Precedence: bulk


Dini S. Setyowati:
                               
                               
                          PUTRA FAJAR (4)

     "Masih ada tujuan yang agung itu, To!" Katanya
meneruskan. "Yaitu meneruskan revolusi nasional yang belum
selesai. Ya, ini Kasto! Inilah tujuan bersama yang
menggairahkan, bukan? Bangsa muda yang sedang bangkit, dan
melangkah bersama dalam satu derap barisan!"

     "Maaf Bung!" Kasto mengingatkan. "Tapi slogan-slogan saja
tidak bisa menutupi kenyataan. Pengertianmu tentang
menyelesaikan Revolusi adalah mencapai keadilan sosial,
terutama untuk kaum miskin. Rakyat Marhaen, katamu. Padahal
golongan-golongan Islam yang fundamentalis, seperti Darul
Islam misalnya, mengartikan Revolusi sebagai membangun  negara
Islam dengan ajaran-ajaran Kuran sebagai haluan negara.
Sedangkan buat PKI, baik kaum komunis maupun simpatisan
mereka, Revolusi adalah perjuangan membangun Sosialisme
melalui demokrasi yang berangkat dari masa rakyat,
menghilangkan penghisapan manusia atas manusia dan melenyapkan
kekuasaan kaum spekulan dan tuan tanah. Sedangkan bagi
TNI lain lagi."

     Sukarno diam mendengarkan.

     "Dan jangan lupa, Bung!" Sambung Kasto. "TNI inilah
yang sekarang rapat mengelilingimu. Bagi mereka, Revolusi yang
mereka cita-citakan ialah yang bisa memberikan kekuasaan bagi
korps mereka untuk mengontrol negeri ini, agar bisa leluasa
berkongkalikong dengan kaum kapitalis luar dan dalam negeri.

     "Kata Revolusi sudah tinggal menjadi satu lelucon saja,
Bung! Tiap golongan memberikan pengertiannya untuk kepentingan
sendiri, sambil berusaha memanipulasi yang lain. Satu-satunya
orang yang percaya adanya revolusi yang murni, dan bisa
membawa seluruh Rakyat dalam harmoni menuju cita-cita Keadilan
Sosial, hanya tinggal engkau sendiri, Bung. Tinggal Bung
Karno!"

     "Jadi? Kau menganggap aku ini seorang idealis yang hanya
pandai berangan-angan belaka?" Terdengar nada suaranya
tersinggung.

     Kasto menepuk pelahan bahu Presiden sambil menggeleng.

     "Tidak, Bung." Kata Kasto. Nada suaranya merendah.
     "Lebih tepat kau ini seorang Bapak. Bung Karno seorang
ayah budiman, yang sudah tidak sanggup lagi menunjukkan jalan
yang benar pada anak-anaknya. Karena jalan Bung itu pada
hakekatnya sudah mereka pasangi dengan rambu-rambu dan
barikade, dan mereka sudah memilih jalan lain. Jalan mereka
sendiri-sendiri!"

     Sukarno duduk kembali sambil menyangga kepalanya. Lama ia
terdiam. Tanpa sadar jari-jarinya sebelah tangan mengetuk-
ketuk di atas manuskrip Kasto.

     "O ya, To!" Serunya tiba-tiba teringat sesuatu. "Aku
sudah membaca semuanya ini. Wah, kau mengurai sejarah nasional
kita berdasar analisis Marx dan Lenin?" Kata Sukarno sambil
menatapnya tajam-tajam.

     Kasto menyambut tatapan itu dengan tatapan balik.
     "Analisis lain mana lagi yang bisa aku ambil?" Tanyanya
tenang. "Selama ini belum ada metode analisis lain yang mampu
menandingi. Karena dasar-dasar analisis yang aku pakai ini
adalah pengalaman praktek. Di dunia barat kapitalis pun
materialisme histori diakui kejituannya, dan sudah diajarkan
juga di universitas-universitas. Bukankah justru Bung sendiri
yang paling banyak bicara tentang Marxisme-Leninisme sebagai
pisau bedah yang kompeten untuik segala masalah sosial dan
politik?"

     "Benar! Tapi apa maumu, To? Kaum Komunis sekarang sudah
menyokong aku. Artinya mereka sudah mau mengalahkan
kepentingan politik sendiri, demi ikut bersama dengan politik
kita.  Apakah itu bukan satu bukti, bahwa kepentingan kelompok
bisa dikalahkan oleh kepentingan seluruh rakyat?"

