Precedence: bulk


Diterbitkan oleh Komunitas Informasi Terbuka
PO Box 22202 London, SE5 8WU, United Kingdom
E-mail: [EMAIL PROTECTED]
Homepage: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/xp
Xpos, No 33/II/19-25 September 99
------------------------------

NERAKA KOSOVO DI TIMOR LESTE

(POLITIK): Pelaku genosida di Timor Timur dibantu Batalyon 745. Tiga ratus
anak dikabarkan mati kelaparan. Bisakah menyeret penanggungjawabnya ke
tribunal internasional?

Kamu Falintil, kan? Pro-CNRT, kan?" Pertanyaan tak butuh jawaban ini paling
sering dijumpai di perbatasan Timtim, hari-hari belakangan ini. Milisi
pro-otonomi lengkap dengan senjata, secara leluasa memainkan peran sebagai
hakim sekaligus eksekutor dalam situasi yang disebut 'darurat militer' oleh
pemerintah Indonesia.

Tanya-menanya tadi dilakukan setelah penduduk satu kampung digelandang
keluar rumah. "Kamu Fernando? Kamu Mariano? Kamu Aniseto?" Tanpa selidiki
nama belakangnya, orang yang ditanya sesegera mungkin dibunuh. Lebih sering
tanpa ba-bi-bu apapun. 

Milisi memang memegang daftar orang-orang yang harus dilenyapkan. Eurico
Guterres, wakil panglima Aitarak, sedari dini sudah menyebar anggotanya.
Mereka ditempatkan di bandara Komoro, pelabuhan Dili, perbatasan serta
disebar ke penjuru kota Dili dan bagian Timor Leste lain.

"Kami bermaksud mencegah tokoh-tokoh Timor melarikan diri keluar." Begitu
bunyi penjelasan resmi Aitarak. "Apapun hasil jajak pendapat (nanti), semua
orang harus berada di tempatnya." Melihat fakta di lapangan, ada yang
berkesimpulan, tujuan Guterres lebih tepat disebut 'mencegah orang-orang
Timor hidup lebih lama'.

Aksi-aksi Eurico Guterres cs, Besi Merah Putih, Mahidi dan kelompok milisi
lainnya didukung penuh tentara Indonesia. Seperti diberitakan Xpos nomor
silam (lihat: Operasi Sapu "Jajak" -red), anggota-anggota milisi telah
disiapkan jauh-jauh bulan sebelum referendum dilakukan. 400 anggota Kopassus
pada Nopember 1998 masuk ke Timor dan melakukan persiapan pembentukan milisi.

Ongen Sangaji, anggota Pemuda Pancasila termasuk operator yang ditugas
melenyapkan orang-orang Timor. Reputasi Ongen dikenal lewat kerusuhan Ambon
tahun lalu. Selama Ongen berkeliaran, pasukan-pasukan dari Batalyon 745
senantiasa menyertai. Malahan pelaku penyerbuan ke Gereja Hosana di Dili,
dipimpin oleh seorang letnan dua dari batalyon ini.

Kerja milisi memburu nyawa manusia sendiri tergolong cukup serius. Sampai ke
manapun sasaran lari, dikejar. Sebelas September lalu, misalnya, terjadi
pembunuhan di atas KMP Uma Kalada. Saat kapal yang mengangkut 561 penumpang
memasuki Selat Ombay, dua orang yang dituduh anggota Fretilin, lelaki
berusia 20 tahun dan 40 tahun dipenggal lehernya. Kedua mayat ini
dilemparkan ke laut.

Perburuan dilakukan juga sampai ke kamp-kamp pengungsian. Malah, melalui
layar televisi pemirsa dapat menyaksikan, Enrico Guterres menjadi juru
bicara kamp pengungsi di NTT. Padahal kehadiran milisi di kamp tersebut
tujuannya melakukan operasi pembersihan pro-kemerdekaan.

Sayangnya tidak diperoleh akses bagi pers Indonesia maupun luar negeri untuk
memasuki areal pengungsian. Jangankan pers, terhadap pekerja sosial luar
negeri dan dari LSM pun pengelola pengungsian menutup pintu.

Setelah mengetahui kekalahannya, milisi dan TNI segera saja melakukan teror
di kota dan kampung. Bagaimana mereka dapat cepat bergerak, jawabannya
ditemukan dari dokumen Garnadi, Asmenko/Polkam, yang melakukan pemetaan
kemungkinan kemenangan opsi otonomi.

Target awal pembunuhan adalah orang Fretilin. Baru sasaran diperlebar pada
mereka yang dicurigai memberikan suara untuk menolak opsi otonomi. Orang ini
yang terus menerus dicari. Diketahui, banyak perempuan di kamp pengungsi NTT
diperkosa para anggota Aitarak. Selain memuaskan nafsu bejatnya, perkosaan
ini dimaksudkan sebagai taktik jitu memaksa pemilih kemerdekaan menunjukkan
jati dirinya. 

Penggeledahan orang di kamp adalah pintu perburuan akhir. Sebelumnya setiap
pengungsi akan diperiksa. Bila kedapatan orang yang dicurigai atau ada dalam
daftar, langsung disiksa di tempat, dibunuh atau dipaksa pulang berjalan
kaki. Pilihan terakhir bukan berarti selamat. Sebab kalau sampai mengungsi,
itu artinya kampung mereka sudah dikuasai milisi. Berkeliaran di jalan tentu
bukan pilihan bagus.

"Pengungsi paling banyak sebenarnya terdapat di gunung-gunung," ujar Yeni
Rosa Damayanti kepada Xpos. (lihat wawancara) "Pulang tidak bisa, di jalan
ditembaki, mau kemana lagi coba?"

Melihat pengungsi di Atambua dan tempat lain 'cuma' berkisar 130.000 orang,
memang mengherankan. Mengingat jumlah penduduk Timor yang mencapai 800.000
orang. Ada yang percaya, mereka berlindung di gunung dan perbukitan. Tapi,
siapa yang tahu? 

Mary Robinson dari Komisi Tinggi Hak Asasi PBB, menyatakan akan membentuk
komisi pencari fakta internasional untuk mengusut kekejaman ini. Diakui,
telah ada persetujuan dari Presiden Habibie untuk melaksanakan rencana
tersebut. Melihat cara-cara pembunuhan dilakukan, Robinson melihat kesamaan
dengan kasus di Kosovo.

Pembentukan komisi penyelidik tentunya dibarengi dengan pengiriman bantuan
kemanusiaan. Menurut catatan Saut Sirait, Wakil Sekjen KIPP, yang berada di
Timor Timur hingga 11 September lalu, di Ermera tak kurang dari 300 anak
mati kelaparan. 

Dengan dalih apa pun, pembunuhan massal ini tak dapat dibiarkan. Para
pelakunya mesti diadili. Menurut Robinson, Komisi Penyelidik harus dijadikan
langkah awal menuju kriminal tribunal. "Instrumen serupa pernah dibentuk
pada kasus genosida di Rwanda dan pembantaian di bekas Republik Yugoslavia,"
lanjutnya. Keadilan memang mesti ditegakkan. (*)

---------------------------------------------
Berlangganan mailing list XPOS secara teratur
Kirimkan alamat e-mail Anda
Dan berminat berlangganan hardcopy XPOS
Kirimkan nama dan alamat lengkap Anda
ke: [EMAIL PROTECTED]


----------
SiaR WEBSITE: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/siarlist/maillist.html

Kirim email ke