Precedence: bulk


Diterbitkan oleh Komunitas Informasi Terbuka
PO Box 22202 London, SE5 8WU, United Kingdom
E-mail: [EMAIL PROTECTED]
Homepage: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/xp
Xpos, No 02/III/22 - 30 Januari 2000
------------------------------

TRAGEDI DPR TERULANG DI KPP HAM
Oleh: Hendry Boen

(OPINI): Bulan Nopember lalu, Komisi I DPR-RI kedatangan "tamu" istimewa,
antara lain adalah Benny Moerdany, Try Sutrisno, Feisal Tanjung, dan
lain-lain. Para mantan Panglima ABRI itu diundang ke Senayan, dalam rangka
dimintai pertanggungjawaban mengenai pemberlakuan "DOM" (Daerah Operasi
Militer) di Aceh.

Namun sayang, kedatangan tamu istimewa tersebut, tidak dimanfaatkan secara
maksimal oleh anggota DPR. Karena pertanyaan yang diajukan segenap anggota
DPR kurang "cerdas", para jenderal itu pun bisa melenggang meninggalkan DPR,
tanpa meninggalkan informasi berarti bagi DPR. Acara yang disiarkan secara
langsung oleh sebuah stasiun televisi swasta itu, yang berarti disaksikan
oleh masyarakat di seluruh penjuru tanah air secara langsung, telah
menimbulkan aib bagi DPR, karena "kebodohan" anggotanya.

Kejadian yang hampir serupa, tampaknya akan terjadi pada KPP HAM (Komisi
Penyelidik Pelanggaran HAM di Timtim). KPP HAM telah memperoleh "kehormatan"
untuk memeriksa sejumlah perwira (beberapa di antaranya jenderal), yang
diduga melakukan pelanggaran HAM di Timtim. Persoalannya sekarang, mampukah
KPP HAM menjerat para perwira tersebut, sebagai pihak yang bisa dikenai
sanksi pidana, atas tindakannya di Timtim. Harapan kita, jangan sampai
"Tragedi DPR" terulang, di mana perwira terpanggil tetap bebas, sedang pihak
pemanggil (DPR atau KPP HAM) hanya bisa gigit jari, karena tidak bisa
"menggigit" para jenderal.

Tanda-tanda terulangnya "Tragedi DPR" oleh KPP HAM mulai terlihat. Salah
satunya adalah ketidakjelasan kriteria perwira yang dipanggil. Dari media
cetak dan media elektronik, kita bisa melihat, perwira-perwira yang
dipanggil sebagian besar adalah perwira intelijen. Perwira itu antara lain
adalah Mayjen TNI Sjafrie Syamsudin, Brigjen TNI Glenny Kairupan, Mayjen TNI
Zacky Makarim, Kol Inf MN Rusmono, Kol Inf Soenarko (Asintel Danjen
Kopassus), dan Letkol Inf Yayat Sudrajat (mantan Komandan Satgas Intel
Kopassus).

Untuk "menggigit" perwira intelijen, harus memiliki bukti akurat, dan di
sinilah letak kesulitannya. Tampaknya KPP HAM asal panggil saja, tanpa ada
verifikasi terlebih dahulu. Misalnya tidak ada pemisahan yang jelas, antara
perwira operasional dengan perwira intelijen. Dua tipe perwira itu diaduk
begitu saja, sehingga KPP HAM kebingungan sendiri, bagaimana strategi
"menjebak" para perwira tersebut. Para anggota KPP HAM tampak demikian cerah
usai memeriksa Menko Polkam Jenderal Wiranto, akhir Desember lalu. Namun
dalam "Laporan Akhir" nanti, apakah KPP HAM memang berani menekuk Wiranto?
Masih harus dibuktikan nanti.