     "Tidak dikalahkan, Bung!" Kasto menyela. "Mungkin ditunda
untuk sementara waktu. Ya. Perkara ini harus dirunding tuntas
dengan kaum Komunis itu. Baik, Bung! Nanti biar aku mencoba
bicara dengan mereka."

     Sukarno diam.

     "Tapi golongan-golongan lain bagaimana? Apakah kau yakin,
bahwa kaum pemilik tanah luas NU-Masyumi , dan terlebih-lebih
lagi TNI akan mengikuti kita juga?"

     "Mereka tidak punya pilihan lain!" Jawab Presiden pasti.

     "Bung!" Sahut Kasto meragukannya. "Aku rasa mereka itu
terlalu berambisi dalam mengejar cita-cita mereka. Soal ini
bahkan juga mengingatkan aku pada satu pertanyaanku yang
pokok. Yaitu tentang program kita sendiri. PNI itu sendiri
bagaimana?"

     "Ya, ya." Sukarno mengangguk. "Aku perhatikan bagian
tulisanmu yang menyatakan pendapatmu, bahwa program PNI
setelah kemerdekaan sudah habis terkuras."

     "Atau paling tidak tidak ada program selanjutnya, yang
sesuai dengan perubahan-perubahan situasi." Kasto menambah.

     "Kalau benar begitu, mengapa PNI yang paling banyak
mendapat suara dan dukungan rakyat?"

     "Karena mereka melihat Bung Karno!" Dengan tenang Kasto
menjawab. "Bukan PNI yang mereka pilih. Tapi Sukarno! Bukan
satu partai dengan program yang bisa menyalurkan aspirasi
mereka. Tapi seorang pemimpin yang menjanjikan harapan, atau
katakanlah seorang Ratu Adil."

     "Ya! Tapi harapan-harapan yang begitu sudah sepatutnya,
bukan?"

     "Aku tahu Bung. Bagaimana pendapatmu tentang demokrasi."

     Kasto sejurus diam. Juga Sukarno diam, menunggu.

     "Jadi, menurutmu bangsa Indonesia belum cukup matang
untuk menjalankan sistem demokrasi ala Barat?" Sambungnya
pula. "Lalu kapan akan ada kesempatan untuk proses pematangan,
jika demokrasi itu harus dipimpin dari atas? Berapa lama lagi
Bung masih mau menjadi penyambung lidah rakyat, dan mengambil
keputusan-keputusan menurut kehendamu sendiri? Maksudmu baik,
Bung. Aku tahu! Yaitu membimbing massa rakyat. Tapi bersamaan
dengan itu sebenarnya Bung justru menghambat proses
perkembangan demokrasi itu sendiri! Bukan?"

     Sukarno mengangkat kedua tangannya. Protes.

     "Kau keliru To! Coba lihat. Berapa banyak kita telah
biarkan bermacam-macam organisasi berdiri secara demokratis.
Dari organisasi partai politik, serikat buruh, sampai pemuda
dan wanita. Belum lagi macam-macam ormas kebudayaan."

     "Apakah, menurut Bung, mereka semua mempunyai hak
demokratis?" Sergah Kasto.

     "Tentu saja! Tinggal menggunakannya mereka itu!"

     "Tapi Bung menentukan batasnya. Maaf, jangan salah paham.
Memang yang penting harus ada definisi yang jelas dan tegas.
Kau adalah presiden, mandataris tertinggi. Semua keputusan
berada di tanganmu. Segalanya yang bertentangan dengan
pendapatmu, kau anggap subversif. Bung yang mengeluarkan
larangan, dan Bung juga yang menetapkan anggota-anggota MPR
dan DPR. Apa itu yang dinamakan demokrasi? Apakah tidak lebih
tepat disebut diktatur presidentil?"

     Sukarno tak tampak ragu menerima semua kata-kata kecaman
Kasto itu. Tapi jika ada orang mengajukan soal serupa itu,
seperti biasanya pula ia akan menjawabnya dengan kata-kata
yang serupa juga.

     "Kasto, itu sudah menjadi tradisi kita. Bahwa sang kepala
keluarga, sesudah bermusyawarah, harus mengambil keputusan
yang bijaksana, yang memuaskan semua pihak. Itulah tradisi
nenek moyang kita!"

