Precedence: bulk


Hersri Setiawan

                               
              Sekitar Masalah "Pelurusan Sejarah"
             Transkripsi Ceramah "Aksi Setiakawan"
                  Amsterdam 19 Desember 1998


Saudara-Saudara,
Menurut   permintaan   dan  undangan  "Aksi   Setiakawan"   -
terimakasih untuk semuanya itu - saya harus berbicara masalah
Sumpah  Pemuda  28 Oktober 1928 di Betawi waktu  itu.  Karena
ceramah  ini  sedikit banyak merupakan ulangan  dari  ceramah
yang  diselenggarakan, untuk memperingati hari besar nasional
itu,  oleh  Stichting Indonesia Sejahtera (SIS)  di  Utrecht.
Hanya,  ketika  itu,  para pembicaranya  kami  bertiga  saja:
Saudara-Saudara A.S. Munandar, Siswasantoso, dan saya.  Tanpa
Saudara  Joop  Morrien.  Teks ceramah  saya  di  Utrecht  itu
berjudul "Api Sumpah Pemuda Dari Tinjauan Budaya", saya awali
dengan  dua bait syair Ranggawarsita dari "Kalatidha"  (5-6).
Kopi  teks  itu  selengkapnya sudah ada pada  pengurus  "Aksi
Setiakawan",  dalam  hal ini Saudara Harsono.  Sehingga  bagi
yang ingin membacanya silakan meminjam dari "Aksi Setiakawan"
atau saudara tersebut.
    Saudara-Saudara,
     Sekarang  ini  kita  sudah memasuki  minggu  ke-3  bulan
Desember.
     Jadi  perasaan  saya  sudah  agak  jauh  dengan  tanggal
kejadian  bersejarah yang bernama "Hari Sumpah  Pemuda"  itu.
Tapi  agar  sedikit banyak memenuhi harapan  Saudara-Saudara,
bagaimanapun  juga  saya akan singgung  soal  Sumpah  Pemuda,
walaupun secara pendek saja. Selanjutnya, saya tertarik  pada
apa  yang tadi disebut baik oleh Saudara Joop maupun  Saudara
Munandar.   Bung  Munandar  menyinggung  masalah   "pelurusan
sejarah", sedangkan Bung Joop seperti menggelitik saya dengan
menyebut  tentang  kegiatan  yang  saya  kerjakan  selama  di
Belanda.   Maka  saya  ingin  bicara  tentang  mengapa   saya
menyibuki  diri  dengan kegiatan pengumpulan  bahan  sejarah,
termasuk  dan  khususnya bahan bahan  sejarah  lisan,  dengan
jalan  mewawancarai  banyak teman. Kegiatan  yang  sebenarnya
sudah kami kerjakan, saya dan istri saya Jitske Mulder, sejak
sekembali saya dari Pulau Buru.
     Selagi  masih di penjara Salemba sampai selama di  Buru,
saya banyak mendengar kisah sejarah dari kawan-kawan angkatan
terdahulu.   Bagaimana  pengalaman  mereka  di  Digul   Atas,
bagaimana  penderitaan di tahanan Kenpeitai, dan  sebagainya.
Semuanya  kisah-kisah  lisan, yang kalau  tidak  dicatat  dan
direkam  akan segera hilang ditelan waktu. Lebih khusus  lagi
tentang  sejarah pergerakan kaum kiri pada umumnya  dan  kaum
komunis  khususnya di Indonesia. Karena, seperti  kita  semua
tahu,  di  Indonesia  sepanjang  masa  lebih  dari  30  tahun
terakhir, telah terjadi penggelapan yang luar biasa  terhadap
sejarah  nasional kita. Praktek-praktek KKN  sebenarnya  juga
terjadi  tak kalah intensif di bidang penyelenggaraan sejarah
Indonesia  sepanjang  rezim Orde  Baru.  Sejarah  kaum  kiri,
terlebih  lagi  kaum  komunis, telah  dihapus  dari  lembaran
catatan perjalanan bangsa.
     Untuk  membantu  usaha mengembalikan  lembaran  lembaran
sejarah  yang  telah  dibuang dan dihapus  itu  lah  kegiatan
demikian saya lakukan. Sukurlah bahwa sekarang, sesudah  saya
sekian  tahun bersibuk dan berhasil mengumpulkan  tak  kurang
dari  dua  ratus  kaset  rekaman  wawancara-wawancara  dengan
narasumber  yang  tersebar di Eropa,  Tiongkok  dan  Vietnam,
selain  bahan-bahan tertulis, masyarakat  dan  kaum  muda  di
Indonesia khususnya telah tergerak untuk melakukan  apa  yang
disebut "pelurusan sejarah".
     Dunia ilmu, dalam hubungan pembicaraan ini ilmu sejarah,
ialah  dunia  yang mencintai kebenaran. Kaum  ilmuwan,  dalam
konteks  ini ilmuwan sejarah atau sejarawan, ialah kaum  yang
setia  kepada kejujuran dan kebenaran. Tapi jujur  dan  benar
saja  belum  cukup  kalau tidak disertai  dengan  keberanian.
Keberanian   untuk   membentangkan  kembali   kebenaran   dan
kejujuran  yang dengan sengaja telah diselubungi  dan  bahkan
dihitamkan sama sekali itu.
     Karena  itu  pada kesempatan ini saya ingin mengutamakan
berbicara  tentang hal hal sekitar sejarah. Tapi pertama-tama
baiklah juga saya kembali pada Sumpah Pemuda.

