Precedence: bulk


FAKTA-FAKTA BARU MENGENAI
SERANGAN OEMOEM 1 MARET 1949 ATAS YOGYAKARTA (3/4)

Disusun oleh: Batara Hutagalung
===============================

LAMPIRAN
(Cuplikan dari manuskript buku yang akan diterbitkan)


ANAK BANGSA DARI TIGA EPISODE PERANG KEMERDEKAAN

Surabaya, 10 November 1945
Hijrah Siliwangi, Februari 1948
Serangan Oemoem 1 Maret 1949

LETKOL. (PURN.) TNI AD DR. WILIATER HUTAGALUNG (ALIAS HARUN)
Mantan Kwartiermeester General Staf "Q" TNI AD


CUPLIKAN
        Saudara Bambang Soegeng yang adalah Panglima Divisi, diangkat
sebagai Gubernur Militer. Penulis, yang sejak bulan September 1948 telah
diangkat menjadi Perwira Teritorial, dalam perang gerilya penulis menjadi
penghubung antara Panglima Besar Sudirman dengan Panglima-Panglima
Divisi/Gubernur Militer serta Komandan-Komandan Pasukan di Jawa Tengah. 
        Pimpinan militer dan sebagian pimpinan sipil bermarkas di lereng
Gunung Sumbing, tersebar di desa-desa yang letaknya sangat tinggi, yaitu di
desa-desa Pulosaren, Kalikarung. Kolonel T.B. Simatupang, Wakil II Kepala
Staf Angkatan Perang, bermarkas di pedukuhan Banaran, desa Banjarsari.
Kolonel A.H. Nasution, yang juga berasal dari Sumatra Utara telah diangkat
menjadi Panglima Tentara dan Tertorium Jawa, sedangkan Kolonel Hidayat yang
berasal dari Jawa Barat, diangkat menjadi Panglima Tentara dan Teritorium
Sumatra.
        Sebelum ditangkap, Presiden Soekarno masih sempat mengeluarkan surat
kuasa kepada Mr. Syafruddin Prawiranegara untuk mendirikan Pemerintahan
Darurat Republik Indonesia di Sumatra; dan seandainya ini gagal,
diinstruksikan untuk mendirikan Pemerintahan Exil di India. Ternyata
pendirian Pemerintahan Darurat Republik Indonesia dapat didirikan, dibawah
pimpinan Mr. Syafruddin Prawiranegara.
        Pada 25 Desember 1945, Kolonel Nasution selaku Panglima Tentara dan
Teritorium Jawa menyatakan pemberlakuan Pemerintahan Militer untuk seluruh
Pulau Jawa. Pelanggaran peraturan dan gangguan ketertiban dihukum dengan
peraturan militer. Penjara tidak dikenal, karena tidak mungkin membawa
tahanan berpindah-pindah tempat. Hukuman yang dijatuhkan ada tiga tingkat :
        1. Denda.
        2. Pukulan badan (pecut).
        3. Hukuman mati.
        Yang boleh menjatuhkan hukuman mati adalah Bupati atau Komandan
Batalyon. Selama bergerilya, dua kali dijatuhkan hukuman mati. Satu di
daerah Borobudur dan yang ke dua di daerah pantai selatan.
        Pada awal Januari 1949, sebagai Perwira Teritorial, untuk
melaksanakan instruksi Markas Besar Komando Jawa, penulis  meminta para
pimpinan Pamong Praja dan militer untuk berkumpul, guna menetapkan
garis-garis besar perjuangan dan pembagian kerja. 

Hadir dari Pamong Praja adalah:
   Gubernur Jawa Tengah, Mr.Wongsonegoro
   Residen Salamoen
   Residen Boediono
   Bupati Sangidi
   Bupati Soemitro Kolopaking

Hadir dari militer adalah:
   Panglima Divisi Kolonel Bambang Soegeng.
   Komandan Resimen Letkol. Sarbini.
   Perwira Teritorial Letkol. Dr. W. Hutagalung.

