Precedence: bulk


CATATAN PERJALANAN DI BUMI LOROSA'E (6)

Dear Joko dan Riri,

Aku ingin mengabarkan, bahwa sudah beberapa hari aku kembali dari Bumi
Lorosae. Aku memang pantas bersyukur karena berhasil lolos dari maut. Aku
memang terlepas dari mara bahaya pada hari Senin, 6 September lalu. Tapi,
terus terang, saat itu aku nggak bisa melukiskan perasaanku ketika pesawat
menderu dan meninggalkan Bandara Comoro. Saat itu aku pun tak lagi mampu
mengintip ke luar jendela sebagaimana kebiasaanku jika bepergian dengan
pesawat terbang. Dari atas pesawat aku tak melihat awan yang indah. Aku
hanya melihat bangunan yang membara di mana-mana dan asap tebal membubung.
Bener, Ri, aku merasa pedih dan putus asa karena aku tahu dan telah menjadi
saksi atas pembunuhan dan  pembantaian terhadap rakyat sipil di Timor
Lorosae. Tapi, aku hanya diam saja. Bahkan aku malah meninggalkan tempat itu. 

Sesungguhnya aku nggak ingin mengingat-ingat pengalamanku pada saat-saat
terakhir aku berada di sana. Tapi  aku harus menceritakannya, agar kalian
tahu apa yang sesungguhnya terjadi di sana. Aku ingin kalian tahu apa yang
terjadi di Bumi Lorosae setelah mayoritas rakyat di sana menolak otonomi
luas yang ditawarkan Indonesia. 

Ancaman atas keselamatan siapa yang masih berada di sana memang telah berada
di pelupuk mata beberapa jam setelah tanggal 4 September lalu.  Itulah
sebabnya, rakyat Timor Lorosae segera bergegas pergi meninggalkan rumah
begitu mereka pulang dari polling station. Tak heran jika beberapa temanku
menyuruh aku segera meninggalkan Bumi Lorosae secepat mungkin, sebelum hasil
referendum  diumumkan. Aku tak bergeming atas semua saran itu. Aku masih
sempat bercanda pada kakakku yang khawatir, "Aku akan pulang jika diusir
milisi dan tentara." Ia hanya tertawa lirih ketika mendengar keputusanku.
Kalian tahu bahwa aku telah memutuskan untuk menetap di Bumi Lorosae. Aku
ingin melakukan sesuatu, bekerja apa saja di sana setelah mereka  terlepas
dari penjajahan Indonesia. 

Aku sudah menceritakan apa yang terjadi pada hari-hari terakhir dalam surat
terakhir dari Bumi Lororsae. Setelah itu aku tak sempat lagi bertemu dengan
Manuel, Neves, Jose maupun Ronaldo. "Aku mau pamit," kata Neves, serius.
Semua tempat telah diporak-porandakan oleh milisi dan tentara. Itu kata-kata
terakhir Neves. Lidahku kelu saat itu. Tak biasa dia bertutur demikian
serius. Aku pun tak tahu ke mana Neves pergi. Dan aku pun tak bisa
membayangkan apa yang dirasakan Ronaldo ketika kantornya, Yayasan Hak
diluluh-lantakkan oleh tentara Indonesia. Aku pun tak tahu dari mana Ronaldo
menulis surat. Ia menceritakan pengalamannya itu pada selembar kertas yang
lusuh, yang ia titipkan pada seorang jurnalis asing yang kami kenal di sana.
Apa yang dia alami sungguh membuat kita, yang punya otak dan nurani marah.
Hanya itu yang kita rasakan. Tak ada lagi rasa takut ketika kantor yang
berada di kawasan Farol itu diserang dan ditembaki oleh tentara dan milisi.

