Precedence: bulk FAKTA-FAKTA BARU MENGENAI SERANGAN OEMOEM 1 MARET 1949 ATAS YOGYAKARTA (1/4) Disusun oleh: Batara Hutagalung =============================== PENDAHULUAN Sebagaimana pada banyak peristiwa, penyerangan atas Yogyakarta pada 1 Maret 1949 juga tidak berdiri sendiri. Ada rangkaian peristiwa yang mendahuluinya yang perlu diteliti agar dapat memperoleh gambaran yang lengkap mengenai latar belakang, pertimbangan-pertimbangan, perencanaan, pelaksanaan serta hal-hal yang terjadi setelah penyerangan dilaksanakan. Sebenarnya latar belakang penyerangan 1 Maret atas Yogyakarta, Ibukota RI waktu itu yang diduduki oleh Belanda, tidak perlu menjadi kontroversi selama lebih dari tigapuluh tahun, apabila para pelaku sejarah tidak ikut dalam konspirasi pemutarbalikan fakta-fakta sejarah. T.B. Simatupang, saat peristiwa serangan tersebut adalah Wakil II Kepala Staf Angkatan Perang dengan pangkat Kolonel, telah menulis secara garis besar mengenai hal-hal seputar serangan tersebut, dari mulai perencanaan sampai penyebarluasan berita penyerangan itu. Buku itu pertama kali diterbitkan pada tahun 1960. Diterbitkan ulang pada tahun 1980.[1] Begitu juga dalam skripsi yang ditulis oleh Indriastuti sebagai bahan untuk ujian S-1 yang diterbitkan pada tahun 1988,[2] telah memuat salinan Instruksi Rahasia Panglima Divisi III/GM III Kol. Bambang Soegeng, dimana seharusnya terlihat jelas, bahwa serangan tersebut adalah perintah dari pimpinan tertinggi Divisi. Selain itu cuplikan dari draft buku Dr. Wiliater Hutagalung yang sehubungan dengan serangan atas Yogyakarta tersebut telah diterbitkan dalam mingguan "Bonani Pinasa", Medan, edisi November 1992. Dalam tulisan ini, dirangkum apa yang telah diuraikan oleh beberapa pelaku sejarah, baik melalui tulisan, maupun yang disampaikan secara lisan. Mungkin ini belum yang paling sempurna, tetapi setidaknya dapat memberi masukan guna penelitian lebih lanjut. KILAS BALIK SEJARAH Setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, Belanda yang tetap ingin menjadi penguasa di Indonesia tidak henti-hentinya menjalankan upaya untuk menjadikan Indonesia sebagai jajahannya, baik melalui aksi militer, maupun melalui jalur diplomasi di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Walaupun telah ada persetujuan Linggajati pada bulan Maret 1947, Belanda melaksanakan serangan yang dikenal sebagai agresi I pada 21 Juli 1947. Pada akhir Agustus 1947, delegasi Indonesia yang dipimpin oleh Sutan Sjahrir diterima oleh Dewan Keamanan PBB dimana Indonesia mengadukan agresi Belanda tersebut yang dinilai telah melanggar persetujuan Linggajati, yang diprakarsai oleh Sekutu. Secara de facto Dewan Keamanan mengakui eksistensi Republik Indonesia. Dewan Keamanan PBB menyutujui dibentuknya Komisi yang akan menjadi penengah konflik antara Indonesia dan Belanda. Komisi ini awalnya hanyalah sebagai "Panitia Jasa Baik" PBB[3] dan dikenal sebagai Komisi Tiga Negara (KTN), karena beranggotakan tiga negara, yaitu Australia yang dipilih oleh Indonesia, Belgia yang dipilih oleh Belanda dan Amerika Serikat sebagai pihak yang netral. KTN ini segera bertugas dan berangkat ke Yogyakarta. Dalam perkembangan selanjutnya komisi ini diresmikan menjadi United Nations Comission for Indonesia (UNCI) dan mendapat wewenang yang lebih besar. Dengan difasilitasi oleh KTN, diadakanlah perundingan antara Belanda dan Indonesia di Kapal Perang AS Renville sebagai tempat netral, karena Amir Syarifuddin Harahap, Perdana Menteri waktu itu tidak mempercayai pihak Belanda dan menolak berunding di Jakarta. Pada 19 Januari 1948, ditandatanganilah yang kemudian dikenal sebagai "Persetujuan Renville". Isi persetujuan ini a.l. membuat batas-batas wilayah kekuasaan Belanda dan Indonesia dan sehubungan dengan ini, pasukan-pasukan Indonesia yang berada di wilayah Belanda harus dikosongkan. Yang terkena persetujuan ini adalah Divisi Siliwangi, yang harus keluar dari "kantong-kantong" di wilayah Belanda. Terjadilah yang kemudian dikenal sebagai Hijrah Siliwangi ke Jawa Tengah, terutama ke Yogyakarta, yang waktu itu adalah Ibukota Republik Indonesia pada Februari 1948. Setelah dicapai persetujuan Renville, perundingan antara Indonesia dan Belanda dilanjutkan. Tempat