Precedence: bulk


Diterbitkan oleh Komunitas Informasi Terbuka
PO Box 22202 London, SE5 8WU, United Kingdom
E-mail: [EMAIL PROTECTED]
Homepage: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/xp
Xpos, No 04/III/6-12 Pebruari 2000
------------------------------

SISA ORDE BARU DI KEMELUT ASTRA

(POLITIK): Astra gagal menjual saham ke investor. Bob Hasan melalui PT
Winari tetap berusaha menguasai PT Astra Internasional Tbk.

Karena diulur-ulur waktunya, akhirnya batas waktu perjanjian antara Badan
Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) dengan dua calon investor PT Astra
International Tbk dari Amerika Serikat berakhir dengan sendirinya. Itulah
nasib dari kemelut penjualan saham perusahaan produksi mobil/motor nasional
yang pernah dililit krisis.

Setelah menunggu sejak pertengahan tahun lalu, penjualan saham PT Astra
International itu pun akhirnya gagal lagi. Kegagalan ini jelas menambah
rangkaian panjang harapan pemerintah atas terjualnya saham perusahaan
tersebut untuk mengurangi beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(APBN) tahun 2000. Asal tahu saja BPPN sendiri ditargetkan dapat mengurangi
beban sebesar Rp17 trilyun dalam tahun fiskal yang akan berakhir Maret 2000. 

Sebab itu, batalnya perjanjian antara BPPN dengan Gilbert Global Equity
Partners dan Newbridge Capital menyangkut pembelian 40% saham PT Astra
International Tbk, banyak disesalkan sejumlah pihak. Meskipun perjanjian
antara BPPN dengan kedua calon investor tersebut pernah disorot karena
dianggap tidak transparan, namun sejumlah pihak tetap menyesalkan gagalnya
penjualan saham lewat kedua calon investor tersebut. 

Menurut pengamat pasar modal, Theo F Toemion, misalnya saja, kegagalan
tersebut lebih disebabkan karena ulah pimpinan PT Astra International Tbk
sekarang ini, yaitu Rini MS Soewandi Cs yang sengaja menghambat dan melawan
program pengembalian aset nasional oleh BPPN melalui penjualan saham PT Astra. 

Selain itu, kekisruhan penjualan saham PT Astra International Tbk juga
diakibatkan masih adanya pengusaha serta orang kuat sisa Orde Baru yang
masih ingin ikut campur tangan dalam mempertahankan perusahaan tersebut. 

Ibarat gadis cantik, Astra itu masih diminati. Kira-kira begitu kalau
pernyataan Toemion ditafsirkan. "Bukan hanya oleh investor-investor asing
dan baru, tetapi juga oleh 'kekasih' lamanya. Ada orang besar dan orang
kuat, pengusaha dan sisa-sisa Orde Baru yang masih ingin terus
mempertahankan Astra dan ikut campur dalam kekisruhan Astra," kata Toemion. 

Bahkan, mantan karyawan BI ini mengaku mencium gelagat adanya usaha
perlawanan dan untuk menghambat proses penjualan saham Astra selama ini.
Karena, Rini diperalat oleh sejumlah orang yang tetap ingin becokol di PT
Astra. Dalam kesempatan itu, Toemion juga memberikan sejumlah bahan mengenai
proses dan kronologi penjualan saham Astra kepada wartawan. 

Sayangnya, anggota Komisi IX DPR ini tidak berani menyebutkan siapa
nama-nama orang Orde Baru tersebut. Meskipun tidak menyebut nama, namun
Toemion menyebut nama sebuah perusahan, yaitu PT Winari. "Tetapi siapa yang
punya itu. Kalian cari," jelasnya. Ketika wartawan menyebut nama Bob Hasan,
Toemion kemudina berbalik. "Itu Anda sendiri yang menyebut," katanya. 

Berdasarkan sumber Xpos, Bob Hassan memang salah satu sisa Orde Baru yang
masih "naksir" sama Astra. "Dia memperalat Rini dan membayar sejumlah
wartawan untuk mem-back up Rini dengan cara menyerang BPPN," ungkap sumber
itu.     

