Precedence: bulk


CATATAN DAEI DEN HAAG
Oleh : A. Umar Said

ANGIN SEGAR DI CAKRAWALA INDONESIA (1)

Pertemuan dan dialog yang terjadi di KBRI di Den Haag (negeri Belanda)
tanggal 17 Januari 2000, antara lebih dari seratus orang Indonesia dan
Menkumdang (Menteri Hukum dan Perundang-undangan) Yusril Ihza Mahendra
mengandung arti penting dalam berbagai segi dan bidang. Banyaklah hal yang
menarik dan patut dicatat tentang pertemuan yang berlangsung lebih dari 4
jam itu. Baik yang berkaitan dengan suasana pertemuan itu sendiri secara
keseluruhan, maupun tentang isi dan arah dialog, dan juga berbagai masalah
yang muncul dalam dialog itu.

Jelaslah kiranya bahwa tidak mudah untuk menulis atau membuat "laporan" yang
relatif akurat atau agak lengkap tentang pertemuan yang sarat dengan
berbagai emosi, dan penuh dengan uraian tentang begitu banyaknya masalah
yang dialami banyak orang Indonesia yang selama lebih dari 30 tahun telah
mengalami penderitaan di luarnegeri akibat politik Orde Baru. Di samping
itu, pertemuan besar ini mengemban pesan politik dan pesan moral yang besar
artinya bagi kehidupan bangsa kita, dalam usaha bersama untuk menegakkan
demokrasi, menjunjung tinggi kaidah-kaidah kemanusiaan, membela HAM dan
memperkokoh persatuan bangsa.

Oleh karena itu, alangkah baiknya seandainya ada berbagai tulisan mengenai
peristiwa penting ini. Angin segar atau udara baru yang ditiupkan oleh
pertemuan ini patut disebar-luaskan. Gemanya perlu dikumandangkan lagi ke
berbagai penjuru, terutama di tanah-air. Sebab, jiwa pertemuan di KBRI Den
Haag adalah luhur, dan orientasinya benar. Sumbangannya akan penting untuk
mencari kebenaran guna menegakkan keadilan bagi banyak korban politik Orde
Baru, baik yang terpaksa bermukim lama di luarnegeri, maupun --bahkan
terutama sekali-- bagi puluhan juta keluarga yang sudah mengalami berbagai
penderitaan yang bertubi-tubi dalam jangka puluhan tahun di tanah-air.

Instruksi Presiden nomor 1 Tahun 2000

Pertemuan besar tanggal 17 Januari di KBRI Den Haag adalah salah satu dari
realisasi politik pemerintahan Gus Dur, yang dituangkan dalam Instruksi
Presiden RI nomor 1 Tahun 2000. Dalam instruksi presiden itu (yang copynya
juga dibagi-bagikan kepada peserta pertemuan) antara lain disebutkan "bahwa
permasalahan orang-orang Indonesia yang berada di luar negeri dan terhalang
pulang ke Tanah Air sejak terjadinya peristiwa G30S/PKI, perlu segera
dicarikan jalan penyelesaian yang terbaik. Dan bahwa sehubungan dengan hal
tersebut di atas, dipandang perlu untuk menugaskan Menteri Hukum dan
Perundang-undangan untuk berangkat ke Negeri Belanda, guna melakukan
pertemuan dan dialog di Negeri Belanda dengan orang-orang Indonesia yag
terhalang pulang ke Tanah Air".

Instruksi Presiden itu sendiri sudah menunjukkan dengan jelas adanya kemauan
politik pemerintahan Gus Dur untuk mencari penyelesaian yang terbaik bagi
orang-orang Indonesia yang berada di luar negeri dan terhalang pulang ke
Tanah Air. Manifestasi kemauan politik (political will) ini diperjelas
dengan dikirimnya Menkumdang Yusril Mahendra ke Belanda untuk melakukan
"pertemuan dan dialog". Walaupun instruksi presiden itu dirumuskan secara
sederhana, tetapi isi penjelasan dan jiwa orientasi politik Gus Dur yang
dipaparkan oleh Menkumdang dalam pertemuan menunjukkan bahwa dengan pimpinan
Gus Dur-Megawati, negeri kita sedang membuka halaman baru dalam sejarahnya.
Halaman baru inilah yang sedang bersama-sama kita isi.

Terselenggaranya pertemuan dan dialog di KBRI Den Haag, serta keluarnya
Instruksi Presiden nomor 1 Tahun 2000, tidak terlepas dari prakarsa atau
usaha Menkumdang yang telah menyarankan kepada Presiden Gus Dur untuk segera
menuntaskan masalah nasib orang-orang yang terhalang pulang ke Tanah Air.
Dikemukakannya kepada Gus Dur bahwa kita harus menempuh rekonsiliasi
nasional, dan mulai lembaran baru sebagai bangsa. Dan karena Presiden Gus
Dur sangat peka terhadap masalah-masalah semacam ini, maka saran Menkumdang
Yusril disetujui dan didukung oleh Gus Dur.

Mereka Merasa "Pulang Ke Rumah Sendiri"

Pertemuan dan dialog tanggal 17 Januari yang berlangsung lebih dari 4 jam
dalam suasana keterbukaan, dan dilaksanakan bersama-sama dengan semangat
keakraban dan rekonsiliasi, adalah satu langkah penting untuk mengisi
sebagian dari halaman baru bangsa kita. Pekerjaan besar ini indah sekali!

