Precedence: bulk


Hersri Setiawan:
Surat Negri Kincir - Sebuah Tinjauan

            KEN ANGROK - BRANDAL YANG MENJADI RAJA
                       Untuk Henk Maier

                         (III - Habis)
                         AROK - DEDES
          (Pramoedya Ananta Toer - Hastha Mitra 1999)
                               
DALAM risalahku "Dunia Yang Belum Sudah" (1994), pada bab
tentang Seni dan Hiburan di Penjara Orba, pernah kuberitakan
tentang bagaimana orang-orang tahanan dan tapol "berkesenian"
dan menghibur diri di dalam penjara atau tempat penahanan
mereka. "Pergelaran seni" atau hiburan itu tidak perlu
menunggu kesempatan sampai bisa diselenggarakan di satu
ruangan bersama. Mereka, para tawanan dan tapol seniman dan
"suka hibur" (istilah ini aku pinjam dari alm. Jacques
Leclerc) serta pendengar mereka, sudah biasa "berpentas"
selagi masih berada di sel-sel masing yang terkunci sekalipun.
     Acara pergelaran seni atau hiburan demikian biasanya
diadakan pada petang hari, sesudah siang hari besukan atau
menjelang hari liburan esok hari berikut. Acara seni atau
hiburan yang dihidangkan tentu saja hanya bentuk acara yang
bisa dibangun dengan alat suara, dan dengan demikian hanya
bisa dinikmati dengan telinga. Misalnya, mendongeng,
mendalang, dan bermain musik. Alat-alat peraga yang dipakai
ialah, pertama-tama dan terutama, mulut dan selanjutnya benda-
benda apa saja yang ada di dalam sel: sendok, piring, cangkir,
jeruji sel, sepotong kayu atau sapu lidi, ember plastik, karet
kolor celana untuk dipakai senar.
     Acara pergelaran musik dan pedalangan tidak perlu disebut
di sini, karena akan terlalu jauh dari kerangka tulisan ini,
yang bermaksud bicara tentang roman karya Pramoedya Ananta
Toer yang paling baru: Arok - Dedes. Jadi, yang perlu disebut
sehubungan dengan pembicaraan sekarang, yaitu bahwa hiburan
atau seni cerita termasuk acara yang disukai tapol, sejak
mereka masih di tempat-tempat tahanan operasional, kemudian
dipindah ke RTC Salemba, Tangerang dan Bukitduri, dan akhirnya
di pulau pengasingan Buru.
     Perbendaharaan bahan cerita tukang-tukang tutur ini
sangat banyak dan beragam. Dari Sampek Engtai sampai Sam Kok,
dari Sakerah sampai Trunajaya, dari Romeo dan Yulia sampai Si
Bungkuk Notre Dame, dari Ngulandara sampai Tapé Ayu ... dll
dst., bahkan tidak sedikit cerita-cerita karangan tukang-
tukang tutur itu sendiri. (Lebih lanjut baca "Dunia Yang Belum
Sudah" tersebut di atas; dan ikhtisarnya, melalui penerjemahan
Keith Foulcher, pernah juga disiarkan majalah "Indonesia"
Universitas Cornell). Karena itu lahirnya karya-karya
Pramoedya di Buru, yang berarti menambah khazanah mereka
dengan cerita-cerita bermutu, mendapat sambutan yang luar
biasa di kalangan sesama tapol.
     Di Buru kesempatan bercerita tidak terlalu banyak, dan
berlangsung di tempat-tempat kerja tertentu saja. Yaitu pada
siang hari sambil bekerja di ladang atau sawah, sehingga
dengan sendirinya hanya didengar tapol terbatas yang bekerja
ketika itu. Jika keadaan tidak sedang dalam konsinyes berat,
kesempatan mendengar dongeng tutur juga terjadi pada petang
hari di barak, yaitu antara waktu apel petang (sekitar pukul
18:00) sampai apel terakhir (sekitar pukul 21:00). Terkadang
juga pada sore hari, sepulang kerja Unit sampai  menjelang
waktu apel petang, ketika sambil bekerja korve barak, seperti
mengupas kacang, mipil jagung, menganyam welit dsb.
     Tentu timbul pertanyaan, bagaimana karya-karya Pramoedya
bisa masuk dalam repertoar juru cerita? Dan kemudian didengar
sampai ke tengah sesama tapol di seluruh unit, yang tak kurang
dari delapan belas banyaknya itu?
     Sejak Letkol Samsi MS menjadi Komandan Inrehab Buru,
1974, terjadi banyak perubahan penting dalam kebijakan
menangani masalah tapol di Buru. Tentu saja semuanya demi
efisiensi yang, bagi tapol, tak lain berarti pengisapan
keringat dan pemerasan tenaga setuntas-tuntasnya. Perubahan
itu, misalnya, di unit-unit tidak diberlakukan sistem kerja
harian tapi borongan; cara apel militer yang baris-berbaris
diganti dengan apel budak (yang dinamai apel sapi); tapol
dengan "keahlian" khusus juga dikelompokkan khusus.
     Sejak waktu itu timbul kelompok tapol pengrajin, tukang
kayu, pelukis, pemusik, dalang dan karawitan dan lain-lain.