perundingan bergantian antara Jakarta dan Kaliurang (dekat Yogyakarta). Pada 19 Desember 1948, saat perundingan antara Belanda dan Indonesia berlangsung di Kaliurang yang difasilitasi oleh KTN, Belanda melancarkan serangan atas Ibukota Yogyakarta, yang kemudian dikenal sebagai agresi II. Malam sebelumnya, pukul 23.30, Dr. L.J.M Beel Wakil Tinggi Kerajaan Belanda, berpidato di Radio dan menyatakan, bahwa Belanda tidak lagi terikat dengan Persetujuan Renville. Belanda melancarkan serangan besar-besaran dengan menggunakan pesawat pembom guna menghancurkan lapangan terbang Maguwo serta menerjunkan pasukan payung di Yogyakarta. Pemerintah Indonesia menyerah tanpa perlawanan dan hampir seluruh pimpinan sipil Republik Indonesia, termasuk Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Hatta, ditangkap dan diasingkan ke berbagai tempat di Indonesia. Panglima Besar Sudirman tidak mau menyerah dan memimpin perang gerilya. Tentara Nasional Indonesia (TNI) waktu itu telah mempersiapkan perang gerilya, karena serangan Belanda telah diantisipasi sebelumnya maka beberapa bulan sebelum serangan tersebut, telah dibentuk jaringan teritorial serta persiapan perang gerilya. Sebelum ditawan, Presiden dan Wakil Presiden sempat membuat surat kuasa kepada Mr. Syafruddin Prawiranegara yang isinya, apabila Pemerintah tidak dapat menjalankan kewajibannya, agar dibentuk Pemerintah Republik Indonesia Darurat di Sumatra. Selain itu juga dibuat surat untuk Dr. Soedarsono, Palar dan Mr. A.A. Maramis di New Delhi yang isinya, seandainya Mr. Syafruddin gagal membentuk Pemerintah Darurat di Sumatra, agar dibentuk exile Government of Republic Indonesia di New Delhi. Pada 22 Desember 1948 Mr. Syafruddin Prawiranegara membentuk Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) yang berkedudukan di Bukittinggi. Jenderal Sudirman mendukung penuh berdirinya PDRI. Mr. A.A. Maramis kemudian menjadi Menteri Luar Negeri PDRI dan berkedudukan di New Delhi, India. Mr. Maramis sangat berperan dalam menyuarakan Indonesia di dunia internasional sejak Belanda melakukan agresi ke II. Dalam situasi ini, secara de facto, Mr. Syafruddin adalah Presiden RI ke II. Di bidang militer terdapat Markas Besar Komando Jawa (ejaan dahulu MBKD) dengan Kolonel A.H. Nasution, yang orang Tapanuli, sebagai Panglima Tentara dan Teritorial Jawa (dahulu PTTD) dan Markas Besar Komando Sumatra (MBKS) dengan Kolonel Hidayat, Wakil II KSAP yang berasal dari Jawa, sebagai Panglima Tentara dan Teritorial Sumatra. Jenderal Sudirman sendiri sebagai Panglima Besar Angkatan Perang merangkap Kepala Staf Angkatan Perang (KSAP). Pada 25 Desember 1948, Kol. Nasution selaku Panglima Tentara dan Teritorial Jawa mengeluarkan instruksi Nr. 1/MBKD/1948 yang isinya mengenai pembentukan Pemerintahan Militer di seluruh Jawa. Divisi III di bawah Kol. Bambang Soegeng bermarkas di Desa Kaliangkrik membentuk daerah perlawanan dalam bentuk Wehrkreise (WK) dan Subwehrkreise (SWK). Kol. Bambang Soegeng sejak September 1948 juga telah diangkat menjadi Gubernur Militer daerah III. a. Wehrkreis I dipimpin oleh Letkol. Bachrun. Wilayahnya meliputi Karesidenan Pekalongan, Banyumas dan Wonosobo, bermarkas di Desa Makam. b. Wehrkreis II dipimpin oleh Letkol. Sarbini. Wilayahnya meliputi Kedu dan Kabupaten Kendal, bermarkas di Bruno. c. Wehrkreis III dipimpin oleh Letkol. Soeharto. Wilayahnya meliputi Yogyakarta dengan Pos Komandonya di Pegunungan Menoreh. Beberapa hari setelah naik ke Gunung Sumbing, para gerilyawan telah dapat membuka jalur komunikasi dan surat menyurat dengan pimpinan sipil yang berada di kota Yogyakarta. Jalur radio dan telegram juga dapat difungsikan dalam waktu relatif singkat. Dengan cara estafet, pemberitaan melalui radio dari Gunung Sumbing bisa mencapai New York, a.l. melalui pemancar radio AURI di Playen, ke Bukittinggi, kemudian diteruskan ke Kotaraja. Siaran dari Kotaraja ini dapat ditangkap di Singapura dan Burma yang kemudian dapat ditangkap di New Delhi, India. Begitu juga jaringan teritorial yang telah dipersiapkan beberapa bulan sebelum serangan Belanda pada 19 Desember 1949 berfungsi dengan baik, sehingga seluruh Panglima/Gubernur Militer selalu dapat berhubungan dengan Panglima Besar Sudirman yang juga adalah Kepala Staf Angkatan Perang. Hirarki kemiliteran tetap berfungsi selama perang gerilya. Pada 25 Februari 1949 Simatupang memulai perjalanannya di Jawa dan mencatat: "Organisasi teritorial kita telah cukup teratur pada waktu itu, sehingga kami tidak usah membawa apa-apa selain daripada sekedar pakaian, sebab dimana-mana organisasi teritorial itu akan menyediakan penunjuk jalan, tenaga-tenaga pengangkut barang, tempat tidur, makanan dan di daerah-daerah yang kurang aman, pengawalan."