    Saudara-Saudara,
     Berbicara tentang Sumpah Pemuda, menurut saya, sebaiknya
janganlah  kita  berbicara tentang sisi  formal  atau  bentuk
lahiriah  peristiwa Sumpah Pemuda itu belaka.  Juga  demikian
halnya  jika kita berbicara tentang peristiwa-peristiwa  lain
apa pun. Kalau kita memperingati sesuatu, orang Jawa memang -
bagaimana  ya?  Kata "memperingati" kok diterjemahkan  dengan
"menyelamati" atau "selamatan". Dan makin "nggak  ketulungan"
lagi  karena kombinasi "selamatan" itu biasanya, selain diisi
dengan  "ndremimil" membaca doa, juga disertai tabur kembang,
membakar kemenyan dan nyekar! Jika kita memperingati sesuatu,
tapi  dengan semangat seperti itu, akibatnya hakikat kejadian
yang  hendak  diperingati  justru  menjadi  beku.  Juga  ikut
menjadi  beku  daya ingat kita dan, lebih parah  lagi,  sadar
atau  tidak sadar sesungguhnya kita justru membekukan sesuatu
yang  hendak kita peringati itu. Sadar atau tidak sadar  yang
kita  perbuat bahkan sebaliknya: membunuh Api hal ihwal  yang
hendak kita peringati!
     Kata  "selamatan" kalau dikembalikan pada akar  katanya,
"selamat" yaitu "salam", artinya "damai". Kalau melihat  itu,
agaknya  konsep  ini  merupakan salah satu  sisa  dari  jaman
animisme,  jaman pemujaan kepada ruh (anima)  yang  dipercaya
ada pada segala sesuatu. Arwah, bentuk jamak dari ruh, dipuja
agar  supaya   Si Arwah damai sehingga tidak mengganggu  yang
masih  hidup.  Jadi ada suatu kompromi antara dunia  ruh  dan
dunia  jasad,  untuk  hidup berdampingan secara  damai.  Yang
hidup  membiarkan  "yang mati" (saya  tulis  di  bawah  tanda
kutip,  karena  "mati"  ialah "hidup yang  lain"  saja),  dan
berusaha  mendamaikannya  dengan sesaji  yang  lazim  disebut
"nyekar"  tersebut,  atas dasar prinsip  yang  dalam  istilah
Latin  disebut "do ut des" - memberi untuk menerima.  Memberi
sesuatu,  yaitu makan yang berupa sesaji itu,  kepada  arwah;
sebaliknya  untuk menerima sesuatu, yaitu berkah keselamatan,
daripadanya.
    Jadi demikianlah Saudara-Saudara,
     Sebaiknya kita, dalam memperingati sesuatu kejadian  apa
saja, tidak terjebak di dalam kebiasaan yang ritualistik atau
sekedar  bersemangat  keupacaraan seperti  itu.  Sebab  kalau
demikian  semangatnya, sebenarnya kita bahkan ikut  menyokong
pembangunan  mitos-mitos. Padahal tugas sejarah justru  untuk
membabad mitos.

    Mari kita kembali pada Sumpah Pemuda.
     Saya tidak perlu menyebut satu demi satu butir butir isi
Sumpah  yang  tiga itu. Apa dan bagaimana urutan butir  butir
disebut,  dan bagaimana setepatnya rumusan kata-kata disusun,
serta siapa yang membacakannya dalam "sidang kerapatan"  para
pemuda  waktu  itu,  silakan  Saudara  membacanya  pada  teks
ceramah  saya di Utrecht itu. Yang perlu ditekankan  di  sini
ialah  apa  sebenarnya  "kata kunci" Sumpah  Pemuda.  Menurut
hemat  saya kata kunci Sumpah Pemuda  cukup disimpulkan dalam
satu  baris kalimat, yaitu: "bineka tunggal ika". Kita  semua
tahu, apa itu arti dan maknanya. Lalu, apakah "amanat" Sumpah
yang  hendak  disampaikan?  Tentang ini pun  bisa  dirumuskan
pendek  saja,  yaitu  tak lain ialah: usaha  untuk  persatuan
bangsa,  usaha  untuk  pembinaan  bangsa,  dan  usaha   untuk
menemukan jatidiri bangsa.
     Kalau  kita melihat esensi ini, tentunya kalau  Saudara-
Saudara sependapat dengan kesimpulan saya tersebut, maka saya
pikir  amanat  Sumpah Pemuda masih tetap  relevan.  Karenanya
pula   meluangkan  waktu  untuk  memperingatinya  pun   tetap
"sunnah", walaupun bukanlah "wajib" sejarah hukumnya. Apalagi
kalau  kita  menghubungkan  dengan  pergolakan  situasi   dan
situasi  pergulatan di Indonesia akhir-akhir  ini,  khususnya
sejak  diktatur  $uharto lengser dari singgasana  atau  kursi
tahta - tapi tidak atau belum dari keprabon atau kerajaan!
     Saya  teringat  pada pesan Bung Karno  yang  mengatakan,
kalau  kita  memperingati  sesuatu hendaklah  jangan  sekedar
menangkap  abunya, tapi tangkaplah apinya. Api Kejadian  itu!
Api  itu  lah  yang harus kita tangkap dan nyalakan  kembali.
Bahkan  kobar-kobarkan  lah terus nyala  itu.  Demikian  Bung
Karno.  Dalam hal "api" ini saya juga teringat pada kata-kata
nasihat  Mangkunegara  IV.  Ia  memang  seorang  raja.   Tapi
kebijaksanaan   kata-katanya   tidak   akan   menjadi   pudar
karenanya. "Intan tetap intan walau keluar dari mulut  anjing
sekalipun",  begitu  pepatah mengingatkan  kita.  Ada  sebuah
adagium  terkenal, warisan Mangkunegara IV,  begini  katanya:
"apek  geni adedamar, ngangsu apikulan warih". Mengambil  api
dengan  membawa  nyala api, mengambil air  dengan  berpikulan
air.
     Apa  maksud  adagium itu? Yaitu agar  dalam  mempelajari
peristiwa-peristiwa  sejarah, atau menoleh  pada  pengalaman-
pengalaman masa lalu, jangan sampai kita lupa pada  apa  yang
hendak  kita cari. Lebih buruk lagi, jangan kita bikin  padam
api   itu,  atau  kita  bikin  mati  sumber  air  itu.   Tapi
sebaliknya, kita harus menjaga nyala api atau sumber air  itu
agar tetap terus menyala atau memancar, dan kalau bisa bahkan
lebih memperbesar lagi kobaran nyala atau pancaran sumbernya.