Hasil pembicaraan adalah:
        Gubernur Sipil menjadi Penasehat Gubernur Militer. Selama berlakunya
keadaan darurat perang, yang berlaku adalah keputusan pimpinan militer.
Selain itu dilakukan:
   1. Diadakan inventarisasi, berapa jiwa yang ikut bergerilya:
      pria, wanita, anak-anak. Caranya adalah dengan mengumpulkan
      data melalui Lurah-Lurah yang akan melaporkan kepada Camat,
      berapa orang yang makan di desanya pada satu saat tertentu (moment).
   2. Ditentukan daerah yang akan ikut memikul beban akibat ribuan
      orang yang perlu diberi makan, minum dan pemondokan.
   3. Didata, jumlah produksi bahan pangan di daerah pemikul beban.
   4. Ditetapkan indeks rata-rata yang dikonsumsi seorang untuk
      satu kali makan/minum.
   5. Dimufakati, secara periodik diadakan pertemuan seperti itu.
      Lokasi dan waktunya diatur oleh Camat-Camat yang lebih mengenal
      daerahnya.

        Dengan demikian, setiap Lurah mengetahui berapa kewajiban desanya.
Adakalanya satu desa terus menerus dilalui pasukan yang berjumlah puluhan
orang, atau para gerilyawan tinggal agak lama di tempat itu. Bila
pengeluaran makanan dan minuman melebihi kewajibannya, Lurah melaporkan ke
Camat dan Camat akan mengatur agar desa-desa di sekitarnya memberikan beras,
garam gula dan lain-lain, sebanyak kelebihan pengeluaran dari desa tersebut.
Instruksi yang diberikan kepada pimpinan militer:
   * Dilarang memberikan perintah tertulis, yang bisa jatuh ke tangan
     musuh. Komandan harus berkeliling mengunjungi bawahannya
     untuk inspeksi.
   * Dalam melancarkan serangan terhadap konvoi ataupun asrama musuh,
     tidak perlu menunggu perintah. Harus inisiatif sendiri menurut
     kemampuan dan kesempatan.
   * Semua instansi militer dilarang mencampuri urusan intern Pamong
     Praja. Pemerintahan sipil dibawah Kabupaten harus berjalan terus
     dengan lancar.

Instruksi yang diberikan kepada para gerilyawan:
   * Tidak boleh dalam kelompok besar dan tidak boleh terlalu lama
     berada di satu tempat.
   * Gerilyawan dilarang mengambil makanan tanpa izin, misalnya
     telor ayam di halaman, buah-buahan dari pohon, jagung dari ladang,
     bahkan duren yang jatuh sekalipun, dan seterusnya.

Motto bagi gerilyawan: "Gerilyawan di tengah rakyat, ibarat ikan di dalam
air!" Jangan sampai ada laporan, adanya gerilyawan yang mencuri. Rakyat
perlu diyakinkan, bahwa tentara tidak hanya menghabiskan makanan dan
pengganggu di desa, melainkan untuk memperjuangkan kemerdekaan bagi semua
orang, termasuk rakyat di desa-desa di sana. Dalam suatu percakapan dengan
seorang kepala desa, dia mengatakan: "Sedangkan anak gadis kita relakan,
asalkan kita melihat bahwa tentara bertempur melawan Belanda".

        Pasukan-pasukan yang berada di Gunung Sumbing antara lain yang
dipimpin oleh Achmad Yani, dan pasukan Tentara Pelajar, yang direkrut oleh
Kolonel GPH Djatikusumo, yang kemudian menjadi Kepala Staf Angkatan Darat.
Pasukan ini kemudian dikenal sebagai Pasukan cadangan Ronggolawe (dengan
ejaan lama dinamakan Pasukan T. Ronggolawe), untuk membedakan dengan pasukan
Ronggolawe yang telah ada.
        Pada suatu hari, Perwira Teritorial mendapat laporan mengenai
keluhan seorang Bupati, oleh karena Komandan Batalyon yang mendampinginya
bertindak bertentangan dengan peraturan, untuk memperkaya dirinya. Setelah
diselidiki dan ternyata laporan itu benar, Komandan Batalyon tersebut dengan
seketika diberhentikan dan diganti. Tidak ada waktu percobaan, dan tidak
dikenal pengampunan, ini dalam keadaan perang.

