Precedence: bulk ISTIQLAL (23/9/99)# PDI-P MEGAWATI BERKOALISI DENGAN TNI/POLRI? Oleh: Sulangkang Suwalu Karena PDI-P menangnya tidak mutlak, maka bila Megawati ingin terpilih sebagai presiden, ia harus mencari dukungan dari pihak lain. PKB sudah jelas akan mendukungnya, seperti dinyatakan Matori, Ketua Umum PKB. Tetapi jika hanya dukungan dari PKB saja, harapannya untuk terpilih sebagai presiden, tidak akan terwujud. Untuk itu ia perlu mencari dukungan yang lain pula. Tampaknya ia hendak mencari dukungan dari fraksi TNI. Hanya saja PDI-P memang belum pernah secara terbuka mengemukakan politiknya yang demikian. Politik PDI-P lebih banyak tertutupnya. Karena itu, adalah menarik berita tentang sekitar pemilihan Ketua DPRD DKI Jakarta, seperti yang dimuat dalam Kompas (14/9), dengan judul: Kader PDI-P Membelot: Simpatisan Mengamuk Walaupun fraksi PDI-P menduduki 30 kursi dari 85 kursi di DPRD DKI Jakarta, namun dalam pemilihan Ketua DPRD DKI periode 1999-2004, Senin (13/9) calon dari FPDI-P Tarmidi Suhardjo gagal terpilih. Yang justru terpilih adalah Mayjen Eddy Waluyo dari fraksi TNI/Polri yang di Dewan hanya memiliki 9 kursi, dengan meraih 40 suara. Kekalahan Tarmidi atau kemenangan Eddy tersebut disambut kemarahan sejumlah simpatisan PDI-P, dengan menendang-nendang kursi dalam ruang rapat. Dengan mengucapkan kata-kata kasar, mereka merasa dikhianati oleh para wakilnya di DPRD DKI. Dalam pemungutan suara, Eddy meraih 40 suara mengungguli Djafar Bajeber dari fraksi PPP(30 suara), HM Suwardi dari fraksi PAN(O), dan Tarmidi Suhardjo yang hanya meraih 9 suara. Lima kertas suara tidak sah, karena dianggap rusak. Kemenangan Eddy Waluyo ini diperkirakan akibat 20 anggota dari fraksi PDI-P membelot memilih calon dari TNI/Polri tsb. Eddy Waluyo tak mungkin jadi Ketua, kalau tidak dapat suara dari PDI-P, ujar Edi Taheni, seorang kader PDI-P. Selain disambut kemarahan simpatisan PDI-P, kemenangan Eddy juga disambut rasa kesal kalangan Poros Tengah (PPP, Partai Keadilan, PBB dan PAN). Kelompok Poros Tengah DPRD DKI yang dimotori Djafar menilai kemenangan Eddy Waluyo adalah kekalahan pro-reformasi, yang menginginkan perubahan dan menghapus status quo. Abdul Aziz Mastur dari FPK, Mardjuan Bakri dan H.Syamsuardi Botan dari PAN, serta Saud Rahman dari FPP menjelaskan, bahwa perolehan suara Djafar menunjukkan kelompok Poros Tengah sangat solid dan reformis, karena memberikan suara kepada tokoh reformis secara bulat. Kita sangat menyesalkan kekalahan kubu reformis. TERLAMBAT Kemenangan Eddy sebenarnya sudah bisa diperkirakan sejak awal, karena diduga dia akan mendapat suara dari PDI-P yang tidak solid. "Keanehan" FPDI-P terlihat sejak awal rapat, dimana mereka terlambat hampir satu jam hadir di ruang sidang, dari jadwal yang ditetapkan pukul 10.00. Sebelumnya mereka disibukan rapat intern. Begitu pula saat pemungutan suara dilangsungkan, anggota FPDI-P tampak sibuk berbisik-bisik satu dengan lainnya, seperti mereka tidak yakin dengan suara mereka, bahkan Ketua DPD PDI-P, Roy BB Janis --bukan anggota DPRD DKI-- tampak menyaksikan rapat pemilihan Ketua DPRD DKI. Dia juga tampak memberi pengarahan kepada anggota fraksi dari pinggir ruangan. Puluhan kader PDI-P yang menyaksikan rapat pemilihan itu sangat antusias memberi semangat kepada wakil mereka di Dewan. Saat perhitungan suara, saat nama Tarmidi Suhardjo disebut, mereka bertepuk tangan. "Hidup PDI-P! Hidup demokrasi!", serunya. Jika yang disebut nama Eddy, mereka meneriakkan, "Huuu..! Tidak reformis. Dapat beras!" Namun saat perhitungan suara selesai, ternyata Eddy mengantongi suara terbanyak, sehingga puluhan simpatisan PDI-P marah. Mereka berteriak-teriak, sambil mengumpat dan menendang kursi di dalam ruang rapat. "Saya ini 20 tahun berjuang untuk demokrasi dan PDI-P. Mengapa wakil-wakil rakyat itu membelot