Apakah itu sejarah?
Kata  orang-orang pandai "sejarah" berasal  dari  kata  Arab,
"sajaratun",  yang artinya pohon. Pohon silsilah,  maksudnya.
Bayangkanlah:  pohon  itu  tumbuh di  atas  tanah,  mempunyai
batang, cabang, dahan dan ranting, daun-daun, bunga dan buah.
Kalau  dibalik, sehingga cabang dahan berikut  ranting  daun-
daun  dan  sebagainya ada di bawah, maka pohon kayu itu  akan
tampak  menjadi  pohon silsilah. Silsilah  pribadi  seseorang
atau  sekelompok  orang atau bangsa, atau asal  usul  sesuatu
kejadian atau berbagai rupa kejadian kejadian.
     Karena itu saya berpendapat, sejak dulu sampai sekarang,
sejarah  bukan masalah batang saja. Bukan masalah orang  gede
saja.  Sebab pohon dinamai pohon justru karena ada dahan  dan
rantingnya,  ada daun-daun dan bunganya, dan  seterusnya  dan
seterusnya.  Dan  jangan lupa: juga ada  akar  dan  tanahnya.
Jadi, kalau kita mau mengusut sesuatu kejadian sejarah,  atau
sesuatu  batang  "sajaratun"  tersebut,  jangan  hanya   kita
berhenti  mengamati batang dan cabang-cabangnya  yang  besar.
Tapi  harus juga kita perhatikan ranting, daun, akar,  tanah,
dan   seterusnya.  Bahkan  daun-daun  yang   sudah   melayang
bertebaran di tanah pun tidak boleh diabaikan. Ingatlah  pada
kata-kata Rabindranath Tagore, yang pernah dikutip oleh Njono
dalam  pidato terakhirnya ketika menerima vonis hukuman  mati
dari  Mahmilub-nya Orde Baru $uharto, bahwa daun daun  kuning
yang gugur bertaburan akan menjadi pupuk kesuburan tanah  air
...
     Soal sejarah memang soal yang pelik dan rumit. Soal yang
delikat.   Setiap   unsur   pohon,  juga   "pohon   sejarah",
sesungguhnya  merupakan  sesuatu hasil  kesinambungan  proses
yang  panjang, bercabang-cabang dan beranak-pinak dan  rumit.
Karena  itu  mempelajari  sejarah berarti  mempelajari  semua
unsur-unsur  "pohon"  itu. Satu demi satu  harus  kita  runut
sampai  ke akar-akar dan bahkan tanahnya, yang telah  menjadi
tempat bertumbuhnya pohon yang bersangkutan. Sebab jika tidak
demikian,  kita  tidak  akan  pernah  bisa  memahami  sesuatu
kejadian yang rumit itu.
     Saya  ambil  contoh dari pengalaman pribadi ketika  saya
masih  duduk  di  bangku sekolah menengah.  Ketika  itu  saya
mempunyai  guru  sejarah, yang barangkali seperti  kebanyakan
guru-guru  sejarah  lainnya. Begitu masuk  klas,  murid-murid
diperintahnya  mengeluarkan buku catatan.  Pak  Guru  menulis
bahan  pelajaran di papan tulis, atau mendiktekannya  kalimat
demi  kalimat.  Sesudah  selesai, Pak  Guru  hanya  bertanya,
apakah  ada  di  antara kami yang mau bertanya tentang  bahan
pelajaran  yang baru saja diberikannya itu. Untuk  menghadapi
ulangan  atau ujian kelak, kami disuruhnya menghafal bab  ini
atau itu, atau kalau dari buku pelajaran, dari halaman sekian
sampai sekian.
     Suatu  ketika,  pada  suatu  uji  coba  kerajinan  murid
seklas,  saya ditanya tentang tahun lahirnya Sura  Agul-Agul,
Panglima  Sultan  Agung Hanyakrakusuma  dalam  penyerbuan  ke
Betawi (1628 dan 1629). Pak Guru marah karena saya tidak bisa
menjawab  pertanyaannya itu. Saya tidak menghafalnya,  karena
saya  menganggap tahun kelahiran tokoh, walau ia tokoh  besar
sekalipun,  tidak terlalu penting dibanding dengan peristiwa-
peristiwa yang terjadi dan melibat diri dan pribadi si  tokoh
itu. Seorang guru sejarah yang pandai, bukan mengajarkan pada
murid  (tegasnya: suruh menghafal) nama-nama tokoh dan urutan
tahun dan bahkan hari bulan kejadian demi kejadian. Tapi  dia
akan  menguraikan, bukan mengajarkan, kejadian demi  kejadian
yang satu sama lain rangkai berangkai dalam jalinan sebab dan
musabab, sebab dan akibat. Kalau kejadian kejadian itu diurai
dengan jelas, maka kapan terjadinya setiap peristiwa pun akan
bisa  melekat  di  ingatan - kalau tidak secara  tepat,  tapi
setidaknya suatu ancar-ancar saat atau tahun.
      Tapi   kemudian  saya  merasa  mendapat  motivasi   dan
sekaligus  semacam  inspirasi dari guru  sejarah  yang  lain,
sehingga  saya  selanjutnya menjadi mencintai mata  pelajaran
ini.  Nama  guru  ini  Fransiskus Xaverius  Maryono,  seorang
katolik  tentu saja. Pendek kecil tapi singset  dan  cekatan,
berkumis tipis seperti satria Lesanpura Raden Sentiyaki, adik
ipar  Batara  Kresna. Tamatan B2 Sejarah ia, mengaku  sebagai
pengagum  Arnold Toynbee dan Jan Romein. Sejak masuk  pertama
kali  ke klas saya terpesona oleh penampilannya sebagai  guru
sejarah  yang belum pernah sebelumnya saya jumpai.  Ia  tidak
mulai  dengan  mendikte atau mencatat apa  yang  tertulis  di
papan  tulis, sebaliknya bahkan dilarangnya kami mengeluarkan
pensil dan sekrip.
     "Perhatikan papan tulis, dan dengar baik-baik  apa  yang
akan saya ceritakan!" Katanya.
     Lebar  bidang  papan tulis itu dibelahnya  menjadi  dua,
seperti Ki Dalang wayang kulit membelah dunia pekeliran: kiri
dan  kanan.  Di puncak belahan, di tengah-tengah,  ditulisnya
besar  besar: "Renaissance". Di bawahnya ditulis dengan huruf
huruf  lebih  kecil,  di  antara  tanda  kurung:  "re-naitre"
(Per.); "re-nasci" (Lat.) = lahir kembali. Jadi sementara Pak
Guru  belum lagi bicara, saya sudah mendapat tiga butir soal.
Oh,  Bapak  ini  mau menerangkan tentang "renaissance",  yang
berasal  dari  kata  Perancis itu dan kata  Latin  itu,  yang
artinya  "lahir kembali". Ah, apa atau siapa itu  yang  lahir
kembali?  Kami semua diam sambil mata tetap terpaku ke  papan
tulis.   Barangkali  sama  seperti  saya  juga,  kami   semua
penasaran ingin tahu.
     Pak  Maryono seperti tak peduli. Terus menulis kata kata
pendek  di kiri dan di kanan berpasang-pasang, berturut-turut
ke  bawah seperti butir demi butir: Zaman Kegelapan <-> Zaman
Aufklaerung. Jenseitig <-> Diesseitig. Golongan  Pendeta  dan
Bangsawan <-> Golongan Ke-3, dst. dst.
     Hebat Pak Guru satu ini! Begitu saya pikir. Bukan karena
bombardemen kata-kata asing itu yang membuatku terpukau, tapi
karena  kata  demi kata merupakan tanda tanya:  apa  gerangan
yang  tersembunyi  di  balik semuanya itu?  Ini  beda  dengan
deretan  angka  tahun  dan hari bulan  serta  nama-nama  para
kaisar atau panglima perang! Semua yang tersebut pertama  itu
ibarat   hamparan  masalah,  sedangkan  semua  yang  tersebut
kemudian  tak  lebih  dari  timbunan  sampah.  Yang  pertama,
walaupun   sulit,  tapi  menantang;  sedangkan  yang   kedua,
walaupun  terlalu  sederhana,  tapi  tidak  memancarkan  daya
tarik.
    Saudara-Saudara,
     Sejarah  sebenarnya warisan kebudayaan. Atau  bisa  juga
kita  balik:  kebudayaan ialah warisan sejarah  -  historisch
bestimmt,  kata  orang  yang suka kata-kata  asing.  Tapi  di
samping merupakan warisan kebudayaan, sejarah sekaligus  juga
merupakan  reservoar  kebudayaan.  Seperti  tadi  saya  sudah
kemukakan,  sejarah bukan sekedar terang  dan  panas  sebagai
hasil  kobaran nyala dari api unggun sejarah masa lalu.  Tapi
sejarah  juga  memberi terang dan panas  pada  kobaran  nyala
selanjutnya.  Kalau tidak ada proses demikian pastilah  tidak
akan  kita  kenal  sepatah adagium wasiat  dari  datuk  teori
dialektika  Herakleitos: panta rhei - segala hal-ihwal  terus
mengalir.
     Sejarah  selain  warisan juga petandoan atau  reservoar.
Dan  dari petandoan yang satu ini kita ambil api atau airnya,
dengan  membawa  nyala  atau pikulan air,  untuk  menciptakan
petandoan-petandoan  baru, sementara  itu  petandoannya  yang
lama tidak menjadi kering atau padam.