SERANGAN UMUM 1 MARET 1949.
        Karena tidak banyak dokter yang ikut bergerilya, selain dokter
pribadi Panglima Besar Sudirman, yaitu Dr.Soewondho, setiap kali bertemu,
penulis ikut merawat Panglima Besar, yang semasa perang gerilya  menderita
sakit. Penulis yang juga seorang dokter, adalah spesialis penyakit malaria
dan paru-paru. Untuk pergi dari satu tempat ke tempat lainnya, beliau harus
selalu ditandu. Walaupun demikian, kontak diantara pimpinan militer terus
dilakukan. Tidak hanya terbatas di Pulau Jawa saja. Kolonel Hidayat, Wakil I
Kepala Staf Angkatan Perang, yang sempat diterbangkan ke Sumatra, sebelum
agresi Belanda tanggal 19 Desember 1948 ditugaskan untuk mengkoordinir
perlawanan di Sumatra, sedangkan Kolonel T.B. Simatupang, Wakil II Kepala
Staf Angkatan Perang, bermarkas di lereng Gunung Sumbing, di pedukuhan
Banaran. Dengan berbagai cara, pertukaran informasi tetap dapat dilakukan.
        Informasi dari Yogyakarta diperoleh dari tokoh-tokoh Republik
Indonesia yang tidak ditangkap oleh Belanda, seperti Sri Sultan Hamengku
Buwono IX, Soetardjo Kartohadikusumo, Ketua Dewan Pertimbangan Agung. Selain
itu juga dari keluarga gerilyawan yang berada di dalam kota diperoleh
berbagai informasi. Jaringan rahasia yang telah kami kembangkan berfungsi
dengan baik, sehingga penulis, sebagai perwira penghubung, selalu mengetahui
posisi "Pak De", nama samaran Jenderal Sudirman. Penulis sendiri memakai
nama samaran "Harun". Semua perwira diharuskan memakai nama samaran.
        Sekitar Awal Februari 1949 di perbatasan Jawa Timur, ketika bertemu
dan sebagai seorang Dokter ahli penyakit paru-paru ikut merawat Panglima
Besar, datang surat dari Sri Sultan Hamengku Buwono  IX, yang menyampaikan,
bahwa dari berita-berita yang dapat diperoleh, antara lain dari siaran
radio, kelihatannya dunia internasional termakan oleh propaganda Belanda,
yang menyatakan bahwa Republik Indonesia sudah tidak ada lagi. Belanda
menolak resolusi PBB tertanggal 28 Januari 1949, untuk mengakui kedaulatan
Republik Indonesia. Amerika Serikat dan anggota Dewan Keamanan PBB yang lain
masih ragu-ragu memberikan dukungan kepada Indonesia, karena kurang pasti
mengenai eksistensi Republik Indonesia. 
        Panglima Besar memberikan surat tersebut kepada penulis dan
menginstruksikan untuk memikirkan langkah-langkah yang harus diambil guna
mengcounter propaganda Belanda. Penulis segera kembali ke markas di lereng
G. Sumbing. Memerlukan waktu beberapa hari untuk sampai ke markas Gubernur
Militer. 
        Pemikiran yang dikembangkan oleh penulis adalah, perlu meyakinkan
dunia internasional terutama Amerika Serikat dan Inggris, bahwa Negara
Republik Indonesia masih kuat, ada pemerintahan, ada organisasi dan ada
tentaranya. Untuk membuktikan hal ini, maka untuk menembus isolasi , harus
diadakan suatu serangan spektakuler, yang tidak bisa disembunyikan oleh
Belanda, dapat diketahui oleh UNCI (United Nations Commission on Indonesia)
dan wartawan-wartawan asing untuk disebarluaskan ke seluruh dunia. Untuk
menyampaikan kepada UNCI dan para wartawan asing bahwa Negara Republik
Indonesia masih ada, diperlukan pemuda-pemuda berseragam Tentara Nasional
Indonesia, yang dapat berbahasa Inggris, Belanda atau Perancis.
        Sebagaimana kesepakatan bersama, keputusan mengenai masalah-masalah
besar harus dirundingkan dalam rapat yang dihadiri pimpinan tertinggi
militer dan sipil. Rapat diadakan di lereng Gunung Sumbing, di satu desa.