dengan memberi suara kepada status quo? Wakil dari DPRD DKI harus dicopot. Kami akan memberi pelajaran kepada wakil dari DPRD DKI," teriak seorang laki-laki kader PDI-P. Massa akhirnya dapat ditenangkan oleh satuan tugas PDI-P. Atas kekalahan FPDI-P di DPRD DKI Jakarta, terdengar berbagai macam reaksi kurang menguntungkan bagi anggota-anggota FPDI-P di DPRD DKI Jakarta. Diantaranya; TIDAK SOLIDNYA PDI-P Pengamat politik dari CSIS J.Kristiadi mengatakan, kegagalan FPDI-P meraih Ketua DPRD DKI Jakarta, makin menjelaskan bahwa kemenangan PDI-P lebih disebabkan emosi rakyat, bukan kehebatan organisasi. Di masa kampanye fenomena itu terlihst bagaimana besarnya spontanitas rakyat dibanding pengorganisasian yang dilakukan partai. Saya kira tugas berat pimpinan PDI-P sekarang adalah metani (memilah-milah) satu persatu calon anggota legislatifnya. Ini harus segera dilakukan agar kejadian di DKI Jakarta tidak merembes ke Senayan. Sedang Ketua PPW-LIPI Mokhtar Pabotinggi menambahkan, kegagalan PDI-P merebut kursi pimpinan DPRD DKI Jakarta, karena penyaringan orang (calon) yang kurang selektif. Ini bukan gejala baru, karena banyak protes dilakukan ketika, nama calon diajukan oleh PDI-P. Dikatakan kegagalan itu bisa menjadi indikator tidak solidnya PDI-P pada SU MPR nanti. PELAJARAN BAGI SEMUA PARTAI Lain pula yang dikatakan Ketua Umum PKB, Taufiqurrahman Saleh. Ia mengatakan bahwa ini fenomena kurang baik yang diperlihatkan anggota DPRD FPDI-P. Menjadi pelajaran berarti buat semua partai, termasuk PKB. Kegagalan ini mcnarik untuk terus diikuti, namun dukungan kami belum berubah. Tapi apakah dukungan itu akan berlanjut sampai ke SU MPR, kita akan menguji lebih lanjut perkembangan kasus ini. Fungsionaris Balitbang PDI-P,Yacob Tobing menolak indikasi adanya praktek politik uang, maupun tidak bermutunya anggota FPDI-P dalam melakukan bargaining politik dalam pemilihan Ketua DPRD DKI. Dalam politik selalu ada pertimbangan, objektif dan kejadian tsb mempunyai hubungan dengan tatanan yang lebih luas lagi. KEKALAHAN PDI-P ATAS INSTRUKSI MEGAWATI Umumnya penilaian pakar politik, sebab dari kekalahan FPDI-P kurang tepat. Pakar itu umumnya hanya melihat dari luar saja. Ketidak tepatan sebab kekalahan PDI-P dan kemenangan Eddy Waluyo itu telah dibuka rahasianya oleh Tarmidi Suhardjo sendiri, yang dicalonkan jadi Ketua DPRD DKI oleh FPDI-P. Hal itu diungkapkannya dalam Kompas (15/9). Diberitakan bahwa kekalahan PDI-P untuk memenangkan Kursi Ketua DPRD DKI 1999-2004, ternyata disengaja. Pada saat pemilihan berlangsung, Ketua Umum DPP PDI-P Megawati Sukarnoputri telah menginstruksikan agar suara FPDI-P dilimpahkan kepada Mayjen Eddy Waluyo dari fraksi TNI/Polri. Strategi itu dimaksudkan sebagai bargaining politik dalam memuluskan langkah Megawati sebagai presiden mendatang. Demikian dikemukakan Ketua FPDI-P Tarmidi Suhardjo kepada wartawan, Selasa,menanggapi kekecewaan simpatigan dan kader partai atas pelimpahan 20 suara ke fraksi TNI/Polri, sehingga calon dari FPDI-P, kalah. Pelimpahan suara FPDI-P ke Eddy Waluyo menjadi Ketua DPRD DKI atas instruksi Megawati Sukarnoputri. Dengan memenangkan Eddy Waluyo, FPDI-P berharap dapat tambahan satu suara dari utusan daerah, sehingga bisa memuluskan Megawati ke tangga presiden. NAIKNYA EDDY, JUSTRU KEBIJAKAN PDI-P Sejalan dengan keterangan Ketua FPDI-P DKI Jakarta, Tarmidi Suhardjo, maka Roy BB Janis, Ketua DPD PDI-P Jakarta, mengatakan" Kebijakan tsb adalah kebijakan partai pada detik-detik terakhir, dalam percakapannya dengan wartawan Rakyat Merdeka (16/9). Roy BB Janis lebih lanjut menjelaskan bahwa tampilnya Eddy Waluyo, justru kebijakan DPP PDI-P dan itu membuktikan suara PDI-P benar-benar bulat, serta menunjukkan kedisiplinan para anggotanya. Dinaikkan Eddy Waluyo, sekaligus untuk menghambat calon dari Poros Tengah. Bila