Sumber Sejarah.
Pada  awal  uraian  sudah  saya  sebut  juga,  bahwa  sejarah
merupakan  cabang  ilmu pengetahuan yang delikat:  pelik  dan
rumit,  rentan dan peka, sehingga memerlukan pengurusan  yang
wigati  (untuk  yang lebih mengenal bahasa  barat:  "careful"
atau "zorgvuldig"). Pada sumber sejarah inilah sebenarnya ke-
delikat-an  sejarah  itu terletak. Kita tahu,  bahwa  sejarah
dituturkan atau dituangkan dalam wujud susunan kata-kata atau
dengan  alat  bahasa.  Jadi  bahasa  sebenarnya  suatu  fiksi
tentang hal-ihwal dan kejadian di dalam satu ruang dan  waktu
tertentu.  Fiksi ini selanjutnya perlu diartikulasikan,  yang
untuk itu memerlukan bahasa sebagai sarana. Bahasa dalam arti
yang  seluas-luasnya, mulai dari gerak gerik, kata-kata  yang
dilisankan atau dituliskan, sampai pada berbagai macam bentuk
bahasa  kode  atau bahasa sandi. Artikulasi mana  yang  dalam
satu ruang dan waktu tertentu, atau di mana dan bilamana  pun
berfungsi dominan, selalu artikulasi dari kaum yang berkuasa.
Maka  kita juga mengenal suatu rumusan yang mengatakan, bahwa
"kebudayaan  sesuatu  bangsa pada suatu kurun  waktu,  selalu
kebudayaan dari klas yang berkuasa". Padahal setiap kekuasan,
oleh  siapa pun dan kapan pun, selalu membutuhkan legitimasi.
Sejarah,  atau  tegasnya penulisan sejarah,  merupakan  salah
satu cara untuk menopang legitimasi tersebut.
     Sejarah  bangsa mana saja, apakah bangsa kulit  berwarna
ataukah bangsa kulit putih, dan dari kurun jaman kapan  saja,
apakah  dari  jaman  kuno  ataukah jaman  modern,  memberikan
sangat banyak contoh tentang hal itu. Tapi baiklah kita ambil
dua  contoh dari sejarah bangsa Indonesia kita sendiri.  Satu
contoh  dari "jaman kuno", yaitu dari jaman Kediri  misalnya,
kalau  pertengahan  abad  ke-12  sudah  termasuk  kuno.  Kita
ketahui,  bahwa  syair Jawa Kuno Bharatayuddha  disusun  oleh
Empu   Sedah   dan  Empu  Panuluh  untuk  memberi  legitimasi
kekuasaan raja Jayabhaya yang berhasil naik singgasana  raja-
di-raja  setelah membasmi saudaranya sendiri: Raja Jayasabha.
Dari  jaman mutakhir ada satu contoh gemilang yang tak  perlu
saya  bicarakan  dengan berbanyak kata. Jika ada  kesempatan,
datang  sajalah  Saudara berkunjung, dan perhatikanlah  baik-
baik itu prasasti "kesaktian pancasila" di Lubang Buaya!
     Itulah  sebabnya,  maka dalam sumber sejarah  -  apalagi
sejarah  jaman kuno, bahkan sejarah modern pun -  selalu  ada
masalah yang lazim disebut sebagai "dichtung" dan "wahrheid".
Yaitu  masalah  tentang adanya "dichtung"  yang  menyelubungi
"wahrheid".  Dichtung-dichtung alias tabir-tabir inilah  yang
harus  kita  singkap dan siangi, kalau kita  hendak  menyusun
sejarah. Atau, kalau kita meminjam istilah yang sekarang lagi
"ngetrend"  di  Indonesia:  "meluruskan   sejarah".   Masalah
"pelurusan  sejarah"  sebenarnya  tidak  lain  ialah  masalah
menyiangi  "dichtung" dari "wahrheid". Tabir-tabir "dichtung"
itu,  terutama  sejak  sekitar 32 tahun terakhir  dalam  masa
rezim   $uharto,   telah  terus-menerus  dan   berlapis-lapis
diselubungkan dengan sengaja untuk sama sekali menggelapi dan
menggelapkan "wahrheid".
     Dalam  rangka  itulah masalah penataan  kembali  sejarah
menjadi sangat penting dan mendesak.