Tanggal 3 September, Kantor SGI (Satuan Gabungan Intelijen) di sebelah
Gedung Yayasan HAK, di Jalan Gov. Serpa Rosa T-095 Dili, Timor Lorosae,
sejak pagi mulai memindahkan seluruh barang dan peralatan. Namun, pada sore
harinya sejumlah orang masuk kembali dengan membawa sejumlah barang.
Keesokan harinya, rumah perwira AU di depan kantor Yayasan HAK mulai
ditinggalkan penghuninya. "Pantas saja kawasan di tepi pantai itu berubah
jadi sunyi," katanya. 

Kegiatan di kantor Ronaldo itu tak surut meski ancaman lewat telepon sering
datang. Ya, aku tahu kantor Yayasan Hak selalu menjadi tumpuan harapan bagi
rakyat yang diinjak-injak hak asasinya. Kenapa mereka tak segera pergi dari
sana, begitu pasti kalian bertanya. Aku jadi ingat jawaban Antonio beberapa
waktu sebelum kantor mereka diserbu, "Kepada siapa rakyat sipil akan
mengadukan kesewenang-wenangan dari mereka yang berkuasa." Memang, mereka
telah siap jika aparat datang untuk menghancurkan apa saja yang ada di depan
mata milisi dan tentara Indonesia.  Mereka telah berjaga-jaga dan
mengabarkan pada siapa saja apa yang bakal terjadi.  

Mereka baru saja selesai makan malam bersama dan segera melanjutkan
pekerjaan ketika sekitar pukul 21.00 tampak seorang lelaki memarkir motor di
dekat kantor. "Ia tampak membawa senjata api." Pada saat yang hampir
bersamaan di depan kantor lama Yayasan ETADeP, Jalan Gov. Serpa Rosa T-028,
sekitar 100 meter di sebelah kantor Yayasan HAK mulai tampak sekitar 10
orang anggota TNI. Mereka tampak berjaga-jaga. Dari arah timur terdengar
deru sepeda motor dan mobil. Di depan kantor melintas dua motor dan dua
mobil (satu pick-up dan satunya tertutup), kemudian dua motor itu berhenti.
Dua mobil itu diparkir tak jauh dari kantor. Terdengar suara lemparan ke
arah kaca depan. Sekitar 5 orang melompat pagar, berteriak-teriak dan
kemudian menembak ke segala arah dengan senjata api. Sekali terdengar
tembakan dari senjata rakitan dan untuk seterusnya senjata api otomatis.

Lemparan dengan batu berukuran besar itu semakin gencar setelah sekitar 30
orang milisi datang. Tembakan pun terdengar semakin gencar. "Jika kamu
berada di sana, kamu pasti seperti tengah nonton film perang, tapi kita
duduk terlalu dekat dengan layar," begitu tulis Ronaldo. Akibat lemparan
batu dan tembakan itu kaca jendela kantor di lantai 1 dan 2 pecah
berkeping-keping. Setelah itu terlihat datang beberapa anggota TNI dari arah
kantor SGI yang terletak di samping kiri gedung Yayasan Hak. Setelah para
milisi itu beraksi kemudian menyusul 3 unit mobil, yang masing-masing adalah
Kijang pick up berwarna putih, Kijang Super berwarna putih, dan Kijang
berwarna Hijau. Ketiga mobil tersebut berhenti tepat di depan kantor. 

Tampak jelas, beberapa anggota milisi yang tidak membawa senjata api mulai
mencuri empat sepeda motor milik staf Yayasan HAK (Mega Pro, dua GL Pro, 1
Suzuki Satria warna merah). Mereka mengangkat sepeda motor Honda Mega Pro
dan Suzuki Satria ke luar karena pintu pagar terkunci. Kemudian ada dua
orang berusaha menghancurkan rantai pagar dengan palu berukuran besar.
Setelah pintu terbuka motor yang tersisa dituntun keluar. Sementara beberapa
orang mengeluarkan sepeda motor, seorang lainnya sekali-sekali melepaskan
tembakan senjata api ke udara.