     Sekarang giliran Kasto diam mendengarkan ajaran Sukarno,
sobat lamanya itu.

     "Juga di luar keluarga berlaku sistem begitu. Di tengah
kehidupan desa sistem inilah yang mengatur tatanan desa. Si
kepala desa, yang paling tua dan terhormat, dialah yang harus
menjatuhkan kata terakhir. Sistem ini begitu  sederhana, tapi
adil dan bijaksana. Maka prinsip inilah yang aku ambil sebagai
esensi aturan negara kita. Itulah jawaban kita terhadap segala
teori tentang klas kaum Komunis, tapi sekaligus juga terhadap
dunia Barat liberal yang sok jagoan demokrasi."

     Kasto tetap mendengarkan.

     "Indonesia lain, To! Dan aku ingin membawa bangsa kita
kepada identitasnya sendiri. Aku mencintai rakyat Indonesia,
rakyatku. Sudah dari sejak awal berjuang, itulah motivasiku.
Kau tahu itu!  Dengan rakyat aku bagi kekalahan-kekalahanku,
tapi juga dengan rakyat aku menyongsong kemenangan. Akulah
Pemimpin Besar Revolusi."

     Kasto tampak mulai gelisah. Tapi masih membiarkan Sukarno
menyelesaikan kalimat-kalimat pidatonya.

     "Karena itu, To. Kau harus cek kembali naskahmu ini baik-
baik. Tekankan pada apa yang tadi kukatakan. Juga perananku
dalam perjuangan nasional. Harus kautekankan. Itulah
penilaianku."

     Kasto mengerti. Ia memang sudah menduga, tanggapan
seperti itu yang akan didengarnya. Tidak ada orang lain
kecuali dirinya yang paling mengenal kekenesan sifat burung-
merak perangai Sukarno. Tapi itulah juga sebagian pernyataan
dari satu sosok pribadi Sukarno yang begitu dicintai banyak
orang.

     Namun Kasto tidak hendak mengadili Sukarno karena
kelemahannya yang narsistik. Tidak berkepentingan.

     "Tapi Bung!" Katanya yang kemudian terdengar, sertelah
beberapa jurus termenung. "Apa kau masih yakin, bahwa bobot
kata-kata dan ucapanmu tetap akan laku sebagai hukum baja di
negeri ini?"

     "Apa maksudmu?" Tanya Sukarno terbeliak heran.

     "Apa Bung tidak merasa? Bahwa ada kekuatan-kekuatan
tertentu yang sudah sebegitu jauh berkembang, sehingga sanggup
melecehkan kata-kata dan perintah-perintahmu? Atau diam-diam,
seperti Bung sendiri sudah katakan, berbuat lain di belakang
punggungmu? Atau, malah lebih munafik lagi, menggunakan kata-
katamu untuk kepentingan pribadi atau kelompok sendiri
mereka?"

     "Tidak!" Jawab Sukarno tegas. "Aku tahu semua itu. Tapi
aku masih tetap pemimpin besar Revolusi. Aku masih tetap
diakui dunia internasional. Dan di atas segalanya, rakyat
masih tetap berdiri di belakangku!"

     Kasto menanggapi dengan sabar. Mencoba menjelaskan maksud
kata-katanya.

     "Bung! Kau adalah sahabatku yang lama. Bersama-sama kita
dulu berbagi suka dan duka. Makan dari satu periuk nasi. Minum
kopi jagung tubruk bersama. Tapi juga menekuni buku-buku tebal
yang sama ... "

     "Ya. Lalu?" Tukas Sukarno.

     "Lalu ... bagaimana mungkin kau memberikan kemakmuran
pada rakyatmu, jika kekayaan berlimpah negeri ini semakin
habis bagaikan air disedot gurun pasir yang kehausan? Bung
kuasa melarang aksi mogok kaum buruh. Padahal mereka
kelaparan! Tapi Bung tidak kuasa melarang para pemilik pabrik,
agar tidak berspekulasi dengan kekayaan alam dan sumber daya
negeri ini! Juga kau tidak kuasa mencegah mereka mentransfer
kekayaan mereka ke luar negeri, dan bergelimang dalam hidup
mewah berfoya-foya. Kau terpaksa membiarkan pabrik-pabrik dan
perkebunan-perkebunan yang diambil alih negara, untuk diduduki
dan dihisap jendral-jendral, yang dulu kau anggap sebagai
tokoh-tokoh Angkatan '45 itu!"