Gagasan Ibnu BA, seorang tapol Unit I, yang disampaikan pada
Staf Mako untuk membentuk kelompok tapol pengarang gagal
diwujudkan. Tapi Pramoedya yang sudah "tertangkap basah"
sebagai tukang cerita, dan "diciduk" dari Unit III serta
dipindah ke Unit I (tinggal di loteng gedung kesenian), tak
mungkin lagi dikembalikan ke Unit asalnya, yaitu Unit III.
Dari Dan Tefaat Letkol Samsi MS ia mendapat tugas menulis.
Setiap akhir minggu ia harus melaporkan hasil karyanya pada
Komandan.      Pramoedya lalu bermain "dua buku". Buku yang
satu untuk laporan mingguan ke penguasa, buku yang lain
"disimpan" sendiri untuk laporan ke masyarakat bebas kelak
jika waktu sudah memungkinkan.
     Demikianlah yang terjadi.
     Ia lalu mengetik "buku yang lain" itu berangkap-rangkap,
sebanyak mesin tulis tua itu mampu memukulkan huruf-hurufnya.
Biasanya sekitar rangkap tujuh. Naskah-naskah hasil ketikan
rangkap itu, sesudah sekitar lima puluhan halaman (pernah juga
baru tiga puluh lima!) - tentu saja selain naskah aslinya -
dibagi ke unit-unit tertentu. Selama batas waktu tertentu,
naskah-naskah itu beredar di Unit, untuk pada saatnya tertentu
harus kembali pada Pramoedya, dengan disertai komentar yang
terkumpul.
     Dengan demikian di unit-unit tertentu itu pun, naskah
tersebut akan diserahkan ke seseorang kawan tertentu, yang
pada gilirannya kawan ini akan memberikan kepada beberapa
orang kawan tertentu pula. Juga dalam jatah waktu yang
tertentu, agar dibaca secara bergilir. Di antara orang-orang
yang pernah dipercaya ikut membaca naskah itulah, umumnya
dengan kehendak sendiri, menceritakannya pada "yang banyak di
bawah". Entah ketika pada saat ia sedang bersama banyak kawan
mencabut bibit di sawah, memipil jagung di gudang bama, atau
melakukan pekerjaan korve barak.
     Seorang di antara "yang banyak di bawah" itu, di Unit
kami - Unit XV Indrapura - adalah seorang tapol bernama
Badawi. Aku kenal Bung Badawi sejak masa jauh sebelum
"Peristiwa",  karena kami berdua sebagai sesama "orang Lekra"
Cabang Yogya. Begitu juga sebagai sesama "orang Bakoksi"
(Badan Kontak Organisasi-Organisasi Ketoprak Seluruh
Indonesia), kami sama-sama pengurus pusat. Selain itu Bung
Badawi termasuk salah seorang anggota pengurus Ketoprak "Krida
Mardi", yaitu sebagai  Kabag Organisasi. Dengan begitu
"keluar" ia memang tunduk pada para Ketua: Rukiman, Sasmito
dan Sudjadi; tapi sebagai Kabag Organisasi yang sejatinya
berarti sekretaris fraksi partai (PKI), "kedalam" dialah tokoh
yang serba paling di dalam organisasi mereka.
     Perasaan sebagai "orang yang paling" itulah, barangkali
yang menjadi dasar. Yaitu, mengapa ia berani menolak versi
Pramoedya tentang lakon Arok, dan penolakan itu dinyatakannya
dengan bahasa keras pula..
     "Kalau cerita Ken Arok jadi begini, bagaimana saya bisa
memainkannya di panggung ketoprak?" Suaranya berapi-api dengan
wajah geram di depanku - mungkin karena menganggap aku dan
Pramoedya sebagai "sesama Orang Pusat". Maka karenanya kedua-
duanya harus dibikin tahu "suara bawah". Tapi, mungkin juga
justru karena, pada satu pihak, merasa dekat dengan aku
sebagai "orang Yogya" dan "orang Bakoksi", dan pada pihak lain
memang tidak pernah ada hubungan kepentingan dengan Pramoedya.
     "Tanpa kutuk Gandring tujuh turunan, di mana letak
lakonnya?" Katanya lagi dengan suara sengit dan wajah
bersungut.
     Aku diam. Bukan untuk membuat pembelaan terhadap Bung
Pram - orang sekuat itu tak perlu pembelaan siapa pun! - tapi
mencari kata-kata penjinak badai yang mengguncang-guncang dada
Badawi. Belum lagi sepatah kata kutemukan, tiba-tiba saja ia
sudah meraung lagi menggebyah uyah:
     "Sastrawan juga harus ikut tanggung jawab melestarikan
pakem, bukan malah merusak semau-maunya begini!"
     Karena ia sudah main gebyah uyah terhadap semua sastrawan
begitu, aku pun menjadi tak segan pamer autoritas di
hadapannya.
     "Bung tidak usah gusar dong!" Kataku ketus. "Bung Pram
ini tidak menulis skenario untuk ketoprak. Dia menulis roman
sejarah! Naskah ini merupakan penafsiran Bung Pram tentang
tutur babad di dalam bentuk roman. Jadi, untuk lakon di
panggung ketoprak, silakan Bung Badawi berjalan di atas lakon
yang selama ini Bung anggap sebagai baku ..." (Tentang Badawi,
lebih lanjut baca Buletin YSBI no.2/1999).