Memang, kalau menilik kronologi yang beredar di DPR, proses penjualan saham
PT Astra sebetulnya sudah bisa diselesaikan sejak lama, jika tidak terjadi
perlawanan dan sejumlah hambatan, yang mengakibatkan perjanjian antara BPPN
dengan dua calon investor dari Amerika Serikat tersebut, berakhir karena
batas waktu. 

Hambatan yang dilakukan Rini, di antaranya adalah, di samping penolakan
terhadap rencana Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) yang sudah
diusulkan dan dijadwalkan, juga ketertutupan pihak Astra dalam memberikan
sejumlah data penting untuk kepentingan due diligence terhadap investor yang
dipilih BPPN. Padahal, due diligence itu sangat penting sesuai dengan UU
Pasra Modal. 

"Pimpinan Astra juga disebutkan membuat ribut-ribut dengan mengekspos adanya
proses yang tak transparan melalui jalur pers," jelas sang sumber. Rini,
juga merekayasa pemberitaan seolah-olah penjualan Astra tidak transparan
dengan melalui prefered bider kedua calon investor tersebut. 

Pantas kalau dipertanyakan, "Ada apa sebetulnya di balik ini semua? Apakah
Astra mau mendukung program pemulihan ekonomi pemerintah atau tidak? Kenapa
proses penjualan saham Astra ini dipersulit. Ini menunjukkan tindakan
pimpinan Astra sekarang ini tidak koperartif. Ini berarti ada kepentingan di
balik Astra, yang perlu dicari tahu?" 

Proses penjualan saham Astra sendiri sudah berlangsung sejak Agustus tahun
lalu. Konsorsium investor yang dipimpin kedua calon investor Amerika Serikat
tersebut, sudah menghubungi BPPN dan ingin membeli seluruh saham Astra.
Indikasi harga yang diberikan antara Rp3.000-Rp3.500 per saham. "Jadi, jauh
di atas harga pasar saat itu yang cuma Rp2.650 per saham." 

Sebetulnya juga, antara Astra, Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) dan BPPN
sudah ada kesimpulan bahwa calon investor yang akan membeli perlu mendapat
due diligence. Namun, informasi yang diperoleh BPPN sangat terbatas. "Hal
ini, jelas tidak seusai dengan hasil pertemuan tersebut. Astra tetap tidak
memberikan due diligence yang menyeluruh kepada investor yang dipilih BPPN.
Rini memang menghambat," tegasnya

Selanjutnya, ketika BPPN mengusulkan adanya Rapat Umum Pemegang Saham Luar
Biasa (RUPSLB), manajemen Astra malah mempertanyakan kewenangan BPPN dalam
mengusulkan RUPSLB itu. "Jika Astra tetap mempertahankan dan tidak mau
mengakui BPPN sebagai pemegang saham utama, siapapun yang terbaik dari para
calon investor tetap saja tidak akan dilepas. Astra akan tetap
mempertahankan. Ini jelas sangat menyulitkan BPPN." 

Rini Ms Suwandi, ketika menerima CEO Award -menurut sumber memang move-nya
Rini sendiri lewat majalah Swa- pura-pura mendukung calon ivestor baru
seperti Gokongwei dan Lazard. "Kalau memang sekarang mendukung, mengapa Rini
waktu itu malah menolak RUPSLB dan tidak memberikan due diligence secara
menyeluruh kepada calon investor sebelumnya?" ujar sumber itu lagi.

Sekarang ini, DPR memang sangat berkepentingan dengan terjualnya PT Astra.
"BPPN itu dikejar-kejar waktu untuk memberikan sumbangan ke APBN. Kami pun
khawatir BPPN tidak dapat dana dan akibatnya ini merepotkan anggaran kita."
Itulah, kalau orang "kuat" Orde Baru masih bermain. (*)

---------------------------------------------
Berlangganan mailing list XPOS secara teratur
Kirimkan alamat e-mail Anda
Dan berminat berlangganan hardcopy XPOS
Kirimkan nama dan alamat lengkap Anda
ke: [EMAIL PROTECTED]


----------
SiaR WEBSITE: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/siarlist/maillist.html

Kirim email ke