Precedence: bulk Diterbitkan oleh Komunitas Informasi Terbuka PO Box 22202 London, SE5 8WU, United Kingdom E-mail: [EMAIL PROTECTED] Homepage: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/xp Xpos, No 33/II/19-25 September 99 ------------------------------ MENGAPA AUSTRALIA 'ANGIN-ANGINAN'? (POLITIK): Sejak tahun 70-an Australia menggelar latihan bagi militer Indonesia. Tempat ujiannya? Tanah Timor Lorosae. Kini, memimpin pasukan perdamaian ke tempat yang sama. Minggu ini pasukan perdamaian PBB dijadwalkan masuk ke Timor Leste. Selama 2-3 tahun mereka akan melakukan tugas perdamaian di bawah pimpinan Australia. Sementara dari pangkalan militer di Darwin, Australia telah siap memberangkatkan 7.000 pasukan. Jumlah terbesar setelah pengiriman serupa waktu perang Vietnam. Hari-hari sebelumnya, kantor kedutaan besar Australia di Jakarta rutin didatangi pengunjuk rasa. Mereka memprotes campur tangan pemerintah Australia terhadap situasi 'dalam negeri' Indonesia. Para pengunjuk rasa menuduh motif ekonomi di balik sikap keras tersebut. Ada juga yang mengecam standar ganda yang diterapkan. Memangnya bagaimana hubungan Indonesia-Australia selama ini? Lebih lagi menyangkut aspek pertahanan kedua negara. Pengamat LIPI, Ikrar Nusa Bakti mengaku tidak heran dengan standar ganda negara maju menyangkut masalah hak asasi, khususnya di Timor Leste. "Bagaimana selama ini Amerika pun tidak kurang ambigu, misalnya?" lanjur Ikrar. Sikap mendua Australia terhadap persoalan hak asasi di Indonesia memang tak bisa dipungkiri. Terbukti, bersama-sama Amerika, negara ini mendukung penyerbuan tentara Indonesia atas Timor Leste, 7 Desember 1975. Kedua negara khawatir terhadap kemerdekaan Timor yang diproklamasikan Fretilin tanggal 28 Nopember 1975. Kamp-kamp pelatihan militer Australia telah dibuka sejak 1973 untuk personil-personil tempur Indonesia. Jalinan resmi pun dituangkan dalam Program Kerjasama Pertahanan (DCP/Defence Cooperation Programme). Guna mendukung maksud Indonesia, dikirimkanlah satu skuadron pesawat tempur Sabre dan 8 kapal patroli. Kendati begitu, pemerintah Australia juga rajin mengecam ditembakinya warga sipil di Timor Leste -ironisnya, sambil terus memberi pelatihan bagaimana memenangkan perang. Barak Lavarack di Townsville kerap dijadikan ajang perang-perangan militer kedua negara. Selain itu terdapat Sekolah Pertempuran Komando Darat di Tully yang memiliki fasilitas latihan perang di hutan. DCP dihentikan Indonesia 1988, ketika Soeharto keberatan dengan suatu artikel di surat kabar Australia. Artikel itu menyoroti korupsi keluarga Cendana dan kerabat-kerabatnya. Namun penghentian kerjasama itu tak berlangsung lama. Tahun 1990, kedua negara menandatangani suatu kerjasama bilateral. Angka yang dikeluarkan Indonesia untuk DCP sampai tahun 1988 terbilang cukup besar. Sekitar US$2,2 juta-US$9,9 juta. Setahun setelah penandatanganan, terjadi pembantaian di pemakaman Santa Cruz, Dili (Dili Massacre), 12 Nopember. Riuhlah masyarakat internasional mengeluarkan protes keras. Parlemen negara-negara Eropa bahkan mengeluarkan seruan embargo persenjataan terhadap Indonesia. Amerika secara parsial menyusul dengan pembatalan sejumlah program latihan. Pemerintah Australia tidak ketinggalan dengan pernyataan kerasnya. Setarik nafas kemudian, mengambil alih program latihan Indonesia-Amerika. Selanjutnya dapat dicatat adanya tera perjanjian pertahanan bilateral tingkat menteri luar negeri. Ali Alatas dan Gareth Evans Meski membubuhkan tanda tangan mereka tanggal 18 Desember 1995. Disetujui adanya konsultasi teratur tentang masalah-masalah keamanan bersama, konsultasi satu sama lain dalam hal tantangan bermusuhan terhadap salah satu pihak atau keamanan bersama dan, bila tepat, mempertimbangkan langkah-langkah yang bisa diambil. Kedua menlu pun setuju untuk meningkatkan kerjasama saling menguntungkan di bidang keamanan di wilayah yang akan diidentifikasi oleh kedua belah pihak. Menurut Hasnan Habib, meski kini terjadi ketegangan hubungan diplomatik, perjanjian tersebut belum dicabut. "Sesungguhnya perjanjian semacam ini tidak lazim," ujar Hasnan lebih lanjut. "Saya pernah menegaskannya kepada Pangab dan Menlu, tapi toh terus saja dilanjutkan." Dari jawaban menteri pertahanan di hadapan senat Hansald diperoleh data, untuk tahun fiskal 1994/95 nilai ekspor bahan militer Australia sebesar US$1,8 juta. Perjanjian Desember 1995 berhasil mendongkrak nilai tersebut hingga US$9,3 juta di tahun 1995/96. Memang bukan apa-apa, bila melihat tahun 1993/94 diperoleh US$10,2 juta. Angka-angka tadi pun di luar kegiatan-kegiatan semisal pelatihan. Cuma saja, maksud pemaparan itu adalah menangkis pertanyaan anggota senat, Margaret, yang mengkritik komitmen pertahanan yang dilakukan dengan Indonesia. Senat Australia mengetahui dengan pasti bagaimana tentara Indonesia memperlakukan warganegaranya dan rakyat Timor Leste. Apalagi tahun 1994, George Aditjondro, menerbitkan buku "Di bawah bayangan gunung Ramelau; Dampak pendudukan atas Timor Timur" yang juga didistribusikan ke berbagai kalangan internasional. George membuktikan bagaimana uang yang dikeluarkan Indonesia untuk memenuhi kebutuhan militer turut mengambil dari proyek kemanusiaan. Program penurunan angka kematian bayi di NTB tidak luput dialihkan. Boleh jadi kebijakan Australia amat tergantung dari 'siapa' yang memimpin negara itu. Lalu, kedatangan mereka ke Timtim kini, dengan tujuan apakah? Curiga tentu boleh saja. Asalkan tak melupakan nasib rakyat Timtim yang hingga kini masih hidup dalam tekanan, teror dan pembunuhan. Selama rakyat Timtim mendapatkan perlindungan dari pasukan perdamaian, bolehlah melupakan kebingungan tentang politik Australia. Jika tidak, boleh bertindak. (*) --------------------------------------------- Berlangganan mailing list XPOS secara teratur Kirimkan alamat e-mail Anda Dan berminat berlangganan hardcopy XPOS Kirimkan nama dan alamat lengkap Anda ke: [EMAIL PROTECTED] ---------- SiaR WEBSITE: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/siarlist/maillist.html