     Sekarang ganti Sukarno mendengarkan kata-kata Kasto yang
semakin tajam dan mengalir.

     "Kau menyerukan kepada seluruh rakyat agar memberantas
kabir. Kapitalis birokrat, yang korup dan main patpat gulipat
dengan kekayaan negara. Tapi kau tidak bisa menindak ABRI yang
lambat laun sudah menjadi tuan di atas negeri ini. Di daerah-
daerah, di mana orang bekerja membanting tulang berusaha
mempraktekkan seruan-seruanmu, justru diborgol tangan mereka.
Oleh siapa lagi, kalau bukan oleh ABRI! Dengan dalih menjaga
keamanan dan ketertiban atas nama Presiden. Sama dengan ketika
penguasa kolonial dulu menangkap dan menjebloskanmu ke
penjara, demi "rust en orde" atas nama Sri Ratu!"

     Sukarno tampak menarik napas dalam-dalam.

     "Lima tahun yang lalu Presiden memberlakukan Undang
Undang Agraria, sebagai upaya untuk mengentas rakyat kecil
dari kemiskinan. Tapi, apakah kau tahu? Bahwa Undang Undang
ini hanya berlaku di atas kertas saja?

     "Banyak orang berusaha mewujudkan undang-undang itu dalam
praktek, seperti juga setiap peraturan pemerintah yang membela
rakyat. Tapi hasilnya? Banyak dari mereka itu justru menjadi
sasaran pembalasan dendam tuan tanah dan kaum agama yang
fanatik. Dan ABRI tentu saja ikut menunggangi keadaan, kalau
malah bukannya yang menyulut dan mengipasi. Atas nama Presiden
Pangti ABRI Mandataris MPR Pemimpin Besar Revolusi Penyambung
Lidah Rakyat!"

     Sukarno diam tertegun. Dan Kasto belum kehabisan kata-
kata.

     "Banyak contoh-contoh, Bung! Tapi tak perlu aku katakan
semuanya di sini. Tapi ada satu hal, yang aku ingin bertanya
..."

     "Apa itu?" Tukas Sukarno.

     "Apakah Bung betul-betul masih yakin, bahwa kekuasaan
yang sebenarnya negeri ini masih berada di tanganmu, dan
tangan instansi-instansi yang kau bangun? Ataukah masa
kejayaan Bung Karno sejatinya sudah berada di ambang senja?
Katakanlah kepadaku, Bung. Aku Kasto, sahabat lamamu. Apakah
kecurigaan-kecurigaanmu terhadap mereka yang berada di
sekelilingmu mempunyai dasar alasan kenyataan? Sekali lagi,
kau bisa mempercayai aku Bung. Aku sahabat lamamu. Bukan
seorang hakim yang di hadapanmu."

     Sukarno dengan sabar mencoba kembali meyakinkan Kasto.
Tanpa segan ia kembali mengulang-ulang lagi segala program dan
rencana, yang menurutnya akan bisa menjadi jalan keluar dari
kemelut keadaan yang semakin menggawat. Ia memimpikan tentang
datangnya gelombang besar Revolusi, yang akan melanda habis
neokolonialisme berikut kabir dan tuan tanah kaki tangannya,
dari bumi Indonesia yang dicintainya. Ia berayun-ayun dalam
impiannya yang mulia. Maka kata-katanya yang terdengar tetap
mengalir dalam suara yang tetap mantap dan menggelegar seperti
sedia kala ...

     Masih lama kedua sahabat lama itu saling berbincang.
Terkadang sengit dalam nada suara seperti saling menghardik,
terkadang turun perlahan seperti dua orang berganding menuju
satu sasaran yang sama. Tapi ketika Kasto telah meninggalkan
halaman istana, dan berada di dalam mobil pengantar, ia
berpikir dengan hati sedih namun pasti.

     Ah, Bung Karno yang karismatik! Pemimpin besar yang
sangat dicintai rakyat. Sekarang sudah mendekat pada senjanya.
Karena usia, dan dijinakkan oleh para penjilat yang menyanjung
dan memuja di sekelilingnya. Puja dan puji muslihat belaka!***

(ed.: hersri)

----------
SiaR WEBSITE: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/siarlist/maillist.html

Kirim email ke