"Karena keempat motor terkunci, mereka merusakkan kunci agar motor bisa
dikendarai." Kemudian para penjarah berusaha mengambil mobil Daihatsu. Salah
seorang dari mereka masuk mobil dan berusaha menyambung kabel agar mesin
mobil bisa bekerja. Tetapi upaya ini gagal. Sementara tembakan ke udara
dengan senapan api juga disertai dengan lemparan batu ke arah gedung.
"Kendaraan roda dua itu mereka parkir di halaman Kantor SGI. Kemudian,
terlihat empat lelaki berbicara dengan pencuri motor itu. Tak lama kemudian
3 motor itu dikembalikan dan diparkir di depan kantor."  Setelah itu, ketiga
mobil Kijang itu meninggalkan kawasan Jln. Gov. Serpa Rosa bersama sejumlah
milisi Aitarak. Sisanya berjalan kaki menuju kantor SGI. Sambil meninggalkan
tempat, mereka tetap menembakkan senjata otomatis ke udara. Jadi, kalian
tahu, mereka tak hanya mengintimidasi tapi juga merampok. Selama aksi yang
berlangsung hingga pukul 21.50 saluran listrik di kawasan itu dipadamkan.
Dan selama itu pula ada tiga anggota TNI yang mengawasi aksi penyerangan
kantor Yayasan HAK tersebut. 

Sedetil itulah Ronaldo menceritakan penyerangan oleh milisi dan tentara
Indonesia. Kalian tahu, dari sudut-sudut di gedung itu kita bisa melihat ke
segala arah. Dan, mereka yang malam itu berada di kantor Yayasan Hak pasti
tak mungkin diam berpangku tangan. Teman-teman itu melihat, menyaksikan dan
mencatat bagaimana polah aparat yang bersenjata itu. "Beberapa anggota
milisi Aitarak itu ada yang saya kenal."  

Sekitar pukul 23.00 baru datang pasukan Brimob dan beberapa orang berpakaian
preman di depan dan di samping Kantor Yayasan HAK. Mereka berteriak,
"Penghuninya sudah mengungsi, ya!" secara bersahut-sahutan. Yang pasti,
mereka tahu persis di mana para pekerja di kantor itu berada. "Sebelum
serangan datang, telepon berwarna merah itu berdering tiga kali. Tapi ketika
gagang telepon diangkat, orang di seberang segera mematikan," kata Ronaldo.
Mereka pasti hanya memastikan kantor itu masih berpenghuni atau sudah sepi.
Setelah tahu pasti yang datang adalah rombongan Brimob salah seorang relawan
Yayasan HAK bertanya siapa yang datang. Setelah ada negosiasi di antara
mereka, salah seorang dari mereka diminta turun. "Aduh, bagaimana nggak
panik, begitu membuka pintu saya ditodong dengan senjata api. Alasannya,
kalau-kalau ada serangan dari dalam." Aduh, tololnya mereka. Bagaimana
mungkin ada serangan dari dalam karena justru mereka jelas-jelas diserang
oleh aparat bersenjata. 

Aku bisa menduga, pasukan Brimob itu datang karena pihak aparat di Timor
Lorosae mendapat tekanan lewat telepon dari mana-mana. Ketika serangan
datang oleh aparat bersenjata itu dunia memang telah mengetahui. Para
jurnalis pun telah tahu apa yang tengah terjadi. Begitu aparat disilakan ke
lantai 2, mereka tak menanyakan apa yang terjadi tapi menanyakan, "Siapa
ketuanya?" baru kemudian satu lelaki berpakaian preman menanyakan, "Mana
orang asing itu?" Saat itu, lanjut Ronaldo, memang ada dua orang asing di
sana. Brimob dan lelaki berpakaian preman itu menanyakan agar dua orang
asing yang berada di kantor Yayasan HAK diamankan di Mapolda. Tapi kedua
orang asing relawan berkewargagaan negara Inggris dan asal  Amerika itu tak
mau meninggalkan kantor Yayasan HAK. Dari cerita Ronaldo itu kita bisa tahu,
pihak aparat hanya peduli pada orang asing. Mereka yang bukan orang asing
tak lagi dianggap sebagai manusia. Mau mati kek, mau pingsan kek, mereka tak
peduli. 