     Diskusi lalu putus di situ. Belum selesai. Sebenarnya
bahkan masih menjadi tunggakan yang mengganjal sampai
sekarang. Aku tidak tahu mengapa harus putus sebelum selesai
begitu! Apakah karena faktor "Wong Yogya", yang kalau tidak
menyembah ia disembah? Apakah karena faktor "Wong Jawa" yang
baru kenal demokrasi di bibir? Apakah karena keangkuhan,
merasa sebagai sama-sama pemimpin! Apalagi jika yang satu
berbangga-bangga sebagai pemimpin golongan yang serba paling,
sedangkan yang lain justru berbangga-bangga karena tidak mau
berpaling-paling.
     Tapi selain alasan batin perseorangan yang sukar ditebak
demikian, mungkin juga karena faktor bahan diskusi itu
sendiri. Yaitu urusan pemahaman babad atau sejarah.
     Babad atau sejarah seolah-olah memang bukan bidang ilmu
yang berpatok dan berpagar, yang dipasang dan dikukuhkan serta
dijaga oleh para "tukang-tukangnya" yang disebut sejarawan.
Butir-butir babad atau sejarah berhamburan bagai bijih-bijih
tambang dalam hamparan Dunia Kehidupan, karena sejatinya babad
atau sejarah ialah hamparan dunia kehidupan sendiri! Luas tak
terbatas dan terbuka, ibarat hamparan cakrawala angkasa dengan
butir-butir benda langit berhamburan.
      Luas tak terbatas dan terbuka bagi siapa saja. Tak perlu
"karcis" untuk memasuki ruang babad atau sejarah ini. Si
Butahuruf yang tak pernah "makan sekolahan", dan si Pakar
dengan seribu ijazah di tangan, boleh bersama-sama masuk dan
adu bicara di sana. Kalau orang mau belajar tentang
berdemokrasi, barangkali boleh ia berguru pada bidang ilmu
yang bernama "Sejarah" ini.