Yang juga menjadi masalah adalah kapasitas anggota KPP HAM itu sendiri. KPP
HAM berpretensi memeriksa TNI, namun wawasan anggota KPP HAM tentang TNI
terbilang miskin. Itu terlihat ketika dalam sebuah rapat pleno, tak seorang
pun anggota KPP HAM yang mengenal persis: siapa itu Kol Inf Mujiono. Padahal
kalau mereka sedikit mau membaca kliping-kliping koran seputar jajak
pendapat, para anggota KPP pasti tidak asing lagi terhadap nama Kol Inf
Mujiono. Kol Inf Mujiono termasuk tokoh kunci di Timtim, karena ia adalah
Wakil Danrem 164/Wira Darma. Kol Inf Mujiono adalah wakil dari Danrem (saat
itu) Kol Inf Tono Suratman (kini Wakapuspen TNI). Jadi sebenarnya Kol Inf
Mujiono lebih pantas dipanggil ketimbang nama-nama perwira intel di atas,
yang aktivitasnya di mata anggota KPP sendiri masih gelap. Dengan tidak
dipanggilnya Kol Inf Mujiono, ini merupakan kebahagiaan tersendiri bagi yang
bersangkutan, hitung-hitung hadiah lebaran. Berarti Kol Inf Mujiono tetap
bisa menjalankan tugasnya yang sekarang selaku Danrem Lampung dengan tenang. 

Soal ketidaktahuan terhadap Kol Inf Mujiono, itu hanya salah satu contoh
kemiskinan wawasan anggota KPP HAM atas soal militer dan Timtim. Masih
banyak contoh lainnya, soal kemiskinan wawasan. Yang paling fatal, adalah
ketidaktahuan mereka soal Sektor. Kalau mereka sampai tidak mengerti apa itu
(Komando) Sektor, berarti keadaannya benar-benar parah. Ini bisa merupakan
pertanda, bahwa para Komandan Sektor (Sektor A, Sektor B, dan Sektor C),
bakal lolos dari panggilan KPP HAM. Padahal Komandan Sektor itulah yang
memegang kendali atas satuan-satuan tempur yang ada di Timtim. Kabarnya,
para anggota KPP HAM, baru paham soal keberadaan Komando Sektor, setelah
dijelaskan oleh seorang narasumber, yang ironisnya narasumber itu adalah
seorang bule. Bagaimana bisa terjadi seorang pengamat asing (Indonesianist)
bisa lebih paham soal Timtim ketimbang anggota KPP HAM? Tapi begitulah yang
terjadi.

Kembali ke soal perbandingan "Tragedi DPR" dan (bakal) "Tragedi KPP HAM",
ada satu hikmah yang bisa kita petik: selama ini kita sudah berpuas diri
dengan menghujat TNI, namun pengetahuan kita soal TNI masih lemah. Itu bisa
terlihat pada Herri Akhmadi (anggota DPR dari Fraksi PDI Perjuangan), yang
sebagian besar riwayat aktivisnya dihabiskan dalam gerakan anti militeri,
ketika berhadapan dengan para jenderal, juga seperti kehabisan kata-kata. 

Mudah-mudahan "Tragedi DPR" dan (bakal) "Tragedi KPP HAM" tidak akan
terulang lagi, bila suatu saat dibentuk komisi serupa (misalnya untuk
pelanggaran HAM di Aceh), untuk menghadapi perwira TNI lainnya. Perwira TNI
adalah manusia biasa juga, yang tidak luput dari kesalahan (bahkan mungkin
terlampau banyak). Persoalannya, kita sering kurang mampu membuktikan
kesalahan mereka, yang sebagian juga disebabkan kekurangcerdasan kita selaku
"civil society". (*)

---------------------------------------------
Berlangganan mailing list XPOS secara teratur
Kirimkan alamat e-mail Anda
Dan berminat berlangganan hardcopy XPOS
Kirimkan nama dan alamat lengkap Anda
ke: [EMAIL PROTECTED]


----------
SiaR WEBSITE: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/siarlist/maillist.html

Kirim email ke