Kepada petugas itu, direktur Yayasan HAK meminta pengamanan kantor dan orang
di dalam kantor. Si petugas mengatakan, "Kami hanya diminta mengamankan
orang asing. Kalau Anda minta pengamanan Anda harus minta langsung kepada
Kapolda." Tiga orang pengurus Yayasan HAK kemudian bermaksud ke Mapolda.
Tapi di pintu pagar, petugas menghalangi. Salah seorang dari mereka
mengatakan, "Semua orang harus berangkat ke Polda. Kalau tidak mau, kami
akan bawa dua orang asing itu." Direktur Yayasan HAK mengatakan akan meminta
Kapolda mengamankan seperti yang dikatakan petugas sebelumnya. Mereka
semakin mendesak agar orang asing itu mau dibawa ke Mapolda. "Kalau tidak
mau dibawa ke Polda, Anda harus membuat pernyataan bertanggungjawab atas
nasib kedua orang asing itu," kata salah seorang dari mereka. Direktur
Yayasan HAK mengatakan, bahwa dirinya tidak bisa memaksa orang asing itu
untuk ke Polda. Kemudian ketiga orang pengurus Yayasan HAK berunding dengan
para staf dan relawan yang berada di dalam gedung. Dari luar terdengar suara
atap yang dilempari batu. Perundingan memutuskan mengikuti kemauan petugas
untuk diamankan di Polda. "Kami mau diajak ke Polda karena salah seorang
petugas mengatakan, besok pagi bisa kembali lagi."

Para petugas dengan menyuruh semua orang untuk cepat-cepat pergi. Aparat itu
tak memberi kesempatan siapa saja yang ada di sana untuk berbenah. Dari
dalam gedung terdengar suara lemparan-lemparan batu yang mengenai atap.
Petugas juga berteriak-teriak, "Cepat! Cepat! Lainnya menimpali, "Tinggal
saja! Tinggal saja!" Bahkan, ketika mereka sudah berada di atas truk milik
polisi, aparat dengan garang segera menyuruh segera cepat-cepat pergi. Nina
masih ingat betul apa kata aparat ketika mereka menunggu Wawan yang kakinya
pincang, "Tinggal saja kalau lama." 

Pada saat direktur, staf dan relawan keluar gedung, di jalan terlihat
sekitar sepuluh orang anggota milisi Aitarak. Salah seorang dari mereka
bahkan melakukan tos dengan seorang anggota Brimob. Tiga orang pengurus
mengendarai mobil milik Yayasan HAK dan selebihnya diangkut dengan truk
Brimob. Dalam perjalanan ke Mapolda rombongan berpapasan dengan
anggota-anggota milisi yang memberi salam kepada para anggota Brimob. Dari
cerita ini kalian pasti semakin paham bagaimana hubungan antara tentara
Indonesia dengan milisi. Ya, mereka memang bekerjasama dalam melakukan
tindak kekerasan. 

Sebagaimana kita tahu, di kantor polisi kita malah merasa tak aman. Begitu
juga mereka.  Di Mapolda, di kawasan Comoro itu mereka ditempatkan di posko
Hanoin Lorosae. Mereka melewatkan malam yang dingin itu di sana. Mereka tak
dipersilakan melepas lelah di dalam ruangan. Satu per satu mencari tempat
yang layak, di teras kantor itu untuk mencoba tidur. Mereka melupakan rasa
takut karena bunyi tembakan yang terus-menerus di sekitar kantor itu. Sekali
lagi, tutur Ronaldo, hanya dua orang asing itu yang dipersilakan tinggal di
dalam kantor. Tapi, ketika hari beranjak pagi ada seorang polisi yang agak
manusiawi. Ia menyuruh sebagian dari mereka tinggal di dalam.  Dari teras
itulah mereka melihat beberapa anggota milisi berjalan ke luar Mapolda. 