    Saudara-Saudara,
Kita   jumpai  misalnya,  bahwa  dalam  bahan-bahan   sejarah
Indonesia  yang tertulis, terutama sejak rezim  $uharto  naik
panggung  sejarah,  juga  termasuk  dalam  diorama  di  Monas
Jakarta,  tidak  ada  di sana tercantum  PKI  selain  sebagai
partai  pemberontak, pembunuh, dan segala apa yang batil  dan
busuk.  Seolah-olah  di  atas  bumi  Indonesia,  yang  selalu
dibangga-banggakan sebagai "Pancasilais" itu, tidak  ada  PKI
pernah lahir; dan tidak ada peranan apa pun dimainkan PKI  di
dalam  melahirkan sebuah negeri merdeka yang bernama Republik
Indonesia.  Ini  jelas jemelas bukan sekedar pembelokan  tapi
pembohongan yang tidak ada taranya.
     Jadi jelaslah bahwa juga di dalam sejarah modern, sumber
sejarah  yang tertulis itu pun perlu dikaji kembali. Mengkaji
kembali  sejarah,  sekali  lagi,  tak  lain  artinya   ialah:
menyiangi "dichtung" dari "wahrheid".
     Di  samping  sumber  tertulis,  sejarah  juga  mempunyai
sumber-sumber  yang tidak tertulis. Sumber sejarah  yang  tak
tertulis  di  dalam  sejarah jaman lampau,  misalnya,  berupa
berbagai macam dongeng tutur atau cerita lisan, termasuk  apa
yang oleh orang Minang disebut "kaba".
     Marilah saya ajak Saudara-Saudara mengikuti ingatan saya
sekilas kembali ke pulau pengasingan tapol: Buru
     Selama  di  pulau  pengasingan itu kita  tahu,  Pramudya
Ananta Toer telah menulis sekian banyak karya. Salah satu  di
antaranya  sebuah roman yang berjudul "Ken Arok". Bagi  saya,
setelah  membaca naskah itu, yang baru dan menarik  di  dalam
karya Bung Pram ini ialah penafsirannya terhadap "kutuk tujuh
turunan  keris  Empu Gandring". Pada roman ini Empu  Gandring
ialah  satu sosok personifikasi "gudang senjata". Barangsiapa
berhasil  menguasai Empu Gandring, termasuk  membuatnya  mati
tak berdaya, dia lah nanti yang akan berhasil menguasai medan
pertarungan dan merebut kekuasaan (dalam hal ini di Singasari
awal  abad  ke-13). Pramudya dengan demikian telah  "membikin
perhitungan"  yang luar biasa terhadap "kutuk  bertuah"  dari
satu  sosok  pribadi Gandring yang sakti,  dan  diurai  serta
dibangunnya menjadi satu konsep politik dan logistik.
     Di Buru selain ada Pramudya, juga ada Badawi - kebetulan
berada  di satu unit dengan saya, yaitu di Unit XV Indrapura.
Bung   Badawi  selain  ketua  bagian  organisasi   Organisasi
Ketoprak "Krida Mardi", juga anggota pengurus Bakoksi  (Badan
Koordinasi Organisasi-Organisasi Ketoprak Seluruh Indonesia).
Menanggapi  "Ken  Arok"  versi  Pramudya  itu,  Bung   Badawi
melontar kritik yang cenderung memrotes keras:
     "Kalau cerita Ken Arok jadi begini, bagaimana saya  bisa
memainkannya di panggung ketoprak?  Tanpa keris Empu Gandring
dan  kutuk  tujuh  turunan, mana orang mau datang  menonton?"
Protes  Bung Badawi pada Pram melalui saya. Barangkali selain
merasa dekat dengan saya, sebagai sama-sama orang Jogya, juga
karena saya pernah duduk sebagai Penasihat Bakoksi.
     "Bung  tidak  usah gusar," kata saya. "Bung  Pram  tidak
menulis  skenario  untuk  ketoprak, tapi  dia  menulis  novel
sejarah.  Naskah ini merupakan penafsiran Bung  Pram  tentang
tutur babad itu dalam bentuk novel. Jadi untuk lakon di  atas
panggung  ketoprak,  silakan Bung  Badawi  tetap  atas  dasar
pembakuan  yang  selama ini berlaku. Kecuali  kalau  penonton
sudah  tidak mau lagi, dan para seniman ketoprak  juga  sudah
ingin mencari pembaruan."
      Bung  Badawi  yang  sangat  mencintai  dunianya,  dunia
panggung   ketoprak,   bagaimanapun   juga   sukar   menerima
penjelasan  saya  itu.  Urat  leher  malah  ditariknya  lebih
tegang.
      "Sastrawan   juga   harus   turut   bertanggung   jawab
melestarikan  pakem, bukan malah merusak semau-mau  sendiri!"
Katanya.