     Demikianlah.
     Maka Badawi yang sekedar kenal pa-bengkong (ungkapan Jawa
untuk "alif bengkok") memang tak perlu "minder" bersaing suara
dengan Pramoedya yang berpotensi (ketika itu) Doktor Sejarah.
Apalagi Badawi memang tidak bicara tentang sejarah, tapi
tentang babad! Walaupun batas antara babad dan sejarah -
sejarah paling mutakhir sekalipun! - karena manipulasi-
manipulasi politik, acap kali sangat tipis belaka. Tambahan
lagi dalam berbicara tentang babad itu pun, Badawi melihatnya
dari sudut panggung ketoprak.
     Gugatannya yang terucap dalam kalimat "tanpa kutuk
Gandring, di mana letak lakonnya", kucerna di kepalaku dan
berubah menjadi satu pertanyaan yang mendasar. Kukatakan
"mendasar", karena yang dipertanyakan Badawi pada hakikatnya
bukan sebatas bidang panggung ketoprak saja. Masalah sejati
yang ingin dia pertanyakan ialah, tentang bagaimana atau di
dalam apa nilai atau bobot seni harus dicari dan ditemukan.
     Andaikata tidak sedang dalam kegusaran, dan juga sudah
terbiasa merumuskan pikirannya dalam kata-kata, barangkali
yang hendak dikemukakan Badawi sekedar serangkaian kalimat
pertanyaan begini:
     Bukankah nilai atau bobot seni justru terselubung di
dalam keindahan fantasi? Tapi mengapa kekuatan kutuk Keris
Gandring ditakar ulang oleh Pramoedya dengan penakar kiat
politik dan kekuatan lahiriah semata?
     Mengapa keris hanya dilihat secara lahiriah, sebagai
senjata pembunuh? Padahal keris ialah buah budaya Jawa, dan
inti budaya Jawa ialah keseimbangan? Mengapa keris tidak
dilihat sebagai lambang gagasan kemanunggalan, seperti halnya
kayon atau gunungan?