Esok paginya berdatangan anggota milisi Aitarak. Di antara mereka ada yang
membawa senjata rakitan, ada yang membawa senjata tajam. Sekitar pukul 09.00
pagi tanggal 6 September 1999 datang komandan milisi Aitarak yang juga
menjabat sebagai Wakil Panglima Pejuang Integrasi, Eurico Guterres. Ia
berpakaian loreng militer seperti anggota TNI, berbaret merah yang dihiasi
tali berwarna merah-putih, membawa senapan otomatis M-16 dan tiga magasin
peluru yang menempel pada badannya. Ia didampingi dua orang yang juga
berpakaian loreng berbaret merah membawa senapan otomatis. Salah seorang
dari mereka juga membawa granat. Ia dikenal sebagai anggota Batalyon 745 TNI
yang berlokasi di Lospalos, yang telah dipindahkan ke Korem. 

Joko dan Riri, aku pernah cerita pada kalian bahwa rakyat yang mengenakan
simbol bendera merah putih di Bumi Lorosae, karena mereka ingin selamat.
Mereka akan dianggap sebagai pendukung otonomi yang pro-Indonesia. Lalu,
bagaimana jika merah putih diikatkan pada ujung senjata tajam? Di ujung
senjata otomatis itu dipitakan kain merah putih?  Inikah simbol pendukung
otonomi? Kalian tahu, ketika aku mengunjungi Jakarta saat marak demonstrasi
mahasiswa menentang UU Pengendalian Keadaan Bahaya, aku jadi amat ketakutan.
Kenapa, coba? Saat itu, aku berpapasan dengan rombongan mahasiswa, yang
mengenakan ikat kepala merah putih dan dari atas bus mereka mengibarkan
bendera merah putih. Saat itu, tiba-tiba aku seperti tengah berada di antara
para milisi yang akan menyerang aku. Jujur saja, aku jadi benci dengan
simbol merah dan putih. 

Sekitar setengah jam kemudian, Eurico Guterres dan anak buahnya datang lagi
ke Polda. Kali ini ia menghampiri Direktur Yayasan HAK dan menawarkan
bantuan pengamanan sampai Atambua. Aniceto, direktur Yayasan HAK mengatakan,
belum memutuskan mau ke mana. Eurico Guterres mengatakan supaya jangan
takut. Kemudian ia pergi menuju mobilnya. Tapi salah seorang anak buahnya
datang kembali dan memaki-maki Direktur Yayasan HAK dan memintanya
menyerahkan telepon selulernya. Eurico Guterres lalu melarangnya. Mereka pun
pergi. "Melihat kelakuan Eurico Guterres saat itu saya malah iba. Saya tak
takut pada dia,"  tulis Ronaldo. Iba? "Ia ingin tampil seperti Falintil.
Mungkin ia ingin menjadi anggota Falintil." 

Sekitar pukul 10.00 datang seorang milisi berpakaian loreng memakai rambut
palsu panjang kemerahan. Matanya semburat merah. Jalannya oleng. Ia
mendatangi orang-orang dari Yayasan HAK. Ia marah-marah dan mengatakan,
bahwa mahasiswa-mahasiswa yang membuat rakyat menderita. Mereka telah
disekolahkan oleh Indonesia, tapi setelah pulang ke Timor Timur malah
berpolitik, sehingga membuat rakyat saling bermusuhan. Melihat sebagian dari
rombongan bermuka bukan Timor Timur, ia kemudian bertanya, "Mahasiswa?!"
Dijawab, "Bukan!" Tanya lagi, "Wartawan?!" Dijawab, "Bukan! Pekerja hak
asasi" Ia pun marah-marah, "Timor Timur tidak ada HAM!" Ia melanjutkan
maki-makiannya sambil ngeloyor pergi. Petugas-petugas kepolisian mendiamkan
saja perbuatan anggota milisi itu.

