Precedence: bulk Diterbitkan oleh Komunitas Informasi Terbuka PO Box 22202 London, SE5 8WU, United Kingdom E-mail: [EMAIL PROTECTED] Homepage: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/xp Xpos, No 43/II/28 Nopember-4 Desember 99 ------------------------------ 5000 PELURU BANDING 1 NYAWA (POLITIK): Tentara bersikeras terapkan 'darurat militer' di Aceh. Reaksi balik setelah jadi 'terhujat', atau supaya dapatkan dana operasional lebih besar? Jangan dulu mimpi perdamaian segera terwujud di Aceh. Belum lagi dimulai dialog antara pemerintah dengan para pemuka masyarakat Aceh -untuk membahas usulan referendum- militer dan polisi Indonesia sudah mulai mengambil jalan pintas. Sebanyak 876 polisi anti huru-hara, diberitakan telah dikirimkan ke Aceh untuk memperkuat aparat keamanan yang sedang bertugas di sana. Hal ini dikemukakan sendiri oleh juru bicara kepolisian RI, Kolonel (Pol.) Saleh Saaf, Rabu (24/11) lalu. Aparat keamanan berpendapat, pengiriman pasukan tambahan amat diperlukan untuk mengendalikan situasi di Aceh yang belakangan makin kacau. Dalam beberapa hari terakhir, menurut Kolonel Syarifuddin Tippe -yang bertanggungjawab terhadap keamanan di Aceh- telah enam warga sipil terbunuh dalam dua insiden berbeda. Empat orang ditembak mati (23/11), setelah sebelumnya diculik orang tak dikenal di desa Panga Pucok, Aceh Tengah. Dua lainnya terbunuh sehari setelahnya dalam sebuah aksi tembak-menembak -yang terakhir ini, tak diketahui identitas penembak maupun yang ditembak. Beberapa pihak, tak begitu meyakini cerita versi tentara ini. Karena dalam beberapa peristiwa baku-tembak, yang justru sering memulai provokasi terlebih dahulu adalah pihak militer Indonesia -kendati juga ada kekhawatiran, terompet perang justru ditiupkan oleh pihak Angkatan Gerakan Aceh Merdeka (AGAM) yang akan 'merayakan' ulang tahun deklarasi Aceh Merdeka pada 4 Desember nanti. Lepas dari itu, hal ini menunjukkan bukti untuk kesekian kalinya, tak ada kemauan dari pihak militer dan polisi untuk mengambil jalan damai bagi penyelesaian masalah Aceh. Saleh Saaf sendiri mengindikasikan akan mengirim lebih banyak pasukan ke bumi rencong, setelah pengiriman yang pertama. Sebelumnya, ketika berbagai kalangan akademis dan pemerintahan -termasuk Gus Dur dan Amien Rais- membicarakan kemungkinan diadakannya dialog dengan masyarakat Aceh, Kapolri beserta beberapa petinggi militer di dalam negeri justru mengusulkan diberlakukannya keadaan darurat di wilayah itu. Bahkan sejak awal, para petinggi militer memang telah menunjukkan kecenderungan menentang ide referendum. Segala wacana yang berkaitan dengan itu, ditolak, secara halus maupun tegas. Melalui Menteri Pertahanan Yuwono Sudarsono -belakangan sering bertindak sebagai juru bicara militer- diperkenalkan pula istilah "referendum dalam bingkai 'negara kesatuan RI", yang membuat referendum nyaris tak punya opsi apapun. Sikap anti dialog yang secara konsisten ditunjukkan oleh militer dan kepolisian ini, keruan saja membuat segala rencana penyelesaian damai bagi masalah Aceh jadi serba meragukan. Sejauh ini, Presiden Gus Dur memang masih menolak ide "keadaan darurat perang" di Aceh. Namun, jika tanpa pencermatan Gus Dur, satu per satu pasukan diterjunkan kembali ke Aceh, bakal sulit membedakan mana keadaan 'normal' dan keadaan 'darurat'. Posisi politik militer ini, tak bisa tidak, meninggalkan pertanyaan besar: mengapa harus terus menggunakan senjata, padahal pemberlakuan DOM (Daerah Operasi Militer) selama bertahun-tahun justru memperkuat resistensi rakyat Aceh? Beberapa pengamat berpendapat, yang ingin dipertahankan militer sebetulnya hanyalah 'pengaruh' politiknya yang belakangan memudar. Seperti diketahui, Selasa (23/11) lalu, Pansus DPR-RI untuk masalah Aceh telah mengumumkan niatnya untuk memanggil sejumlah mantan Panglima ABRI (kini TNI -red.) sehubungan dengan pelanggaran HAM yang terjadi di Aceh selama mereka memegang komando tertinggi. Dari Benny Moerdani, Try Sutrisno hingga Wiranto. Hal ini tentu membuat, pihak militer merasa makin terpojok. Dan untuk 'menjaga kehormatannya', mereka diperkirakan bakal melakukan sejumlah manuver politik. Selama ini, senjata merupakan monopoli militer -yang tak dimiliki oleh para politisi sipil. Maka, dengan itu pula militer akan menunjukkan superioritasnya. Mengatakan bahwa masalah Aceh hanya bisa diselesaikan secara militer, secara tidak langsung mengatakan hanya militerlah yang bisa diandalkan. Itu bisa diartikan peringatan bagi politisi sipil untuk tak terlalu memojokkan mereka. Pendapat lain menganggap, operasi militer memang selalu diinginkan militer, karena itu berarti keleluasaan mereka melanjutkan pemanfaatan dana operasional. Jika keadaan normal, praktis tak banyak biaya yang dibutuhkan oleh militer. Menurut pengamat politik Hermawan Sulistyo, dana yang dikelola militer sedemikian besarnya, sehingga mereka terbiasa melakukan pemborosan. "Ada satu penelitian yang mengungkap, tentara rata-rata menghabiskan 5000 peluru untuk satu nyawa di Timor Timur," ujarnya pada Xpos. Apakah Aceh dimaksudkan sebagai proyek pengganti Timor Timur yang sudah merdeka, tak ada jawaban pasti -setidaknya dari militer. Yang pasti, sikap ini membuat sulit segala upaya beradab untuk mencari solusi bagi masalah Aceh. Ini pun mempersulit Gus Dur yang terlanjur membentuk kabinet kompromistis. Ia akan dihadapkan pada persoalan, sejauhmana batas sikap komprominya pada militer, dimana prinsip damai yang melatari kebijakannya ditentang oleh militer? (*) --------------------------------------------- Berlangganan mailing list XPOS secara teratur Kirimkan alamat e-mail Anda Dan berminat berlangganan hardcopy XPOS Kirimkan nama dan alamat lengkap Anda ke: [EMAIL PROTECTED] ---------- SiaR WEBSITE: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/siarlist/maillist.html