Precedence: bulk


Diterbitkan oleh Komunitas Informasi Terbuka
PO Box 22202 London, SE5 8WU, United Kingdom
E-mail: [EMAIL PROTECTED]
Homepage: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/xp
Xpos, No 31/II/5-11 September 99
------------------------------

GAWAT, MILITERISME BAKAL KEMBALI

(PERISTIWA): Jika RUU tentang Keselamatan dan Keamanan Negara (Undang-undang
Darurat) jadi diundangkan: matilah demokrasi yang tengah diperjuangkan.

Ira Koesno tak tampil lagi di Liputan 6 Siang. Hari itu presenter yang
muncul menggantikan presenter SCTV itu adalah seorang lelaki berpakaian
militer. Ia seorang perwira Dinas Penerangan Angkatan Darat, membacakan
berita Liputan 6 versi penguasa militer. Inilah yang akan terjadi, jika
penguasa menetapkan keadaan Darurat Militer atau keadaan darurat yang lebih
gawat lagi yakni: Keadaan Darurat Perang sesuai dengan Undang Undang
Keselamatan dan Keamanan Negara yang kini tengah dipaksakan untuk disahkan
DPR-RI oleh "oknum-oknum" jendral Angkatan Darat. 

Pengambilalihan "instalasi" stasiun televisi, kantor surat kabar, stasiun
telekomunikasi milik swasta, bahkan merekrut para wartawan, pekerja HAM,
aktifis mahasiswa untuk bekerja pada Tentara Nasional Indonesia adalah hal
yang sah dan bisa dilakukan penguasa dengan RUU ini. Tak hanya itu,
partai-partai, bahkan para anggota DPR dan MPR wajib "membantu"
kepentingan-kepentingan militer. Amien Rais misalnya, harus mau bekerjasama
dengan TNI dan tak boleh lagi berkoar tentang penghapusan dwi fungsi TNI.
Jakob Oetama, Pemimpin Redaksi harian Kompas harus mau diganti oleh seorang
mayor atau kolonel yang akan mengubah isi berita Kompas menjadi
berita-berita propaganda pro militer. Goenawan Mohamad yang sudah lengser
dari Tempo (kini jadi redaktur senior) harus makin lengser lagi, karena
majalah itu bisa begitu saja diambilalih orang-orang Angkatan Darat, tanpa
mereka harus setor modal. Namun, seperti pengalaman yang sudah-sudah,
militer tak akan mengambil-alih penerbitan media-media cetak atau tayangan
media-media elektronik itu. Cukup ditutup untuk sementara waktu saja:
sejumlah anggota militer disuruh menjagai kantor-kantor penerbitan itu,
cukuplah. Pokoknya serba militerlah, karena begitu undang-undang ini
dijalankan yang tanpa persetujuan DPR itu, militer boleh bertindak apa saja
yang mereka mau, bahkan melarang orang kecing di halaman rumahnya sekalipun.

---------------------------

KEWENANGAN PENGUASA MILITER
(Keadaan Darurat Militer, pasal 21)

a. Melakukan penyelidikan, pemanggilan, dan pemeriksaan;
b. Melakukan penggeledahan dan penyitaan;
c. Menguasai dan mengatur perlengkapan pos, telekomunikasi, dan elekronika;
d. Melarang atau membatasi penyampaian pendapat di muka umum dan bentuk
pertemuan lainnya;
e. Melakukan tindakan di bidang ketertiban dan keamanan umum;
f. Melakukan segala tindakan terhadap senjata api, amunisi, bahan peledak,
dan senjata tajam;
g. Melarang atau membatasi pertunjukan, pemberitaan melalui media cetak dan
elektronika;
h. Mewajibkan seseorang bekerja untuk kepentingan pertahanan dan keamanan; 
i. Mengatur dan membatasi atau melarang lalu lintas di darat, udara, dan di
perairan.

