Precedence: bulk Hersri Setiawan: Surat dari Negri Kincir untuk Mas Wahana dan Bang OHD BARANGKALI baris sajak Hr. Bandaharo (alm.) itu, bagi sementara teman, sekarang ini waktunya untuk dilempar jauh- jauh: "tak seorang berniat pulang". Siapa tidak berniat pulang? Benarkah itu? Akan terjadikah "eksodus" orang pulang kampung? Jadi, akankah terjadi "banyak orang berniat pulang"? Baiklah, silakan! Seperti juga demikian kata Presiden Gus Dur: Silakan! Ya, akan banyak barangkali orang berniat pulang. Tapi titik. Sampai di situ sajalah! Jangan diperpanjang lagi dengan satu baris berikut, "walau mati menanti", agar kita tetap bersikap realistis. Sudah banyak kata-kata sambutan, menyukuri berita tangan terbuka Presiden Gus Dur membolehkan pulang "para pejuang". Berita pertama tentang perihal ini aku terima dari dua sumber, tak lama sesudah Presiden Gus Dur mengucapkan kata-kata pembolehan pulang "para pejuang" itu. Satu dari Bang OHD, yang lain dari rekan Margot Cohen - wartawati FEER itu. "Gogo" ini malah melanjutinya dengan beberapa butir pertanyaan. Tentu saja ia mulai dengan sepatah pertanyaan yang sangat mendasar: "Bagaimana perasaanmu?" Jawabku: "Tentu saja aku senang." Tapi aku tidak bersorak sorai. Aku bahkan langsung teringat dan membandingkan dengan berita "perkenan kepulangan ke Jawa" ketika kami masih di Pulau Buru. Menghadapi saat "pembebasan" yang sudah nyaris terlupakan, karena sepatah kata "bebas" sudah menjadi semacam rumus doa belaka itu, ternyata ada berbagai macam reaksi. Ada banyak teman yang bersorak-sorai, ada sementara yang menghadapinya sebagai kejadian politik yang wajar-wajar saja, dan (mungkin lebih tepat: tapi) bahkan ada yang - nah di sini dua baris sajak Hr. Bandaharo itu boleh dikutip penuh: "tak seorang berniat pulang walau mati menanti" Tentu saja aku tulus berterimakasih pada Gus Dur sebagai Manusia, dan percaya penuh pada kebijakan kepemimpinannya sebagai Presiden. Tapi aku juga sadar, bahwa ada jarak antara Kata dan Perbuatan. Gus Dur Si Empunya Kata, sebagai Manusia dan sebagai Presiden. Memang! Tapi Perbuatan? Bukan hanya di tangan Gus Dur, baik sebagai Presiden apalagi sebagai Manusia! Dua hal mendasar memang patut disambut dan disyukuri dari kebijakan Presiden Gus Dur itu. Hal kesatu, bahwa para "pengembara politik" boleh pulang; dan hal kedua, bahwa para "pengembara politik" ini mendapat sebutan yang paling terhormat: Pejuang! Bagiku hal kedua ini jauh, sangat jauh, lebih penting ketimbang perihal "boleh pulang". Dengan sebutan terhormat itu, segala macam tanda selar (stigma) yang dipertautkan dengan "segala kejahatan dan kebusukan PKI dan cum suis"-nya - seperti pengkhianat, antiPancasila, ET dsb - jelas-jemelas dan tegas-tegas harus segera dibersihkan sama sekali. Dari Gus Dur, baik sebagai Presiden maupun sebagai Manusia, barangkali memang sudah selalu bersih, dan bahkan tak pernah dia berprasangka demikian. Tapi dari birokrasi elite politik dan budaya militeristik warisan rezim Orba? Sistem dan budaya Orba yang sudah berdaki berkarat itu, mungkinkah hilang lenyap oleh sepatah kata Presiden? Terkadang, atau acap kali, memang terlalu amat sangat jauh jarak antara Kata dan Perbuatan. Ambillah contoh dari Kejadian yang paling awal. Bukankah Tuhan, Yang Maha Pencipta, dengan Kun Fayakun telah menciptakan manusia menurut citraNya? Tapi siapakah sanggup membuktikan, bahwa Dunia Manusia yang tergelar di atas bumi kehidupan ini sesuai dengan citraNya? Bahkan sampai sekarang pun, Citra Allah itu masih belum kunjung terwujud di atas bumi. Mari kita belajar dari sejarah bangsa sendiri. Ikrar Proklamasi 17 Agustus 1945, yang diucapkan Soekarno-Hatta atas nama bangsa Indonesia itu. Bukankah sampai sekarang masih belum terwujud? Malah ketika hari baru berbilang kurang dari jumlah jari sebelah tangan, tak kurang Soekarno sendiri harus menelan ludah kemasygulannya. Ikrar Revolusi Kemerdekaan itu, ternyata harus dipikul dengan ber-sharing (kalau tak hendak menggunakan kata "menyerahkan") kekuasan dengan perangkat sipil pamongpraja dan perangkat militer kolonial. Apa yang kita dapati sekarang? Jembatan Emas kemerdekaan itu ternyata menjadi panjang dan semakin panjang saja. Contoh kedua dari kejadian "kemarin sore", ketika Suharto dilengserkan para Pemuda dari tahta keprabonnya. Sore hari itu aku melihat di layar teve satu peristiwa di kantor Komite Indonesia di Amsterdam. Ditayangkan di sana Yeni Rosa Damayanti (maaf Yen, kau aku tampilkan sebagai contoh) dengan beberapa kawannya saling berpelukan seraya menangis. Tangis euforia. Tapi rangkaian kenyataan peristiwa apa saja yang terjadi segera sesudah Suharto terpaksa "melengserkan diri" itu? Riwayat kegiatan Yeni selanjutnya menjadi jawaban - bahwa euforia itu ternyata suatu hal yang kelebihan. Mengapa? Karena ia terbit dari meluapnya perasaan, yang dengan sendiri lepas dari kendali kepala dingin. Maka, ijinkanlah aku bersoal terhadap rencana simpatik untuk pembentukan panitia penyambutan para pejuang pengembara yang pulang kandang itu. Akankah Pangkur panembrama dinyanyikan bersama di bandara Sukarno-Hatta, dan untaian melur melati dikalungkan di leher para pejuang? Itu hanya akan ibarat orang lupa pada hikmah ilmu padi yang makin tua makin merunduk; tapi sebaliknya justru menjulurkan kepala panjang- panjang. Ibarat Si Jago akan mengepak-kepakkan sayapnya, sambil berseru menagih: "Endi sunguku?!" (Mana tandukku?) - dari fabel Jawa Kambing dan Jago. Jadi, aku cenderung seperti adikku JJ Kusni dalam sajak sambutannya: "boleh jadi pengembara akan kembali, orang-orang kembali bagai bangau kembali ke danau, enggang balik ke hutan" lalu: "tanahair adalah tepian bagi perahu pelabuhan bagi pelaut di mana kapal singgah sejenak." Benar kau Kusni: singgah sejenak. Ya, sejenak saja. Karena kita "tetap saja masih pencari dan mencari." Karena kebolehpulangan dan hapusnya stigma pengkhianat itu, bukan akhir perjalanan. Tapi justru awal perjalanan. Belajar dan belajar. Mencari dan mencari.*** ---------- SiaR WEBSITE: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/siarlist/maillist.html