Seperti biasanya, dari Pemerintahan Sipil hadir Gubernur Wongsonegoro,
Residen Salamoen, Residen Boediono, Bupati Sangidi dan Bupati Soemitro
Kolopaking, sedangkan dari pimpinan militer militer adalah Panglima Divisi
Kolonel Bambang Soegeng, Komandan Resimen Letkol. Sarbini dan Perwira
Teritorial Letkol. Dr.W. Hutagalung.
        Konsep ini disampaikan oleh penulis dalam rapat tersebut. Dengan
pengalaman serangan mendadak terhadap Inggris pada tanggal 28 Oktober 1945
di Surabaya, penulis menguraikan rencana tersebut, tetapi dengan perbedaan,
bahwa di Surabaya, kekuatan kita luar biasa besarnya dibandingkan kekuatan
Inggris, sedangkan saat ini, kekuatan kita di bawah kekuatan Belanda, jadi
tidak dengan tujuan untuk memenangkan pertempuran, melainkan hanya sekedar
memberikan kejutan, untuk mengalihkan perhatian tentara Belanda akan tujuan
politis yang sebenarnya ingin dicapai. 
        Logika yang dikemukakan tersebut dimufakati oleh seluruh hadirin.
Pertanyaannya kemudian adalah : Kota mana yang akan diserang ? Berbagai usul
dikemukakan antara lain Yogyakarta, Semarang dan beberapa tempat lain. Untuk
setiap kota diperhitungkan berapa kekuatan musuh, bagaimana mengerahkan
pasukan tentara Indonesia ke kota tersebut, harus menyelidiki dahulu apakah
mungkin dalam waktu singkat dilakukan serangan terhadap kota tersebut, serta
tujuan utama adalah, di mana dapat dijumpai wartawan-wartawan asing, dan
sebagainya. Akhirnya rapat menyetujui untuk mengadakan serangan spektakuler
terhadap Yogyakarta. Pilihan atas Yogyakarta diusulkan dan digaris bawahi
oleh Saudara Bambang Soegeng. Beberapa pertimbangan antara lain, diketahui
bahwa beberapa anggota/pengamat militer dari United Nations Commission for
Indonesia (UNCI) masih berada di Yogyakarta. Di samping itu, Panglima
Divisi, Bambang Soegeng sangat yakin akan keberhasilan misi tersebut, bila
serangan dilakukan atas pertahanan Belanda di Yogyakarta, karena
pasukan-pasukan Divisi III benar-benar menguasai lapangan serta
koordinasinya lebih mudah. Juga yang terpenting adalah, Yogyakarta termasuk
wilayah dibawah komando Saudara Bambang Soegeng, sehingga perintah dapat
segera diberikan, tanpa harus konsultasi dengan Panglima Divisi/Gubernur
Militer setempat, apabila sasaran serangan tidak berada dibawah komandonya.
        Serangan tersebut ditetapkan harus dilaksanakan antara tanggal 25
Februari dan tanggal 1 Maret 1949. Pelaksanaan akan diserahkan kepada
Komandan pasukan yang membawahi Yogyakarta. Semua fihak dianjurkan untuk
memberikan bantuan yang diperlukan, karena untuk mendukung serangan
tersebut, harus dipersiapkan bantuan dari pasukan-pasukan lain. Untuk
menyiarkar berita setelah penyerangan, dibutuhkan bantuan pihak AURI yang
mempunyai pemancar radio.
        Seperti yang telah ditetapkan, bahwa perintah yang sangat penting
dan rahasia harus disampaikan sendiri oleh atasan, maka Panglima Divisi
Kolonel Bambang Soegeng dan penulis bersama ajudan serta beberapa orang Staf
Gubernur Militer (dikenal sebagai SGM) akan berangkat untuk menyampaikan
keputusan rapat ini kepada Komandan Brigade X/ Wehrkreis III, yang membawahi
wilayah Yogyakarta.  Perintah tersebut jelas tidak mungkin ditulis di atas
selembar kertas kecil, yang dapat ditelan bila kurir tertangkap oleh musuh.
Apabila diperintahkan kepada kurir menyampaikan secara lisan, kuatir tidak
lengkap atau salah penyampaian. 