[4] DIPLOMASI DI PBB Di PBB dan di dunia internasional, terjadi perang diplomasi antara Indonesia dan Belanda. Tokoh-tokoh Indonesia di luar negeri berusaha untuk membuktikan dunia internasional bahwa Republik Indonesia dan TNI masih eksis. Di pihak lain, Belanda terus berusaha untuk meyakinkan negara-negara lain di PBB, bahwa Republik Indonesia dengan TNI-nya sudah tidak ada. UNCI (KTN) masih tetap berada di Yogyakarta untuk mengadakan pemantauan situasi. Di PBB sendiri makin banyak negara termasuk Amerika Serikat, yang tidak percaya dengan versi Belanda. Beberapa negara melancarkan inisiatif untuk mendesak Belanda keluar dari Indonesia dan mengakui kedaulatan Republik Indonesia. Terutama adalah Amerika Serikat yang ingin segera dihentikannya pertempuran di Indonesia dan telah memberikan isyarat, bahwa AS menyetujui pengakuan kedaulatan RI. Hal ini sebenarnya tidak terlepas dari strategi global AS untuk menghadang Komunisme, berdasarkan teori dominonya pada waktu itu. Maka Amerika Serikat, bersama Kuba, Norwegia dan Cina mengajukan resolusi kepada Dewan Keamanan PBB, yang isinya a.l. menyerukan penghentian pertempuran dan mendesak Belanda untuk memulai perundingan dengan Indonesia guna membicarakan pengakuan/penyerahan kedaulatan kepada RI. Pada 28 Januari 1948, Dewan Keamanan PBB menerima resolusi 4 Negara tersebut. Tetapi Belanda sendiri menolak resolusi tersebut dengan alasan, bahwa Republik Indonesia dan TNI sudah tidak ada lagi. PERENCANAAN SERANGAN ATAS YOGYAKARTA Berita mengenai penolakan Belanda ini disiarkan melalui radio di Indonesia. Sultan Hamengkubuwono IX segera menulis surat kepada Panglima Sudirman mengenai hal ini. Letkol Dr. Hutagalung, yang sejak September 1948 diangkat menjadi Perwira Teritorial, berada bersama Jenderal Sudirman ketika Panglima Besar menerima surat dari Sultan Hamengkubuwono IX. Dr. Hutagalung juga adalah seorang dokter spesialis paru, yang sewaktu-waktu ikut merawat Jenderal Sudirman. Kepada Letkol Dr. Hutagalung diserahkan surat tersebut dengan tugas untuk menindaklanjutinya. Hutagalung termasuk salah satu perwira teritorial Kementerian Pertahanan, yang ikut membentuk organisasi teritorial di Jawa Tengah, sehingga dapat selalu melacak keberadaan Panglima Besar serta menjadi penghubung antara Panglima Besar dengan Panglima-Panglima dan pimpinan sipil di Jawa Tengah Hutagalung menyampaikan hal ini kepada pimpinan Divisi III dan menguraikan gagasannya. Untuk mengcounter versi Belanda, perlu dilakukan suatu serangan yang sangat spektakuler yang dapat diketahui oleh dunia internasional dan tidak mungkin ditutup-tutupi oleh Belanda. Setelah dilakukan diskusi, diputuskan untuk melakukan Serangan Spektakuler (formulasi Hutagalung) terhadap satu kota (lihat tulisan Hutagalung di lampiran). Panglima Divisi III/GM III Kol Bambang Soegeng bersikukuh, bahwa yang harus diserang adalah Yogyakarta. Tiga alasan penting untuk memilih Yogyakarta sebagai sasaran adalah: 1. Yogyakarta adalah Ibukota RI, sehingga bila dapat "direbut" walau hanya beberapa jam, akan sangat berpengaruh besar. 2. Keberadaan banyak wartawan asing di Hotel "Merdeka" Yogyakarta, serta masih adanya anggota delegasi UNCI (KTN) dari PBB. 3. Langsung di bawah wilayah Divisi III/GM III sehingga tidak perlu persetujuan Panglima/GM lain dan semua pasukan memahami dan menguasai situasi/daerah operasi. (BERSAMBUNG) ====================================== Disampaikan kepada Anda sekalian oleh: Indonesian Supporting-Groups TOLERANSI (Berusaha membantu menegakkan Keadilan, Kebenaran dan Demokrasi, juga di Indonesia). http://clik.to/toleransi ====================================== ---------- SiaR WEBSITE: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/siarlist/maillist.html