     Bagiku sendiri Pramoedya dalam karyanya "Arok-Dedes" ini,
memang telah mengajukan satu "tafsir sejarah" yang berani dan
cemerlang. Tafsir sejarah! Terlepas dari pendekatan seni.
Kemudian atas dasar tafsir sejarahnya yang brilyan itu,
legenda Arok - Dedes lalu menjadi bahan mentah yang sama
sekali baru. Di sini pendekatan seni mulai bekerja, dan bahan
mentah yang sama sekali baru itu disusunnya dalam alur yang
mencengkam, serta diucapkannya dalam bahasa lakon yang
meyakinkan.
     Begitulah yang lahir dari kreativitas Pramoedya.
     Kekuatan kutuk Keris Gandring tidak ada lagi, karena
telah diberinya bentuk baru: Pabrik Senjata! Barangsiapa
memiliki Keris Gandring, dialah memiliki Pabrik Senjata. Dan
barangsiapa memiliki Pabrik Senjata, dia akan memiliki
kekuasaan yang tak tertandingi. Apakah ini bukan satu gagasan
yang lahir dari premis dasar, bahwa kekuasaan lahir dari laras
senjata?
     Ada contoh seorang penulis lain - walau dia tergolong
penulis "belum punya nama" - yang dalam hal ini bisa
disejajarkan. Penulis kumaksud ialah Suparna Sastra Diredja
dalam novelnya "M.M.C.", kependekan dari "Merapi Merbabu
Complex", yang belum pernah terbit. Aku yakin kedua tokoh ini
tidak atau belum pernah sempat saling kenal pribadi. Dan aku
juga yakin, Suparna alm. (men.1997) belum pernah sempat
membaca karya Pramoedya "Arok - Dedes" ini.
     "MMC" juga bertolak dari dasar pemikiran seperti halnya
"Arok - Dedes". Dengan menguasai Gandring, Arok merebut
Tumapel dan kemudian Kediri. Gerakan MMC (1949-54) membangun
basis kekuatannya di daerah MMC karena, selain oleh berbagai-
bagai faktor lain, di situ ada pabrik pembikinan senjata yang
telah dikuasai rakyat. (Tentang MMM, baca lebih lanjut
"Sedjarah Tentara Nasional Indonesia Komando Daerah Militer
VII Diponegoro (Djawa Tengah)"; Sedjarah Militer Kodam
VII/Diponegoro t.t.: 326-45).
     "Arok - Dedes" ialah sebuah kisah dalam bentuk roman
sejarah. Juga "M.M.C", Suparna Sastra Diredja sendiri
menamakannya sebagai novel sejarah. Kedua-duanya bukan sekedar
roman atau novel dengan sejarah sebagai latar belakang,
seperti misalnya "Bende Mataram" karangan Herman Pratikto,
yang berlatar belakang sejarah Perang Jawa (1825-30).
     Satu perkara lagi ingin kukemukakan.
     Roman ini di bawah judul "Arok - Dedes".
     Arok sebagai tokoh pemuja dan pengejar pendirian
"kekuasaan terletak di laras senjata" sudah terbaca. Tapi di
manakah Pramoedya menempatkan Ken Dedes? Ken Dedes ialah Yang
Harum. Dia, yang oleh sejarah belakangan hari, dimuliakan
sebagai inkarnasi dan dipuja dalam patung Prajnyaparamita.
Siapakah Prajnyaparamita?
     Kata Sanskerta ini berarti "kesempurnaan" atau
"kebijaksanaan". Dalam Budha Mahayana ialah tokoh Dewi,
sebagai personifikasi pustaka Prajnyaparamita, ajaran serta
kebijakan yang terkandung di dalamnya. Sebagai penjelmaan budi
luhur, ia adalah Sakti Maha Budha atau Ibunda semua Budha;
dalam arti, bahwa kesedaran yang sempurna itu terbit dari
prajnyaparamita atau sempurnanya kebijaksanaan.
     Itulah sejatinya Dewi Prajnyaparamita alias Ken Dedes.
Jika menilik kembali jalannya babad, tanpa Ken Dedes pastilah
Ken Arok tidak akan mungkin tampil di atas panggung sejarah
sebagai cikal bakal dinasti Singasari dan Majapahit. Bisa saja
namanya akan tetap dicatat oleh sejarah. Tetapi dicatat
sebagai "tokoh hitam" yang gentayangan mengacau ketenteraman
masyarakat.
     Dalam karya-karya sebelumnya, Pramoedya Ananta Toer
selalu cenderung  mendudukkan perempuan di atas semua;
misalnya Kartini, si Midah, Ontosoroh, Calon Arang. Tapi kali
ini Dedes, setelah dilucuti dari gelar kehormatannya oleh
Pramoedya, ia tidak diberi ruang barang sedikit. Bahkan
sebagai iga sempalan yang "surga nunut neraka ikut" pun tidak!
Mengapa bisa terjadi?
     Tentu saja hanya Pramoedya pribadi bisa memberikan
alasannya. Tapi ijinkan aku menduga-duga dan berharap.
Pertama, Pramoedya tidak ingin gambaran Ken Arok menjadi pudar
dan bahkan tenggelam di bawah bayangan Ken Dedes. Kedua, Ken
Dedes akan diangkat sebagai tokoh kisah tersendiri di kelak
kemudian hari. Mari kita tunggu bersama-sama!***

----------
SiaR WEBSITE: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/siarlist/maillist.html

Kirim email ke