        Seorang Komandan Pasukan ditugaskan untuk menyampaikan keputusan
rapat kepada Panglima Besar Sudirman. Selain itu, Panglima Divisi/Gubernur
Militer mengeluarkan instruksi Rahasia kepada seluruh Komandan-Komandan
pasukan di sekitar Yogyakarta, untuk mengadakan serangan terhadap pos-pos
pertahanan Belanda antara tanggal 25 Februari sampai 1 Maret 1949, guna
mengikat Belanda dalam pertempuran-pertempuran setempat, sehingga tidak
dapat mengirimkan bantuan ke Yogyakarta. Seorang kurir segera dikirim kepada
Komandan Brigade X, Letkol Soeharto, untuk memberitahukan kedatangan
Panglima Divisi beserta Perwira Teritorial.
        Kemudian berangkatlah rombongan kecil untuk menyampaikan rencana
tersebut. Agar tujuan perjalanan tidak diketahui oleh mata-mata, maka
penunjuk jalan hanya mengantar dari satu desa ke desa berikutnya, kemudian
penunjuk jalan diganti. Berangkat pagi buta; berhenti bila ada banyak orang
di sawah atau ladang, kemudian meneruskan perjalanan sore hari sampai malam.
        Untuk tujuan utama serangan spektakuler tersebut, yaitu membuktikan
eksistensi Indonesia kepada utusan PBB, United Nations Commission for
Indonesia (UNCI) serta wartawan-wartawan asing lainnya, Kolonel Wijono,
Pejabat Kepala Bagian Pendidikan Politik Tentara (PEPOLIT) Kementerian
Pertahanan, diberi tugas untuk memilih paling sedikit 5 (lima) pemuda
tentara pelajar yang berbadan tinggi dan gagah serta bisa berbahasa Inggris,
Belanda atau Perancis. Mereka akan dilengkapi dengan seragam tentara, dari
mulai topi, pakaian, sepatu dan tanda pangkat Tentara Nasional Indonesia.
Tugas mereka dalam serangan atas kota Yogyakarta adalah masuk ke Hotel
Merdeka dan menemui UNCI serta wartawan-wartawan asing lainnya guna
menerangkan bahwa Republik Indonesia masih ada dan masih kuat. Serangan
tersebut adalah sebagai buktinya. Saudara Wijono yang bersama Bagian
Penerangan Kementerian Pertahanan, bermarkas di sebuah desa di tepi kali
Tinalih. Dia harus mengkoordinasikan pelaksanaan ini dengan Komandan
Pelaksana Operasi.
        Dalam perjalanan menuju wilayah Resimen Yogyakarta, Panglima Divisi
dan Perwira Teritorial juga singgah di pedukuhan Banaran, desa Banjarsari,
untuk menemui Wakil II Kepala Staf Angkatan Perang, Kolonel T.B. Simatupang.
Juga hadir Mr. Ali Boediardjo, yang kemudian menjadi ipar Saudara
Simatupang. Kepada mereka disampaikan keputusan rapat di lereng gunung
Sumbing, dan diminta untuk membantu dalam pelaksanaan. Kepada Simatupang
khusus diminta bantuannya untuk menghubungi pihak AURI yang memiliki
pemancar radio. Simatupang dapat melakukan hal ini karena dia adalah Wakil
II Kepala Staf Angkatan Perang.
        Akhirnya kami tiba di Pegunungan Menoreh, yang terletak di sebelah
barat Yogyakarta. Pegunungan Menoreh terdiri dari bukit-bukit batu dan
kapur. Hampir tidak ada tumbuh-tumbuhan. Dari tahun ke tahun, orang yang
liwat membuat gua-gua. Diantaranya ada yang sebesar kamar. Menurut ceritera
dari penduduk, pada waktu perang melawan Belanda, Pangeran Diponegoro pernah
bertahan di sini. (BERSAMBUNG)

======================================
Disampaikan kepada Anda sekalian oleh:
Indonesian Supporting-Groups TOLERANSI
(Berusaha membantu menegakkan Keadilan,
Kebenaran dan Demokrasi, juga di Indonesia).
http://clik.to/toleransi
======================================


----------
SiaR WEBSITE: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/siarlist/maillist.html

Kirim email ke