PDI-P tetap bertahan dengan calonnya, dipastikan PDI-P bakal kalah oleh Poros Tengah. Dan itu akan menghambat laju langkah Megawati Sukarnoputri di SU MPR mendatang. MAU BAGI-BAGI KEKUASAAN Berkenaan dengan Megawati "menjual " suara kepada TNI ini, maka Feisol Reza, fungsionaris PRD kepada Rakyat Merdeka (17/9) mengatakan bahwa menurut saya ada semacam konspirasi politik antara FDI-P dengan TNI. Karenanya sangat mungkin, antara kedua fraksi sepakat bagi-bagi kekuasaan. Memang itu sah-sah saja. Tapi bagi saya, ini menunjukkan PDI-P tidak konsisten sebagai partai reformis. Mereka salah memilih teman. PDI-P merangkul tentara untuk mengedepankan program mereka, yaitu naiknya Megawati jadi presiden. PDI-P selama ini dianggap organisasi yang memperjuangkan aspirasi rakyat dan paling demokratis. Tapi dengan konspirasi tsb PDI-P tidak akan dipercayai rakyat. Akan timbul protes-protes dari arus bawah yang akan mendemo DPP PDIP karena dianggap sudah menyimpang dari jalur. ARTI INSTRUKSI MEGAWATI Instruksi Megawati agar fraksi PDIP di DPRD DKI Jakarta melimpahkan suaranya kepada Eddy Waluyo dari Fraksi TNI/Polri yang "menghebohkan" itu, hanya akibat dari tertutupnya politik Megawati sendiri. Jika politik Megawati terbuka, baik kepada umum apalagi kepada anggotanya sendiri, tentu hal yang menghebohkan itu tidak akan terjadi. Ketertutupan politik PDI-P yang berbagi kekuasaan atau berkoalisi dengan TNI, yang selama ini tertutup, kini telah dibukakannya melalui instruksi Megawati itu. Sebagai alasan untuk berkoalisinya PDI-P dengan TNI telah dikemukakan Roy BB Janis bahwa "Kita (PDI-P) melihat TNI yang sekarang harus dengan paradigma yang baru dan perlu diingat TNI mempunyai kepentingan yang sama dengan FDI-P, yaitu menjaga persatuan dan kesatuan bangsa." Karena itu pula lah maka Roy membantah anggapan bahwa PDI-P bersikap pro status quo, dengan memilih Ketua DPRD DKI dari Fraksi TNI, bukan dari sipil(RM, 16/9). Tampaknya karena itu jugalah maka Megawati tidak nyaring suaranya untuk mencabut dwifunngsi ABRI, seperti yang menjadi tuntutan gerakan reformasi. Karena menurut PDI-P kepentingan PDI-P dengan TNI sama menjaga kesatuan dan persatuan bangsa. Inntruksi Megawati sekaligus memukul Poros Tengah, yang selama ini berusaha menjegal Megawati agar jangan sampai jadi presiden. Instruksi Megawati untuk memenangkan calon dari Fraksi TNI/Polri, juga telah membikin bimbang dan ragunya PKB, untuk melanjutkan kerjasama dengan Megawati, seperti yang disuarakan Taufiqurrahman Saleh di atas. Semuanya itu akan berpengaruh dalam proses pemilihan presiden dalam SU MPR mendatang. Belum lagi seperti diperkirakan sementara pakar, bahwa anggota legislatif dari FDI-P tidak solid, serta kemungkinan terjadinya politik uang akan menyebabkan makin mengecilnya suara untuk Megawati. Dan yang tak kurang berkesannya ialah, instruksi yang terasa mendadak dari Megawati di atas ialah sekiranya Megawati berkuasa, ia bisa juga menjadi seorang yang otoriter. KESIMPULAN Politik tertutup Megawati selama ini, dapat menjadi sumber konflik di kalangan PDI-P sendiri, juga dalam kerjasama PDI-P dengan partai-partai lain. Itu ditunjukkan dengan sambutan marah secara spontan dari simpatisan PDI-P tatkala jagonya, yaitu Tarmidi Suhardjo kalah. Dan juga belum tentu Tarmidi Subardjo sendiri, menerima begitu saja disingkirkan dari pencalonannya sebagai Ketua DPRD DKI Jakarta, meskipun secara formal ia mematuhinya. Dalam hatinya siapa yang tahu. Begitu pula keraguan dan kebimbangan senantiasa akan menggoda partai lain dalam bekerjasama dengan PDI-P Megawati, seperti suara yang dilontarkan PKB Jakarta di atas. Ketertutupan politik PDI-P Megawati selama ini, akhirnya akan merugikan PDI-P sendiri.*** ---------- SiaR WEBSITE: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/siarlist/maillist.html