     Tapi  saya juga merasa mendapat hikmah dari sikap  keras
Bung  Badawi  itu. Hikmah itu berupa kesimpulan  saya,  bahwa
ilmu  pengetahuan  yang  bernama ilmu  sejarah,  sesungguhnya
merupakan  satu-satunya mimbar ilmu pengetahuan  yang  paling
demokratis. Siapa saja berhak berbicara tentang sejarah.  Dan
masing-masing  dengan  hak bicara yang  sama  penuhnya  pula!
Siapa saja. Dari profesor yang berkepala butak  sampai tukang
becak  yang  butahuruf sekalipun. Dan belum  tentu  apa  yang
dikatakan  sang  profesor  tentang sesuatu  kejadian  sejarah
tertentu  selalu  benar, sedangkan yang dikatakan  si  tukang
becak tentang kejadian yang sama selalu salah.
     Setiap  peristiwa sejarah ialah "cerita" tentang sesuatu
kejadian.  Dan  setiap cerita ini didukung oleh  para  pemain
yang bermacam-macam dan berjumlah tak terbilang. Setiap orang
yang  terkait - atau ikut bermain - di dalam sesuatu kejadian
sejarah,  masing-masing tentu mempunyai motivasinya  sendiri-
sendiri,  yang satu sama lain berbeda-beda. Apalagi  motivasi
banyak  orang.  Bahkan  motivasi  seseorang  individu   dalam
melakukan sesuatu gerak perbuatan pun tidak pernah mengandung
arti    tunggal,   sehingga   menutup   kemungkinan    adanya
kepelbagaian  interpretasi. Kalau saya, misalnya,  di  tengah
berbicara  sekarang  ini minum seteguk,  perbuatan  ini  bisa
karena  berbagai kemungkinan alasan: haus, tenggorokan serak,
gugup  dan  sebagainya.  Ini  baru  tentang  perbuatan   yang
sederhana belaka, tidak ada hubungan dengan orang-orang lain,
dan  tidak  pula  didasari oleh alasan apa  pun  selain  yang
bersifat manusiawi yang individual belaka.
     Karena  itu, kalau tidak salah, bukankah seperti  pernah
dikatakan Mao Zedong, bahwa mengenal seorang manusia saja pun
tidak akan pernah bisa lengkap selengkap-lengkapnya. Hari ini
kita  mengenal satu segi, besok pun hanya bertambah satu segi
saja  lagi.  Sementara itu satu segi yang kita kenal  kemarin
itu  pun, hari ini sudah tidak lagi sama seperti ketika  kita
mengenalnya  kemarin!  Itu baru berurusan  dengan  seseorang.
Apalagi  berurusan dengan yang disebut sejarah; dengan  serba
kejadian  yang di dalamnya terkait banyak orang tak terbilang
dan dengan berbagai alasan yang banyak kali tak terucapkan!