Banyaklah kiranya hal-hal menarik yang bisa dicatat mengenai pertemuan yang
bersejarah bagi banyak orang ini. Baik yang berkaitan dengan suasananya,
cara penyelenggaraannya, acaranya, para pesertanya, maupun "message"-nya
yang sangat penting untuk mendorong lebih lanjut realisasi politik pemerintahan
Gus Dur dalam membangun Indonesia Baru di atas puing-puing reruntuhan sistem
politik Orde Baru.

Catatan bisa dimulai dengan pemandangan yang mengharukan, ketika mulai jam
16.30 secara bergelombang dan kelompok demi kelompok, sejumlah besar
orang-orang Indonesia mendekati gedung KBRI di Den Haag. Sebagian di antara
mereka terdiri atas lelaki dan perempuan yang sudah berusia lebih dari 60
tahun. Bahkan banyak yang kelihatannya sudah terpaksa berjalan agak lambat,
karena kaki atau tubuh mereka sudah harus menanggung "hukum alam". Seorang
di antara mereka terdapat Sidik Kertapati (80 tahun. Orang Indonesia pertama
yang berhasil merebut stengun dari tangan sekutu pada tahun 1945. Catatan
Redaksi SiaR) yang memasuki pintu gerbang KBRI di atas kursi roda yang
didorong oleh temannya.

Entah apa saja yang terbayang dalam pikiran atau hati mereka, ketika
orang-orang lansia (lanjut usia) ini memasuki pintu gerbang KBRI dan melihat
dari dekat Bendera Merah Putih yang berkibar-kibar dengan megahnya di udara
musim dingin negeri Belanda itu. Sebab, gedung KBRI semacam ini, yang juga
terdapat di banyak negeri di dunia, sudah lama tidak bisa (atau tidak boleh)
diinjak oleh kaki orang-orang "semacam" mereka ini. Wilayah gedung ini,
secara hukum internasional, adalah wilayah Republik Indonesia.

Tetapi orang-orang ini, yang semestinya bisa menganggap tempat ini sebagai
"rumah sendiri", selama puluhan tahun sudah diharamkan untuk memasukinya,
karena dianggap sebagai musuh oleh pemerintahan Orde Baru. Kali ini, mereka
disambut dengan ramah dan diperlakuan secara terhormat. Perkembangan situasi
yang menggembirakan! Indah! Mengharukan!

Sambutan hangat dan senyuman yang menyejukkan hati ini makin lebih terasa
lagi bagi banyak anak hilang itu, ketika disusuli oleh makanan dan minuman
dan tegur-sapa yang ramah dari para pejabat KBRI, termasuk Dubes Abdul Irsan
dan Menkumdang Yusril Mahendra. Sekitar jam 17.00 ruangan Nusantara makin
dipenuhi orang. Di antara mereka terdapat orang-orang yang menjelang akhir
1965 menjabat sebagai anggota parlemen atau MPRS, insinyur, dokter, jurist,
wartawan, seniman, pengarang, pegawai negeri dengan jabatan yang cukup
penting, pimpinan berbagai macam organisasi. Sebagian besar adalah mahasiswa
ikatan dinas yang dikirim oleh pemerintah waktu itu.Mereka ini ada yang
pernah lama tinggal di Moskow, Peking, Praha (atau tempat-tempat lainnya)
sebelum menetap di negeri Belanda, Jerman, Prancis dll.

Mereka kelihatan antusias untuk memenuhi undangan KBRI (undangan yang
disediakan berjumlah seluruhnya 150 lembar), karena sebelumnya sudah tersiar
berita atau artikel dalam pers Indonesia maupun lewat Internet, tentang
missi Menkumdang Yusril yang bertujuan untuk mengadakan dialog dengan
orang-orang Indonesia yang tercekal untuk pulang ke Tanah Air. Mereka juga
sudah membaca berita-berita tentang pernyataan Gus Dur, yang memberikan
isyarat bahwa mereka ini bisa mendapatkan kemudahan-kemudahan untuk pulang
ke Indonesia. Perkembangan situasi yang begitu baik semacam ini sudah mereka
tunggu-tunggu selama puluhan tahun.

Sayang Mereka Sudah Tiada

Adalah sangat sayang, bahwa ada sejumlah orang-orang yang sudah tidak
sempat lagi menyaksikan peristiwa penting ini. Berpuluh-puluh orang telah
meninggal dalam "pembuangan" di berbagai negeri. Di antara mereka terdapat
tokoh-tokoh di berbagai bidang, seperti : Kyai Haji Dasuki Siradj (tokoh
Islam dari Solo), Mr. Abdulmadjid Djajadiningrat (anggota DPRGR, walikota
Semarang), Djawoto (Dutabesar RI, dan pimpinan Kantor Berita Antara),
Sukrisno (Dutabesar RI), Sunan Hamzah SH (Gurubesar Sum. Utara), Basuki
Resobowo (seniman, pelukis, anggota DPRGR), Suselo Triharso (anggota BPH
Dewan Kotapraja Jakarta), Ang Hong To (wartawan), Suparna Sastradiredja
(anggota MPRS, pimpinan SOBSI).

Seandainya mereka masih hidup, pastilah mereka dengan bangga dan gembira
akan ikut juga bersama-sama menyanyikan lagu kebangsaan "Indonesia Raya" dan
"Satu Nusa Satu Bangsa", dan juga akan ikut terharu dengan terlaksananya
dialog yang terjadi tanggal 17 Januari ini. Mereka tidak sempat lagi untuk
merasakan hembusan segar Angin Baru, yang dipancarkan dari ruangan
"Nusantara" di KBRI Den Haag ini.

(BERSAMBUNG)

----------
SiaR WEBSITE: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/siarlist/maillist.html

Kirim email ke