---------------------------

Jelas ini malapetaka. Hak-hak buruh seperti mogok kerja yang diperbolehkan
oleh undang-undang ketenagakerjaan, akan dilarang. Buruh harus bekerja, tak
boleh mengeluh sepatahkatapun kendati upahnya tak dibayar sepeser pun. Dalam
keadaan Darurat Perang, penguasa militer bisa memanggil siapa saja untuk
bekerja pada TNI. Amien Rais bisa saja dipanggil Penguasa Darurat Perang,
diberi pangkat kopral dan disuruh bekerja sebagai kurir pengantar surat. Ini
sah saja dan Amien tak boleh menolak. Kalau menolak, Amien harus mau
dijebloskan ke penjara selama sembilan bulan dan ditambah hukuman lainnya
jika terbukti ia melakukan tindakan lain yang dinilai penguasa perang
merupakan tindakan yang mengancam keamanan negara. Nah, militer juga bisa
merekrut seorang anggota keluarga untuk menginteli anggota keluarga lainnya.
Hal semacam ini bisa di lakukan di mana saja, di universitas, organisasi
agama, sosial. Jadi akan ada homo homini "intel": manusia adalah intel bagi
manusia lainnya. Dahsyat kan? 

Bukan hanya itu, penguasa perang bisa saja mengeluarkan peraturan yang
membuat semua undang-undang yang sudah berlaku jadi tak berlaku. Lebih
dahsyat lagi: penguasa perang bisa membuat peraturan-peraturan baru tanpa
pengesahan DPR yang kekuatannya setara undang-undang. Jendral Wiranto
misalnya, sebagai Penguasa Keadaan Darurat Perang, kalau tak suka dengan
PDI-P atau PAN atau PKB ya tinggal bikin peraturan yang melarang dan
membubarkan ketiga partai itu. Teken, cap, beres. Siapapun dia, dari
komandan peleton hingga panglima militer akan  memperoleh kekuasaan yang
besar jika UU Darurat ini diberlakukan. Seorang komandan Komando Resort
Militer (Korem) yang berpangkat kolonel misalnya bisa mengambilalih
pemerintahan sipil setingkat gubernur dengan menjadi Penguasa Darurat Perang
Daerah. Jadi jangan heran jika ada para kolonel yang jadi penguasa daerah.

Yang bikin kita geram lagi adalah (di pasal 33 ayat (2)) Kepala Pemerintahan
di daerah dapat mempertahankan sebagian atau seluruh peraturan atau tindakan
Penguasa Darurat Perang Daerah paling lama empat bulan sesudah pencabutan
keadaan darurat perang. 

Nah, Penguasa Darurat Militer Daerah tertentu juga dapat mempertahankan
sebagian atau seluruh peraturan atau tindakan Penguasa Darurat Perang Daerah
paling lama enam bulan sesudah keadaan darurat perang diturunkan menjadi
keadaan darurat militer. Bayangkan, kendati keadaan darurat sudah dicabut
namun "nyawa" peraturan itu masih bisa hidup untuk waktu yang cukup panjang.

Pokoknya gawat. Bahkan, pengadilan umum pun, yang biasanya mengadili warga
sipil, tidak dapat lagi melaksanakan tugasnya, kewenangan memeriksa dan
mengadili perkara pidana. Wewenang mengadili peradilan umum diambilalih oleh
Peradilan Militer. Gila! 

Dan, lebih bahaya lagi, Panitia Khusus DPR yang didorong Mabes TNI gencar
membahas RUU ini untuk segera diundangkan, paling lama dua minggu lagi.
Pengajuan RUU ini oleh pemerintah dikecam dan diprotes keras dari
masyarakat. RUU Darurat ini dinilai justru lebih "mengerikan" represinya
ketimbang peraturan lama seperti, UU No. 23 Prp/1959 dan UU No.
11/PNPS/1963, yang memberi kewenangan yang sangat luas dan besar kepada
militer untuk mengambil tindakan atas nama keselamatan negara. 

Dua peraturan perundangan itulah yang dipakai untuk mengajukan RUU ini. 

UU Darurat Tahun 1959 dan Peraturan Pemerintah No. 16 Tahun 1960 tentang
Permintaan dan Pelaksanaan Bantuan Militer dianggap tidak sesuai lagi dengan
perkembangan hukum dan ketatanegaraan, sehingga harus dicabut dan diganti.
Alasan lain yang dikemukakan adalah pencabutan Undang-undang No.
11/PNPS/1963 tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi. Gantinya, yak RUU
Darurat ini, yang lebih kejam dan lebih karet lagi. (*)

---------------------------------------------
Berlangganan mailing list XPOS secara teratur
Kirimkan alamat e-mail Anda
Dan berminat berlangganan hardcopy XPOS
Kirimkan nama dan alamat lengkap Anda
ke: [EMAIL PROTECTED]


----------
SiaR WEBSITE: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/siarlist/maillist.html

Kirim email ke