua
tambahannya Rp4 juta, oleh pemimpin lelang pemilik kapling akan mendapat
subsidi sebesar Rp3 juta per kapling. Sehingga yang bersangkutan hanya
membayar harga pertama Rp1,5 juta ditambah subsidi Rp3 juta atau hanya
membayar Rp2,5 juta.

Dalam ho, semua peserta lelang yang terdiri atas pedagang dan pengusaha
kayu -- termasuk sopir dan orang-orang yang hadir di arena lelang -- akan
memperoleh bagian keuntungan -- yakni tambahan keuntungan yang diperoleh
antara harga lelang pertama dengan lelang kedua -- asal didaftarkan
kelompoknya. Menurut Agus, rata-rata selesai ho setiap orang mendapat bagian
keuntungan Rp50 ribu sampai Rp75 ribu. ''Setiap orang saja dapat uang
cuma-cuma. Tinggal dihitung saja, berapa keuntungan kelompok Jepara sebagai
pemimpim lelang ho,'' kata Titik, salah seorang pedagang asal Semarang.

Pada lelang 19 November 1998, Titik mengaku hanya mendapat 11 penawaran
dengan harga yang rata-rata naik 280 persen di atas harga lelang resmi.
Namun semua itu terpaksa diambilnya, kendati harus keluar uang Rp85 juta.

Kondisi serupa juga dirasakan Sardjan, pengusaha kayu asal Randublatung.
Pemilik usaha parket dan floring ini hanya mendapat 100 meter kubik kayu
bahan parket (KBP) seharga Rp1,5 juta per meter kubik. Harga tersebut sudah
naik dari penawaran sebelumnya yang hanya Rp1,15 juta per meter kubik.
Kemudian KBP jenis AII yang semula Rp400 ribu per meter kubik menjadi Rp650
ribu per meter kubik. ''Dengan harga sekian, tetap saya ambil. Karena kalau
tidak, dari mana lagi saya dapat kayu. Itu pun barangnya tidak begitu
bagus,'' tutur pemilik CV Marga Jaya ini.

Kepala Biro Pemasaran Perhutani Unit I Jawa Tengah (Jateng), Sardjono,
mengatakan, lelang ho sudah ada sejak puluhan tahun lalu. Anehnya, cara ini
hanya ada dalam setiap lelang yang dilakukan di Jateng. Sementara di Jawa
Barat (Jabar) dan Jawa Timur (Jatim) tidak pernah dilakukan.

Sejauh ini Perhutani tidak bisa berbuat banyak, karena yang dilakukan
pedagang dan pengusaha tersebut tidak ada aturannya.

Pada lelang 19 November 1998 di Semarang yang diikuti 13 kesatuan pemangkuan
hutan (KPH) se-Jateng, Perhutani melelang 651,13 meter kubik kayu jati. Kayu
jati jenis AI sebanyak 325,39 meter kubik ditawarkan kepada peserta lelang
dengan harga penawaran lelang (HPL) atau harga dasar atau harga milit
Rp221.004 per meter kubik. Dari HPL yang ditawarkan sebesar Rp221.004 per
meter kubik, ternyata laku Rp320.153 atau naik 145 persen.

Begitu pula pada jenis AII sebanyak 154,26 dengan HPL Rp395.982 per meter
kubik, laku Rp666.608, naik 168 persen. Dan jenis AIII sebanyak 171,48 yang
ditawarkan dengan harga Rp678.835 per meter kubik, laku Rp1.081.607 atau
naik 159 persen.

Total jumlah pendapatan Perhutani dari lelang kayu jati jenis A sebanyak
651,13 meter kubik hanya sebesar Rp392.481.000 atau naik 157 persen dari
HPL. ''Jika tak ada ho, pasti penawaran bisa terus naik karena tidak ada
yang mengendalikan harga,'' ungkap Sardjono.

Sebagai perbandingan, harga lelang kayu Perhutani Unit II Jatim dan Unit III
Jabar selalu jauh lebih tinggi ketimbang di Unit I Jateng. Padahal produksi
Jateng sedikit lebih besar dibanding Jatim dan Jabar, yakni sekitar 300 ribu
hingga 350 ribu meter kubik per tahun, dengan perincian dipakai sendiri
untuk industri sebanyak 70 ribu meter kubik dan untuk kerja sama pengolahan
(KSP) sebanyak 18 ribu meter kubik. Sedangkan lainnya dijual langsung
melalui surat izin dan lelang.

Di Jatim, kenaikan panawaran bisa mencapai 268 persen dari HPL. Begitu pula
Jabar, kenaikannya bisa 200 persen lebih dari HPL. Dari sini saja sudah bisa
dihitung, besar kerugian negara akibat rendahnya harga lelang di Jateng.
Belum lagi jika ditambah dengan tingginya kenaikan penawaran yang terjadi di
dalam lelang ho.

(Diah Irawati adalah wartawan harian Suara Merdeka, Semarang, dan peserta
Program Beasiswa untuk Wartawan LP3Y-LPDS-ISAI)

----------
SiaR WEBSITE: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/siarlist/maillist.html

Kirim email ke