Pada hari itu, mereka menyaksikan bagaimana tingkah-polah milisi di kantor
Mapolda itu. Ada yang dengan bebas membawa jerigen berisi bensin di depan
mata polisi pula. Untuk apa bensin itu? Untuk apa lagi kalau bukan untuk
membakar semua bangunan yang ada di kawasan Dili dan sekitarnya. Mereka pun
menyaksikan bagaimana milisi dan polisi mengendarai motor yang mereka curi
dari halaman kantor Yayasan Hak, setelah plat nomernya dilepas. "Aku yakin,
barang-barang yang ada di kantor telah mereka rampok. Nggak mungkin mereka
hancurkan. Siapa yang nggak ngiler melihat begitu banyak komputer dan barang
berharga di kantor kami," lanjut Ronaldo. Dan itu sudah bisa diduga, tentara
dan milisi itu melancarkan aksinya begitu mereka berada di Mapolda. Apa yang
dibayangkan Ronaldo menjadi kenyataan. Keesokan paginya, salah seorang teman
Ronaldo ke kantor diantar salah kenalannya, seorang anggota milisi. Ia tak
sanggup berkata-kata ketika menyaksikan apa yang terjadi. "Semua lemari dan
meja dijungkir-balikkan, kertas berserakan di mana-mana. Barang yang
berharga sudah tak ada lagi." Kamu pasti marah besar jika mendengar
bagaimana polisi berkomunikasi lewat handy talkie. Ketika suara dari
seberang mengabarkan, salah satu gedung sebuah bank dibakar, petugas jaga
itu menjawab enteng, "Ya, yang punya utang 'kan nggak perlu bayar lagi."
Kalian jangan berharap berlebihan, mereka akan datang dengan mobil pemadam
kebakaran. 

Beberapa hari kemudian, aku mendapat kabar dari seorang jurnalis. Dia
berhasil memotret kantor Yayasan Hak. Gedung berlantai dua itu sudah tak
beratap karena dibakar. Temboknya terlihat hitam dan compang-camping. Begitu
juga bangunan yang ada di depan gedung itu, yang selama ini digunakan
sebagai posko bantuan untuk pengungsi. Kalian tahu, hanya dua bangunan itu
saja yang dibakar. Rumah dan bangunan di sekitar gedung itu tampak utuh. 

Membaca surat Ronaldo aku jadi teringat rumah tinggal kami. Sebelum aku
meninggalkan Bumi Lorosae aku sempat kembali ke rumah dengan tergesa-gesa.
Di sana aku menjumpai  Tia Flora bersama anak bungsu dan dua keponakannya.
Tante Flora yang meringankan pekerjaan kami di rumah itu memutuskan untuk
tinggal di rumah yang kami kontrak dari seorang tentara yang kembali ke
Jawa, jauh sebelum ada referendum. Aku tak sempat memeluk dan mencium
mereka. Kami memang pulang dengan tergesa. Kami tak sempat membereskan dan
membawa semua barang yang kami bawa dari Indonesia. Dan aku tak berani
menduga-duga, apakah mereka selamat jika memilih untuk tetap berada di
rumah? Lalu ke mana mereka pergi jika rumah kami pun dibakar sebelum semua
barang dijarah dan dirampok? 

Joko dan Riri, saat ini aku tak tahu ke mana sahabat-sahabatku berada.
Mungkin, mereka berada di hutan, mungkin juga mereka telah mati karena
dibunuh tentara yang berbaju ala milisi. Duh, aku tak sanggup menduga-duga
di  mana mereka ... Aku berjanji, suatu kali nanti aku pasti akan kembali ke
Bumi Lorosae. Di sana aku akan mencari tahu di mana sahabat-sahabatku itu ... 

Surat pertamaku dari Indonesia, 26 September 1999

Peluk dan Cium, 

Pratiwi

----------
SiaR WEBSITE: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/siarlist/maillist.html

Kirim email ke