     Saya  ingin  mengajukan sebuah contoh sehubungan  dengan
uraian tersebut. Bertahun-tahun yang lalu saya pernah membaca
Pranacitra Rara Mendut, roman penerbitan Balai Pustaka  tahun
50-an  awal.  Sebuah cerita babad Jawa yang sangat  terkenal,
baik  sebagai  dongeng tutur, sebagai lakon  ketoprak  bahkan
film,  maupun sebagai karangan tertulis dalam bentuk  tembang
atau  syair maupun gancaran atau prosa. Satu pasase saja dari
cerita ini ingin saya kemukakan.
     Syahdan. Dikisahkanlah pada saat-saat menjelang sepasang
kekasih  Pranacitra  Rara Mendut melarikan  diri  dari  kamar
tutupan  di Ketumenggungan Wiraguna. Karta, ibukota  Mataram,
tiba-tiba  tenggelam dalam keadaan gelap gulita  40  hari  40
malam.  (Perhatikan  juga bilangan  empat  puluh,  yang  juga
disebut   dalam   deskripsi  tentang  Jaka   Tingkir   ketika
mengarungi Kedung Srengenge. Ia naik gethek yang didukung  40
ekor buaya!).
     Pada  saat Karta gelap gulita seperti itu lah gerombolan
penggarong  dan kecu mengamuk. Bukan hanya merusak mengobrak-
abrik  Karta,  tapi bahkan juga menyerbu istana  raja.  Saya,
sebagai  guru sejarah di berbagai sekolah menengah  di  Yogya
ketika  itu, bertanya pada diri sendiri dan berusaha  mencari
tahu. Apa betul begitu? Ibukota Mataram diserbu garong selama
40  hari 40 malam! Katakanlah itu benar. Tapi apa hubungannya
dengan   kejadian  sepasang  kekasih  Pranacitra-Rara  Mendut
melarikan diri? Apakah kedua orang muda itu agen atau  bahkan
pimpinan gerombolan pengacau tersebut?

     Kisah  Pranacitra  Rara  Mendut  bersumber  dari  sebuah
babad.   Babad  Mataram,  khususnya  kurun  waktu  Panembahan
Senapati  -  Sultan  Agung Hanyakrakusuma.  Dan  babad  ialah
sejarah  yang  diselubungi  kabut "dichtung"  yang  terkadang
teramat  sangat  tebal. Jadi kabut itu harus  disinari,  jika
kita   ingin  menyingkap  kejadian  yang  sebenarnya  -  atau
setidaknya mendekati yang sebenarnya.
      Buyung  Saleh  Puradisastra,  bertahun  tahun  kemudian
sesudah pengalaman saya tersebut, mendongeng di Unit Transito
Jiku  Kecil  Pulau  Buru. Itu terjadi pada  suatu  petang  di
minggu   ke-2   bulan  Agustus  1971.  Ia  mengatakan   bahwa
Pranacitra  dan  Rara  Mendut  adalah  pribadi-pribadi  tokoh
sejarah  yang  benar-benar pernah  ada.  Ini  berbeda  dengan
kesimpulan saya jauh bertahun-tahun sebelumnya.
     Menurut  hemat saya Pranacitra jelas bukan sebuah  nama.
Tapi  sebutan personifikasi untuk suatu keadaan atau kejadian
belaka.  "Prana" artinya "hati", dan "citra"  ialah  "gambar"
atau   "lukisan".   Lukisan  Hati  -  Hati  Masyarakat   yang
melahirkan  kisah  itu. Rara Mendut lebih jelas  lagi,  bukan
sebuah  nama.  "Lara" atau "rara" ialah "dara" atau  "gadis",
yaitu   awalan   penghormatan  (honorefiks   prefiks)   untuk
perempuan  muda; dan "mendut" ialah "sintal"  atau  "mollig".
Rara  Mendut  tak  lain ialah Si Gadis  Sintal.  Sama  halnya
seperti  Lara  Junggrang, yang sekarang dikenal sebagai  nama
seluruh  kompleks candi Prambanan, yaitu sebutan  untuk  arca
Durga  di  bilik  utara candi utama. Menurut  dugaan  sejarah
candi  ini dibangun dalam jaman Raja Daksa, awal abad  ke-10,
yang  di  atas panggung ketoprak dikenal sebagai Prabu  Baka.
"Junggrang"   ialah  tinggi  semampai  atau  langsing.   Lara
Junggrang ialah Si Gadis Semampai.

      Kembali  pada  usaha  mencari  tahu  "wahrheid"  cerita
Pranacitra Rara Mendut.
     Untuk  itu  saya  lalu  membaca "Indonesian  Society  in
Transition" W.F.Wertheim, "Indonesian Trade and Society" J.C.
van  Leur,  dan  risalah tipis tapi mantap berbobot  karangan
H.J. van Mook, "Koeta Gede". Saya seperti digugah oleh bacaan-
bacaan itu. Jadi, pikir saya, ketika itu telah lahir apa yang
disebut  "golongan  ke-3" di Mataram, atau  lebih  tegas  dan
khusus lagi di Kota Gede? Itukah "wahrheid" Lara Mendut, yang
diceritakan  sebagai  mau diperistri kesekian  oleh  Panglima
Mataram Tumenggung Wiraguna yang tua renta, asal diberi modal
dan dibolehkan berjualan rokok klobot di tengah pasar?
     Modal  dan ijin memang diberi oleh Wiraguna,  asal  Rara
Mendut  setiap hari mau membayar pajak sebanyak sekian  real.
Apa  yang terjadi? Dagangan Si Dara Sintal, pingitan  Adipati
Tuban  di  pesisir utara Jawa yang jatuh di  tangan  Wiraguna
sebagai  pampasan perang itu, laris luar biasa. Bahkan  bukan
hanya  pemuda-pemuda Mataram saja yang berebut membeli  rokok
klobot Lara Mendut! Juga "seorang pemuda" berasal Pekalongan,
ikut  datang  sebagai pembeli. Tidak saja rokok  klobot  yang
baru  digulung Nimas Lara, bahkan puntung isapannya pun  laku
keras. Pemuda berasal Pekalongan itu bernama Pranacitra, anak
janda juragan batik.
     Tumenggung Wiraguna lalu menuntut pembayaran pajak  yang
semakin  tinggi dan semakin tinggi. Tapi Lara  Mendut  selalu
bisa melunasinya.

