Precedence: bulk


Diterbitkan oleh Komunitas Informasi Terbuka
PO Box 22202 London, SE5 8WU, United Kingdom
E-mail: [EMAIL PROTECTED]
Homepage: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/xp
Xpos, No 03/III/30 Januari-5 Pebruari 2000
------------------------------

JABATAN POLITIK?
Oleh: Poetranegara

(OPINI): Ketika Menteri Keuangan Bambang Sudibyo mengatakan bahwa jabatan
menteri adalah jabatan politik, selayaknya kita bertanya politik yang
bagaimana? Bila politik dilihat sebagai arena merengkuh dan membagi
kekuasaan jelas kita akan selalu berbincang tentang basis legitimasi
kekuasaan. Karena, siapapun yang berkuasa harus punya basis legitimasi yang
kuat. Soal siapa yang memberi legitimasi, dalam politik lazimnya ada tiga
basis: otokrasi, oligarki, dan demokrasi. Dalam otokrasi, basis legitimasi
ada di tangan satu orang, biasanya seorang raja atau penguasa yang otoriter.
Dalam oligarki, legitimasi ada di tangan beberapa orang seperti pemerintahan
presidium atau triumvirat. Sedang dalam demokrasi, kita semua tahu,
legitimasi kekuasaan ada di tangan rakyat.

Jabatan politik yang dimaksudkan Bambang Sudibyo itu tentu soal menteri yang
dipilih karena pertimbangan politik, bagi-bagi kekuasaan. Bukan jabatan
profesional, yang berdasar pada pertimbangan jenjang karier dan
profesionalitas sang menteri. Lalu darimana legitimasi Bambang Sudibyo bisa
jadi menteri? Jelas ia adalah hasil dari politik oligarki. Semua
menteri-menteri hasil dari politik oligarkinya Gus Dur, Megawati, Amien
Rais, Akbar Tanjung, dan Wiranto. Demokrasi yang diperjuangkan selama
gelombang reformasi kemarin telah dikebiri oleh para elit politik sekarang
ini. Dalam hitungan waktu pendek, politik demokrasi telah menciut jadi
oligarki dan akhirnya otokrasi. Mari kita lihat.

Pertama yang terjadi adalah demokrasi langsung (oleh rakyat) menjadi
demokrasi perwakilan. Amien Rais, Megawati, Akbar Tanjung bisa jadi anggota
DPR karena dipilih oleh massa partai mereka. Gus Dur maju karena maunya
golongan NU sedangkan Wiranto maju karena maunya sendiri sebagai pemegang
komando TNI. Boleh dibilang cuma Wiranto-lah yang jadi anggota DPR secara
tidak demokratis.

Nah setelah pemilu lewat, demokrasi langsung lewat pula diganti demokrasi
perwakilan. Gus Dur dan Mega bisa jadi presiden dan wapres, Amien bisa jadi
ketua MPR dan Akbar bisa jadi ketua DPR, itu karena politik demokrasi
perwakilan. Anggota DPR yang memilih mereka bukan rakyat, namanya juga
perwakilan. Demos (rakyat) telah menciut dari rakyat banyak ke wakil-wakilnya.

Tahap kedua terjadi penciutan kembali dari politik demokrasi perwakilan ke
politik oligarki ketika memilih menteri. Nah disitulah Bambang Sudibyo
terpilih karena dijagokan Amien Rais dan diterima oleh empat elit yang lain.
Basis legitimasi Bambang Sudibyo bukan dari rakyat, bahkan bukan dari rakyat
PAN sekalipun (banyak orang PAN tidak kenal).

Nah, ketika ia memilih Cacuk Sudarjanto dari Partai Daulat Rakyat jadi ketua
BPPN dan menyodokkannya ke Gus Dur, ia telah melakukan politik otokrasi. Di
situ masuklah kita ke tahap ketiga di mana politik oligarki telah diciutkan
lagi menjadi otokrasi.

Kalau logika berpikir bahwa menteri adalah jabatan politik diterima, wah
bisa terlibas demokrasi yang diangankan oleh rakyat Indonesia. Akibatnya pun
bisa sangat buruk. Pertama, kita tidak punya satu cetak biru bagaimana
membangun kembali Indonesia. Ini bisa terjadi bila terjadi pergantian
menteri. Jaman Soeharto yang komando tertingginya saja sama, tiap ganti
menteri bisa ganti kebijakan, apalagi di jaman sekarang ada pembatasan masa
jabatan presiden. Kedua, sulit dibagun suatu koordinasi antar direktur
jendral dan antar menteri. Loyalitas pada atasan eksekutif bisa dikalahkan
oleh loyalitas pada bos partai atau patron politiknya. Bambang Sudibyo
sendiri adalah contoh yang sangat "baik", betapa ia lebih sering memberi
laporan kepada Amien Rais daripada kepada Gus Dur. Lantas kapan Indonesia
bisa keluar dari krisis kalau posisi-posisi eksekutif diisi oleh jabatan
politis?

Jalan keluarnya adalah suatu sistem triaspolitica dengan karakter kekuasaan
yudikatif (peradilan) yang independen, kekuasaan legislatif yang demokratis,
dan rekrutmen eksekutif dengan mekanisme meritokrasi.

Kekuasaan legislatif yang dipegang DPR, semua anggotanya harus dipilih
secara demokratis, tidak ada yang diangkat. Kepala eksekutif, yakni presiden
dan wakilnya juga dipilih secara langsung oleh rakyat melalui pemilu. Tetapi
jajaran menteri yang ada di bawahnya musti profesional karier. Jadi ada
harapan bagi pegawai negeri di departemen untuk duduk di kursi tertinggi
departemennya karena prestasi. Mekanisme jenjang karier yang profesional
inilah yang disebut meritokrasi. Sebuah tata aturan yang diciptakan dan
digerakkan oleh orang-orang yang berpengalaman di bidangnya dan dituntut
untuk lebih berprestasi. Bila tak becus penggantinya juga profesional yang
tahu persoalan. Sehingga kita akan melihat memang yang terbaik yang pantas
diberi kekuasaan eksekutif sebuah negeri. Jangan seperti Cacuk yang diangkat
Bambang Sudibyo, ia dipilih karena latar belakangnya dari Persatuan Daulat
Rakyat (PDR). Dilihat secara profesional, Cacuk itu cuma CEO (chief
executive officer) ranking lima menurut Majalah SWA 1999, sementara Rini
Suwandi, Dirut PT Astra International yang mau dipecat Cacuk, adalah CEO
ranking satu. Nah kebalik-balik kan? Itulah akibat jabatan politis. (*)

---------------------------------------------
Berlangganan mailing list XPOS secara teratur
Kirimkan alamat e-mail Anda
Dan berminat berlangganan hardcopy XPOS
Kirimkan nama dan alamat lengkap Anda
ke: [EMAIL PROTECTED]


----------
SiaR WEBSITE: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/siarlist/maillist.html

Kirim email ke