Precedence: bulk Diterbitkan oleh Komunitas Informasi Terbuka PO Box 22202 London, SE5 8WU, United Kingdom E-mail: [EMAIL PROTECTED] Homepage: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/xp Xpos, No 01/III/2 - 8 Januari 2000 ------------------------------ JATAH RAKYAT IKUT DISIKAT (POLITIK): Giliran Bank Tabungan Negara dijarah Texmaco Grup. Kredit Macetnya ditarik kembali dari BPPN. Makin panjang saja daftar dosa Texmaco Grup. Setelah menjarah Bank Negara Indonesia (BNI) 1946, Bank Rakyat Indonesia (BRI) dan Bank Exim, Texmaco Grup ternyata juga menggarap dan menggondol uang rakyat lewat Bank Tabungan Nasional (BTN) yang berkantor pusat di Gedung menara BTN di jalan Gajah Mada, Jakarta Pusat. Jumlah dana yang dicomot oleh perusahaan milik Marimutu Sinivasan (63), memang relatif kecil dibandingkan uang yang dijarah dari tiga bank tersebut, yaitu masing-masing lebih dari Rp10 trilyun. Sinivasan hanya menilep uang dana BTN sebesar Rp573,912 milyar atau setengah trilyun saja, untuk pengembangan usahanya. Penggarukan dana milik bank yang harusnya disalurkan pada rakyat menengah tersebut dilakukan oleh sejumlah perusahaan yang bernaung di bawah bendera Texmaco grup, yaitu PT Polysindo Perkasa Enginering, Multikarsa Investama, Panca Wiratama Sakti, Perkasa Indobaja, Perkasa Indosteel, dan Texmaco Perkasa Enginering. Meskipun nilainya relatif kecil, namun bagi kebanyakan orang hal ini dianggap sangat keterlaluan. "Masa uang untuk penyaluran kredit rakyat menengah ke bawah untuk RS dan RSS, digunakan juga untuk kepentingan konglomerat sekelas Marimutu Sinivasan," tanya Satya Wijayantara, Ketua SPSI BTN, yang juga Koordinator Komite Masyarakat Perbankan Anti Korupsi (KOMPAK) Komisariat BTN. Yang jadi persoalan, tentu bukan hanya kredit macetnya saja yang kemudian macet dan menjadi beban bagi BTN. Tetapi juga kolusi yang terjadi setelah kredit macet tersebut diserahkan ke Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), dikembalikan lagi ke BTN. Akibatnya, BTN kembali mengelola aset busuk Texmaco Grup. "Hal ini patut dicurigai karena mengandung unsur kolusi. Apalagi arranger dari Texmaco itu sendiri merupakan suami dari salah satu pejabat di divisi treasury BTN. Selain itu, juga terdapat indikasi upaya menaikkan reputasi Texmaco Grup agar seolah-olah merupakan debitur dengan reputasi baik, yang diindikasikan tidak adanya kredit macet di bank-bank BUMN," ujar Satya. Sebagaimana diketahui, menurut Satya, kredit macet senilai setengah trilyun milik Texmaco Grup pada 31 Maret 1999 diserahkan direksi BTN ke BPPN, ditarik kembali ke BTN dan dikelola oleh BTN. Alasan penarikan itu, menurut surat direksi No.51/DIR/DKPI/1999 dan No.52/DIR/DKPI/1999 tertanggal 12 April 1999, yang bocor ke Xpos, terjadi akibat unsur kolusi antara direksi BTN dengan Direksi BNI. "Sebelum penarikan, sudah ada pembicaraan antara direksi BNI, yaitu Agus Daryanto dengan Direksi BTN. Isinya, selain agar kredit macet Texmaco di BPPN ditarik kembali oleh BTN, reputasi Texmaco ditingkatkan seolah-olah perusahan yang tidak bercacat cela sebagai debitur macet." Selanjutnya, katanya, kredit Texmaco akan diambilalih oleh BNI. Padahal, BNI sendiri tengah ngos-ngosan menanggung beban dengan kredit yang ditilep Texmaco senilai lebih dari Rp15 trilyun, agar selamat dari program rekapitalisasi perbankan yang dicanangkan pemerintah. Upaya lain, yang diungkap Satya adalah adanya upaya menaikkan reputasi Texmaco Grup seolah-olah merupakan debitur dengan reputasi baik yang diindikasikan tidak adanya kredit macet di bank-bank BUMN. "Ini jelas sangat menyesatkan masyarakat dan membohongi publik," lanjutnya. Menurutnya lagi, penarikan aset macet Texmaco yang berbentuk commercial paper dan kredit lainnya, cenderung berpotensi menggagalkan rekapitalisasi BTN serta penyaluran Kredit perumahan Rakyat (KPR) pada Maret tahun 2000, yang dijadwalkan akan segera dimulai. Padahal, kenyataannya BNI sebetulnya tidak pernah mengambil alih pembiayaan Texmaco Grup dari BTN. Akibatnya, BTN-lah yang terpaksa mengelola aset busuk dan harus menyediakan dana pembentukan cadangan atas kredit sebesar 100 persen. Sementara ini, total kredit macet di BTN (58 persen dari total kredit), 46 persennya berasal dari grup Texmaco. Hal ini dikhawatirkan akan menggerogoti cadangan modal BTN. Dana rekapitalisasi BTN hanya Rp11,7 trilyun, sementara beban kredit macet Texmaco setengah trilyun. Padahal itu hanya dari satu debitur. Menurut Satya ini jelas tidak adil. Dengan KPR RSS (Rumah Sangat Sederhana) yang besarnya Rp6 juta, berapa ratus ribu rumah RSS yang bisa dibangun dengan uang sebesar itu. KPR BTN sendiri, hingga saat ini, masih dihentikan dan baru akan ditinjau lagi Maret tahun 2000. Jadi, BTN sudah menyalahi misinya dengan memberi kredit terhadap konglomerat. Padahal core bussines BTN adalah memberi KPR pada RSS. Sementara data yang diperoleh Xpos lainnya menyebutkan, bahwa pinjaman Texmaco pada BTN berbentuk kredit dan commercial paper dengan kategori 5 yang seharusnya diserahkan ke BBPN berikut tunggakan bunganya. Apapun yang diungkap Satya merupakan tambahan peluru bagi Kejaksaan Agung untuk menggulung kejahatan ekonomi Marimutu Sinivasan. Kita tunggu tindak lanjutnya Jaksa Agung. (*) --------------------------------------------- Berlangganan mailing list XPOS secara teratur Kirimkan alamat e-mail Anda Dan berminat berlangganan hardcopy XPOS Kirimkan nama dan alamat lengkap Anda ke: [EMAIL PROTECTED] ---------- SiaR WEBSITE: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/siarlist/maillist.html