     Bagi  saya lalu menjadi jelas. Sungguh pandai dan sangat
tepat  cerita  rakyat membuat amsal pasemon.  Mengapa  justru
pribadi Rara Mendut, sosok perempuan muda yang sintal cantik,
dipakai  sebagai  lambang golongan baru yang  sedang  tumbuh.
Bukankah perempuan ialah Ibu kehidupan baru? Bukankah  cantik
simbol dambaan setiap orang, dan sintal ialah pasemon tentang
kesuburan?  Adapun  yang angkuh di depannya  adalah  Panglima
Perang  Tumenggung  Wiraguna. Justru sosok seorang  laki-laki
tua  renta, namun dengan kekuasaan dan keris lambang  kelaki-
lakian di genggaman tangannya yang siap membunuh.
     Hubungkanlah cerita tabir pasemon itu dengan  keterangan
sejarah   Jawa  tentang  dua  kali  kegagalan  Sultan   Agung
Hanyakrakusuma menyerbu VOC di Batavia (1628 dan 1629). Bukan
karena lihainya serdadu VOC berperang dan gemuruhnya dentuman
"Kyahi  Jagur"  lasykar Wiraguna mundur bertahan  ke  selatan
Betawi   dan  jauh  ke  timur  di  Rengasdengklok.   Penyebab
sebenarnya  ialah,  keterangan  sejarah  mengatakan,   karena
"gudang-gudang perbekalan lasykar Mataram di sepanjang pantai
utara,  mulai  dari Kendal sampai ke Kerawang,  habis  tumpas
dibakar para penyamun ..." Lagi-lagi dongeng tentang penyamun
dan garong!
      Sesungguhnya  imperium  Jawa  di  bawah  Sultan   Agung
Mataram,  adalah  sebuah  negeri yang  penuh  huru  hara  dan
pemberontakan meluas di mana-mana. Sultan Agung menjadi agung
atau  diagungkan  oleh mitos, barangkali  karena  satu  sebab
saja:  ambisinya untuk mengalahkan VOC. Tapi ia  sesungguhnya
bukanlah raja "gung binathara", melainkan raja penindas  yang
rakus  (terhadap "Rara Mendut") dan yang tak  segan  menumpas
musuhnya   dengan  lalim  (siasat  "perang  kuman"   terhadap
Surabaya,   1625,  dengan  membendung  Sungai   Brantas   dan
menimbuni arusnya dengan bangkai).

    Saudara-Saudara,
     Itulah sebab dan alasannya, mengapa dalam beberapa waktu
yang  belum lama berlalu, kami mendirikan sebuah yayasan yang
kami  namai  Yayasan  Sejarah dan Budaya Indonesia.  Satu  di
antara  tujuannya yang penting ialah hendak  ikut  menyumbang
usaha  pembenahan  atau  penyusunan kembali  sejarah.  Mudah-
mudahan  gerak  kegiatan yayasan itu mendapat  sambutan  yang
semestinya  dari  Saudara-Saudara  sekalian,  sehingga  tidak
ibarat  pepatah  mengatakan: bagai bertepuk  sebelah  tangan.
Karena pekerjaan penyusunan, atau penyusunan kembali, sejarah
Indonesia, sesungguhnya merupakan pekerjaan kita bersama.
      Istilah  "pelurusan  sejarah"  yang  tampaknya   sedang
ngetrend  di  Jakarta  akhir-akhir ini, sesungguhnya  istilah
salah-kaprah  yang  gampang diucapkan,  tapi  sungguh  sangat
sukar  dilaksanakan - kalaupun bukannya malah mustahil. Salah
kaprah.  Salah  tapi dilazimkan. Sebab, sesungguhnya  sejarah
akan  semakin mendekati kebenaran justru apabila atau  selama
dia  "tidak  lurus".  Sebaliknya,  malahan  rezim  Orde  Baru
$uharto  dan  penerusnya,  serta  semua  rezim  militer   dan
totaliter  itulah yang paling berkepentingan pada  "pelurusan
sejarah".   Lurus   ndlujur,  sesuai  dengan   komando   yang
digariskan oleh rezim.

    Saudara-Saudara,
     Sejarah  itu  perkara  tentang hidup  dan  perkara  yang
hidup. Karena itu benang merah di dalam sejarah bukanlah kata
"mustahil"  yang tunggal, tapi kata "mungkin" yang  berbagai-
bagai.  Di dalam sejarah, tepat sama seperti di dalam  hidup,
yang  ada  ialah  serba  kemungkinan yang  seribu  satu,  dan
bukannya  kemustahilan  yang tunggal belaka.  Jalan  sejarah,
oleh  karena itu, memang tidak lurus seperti rel kereta  api,
atau  seperti  gerak-gerik  barisan  militer.  Jalan  sejarah
bahkan   bukan  hanya  sekedar  zigzag,  berliku-liku  secara
evolusioner,    tapi   terkadang   berselang-seling    secara
revolusioner bagaikan arus puting beliung yang tak terduga.
     Justru oleh adanya seribu satu kemungkinan itulah,  maka
roda sejarah akan bisa berbelok-belok seperti tak teramalkan.
Di  depan  sudah  saya  kemukakan,  pendukung  sejarah  ialah
sejumlah tak terbilang manusia. Masing-masing dengan aspeknya
yang  berbagai-bagai.  Dan aspek itu pun  bukan  hanya  tidak
terbatas,  tetapi juga terus-menerus berkembang dan  berubah-
ubah.
    Terimakasih!***

----------
SiaR WEBSITE: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/siarlist/maillist.html

Kirim email ke